Senin, 18 Januari 2016

Ke Purbalingga



Mengangkat Potensi Wisata Religi Di Purbalingga
Sekarang ini, memang wisata religi menjadi sorotan banyak orang. Wisata religi selama ini telah terjebak dalam stigma komersialisasi dan industrialisasi. Perbuatan seperti ini tentunya akan menyesatkan umat, yang awalnya berpikir bahwa ajaran Islam yang utama adalah untuk menyediakan “makanan” rohani bagi umat. Kenyataan yang ada sekarang justru sebaliknya, wisata religi hanya menyuplai produk konsumtif sekaligus menjungkirbalikan logika waras para penganut ziarah dan pencinta wisata religi.
Menggagas wisata religi di Purbalingga dapat mengangkat lebih tinggi lagi destinasi wisata di Purbalingga. Di samping itu, wisata religi juga dapat menarik para wisatawan baik lokal maupun nasional bahkan internasional. Hal tersebut tentu akan membawa dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat Purbalingga. Wisata religi juga akan berakibat pada tumbuh dan berkembangnya ekonomi masyarakat Purbalingga.
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah berada di antara cekungan-cekungan dari beberapa rangkaian pegunungan yang ada di sekitarnya. Di sebelah Utara merupakan rangkaian pegunungan dari Gunung Slamet dan dataran tinggi Dieng, sedangkan bagian Selatan merupakan Depresi Serayu yang dialiri oleh dua sungai besar yaitu kali   dan anak sungainya yaitu kali Pekacangan. Dari kali Pekacangan ini bertemu anak sungai Klawing dan akhirnya bermuara menjadi satu menjadi sungai Serayu. Saat ini potensi batu akik sungai Klawing sedang booming, setelah pesona batu pancawarna dan nagasui menjadi juara internasional di majalah Gamstone. Selain potensi batu pancawarna Klawing, ada juga potensi batu akik bahkan batu warna yang ada di Kec Karanganyar, Mrebet, Karangmoncol dan  Rembang serta sepanjang sungai Pekacangan.
Ada beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal sampai ke daerah di luar kabupaten Purbalingga, dan juga digemari oleh kebanyakan orang. Kabupaten Purbalingga sendiri merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kotanya yaitu Purbalingga. Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan Kabupaten Pemalang di sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara di sebelah Timur dan Selatan, serta berbatasan dengan Kabupaten Banyumas di sebelah Barat dan Selatan. Secara geografi, Kabupaten Purbalingga terbentang pada altitude + 40 sampai 1.500 meter diatas permukaan laut.
Ibu kota Kabupaten Purbalingga yakni Purbalingga yang berada di sekitar 21 km sebelah Timur Laut Purwokerto. Di Kabupaten Purbalingga ada terdapat banyak industri, seperti industri bulu mata dan wig serta industri knalpot sebagai alternatif suku cadang murah. Selain terdapat banyak industri, ada pula beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal sampai keluar daerah Purbalingga semacam Objek Wisata Owabong (Bojongsari), Gua Lawa (Karangreja), Monumen Jendral Sudirman (Rembang), Wisata Air Congot (Kemangkon) dan lain-lain.
Namun   selain objek wisata yang sudah menasional itu, ada potensi wisata yang belum digarap secara serius, yakni wisata religi.  Menggagas lahirnya wisata religi di Purbalingga dengan dikemas berbagai macam keunikan dan keunggulan (baik kompetitif dan defiratif) yang ada, adalah salah satu pekerjaan rumah Pemerintah untuk dapat membuka lapangan kerja baru di Purbalingga. Wisata religi juga akan dapat menyentuh langsung perekonomian rakyat Purbalingga. Karena peninggalan sejarah Purbalingga bersentuhan langsung dengan penduduk setempat. Maka, wisata religi adalah gagasan yang harus dipikirkan dengan baik oleh seluruh stekholder di Purbalingga
Selain itu, wisata religi di Purbalingga juga dapat meningkatkan hasil yang maksimal untuk sektor pariwisata di Purbalingga. Karena kelihatannya, sektor pariwisata belum digarap serius oleh Pemerintah. Padahal kalau dilihat, seharusnya Purbalingga layak dijadikan sebagai daerah potensi pariwisata dan pendidikan. Tentu harus didesain dengan bingkai ke-Islam-an, agar wisata di Purbalingga harus berbeda dengan wisata-wisata di daerah lain. Oleh karena itu, sektor pariwisata harus digarap dengan serius, seperti industri wisata religi yang dapat meningkatkan pemahaman wisatawan tentang sejarah Islam di Purbalingga, Jawa Tengah.
