Pengantar Penulis
Segala
puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga , sahabat dan pengikut setia beliau hingga hari
kemudian.
Pembaca
yang budiman yang semoga senantiasa di Rahmati Allah SWT, pada kesempatan kali
ini penulis mencoba menyajikan kumpulan ulama-ulama terkemuka Nusantara sejak
kedatangan Islam masuk Indonesia. Ada banyak sekali ulama-ulama dari Indonesia
yang menjadi rujukan bagi umat Islam dunia. Sumbangan pemikiran dan intelektual
muslim Indonesia itu tidak saja mewarnai khazanah Islam Indonesia namun juga
Dunia. Di mana mereka menyambung mata rantai
khazanah Islam dan berkembang hingga kini.
Dengan
dibukukan semoga karya dan sumbangsih ulama-ulama terkemuka nusantara itu dapat
dijadikan referensi dan dapat dijadikan rujukan lebih lanjut dalam khazanah
Islam Nusantara.
Demikian
pengantar penulis dalam penerbitan buku “Jejaring Ulama-Ulama Nusantara
Terkemuka”semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian.
Penulis
Aji Setiawan
BAB I
Sejarah Islam Indonesia
Sejarah Masuknya
Islam Ke Indonesia
Wacana tentang
masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan
para ahli.
Setidaknya ada tiga masalah pokok yang
menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu
kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan
nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing
teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu
aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang
dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”,
“Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli
dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di
Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori
ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel,
aorang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah
India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24).
Teori ini kemudian dikembangkan oleh
Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat
sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan
bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang
Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua tentang
Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera
dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian
ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh
juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku
terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara.
Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia
mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan
utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu
nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di
Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim
menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat
ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera
Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara
yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan
bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur
Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu
nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan
batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para
ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad
XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C.
Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah
terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah
mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai
dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya,
perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di
sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur,
disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13,
melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam.
Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan
politik di India.
Perkembangan Islam pada abad XIII
sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda,
berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat
perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan
politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan
Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan
politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara,
1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan
dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada
abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk
Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu,
mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa
motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya.
Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah
menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian,
kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan
kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan
perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis
memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke
misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada
tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak
(Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak
adalah sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di
atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga
seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik
di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para
ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa
argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik
Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu
nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu
nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena
itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam
masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan
perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di
Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah
Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara
diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson
mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan
Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih
merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa
muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari
Corromandel (India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan
T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan
Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai
kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold,
Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara,
tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di
Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin
Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan
masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan
Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan
mazhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam
teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai
hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan
pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan
Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein
untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran
wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia,
Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat
dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi
(Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim
dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat.
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama
dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson.
Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya
Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab
ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i.
(Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H.
Saifuddin Zuhri, seorang intelektual islam dan Mantan menteri Agama RI,
menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia,
apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada
masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab
dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad.
Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam
juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki
aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia.
Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan
terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W.
Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi,
dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang
Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur
sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak
terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka
terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila
mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir
perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah
pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan
dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan
lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen
Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya
eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam
Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara
dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran
Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan
kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman
dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah
Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di
Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia.
Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak
yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling
penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah
karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang
Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan
dunia Melayu. (Azra,28).
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII
seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India.
Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal
dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata
berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar
pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau
Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi
setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko).
Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang
berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak
huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang
keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi
Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda,
seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan
interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah
Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras”
terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa
Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya
kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret
1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan
teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat
Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada
masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di
Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat.
Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu
Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang
dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan
Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh
sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82)
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold,
Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori
Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa
bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di
Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke
Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang
menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan
Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari
keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk
perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina,
seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat
dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori
Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke
Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat
dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang
adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat
dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah
ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai
tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah.
Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan
perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam
diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan
bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke
Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam
dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan
skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di
Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai
kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera
Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah
yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang
didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke
Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya
pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan
masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan
argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan
melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di
Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke
Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin
dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia
sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih
massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang
paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India.
Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan
India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh),
karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan
kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450),
Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina
Selatan (1480). (***)
Masuknya Thariqah dan Perkembangannya di
Indonesia
Seiring
kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang
akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara.
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar
terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan
semakin menghebat pada masa daulah Bani Umayyah, di mana sistem
pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak
terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka,
keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan.
Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh
golongan khawarij, syiah, dan zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak
dengan motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara
golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa
agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani.
Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan
terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan
dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki
yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu
cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati) itu pula yang belakangan
mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani
Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan
yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan yang terbentang
dari daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa
di bagian barat.
Gerakan para Zuhhad pada mulanya
merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang semata- mata
berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup unuk
mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh
tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang
mereka tempuh berkembang menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih
murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat ketuhanan dan
ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah
(laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah
(tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian
terhadap keberadaan Allah).
Dengan isilah lain, laku batin yang
mereka tempuh dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari
sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi hati dengan sifat
yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT).
Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan
masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang
dikenal dengan ilmu Tashawuf atau sufisme.
Bersamaan munculnya Tasawuf di akhir
abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai
menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari
sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi. Thariqah
Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah
Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang
menggunakan akal dan pikiran. Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq
(rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata
/empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk menyebut
suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang
guru musyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak
difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Pada perkembangan berikutnya, berkembang
perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada
muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan rasa antar masing-masing
tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta
Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran
thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti
Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah,
Naqsabandiyyah, Alawiyyah dan lain sebagainya.
Mursyid
Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang
guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru
mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW
sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau
wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid).
Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting
dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi
murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari
ajaran Islam dan terjerumus dalam
kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya
agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah
(perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat
dikalangan ahli thariqah.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh
dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah
cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan
kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah
seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang
dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal,
seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al
Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna
pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang
lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad
SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan
wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan
ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mu’tabar,
diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang
hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung
antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui
oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang
tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka
mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad
(bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang
sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak
dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani,
sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan
syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama,
kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para
politisi.
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan
bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi
penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik,
ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas
personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi
menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa.
Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan
ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan
Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena
pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah,
kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh
mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.
Selain penjagaan otentisitas sanad
kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan
para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi
pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat
keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau
pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam
yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni
bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi
kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika
ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya
akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak
dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid
maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang,
seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid
baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang
berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam
tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan
Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah
untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi
tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi,
murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan
menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak
berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika
seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi
keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at
dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini
sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Proses
islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau
awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang
ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak
Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf
moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep
itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang
habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep
tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul
tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di
berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang
ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin
Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh
Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal
Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah
Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase
pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad
Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan
Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut
belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah
air.
Para sejarawan barat meyakini, Islam
bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama
Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang
kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat
dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali.
Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak. Meski
begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak
bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja
muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para
wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten
kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu
disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan
ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-
Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh
ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Meski jika mengacu
pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati
yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad
13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah
mungkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan
Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante,
pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa
Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thariqah lain yang
masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah
dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan
17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan
Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama
santri Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M),
penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan
ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah.
Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan
mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah
Sammaniyyah.
Seiring kepulangan santri Jawa yang
telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas,
berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki
kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat.
Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai
thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan
Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di
berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon,
Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek
kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan,
yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus juga
dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa
Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal
Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu
mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai
guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh
Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh
Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M
Tarim-Yaman) .Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia
mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung
sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni
Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya
sambung sinambung sampai Rasulullah SAW.
Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah
Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat
itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai
khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh
Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih
muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa
Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama
pengembara kelahiran Makkah.
Selain thariqah-thariqah yang sudah
disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar
abad 19-20. Seperti Nama Al-Idrisiyyah dinisbatkan kepada salah seorang Mursyid
Al-Idrisiyyah yang bernama Syekh Ahmad bin Idris Ali Al-Masyisyi Al-Yamlakhi
Al-Hasani. (1760 - 1837), salah seorang Mujaddid (Neo Sufisme) yang berasal
dari Maroko (Maghribi). Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini
adalah nama ayah dari pendirinya. Syekh Ahmad bin Idris dikenal sebagai sosok
Ulama yang berhasil memadukan dua aspek lahir (syari’at) dan batin (hakikat).
Ia juga dikenal sebagai pembaharu dalam dunia tasawuf dari penyelewengan kaum
kebatinan seperti tahayul, khurafat, dll.
Tarekat Sanusiyyah dibawa ke Indonesia
oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah tahun 1932. Dia menerimanya dari Syekh
Ahmad Syarif As-Sanusi (1875-1933) di Jabal Qubais (Mekkah) dan berguru selama
4 tahun. Kemudian dengan beberapa alasan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah
mengganti nama tarekatnya menjadi Tarekat Idrisiyyah.Sejak masuknya ke
Indonesia pada masa penjajahan, Tarekat ini sudah mengalami 4 kepemimpinan.
