Minggu, 13 September 2015

Pengantar Penulis


Pengantar Penulis

                                                                                                                                    

Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga , sahabat dan pengikut setia beliau hingga hari kemudian.

Pembaca yang budiman yang semoga senantiasa di Rahmati Allah SWT, pada kesempatan kali ini penulis mencoba menyajikan kumpulan ulama-ulama terkemuka Nusantara sejak kedatangan Islam masuk Indonesia. Ada banyak sekali ulama-ulama dari Indonesia yang menjadi rujukan bagi umat Islam dunia. Sumbangan pemikiran dan intelektual muslim Indonesia itu tidak saja mewarnai khazanah Islam Indonesia namun juga Dunia. Di mana mereka menyambung mata rantai  khazanah Islam dan berkembang hingga kini.

Dengan dibukukan semoga karya dan sumbangsih ulama-ulama terkemuka nusantara itu dapat dijadikan referensi dan dapat dijadikan rujukan lebih lanjut dalam khazanah Islam Nusantara.

Demikian pengantar penulis dalam penerbitan buku “Jejaring Ulama-Ulama Nusantara Terkemuka”semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian.



Penulis



Aji Setiawan


















BAB I
Sejarah Islam Indonesia


























Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia

Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli.

Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain.
Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia.
Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, aorang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24).
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75)
Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur.
Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25)
Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76).
Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan.
Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.)
Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India.
Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77).
Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.).
Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.)
Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu.
Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain.
SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25).
Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26).
Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.)
Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya.
Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i. (Suryanegara, 91)
Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.)
Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia.
Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X.
Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir.
Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28).
Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54)
Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30).
Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82).
Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82)
Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur.
Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92).
Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia.
Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir.
Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13.
Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai.
Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia.
Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia.
Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***)







































Masuknya Thariqah dan Perkembangannya di Indonesia

Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara.

Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah  Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan  rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan khawarij, syiah, dan zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak  dengan  motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat  bahwa kehidupan rohani yang terjaga  dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati)  itu pula yang belakangan mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan  yang terbentang dari  daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.
Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan  sebagian  kaum muslimin yang semata- mata berusaha  mengendalikan jiwa mereka  dan menempuh cara hidup unuk mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya  oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat unuk  mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat  ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah).
Dengan isilah lain, laku batin yang mereka tempuh  dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi  hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata caa kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh  berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf  atau sufisme.
Bersamaan munculnya Tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi. Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran. Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk  menyebut suatu  pembimbingan pribadi dan perilaku  yang dilakukan oleh seorang guru musyid  kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Pada perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, Alawiyyah dan lain sebagainya.

