Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, di Jakarta atau Batavia itu. Ada sebutan Habaib yang menandakan bahwa ia adalah anak keturunan Rasulullah SAW
Para Habaib itu datang ke Betawi sejak jaman penaklukan Sunda Kelapa oleh R Fatahillah (Jatinegara Kaum), dan seiring migrasi besar-besaran dari tanah Hijren terutama pada abad 18. Dalam dunia islam, baik dari sunni mapun syiah, di arab maupun di luar arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi.
Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan arab bahkan setelah keruntuhan Turki. Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci.
Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dengan nabi Muhammad SAW.
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah :
Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim.
Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
Sayiyd (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul.
Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad.
Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif).
Berjuang
Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House.
Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen — Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh.
”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.
Seperti layaknya meneruskan perang Salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan.
Ia memang banyak belajar dari kekalahan kumpeni pada Sunda Kelapa yang saat itu ditaklukan R Fatahillah. Sesudah Sunda Kelapa kembali berusaha direbut VOC Kumpeni, tetapi itupun sangat tidak mudah bahkan terus menerus mendapat perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh kyai dari Jawa, para ulama dan jawara, pendekar Banten yang bahu membahu mempertahankan Sunda Kelapa.
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan.
Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.”
Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Dr Abdul Karim Amrulah (HAMKA) yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air — meskipun keduanya dimasukkan ka dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.
Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka.
Seiring dengan arus urbanisasi itu, mereka datang ke Sunda Kelapa pada waktu itu. Ini bisa dilacak dengan kedatangan para Habaib di bumi Betawi di makam-makam keramat yang ada di Luar Batang, Kramat Bandan, Koja, Kwitang, Al Hawi, Kalibata dll yang menandakan bahwa kaum Habaib tidak membentuk komunitas sendiri menjadi kaum Arab, namun bersimbiosis dengan ulama lokal Betawi dalam bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini. Pergerakan jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan Tanjung Priok dan Muara Angke.
Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara Jakarta sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari Pekojan, Tanah Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa menjadi dominasi penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin orang akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok, Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena ziarah makam, peringatan Haul, upacara menikah, tasmiyah (pemotongan rambut pada bayi) sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan adat kalangan Habaib.
Berdampingan
Kaum Habaib sangat terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan ulama setempat, karena ajaran Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal banyak berguru dengan Habaib dan Habaib juga banyak berguru dengan ulama Betawi yang berbobot.
Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui kiprah dalam melaksanakan ibadah haji saat ini — dengan pesawat udara — hanya perlu waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama pelayaran.
Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah.
Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten.
Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syech Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.
Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur, Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ‘ilm) dari hampir setiap ulama di kemudian hari keenam guru utama ini adalah murid terkemuka Syekh Junaid Al Betawi.
Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan menebar hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga sekarang tak kala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah sepi melahirkan tokoh –tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syiar Islam Nusantara.
Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat. Justru bersamaan dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi muncul awal letupan-letupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan Entong Gendut dan nun jauh di bagian barat Betawi yakni Banten, mucul pemberontakan petani oleh Haji Wasid dan H Abdul Karim.
Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar dengan Syaikh Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid yakni As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.
Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur dari Kampung Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ”Betawi, rempug.”
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman.
Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH Syafei Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad).
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu.
Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi.
Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tahiriah) itu kini berkembang pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi. KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga pendidikan Islam.
Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie — perguruannya menghasilkan ribuan orang — diantara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia.
KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu.
Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian, yang jamaahnya cukup banyak.
Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front depan Bekas — Karawang — Purwakarta. KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai lainnya.
Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafi’i Hazami, mantan ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai SLTA.
Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren — sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok — KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Termasuk belasan orang yang telah menjadi penghafal (hafidz).
Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar.
Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Al Habsyi, putera Habib Muhammad Al Habsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid wanita ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya.
Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Al Hazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya.
Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Al Hamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Al Hamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara.
Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Pada masa itu di Betawi Singa Podium Habib Novel bin Salim Jindan, Habib Syekh Ali Jufri (Condet), KH Syukron Makmun, KH Hasyim Fuad (Kayu Manis) dll.
Perjuangan Habib Alawi kemudian diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo alim ulama Betawi ke DPR menolak SDSB. Keluarga Jamalullain termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluarga Jamalulail.
Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi juru dakwah yang handal. Mereka telah mempelopori berdirinya surau-surau di Jakarta — yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717.
Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujitaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Usman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya.
Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri atau Hari Idul Adha.
Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama Betawi tetap berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, gaya orasi KH Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan dakwah di akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan ribu pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi, media telivisi dan elektronik. Kemunculannya lewat polesan KH Idham Khalid semasa menjadi ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari menjadikan gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia televisi dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir dari sentuhan dingin dan Habaib ulama Betawi.
Selain itu arus gelombang urbanisasi pada kurun tahun 70-90 an akhirnya banyak juga melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama lokal bahkan internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi masyarakat setempat, seperti Buya Hamka (Univ Hamka), KH Sukron Makmun (Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman Wahid alm (Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH Iskandar Noor (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan seabrek ustadz-ustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry Bukhori (alm), KH Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur, Ustadz Cecep, Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dll.
Dan perlu dipahami jalur dakwah di melulu berada di panggung podium (bil lisan), namun para ulama dan Habaib juga (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan. Ada banyak ulama Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis kitab seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang), Syekh Muhadjirin Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara) dll.
Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang yang mudah tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang harga. Tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis oleh para ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka cukup berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam menjalankan ajaran agama serta sangat kuat serta energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim dan pesantren yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena sangat jelas mereka mengerti ilmu Agama dan bisa dijadika petunjuk (‘alim) dan untuk mendapatkan mereka sangat mudah cukup hadir di acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta Habaib yang ada Jakarta.
Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan dalam berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat ber ragam dan namun masih dalam satu nafas gerakan Islam satu Thariqah yakni Islam Ahlus Sunnah wal Jammaah. Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab bila dikelola dengan baik, akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan dan budaya Islam yang menjadi modal sosial dalam membangun negeri.
Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini, kalangan ini biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur keturunan Rasulullah SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di Ibu kota ini tidak menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini. (***) Aji Setiawan, penulis adalah mantan Wartawan majalah alKisah Jakarta