Saat ini tampuk pimpinan tarekat dipegang oleh Syekh Muhammad Fathurahman,
M.Ag. Dalam masa kepemimpinannya Al-Idrisiyyah telah berkembang hingga memiliki
50 Zawiyah yang tersebar pada 12 Propinsi di Indonesia.
Yang paling besar tentu saja Thariqah
Naqsyabandiyyah Chalidiyyah (TNC), hasil pembaruan dari thariqah
Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid
Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van
Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk
nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang
mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh
Abdullah Barzanjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan
Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah
semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman
Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah
Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga
khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja
(Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).
Setidaknya ada 45 Thariqah NU yang
berstandar, yakni Thariqah yang Mu’tabarah. Hanya mereka yang memenuhi standar
saja yang diperkenankan masuk menjadi Banom NU dalam JATMAN, Jamiyyah Ahluth
Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyyah. Seperti apa standar Thariqah versi NU? KH
Aziz Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar pernah melakukan
penelitian tentang aliran Thariqah di Indonesia. Kesimpulan yang didapat;
keberadaan Thariqah di tanah air ini ada sekitar ribuan. Jumlah itu dianggap
wajar seiring dengan dinamika yang mengelilinginya.
Secara singkat, Kiai Aziz mengemukakan
bahwa kriteria ke mu’tabaran sebuah Thariqah adalah dapat dilihat dari sanad
para Mursyidnya yang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. Demikian pula yang
tidak bisa ditawar adalah ajaran yang disampaikan harus berpedoman pada pakem
NU; yakni dalam fiqh mengikuti salah satu imam empat. Dalam aqidah mengikuti
Imam Asy’ari dan Maturidi.
Jika di andaikan sebuah rumah, maka
Thariqat adalah pondasi paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar
Nahdlatul ulama. Kemudian pesantren, di lapis kedua, dari struktur bangunan organisasi
kemasyarakatan NU. “Karena masuknya Islam ke bumi Nusantara, diawali dengan
masuknya thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar bangunan NU. Kekuatan
inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah jama’ah dan jamiyyahnya,”
demikian diungkapkan Ro’is A’am Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’Tabarah An
Nahdliyah, KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya.
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa
agama Islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang
kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara dan Afrika
Selatan bahkan di Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu
gelar yang diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu
Islam di daerah itu, seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh Abdurrauf Singkly,
Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi; sebagai orang-orang yang
sangat berjasa dalam pengembangan Islam di sana. Demikian pula di Jawa,
terkenal dengan Walisongonya sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan
Islam. Dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan hanya untuk menjelaskan
bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak jasa dan pengorbanannya dalam
pengembangan Islam di dunia. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun
berbeda adat dan budaya maupun bahasa mereka berbaur dengan masyarakat dengan
hati dan jiwa suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah dan Rasul-Nya
difahami.
“Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama
tasawuf , bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari
sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan
Tuhan lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf
dikenal dengan istilah tarekat,” urai habib yang memiliki puluhan juta jama’aah
ini. (***)
Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang
Masa
Dari
masa
ke masa ulama-ulama Nusantara telah
lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di
Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama
Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk
menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme
John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual
Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama
Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat
pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam. Gerakan
ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai
lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut
kemudian berkembang menjadi gerakan modern.
Jejaring ulama Nusantara ini
sudah lama diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The
Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and
Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”.
Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah,
Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar
Ph.D. Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh,
bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah
sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam
kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur
Tengah. Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara
Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ‘ilm, mata rantai emas sanad
keilmuan-red) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam dari
tempat Nabi Muhammad SAW berasal, yakni daratan tanah Arab (Timur Tengah).
Dalam realitas kesejarahan,
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki
keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar
dilandasi oleh faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8
hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih
sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir
abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas.
Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah
juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin
hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada
abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara
Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor
politis.
Kenyataan ini sebagai akibat
dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol
dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di
Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani.
Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan
para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini,
kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian sejak paruh
kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di
Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan
sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian
historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat
menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi
dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta
sarjana modern. Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan
periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya
juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan
memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama
terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan
ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di
Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas
keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama
Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana
pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di
wilayah Islam Nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada
dua istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra
dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan
menentukan. Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara
para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk
melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little
tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi
besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara
ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata Transmisi.
Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang
untuk menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari
daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan
ke berbagai daerah lainnya. Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya
yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu
serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat
keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi
(Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan
pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi
perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan
sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang
mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di
Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17,
terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada
aspek sosial-intelektual (keilmuan).