Mursyid Thariqah
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran  Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.
 Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain.
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW.
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi.
 Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain.
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. 
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.  Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air.
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim.
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.  Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.
Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. 
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya. 
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).  
Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman) .Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW.  Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka.  
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.  
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke nusantara di seputar abad 19-20. Seperti Nama Al-Idrisiyyah dinisbatkan kepada salah seorang Mursyid Al-Idrisiyyah yang bernama Syekh Ahmad bin Idris Ali Al-Masyisyi Al-Yamlakhi Al-Hasani. (1760 - 1837), salah seorang Mujaddid (Neo Sufisme) yang berasal dari Maroko (Maghribi). Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini adalah nama ayah dari pendirinya. Syekh Ahmad bin Idris dikenal sebagai sosok Ulama yang berhasil memadukan dua aspek lahir (syari’at) dan batin (hakikat). Ia juga dikenal sebagai pembaharu dalam dunia tasawuf dari penyelewengan kaum kebatinan seperti tahayul, khurafat, dll.
Tarekat Sanusiyyah dibawa ke Indonesia oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah tahun 1932. Dia menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi (1875-1933) di Jabal Qubais (Mekkah) dan berguru selama 4 tahun. Kemudian dengan beberapa alasan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah mengganti nama tarekatnya menjadi Tarekat Idrisiyyah.Sejak masuknya ke Indonesia pada masa penjajahan, Tarekat ini sudah mengalami 4 kepemimpinan. Saat ini tampuk pimpinan tarekat dipegang oleh Syekh Muhammad Fathurahman, M.Ag. Dalam masa kepemimpinannya Al-Idrisiyyah telah berkembang hingga memiliki 50 Zawiyah yang tersebar pada 12 Propinsi di Indonesia.
Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Chalidiyyah (TNC), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzanjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air.
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).  
Setidaknya ada 45 Thariqah NU yang berstandar, yakni Thariqah yang Mu’tabarah. Hanya mereka yang memenuhi standar saja yang diperkenankan masuk menjadi Banom NU dalam JATMAN, Jamiyyah Ahluth Thariqah Al Mu’tabarah Al Nahdliyyah. Seperti apa standar Thariqah versi NU? KH Aziz Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar pernah melakukan penelitian tentang aliran Thariqah di Indonesia. Kesimpulan yang didapat; keberadaan Thariqah di tanah air ini ada sekitar ribuan. Jumlah itu dianggap wajar seiring dengan dinamika yang mengelilinginya.
Secara singkat, Kiai Aziz mengemukakan bahwa kriteria ke mu’tabaran sebuah Thariqah adalah dapat dilihat dari sanad para Mursyidnya yang muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. Demikian pula yang tidak bisa ditawar adalah ajaran yang disampaikan harus berpedoman pada pakem NU; yakni dalam fiqh mengikuti salah satu imam empat. Dalam aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi.
Jika di andaikan sebuah rumah, maka Thariqat adalah pondasi paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar Nahdlatul ulama. Kemudian pesantren, di lapis kedua,  dari struktur bangunan organisasi kemasyarakatan NU. “Karena masuknya Islam ke bumi Nusantara, diawali dengan masuknya thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar bangunan NU. Kekuatan inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah jama’ah dan jamiyyahnya,” demikian diungkapkan Ro’is A’am Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’Tabarah An Nahdliyah, KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya.
Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa agama Islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara dan Afrika Selatan bahkan di Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu Islam di daerah itu, seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh Abdurrauf Singkly, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi; sebagai orang-orang yang sangat berjasa dalam pengembangan Islam di sana. Demikian pula di Jawa, terkenal dengan Walisongonya sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan hanya untuk menjelaskan bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak jasa dan pengorbanannya dalam pengembangan Islam di dunia. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat dan budaya maupun bahasa mereka berbaur dengan masyarakat dengan hati dan jiwa suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah dan Rasul-Nya difahami.
“Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf , bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tarekat,” urai habib yang memiliki puluhan juta jama’aah ini. (***)












Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa

Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme

John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah,  kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam. Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan modern.
Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah. Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ‘ilm, mata rantai emas sanad keilmuan-red) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam dari tempat Nabi Muhammad SAW berasal, yakni daratan tanah Arab (Timur Tengah).
Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas. Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis.
Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian sejak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan.
Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition.
Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara.
Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra  dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan. Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah).
Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya. Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing.
Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena,  pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan). 
Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing.
Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme. Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim.
Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya. Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China ( melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah). Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain.
Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama Nusantara pada masa itu antara lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777) dll.
Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll , ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial) kompeni Belanda.
Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah Madinah (Haramain)  konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya.
Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya.
Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun. Dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi , Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani,  Syekh Mahfudz Termas, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama nusantara.
Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang,   Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi, Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin Pancor , Lombok NTB) , KH Ahmad Sanusi Sukabumi Gunung Puyuh Sukabmi, Guru Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri,  Dr. Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu, dll.
Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan.
Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai di Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafi’i, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Wakhid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya.
Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional  dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini  telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI . (***)





















Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di Indonesia


Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22).
Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22)
Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren  membekali santrinya dengan ilmu hidup,  mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan.
Dari pesantren, Menag mengaku memahami  peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi kiprah  pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag. Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa kethawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya. 
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,” urai Menag panjang lebar.
Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib.
Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagi bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20).(***)