Sebenarnya yang dimaksud dengan wisata religi itu? Dari penamaan ini, tampak jelas bagi kita bahwa wisata ini dimaksudkan untuk memperkaya wawasan keagamaan dan memperdalam rasa spiritual kita. Karena bagaimanapun, ini adalah perjalanan keagamaan yang ditujukan untuk memenuhi dahaga spiritual, agar jiwa yang kering kembali basah oleh hikmah-hikmah religi. Jadi ini bukan wisata biasa yang hanya dimaksudkan untuk bersenang-senang, menghilangkan kepenatan pikiran, semacam dengan pergi ke tempat hiburan.
Dengan demikian, maka semestinya tujuan wisata religi tidaklah sempit, namun memiliki cakupan yang sangat luas, dan sifatnya cukup personal. Artinya tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata religi tidak terbatas pada makam-makam para wali saja, namun mencakup setiap tempat yang bisa menggairahkan cita rasa religiusitas kita, atau bisa menyegarkan dahaga spiritual kita, baik itu pemakaman para wali, museum-museum kesejarahan Islam, tempat-tempat bersejarah, atau tempat apapun yang bisa menyampaikan kita pada tujuan yang dikehendaki dalam wisata religi itu. Tergantung kecendrungan kejiwaan masing-masing orang.
Namun sebagaimana diketahui secara umum, bahwa pada tataran praktis, masyarakat memahami dan menjalani wisata religi ini hanya dengan cara berziarah dan mengunjungi makam-makam para wali saja, baik wali songo maupun yang lain. Tentu saja ini telalu sempit untuk menjelaskan wisata religi dalam tataran praktis. Lalu apakah wisata religi dengan mengunjungi makam para wali ini tidak tepat sasaran? Tentu saja tidak demikian. Namun pertanyaannya adalah, apakah ziarah wali yang dilakukan selama ini sudah memenuhi maksud dan tujuan yang semestinya wisata religi itu?
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi disebutkan, bahwa Nabi bersabda yang artinya,”Aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun sekarang, lakukanlah ziarah kubur itu. Karena hal itu bisa mengingatkan kalian pada akhirat.” Dalam Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani dicantumkan Hadis yang artinya, “aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun sekarang, lakukanlah ziarah kubur itu. Karena dalam ziarah kubur itu terdapat ibrah.”
Jadi, apakah selama ini tampak jelas bagi kita bahwa tujuan ziarah kubur ini telah tercapai dalam wisata religi yang kita jalani, sesuai dengan tujuan yang direkomendasikan dalam Hadis di atas? Adakah para peserta wisata religi mengingat akhirat pada saat berkunjung ke ziarah wali, dan mengalami peningkatan spiritual setelah ziarah itu? Dan seberapa banyak ibrah atau pelajaran yang diambil dari mengunjungi makam para wali itu?
Sepintas, tanpa melihat masing-masing person peserta wisata religi, dari tampilan luar kita melihat tujuan ini masih belum tercapai. Tampaknya wisata ke makam para wali masih sebatas dijalani sebagai perjalanan biasa, untuk sekedar ingin tahu, atau untuk memenuhi hajat duniawi, ngalap barakah dengan meletakkan botol air mineral di sekeliling makam, dan semacamnya, dan sepertinya belum ada ibrah apapun yang didapat dari kunjungan wisata religi ini, yang bisa membuat lebih dekat kepada Allah, ingat mati, takut akan siksa kubur dan siksa neraka.
Buktinya, rata-rata keadaan peserta wisata religi tak mengalami perubahan apapun dari sebelum menjalanin perjalanan spiritual ini. Bahkan banyak yang ketika berada di sekitar makam para wali tidak mengaji dan tidak membaca doa apapun, namun hanya berkeliling di lokasi itu, berpose ria kesana kemari, berbelanja ini dan itu, hanya makan-makan, hanya cengar-cengir dan cengengesan, menikmati keunikan budaya lokal, dan semacamnya.
Bahkan, kini rata-rata lokasi makam para wali lebih mengesankan lokasi pasar ketimbang lokasi pemakaman, sehingga suasana ini jelas sangat berpengaruh terhadap suasana kejiwaan dan rasa yang ditangkap oleh para pengunjung. Padahal dalam wisata religi, mestinya suasana kejiwaan dan kesan spiritual sangat penting. Maka dari itu wajar jika di sini mereka tak menangkap suasana sakral sama sekali. Lalu bagaimana bisa para pengunjung akan mengingat akhirat, berpikir tentang kematian, dan mengambil pelajaran dari orang yang sudah meninggal?