Kedua, tertolaknya suatu asumsi
yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam.
Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis
dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini
bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang
merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya
perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih
(fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan
serta peranan masing-masing.
Dengan adanya kesadaran yang
demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru,
yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme. Ketiga, adanya peranan serta
keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada
taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke
wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran
dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang
terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai
dunia Muslim.
Demikian pula dengan
perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam
Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang
terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan
mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan
tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan
disebarkan ke wilayah asalnya. Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik
melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan
Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui
gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India
(Gujarat), sebagian lain dari China ( melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang
diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik
benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan
dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan
internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah). Berbagai kebijakan yang diambil
dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan
efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara
mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah
lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi,
sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini.
Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada
neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran
pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama Nusantara pada masa itu antara
lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili
(1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari
(1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad
Al Banjari (w.1777) dll.
Sementara jaringan ulama beserta
langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia
pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku
Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll , ulama-ulama Padri di bawah komando
Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah
Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan
H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum
meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan Islam
pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak
ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial)
kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19,
ulama-ulama pesantren di Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain
di Makkah Madinah (Haramain) konsolidasi juga dilakukan di Nusantara,
misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik
Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan
tanah dan bangsa Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur
Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang
telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan
terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19
dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah
suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup
detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari
mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal
tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus
jejaring ulama nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara
sebelumnya.
Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan,
seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi
ulama-ulama nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain
dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di
Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru
nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan
bergeraknya jejaring yang telah dibangun. Dari Kalimantan muncul Syekh Khatib
As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera
muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh
Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis,
dari Jawa muncul Syekh Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi ,
Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin
Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani,
Syekh Mahfudz Termas, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa
Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19 yang berada
di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama nusantara.
Poros ulama Nusantara di
Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama
semisal Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh
Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi,
Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin
Pancor , Lombok NTB) , KH Ahmad Sanusi Sukabumi Gunung Puyuh Sukabmi, Guru Mansur
Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri, Dr.
Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah
satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan Haji Mohammad
Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh
Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu,
dll.
Ulama-ulama inilah yang
dikemudian hari menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros
tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba
ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus
intelektual dan perbedaan garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki
kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam
meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna
perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat,
simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros
untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan
simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu
(intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan
kyai-kyai di Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad
Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis),
Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok
Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937,
Sayid Idrus (Guru
Tua) dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam
di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru
Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki Cipinang
Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah
Syafi’i, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari
intelektual muslim, tampil
Dr Moh Hatta , KH Wakhid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan
Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya,
koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan
utama pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new
emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik
pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam
tradisional dan gerakan Islam moderat.
Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang
hingga kini telah mewarnai, bentuk dan
serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi dan sosial
budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI . (***)
Peran
Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di Indonesia
Hasil penyebaran Islam tahap
awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran
Islam antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama
pesantren. Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti
orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa
pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan
akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau
sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut
Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang
kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan
Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka
dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain
bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah
pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang,
meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren
para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan
bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani.
(Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren
sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir
abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa
awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren
adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan
masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada
gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden
Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning,
Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta.
Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur.
Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri
di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden
Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat
kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di
Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van
Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan
Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat
informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran
dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang
haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari
di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah
juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat
berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya.
Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan
pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad
pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid
difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae
(Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang
diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan,
warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi
Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan
penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa
Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu
zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad
ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22).
Sedang sejarah pesantren di
Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama
Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten.
Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama
lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di
bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal
dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki
Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang
sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan
pesantren membekali santrinya dengan ilmu hidup, mengajari mereka
berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku
memahami peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini
penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya
esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan
manusia,” ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim
Saifuddin mengapresiasi kiprah pondok pesantren sebagai jantung
pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi.
Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren
itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan,
rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait
keilmuan” tutur Menag. Keikhlasan
para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal
ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut
dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak
bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap
mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa
entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai,
baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang
mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri
mempunyai jiwa kethawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada
kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang
menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud
adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam
kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya.
Bebas di sini, tambah Menag,
adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya
tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering
kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan
dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk
tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena,
apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,” urai Menag panjang
lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi
pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini
ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh
agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai
penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi
santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan
spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan
wali dipandang sebagi bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual.
Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai
dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia
dan akhirat. (Brunessen, 1999:20).(***)