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa betapapun tren wisata religi yang tengah berkembang dewasa ini adalah baik, namun bukan berarti ini telah benar-benar sejalan dengan semestinya. Karena itu, tradisi ini masih harus menjalani proses yang cukup panjang, dan memerlukan perbaikan-perbaikan dan koreksi, agar bisa sesuai dengan tujuan wisata religi yang sebenarnya. Untuk itu, berbagai elemen masyarakat yang terlibat perlu melakukan pembenahan-pembenahan, baik pihak yang menangani tempat tujuan wisata religi maupun pihak yang mengunjunginya.
Di sini penulis mengajukan sedikit usulan, bahwa alangkah sebaiknya jika dalam wisata religi ini pembimbing atau ketua rombongan tidak hanya mengantar peserta rombongan ke lokasi makam, dan bahkan tidak hanya sekedar memimpin bacaan tahlil, akan tetapi ketua rombongan berperan semacam pembimbing jamaah haji.
Jadi di sini, sebelumnya ketua rombongan juga perlu menerangkan apa tujuan sebenarnya ke makam para wali ini, kenapa kita perlu ziarah, dan seterusnya. Saat di lokasi makam wali, ia juga perlu menerangkan sekilas tentang perjuangan dakwah wali bersangkutan, sejarahnya, rintangan-rintangan yang dihadapinya, dan seterusnya. Setelah itu, ia juga perlu menerangkan kepada rombongan mengenai hikmah apa yang bisa dipetik dari perjalanan ziarah wali ini, serta apa saja yang perlu dilakukan oleh peserta ziarah setelah melakukan perjalanan ini.
Dengan demikian, tentu akan ada sesuatu yang berbeda yang bisa ditangkap dan dirasakan oleh para peserta ziarah wali atau wisata religi ini, baik pada saat mereka berangkat, ketika berada di lokasi, maupun setelah usai dari perjalanan ini. Karena perjalanan religi hanya bisa berarti jika si pelaku sudah memahami arti yang dikehendaki.
Hal tersebut tentu akan berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru di Purbalingga. Bagi para peziarah, wisata ruhani dari makam ke makam di Purbalingga biasanya, para peziarah ramai datang pada bulan Rabiul Awal (Maulid), Syawal (Idul Fitri), menjelang musim haji dan bulan Ramadan. Peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sebagai wisata religi potensial bagi Purbalingga, misalkan: Masjid Agung Darussalam, Masjid Laksamana Cheng Ho (Bobotsari), Masjid dan makam Wali Prakosa Pekiringan (Karang Moncol), Makam Nyai Rubiah Bekti (Kramat, Karang Moncol), Museum Jendral Sudirman, Gua Lawa (Karangreja), Makam Sayid Mansyur (Sumampir, Karang Moncol), Makam Kyai Pekeh (Grantung, Karangmoncol), Makam Nyai Rubiah Sekar Bekti (Putri Syekh Atas Angin di Gunung Wuled, Rembang), Makam Syekh Haji Datuk (Rajawana, Karangmoncol), Makam Syekh Mahdum Cahyana Sura (Grantung, Karangmoncol), Masyarakat Aboge (Mrebet), Pendopo dan makam KH Muhammad Irsyad (Maribaya, Karanganyar), Petilasan Syekh Jambu Karang, dll. 
Potensi wisata religi ini sangat perlu ditingkatkan, agar tidak ‘njomplang’ dengan potensi wisata unggulan pemandian dan kolam renang ‘Owabong’(Bojongsari) yang telah mampu meningkatkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Purbalingga sebesar kurang lebih Rp 5 Milyar per tahun.  Hal tersebut dapat terjadi, apabila para pemangku kepentingan di Purbalingga serius untuk mensejahterakan rakyat Purbalingga. Karena itu, bila Pemerintah Purbalingga masih prihatin dengan kondisi masyarakat Purbalingga sekarang, maka mulailah untuk berbenah membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat Purbalingga. Salah satunya harus menjadi fokus utamanya adalah wisata religi.
Wisata religi menjadi sebuah kenikmatan wisata apabila tempat wisatanya nyaman, bersih, murah dan membuang stress.Untuk itu pengembangan tempat-tempat wisata religi dapat dimulai dengan perbaikan jalan akses menuju ke tempat wisata yang selama ini terkesan rusak dan berlubang. Perbaikan, penertiban dan penataan (service public) kemudahan di area lokasi wisata, seperti sarana penginapan, warung, ruko,rumah makan, parkir, tiket dll sudah sangat perlu dilakukan. Pemberdayaan dan  industrialisasi wisata religi ini apabila dikemas secara baik tentu dapat meningkatkan PAD Purbalingga.
Sudah barang tentu pula, gagasan tersebut harus diwujudkan dengan kerja konkret, agar masyarakat dapat merasakan hasil yang nyata. Penulis yakin, bila ini dikembangkan dengan serius, maka akan lahir pengusaha baru di Purbalingga. Karena rentetan efek domino dari pengembangan wisata religi ini tidak hanya sektor pariwisata (bagi pemerintah) saja tapi juga berdampak luas pada potensi ekonomi kerakyatan lokal, seperti pada industri makanan lokal, transportasi, penginapan, batik (pakaian), aksesoris dll secara luas di Kab Purbalingga dan sekitarnya.
Menggagas wisata religi di Purbalingga juga dapat memberi manfaat secara moral kepada para generasi muda Purbalingga mendatang. Tentu dengan wisata religi muda-mudi Purbalingga akan ‘melek’ sejarah Islam di Purbalingga. Karena bila ini tidak digagas secara baik dan konkret, maka dikhawatirkan sejarah Purbalingga akan terlupakan oleh para pemuda. Maka perlu kemasan yang baik dari pemangku kepentingan, Bupati, Gubernur, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan untuk dapat memikirkan maksimal tentang wisata religius di Purbalingga, Jawa Tengah.
Dari paparan tulisan di atas, penulis menyarankan bagaimana  cara mengangkat potensi wisata religi yang ada di Purbalingga dengan cara: Pertama, Pemerintah dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan diharapkan lebih intensif untuk melakukan pembinaan terhadap pengelola objek wisata yang ada di Purbalingga. Dinas Pariwisata diharapkan mampu menyiapkan tenaga- tenaga profesional untuk melakukan pembinaan dan pengelolaan pariwisata yang ada di Purbalingga, terutama objek wisata religi makam-makam wali. Pengembangan objek wisata juga perlu ditingkatkan agar bisa menambah ketertarikan para wisatawan dan wisatawan pun merasa betah dan nyaman. 
Kedua, Pengurus Yayasan Masjid dan Makam para wali diharapkan bisa melakukan promosi terhadap objek wisata religi makam para wali di Purbalingga, mengingat promosi merupakan salah satu hal penting untuk memasarkan objek wisata. Kebersihan di lingkungan dan objek wisata perlu ditingkatkan, agar kenyamanan pengunjung semakin bisa dirasakan. Kerjasama dengan masyarakat sekitar  juga  perlu  ditingkatkan,  terutama  pembinaan  tentang sadar wisata. Masyarakat juga perlu diajak kerjasama dalam rangka pengembangan dan pengamanan objek wisata. Selain itu juga pelayanan kepada pengunjung makam-makam wali juga harus ditingkatkan agar pengunjung  merasa  nyaman,  misalnya  pengurus  Yayasan  Masjid  dan Makam Para wali di Purbalingga melayani pengunjung dengan ramah, dan sebagainya. 
Ketiga, objek wisata religi di Purbalingga merupakan salah satu tujuan wisata bagi masyarakat luas. Kenyataan ini tentunya membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Para wisatawan yang datang ke suatu objek wisata biasanya akan membeli souvenir sebagai kenang-kenangan. Para pedagang souvenir di objek wisata religi makam Para wali di Purbalingga mendapatkan souvenir selama  ini  berasal  dari Pasar Segamas  dan Pasar Bobotsari yang merupakan  pasar  terbesar di Purbalingga. Alangkah baiknya kalau masyarakat sekitar ada yang berani untuk membuat  usaha  souvenir  sendiri.  Pengunjung  juga  akan  lebih  terkesan dengan hasil kerajinan masyarakat sekitar. Hal ini secara tidak langsung juga ikut mempromosikan objek wisata religi makam para wali di Purbalingga kepada masyarakat luas.
Pelayanan kepada para wisatawan hendaknya ditingkatkan agar para wisatawan tersebut merasa dihargai dan merasa senang, misalnya dengan menunjukkan keramahan kepada para pengunjung, menunjukkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat agar para pengunjung juga ikut mengenal nilai-nilai budaya masyarakat di sekitar makam Para wali di Purbalingga. Selain itu juga masyarakat sekitar ikut serta dalam menjaga kebersihan dan keamanan di daerah kompleks makam Para wali di Purbalingga. Semoga ke depan, wisata religi di kawasan Purbalingga semakin baik dan tambah berkembang serta di kenal tidak saja lokal, namun meningkat menjadi kunjungan wisatawan nasional serta mancanegara dari dunia internasional.(***) Aji Setiawan, penulis tinggal Purbalingga Jawa Tengah


Berdamai Dengan Sejarah
 
Al-islah dalam bahasa Arab berarti memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan.

Berusaha menciptakan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dan lainnya, melakukan perbuatan baik berperilaku sebagai orang suci (baik) adalah bentuk-bentuk dari ishlah.

Pengertian yang beragam itu berasal dari makna islah yang disebut dalam Alquran, yaitu dalam Surah Al-Baqarah ayat 220 dan 228, di Surah An-Nisa’ ayat 35 dan 113, Surah Hud ayat 87, serta Surah Al-A'raf ayat 55 dan 85.

Sementara dalam bentuk perintah, kata ini disebutkan lima kali, di dalam Surah Al-A'raf ayat 142, Al-Anfal ayat 1, Al-Hujurat ayat 9 dua kali, dan dalam ayat 10. Dalam bahasa Arab modern, istilah ini digunakan untuk pengertian pembaruan (tajdid).

Islah merupakan kewajiban bagi umat Islam, baik secara personal maupun sosial. Penekanan islah ini lebih terfokus pada hubungan antara sesama umat manusia dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Allah SWT.

Ruang lingkup islah ini sangat luas, mencakup aspek-aspek kehidupan manusia baik pribadi maupun sosial. Dalam hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Ibnu Hibban, dijelaskan bahwa islah yang dilarang adalah menghalalkan yang diharamkan Allah SWT atau mengharamkan yang dihalalkan-Nya.

Di antara islah yang diperintahkan Allah SWT adalah dalam masalah rumah tangga. Untuk mengatasi kemelut dan sengketa dalam rumah tangga, dalam surah An-Nisa’ ayat 35 Allah SWT memerintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami dan istri untuk mendamaikan mereka. (sumber: Republika.co.id)