Mengangkat
Potensi Wisata Religi Di Purbalingga
Sekarang
ini, memang wisata religi menjadi sorotan banyak orang. Wisata religi selama
ini telah terjebak dalam stigma komersialisasi dan industrialisasi. Perbuatan
seperti ini tentunya akan menyesatkan umat, yang awalnya berpikir bahwa ajaran
Islam yang utama adalah untuk menyediakan “makanan” rohani bagi umat. Kenyataan
yang ada sekarang justru sebaliknya, wisata religi hanya menyuplai produk
konsumtif sekaligus menjungkirbalikan logika waras para penganut ziarah dan
pencinta wisata religi.
Menggagas
wisata religi di Purbalingga dapat mengangkat lebih tinggi lagi destinasi
wisata di Purbalingga. Di samping itu, wisata religi juga dapat menarik para
wisatawan baik lokal maupun nasional bahkan internasional. Hal tersebut tentu
akan membawa dampak yang baik bagi perekonomian masyarakat Purbalingga. Wisata
religi juga akan berakibat pada tumbuh dan berkembangnya ekonomi masyarakat Purbalingga.
Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah berada di antara
cekungan-cekungan dari beberapa rangkaian pegunungan yang ada di sekitarnya. Di
sebelah Utara merupakan rangkaian pegunungan dari Gunung Slamet dan dataran
tinggi Dieng, sedangkan bagian Selatan merupakan Depresi Serayu yang dialiri
oleh dua sungai besar yaitu kali dan anak sungainya yaitu kali Pekacangan. Dari
kali Pekacangan ini bertemu anak sungai Klawing dan akhirnya bermuara menjadi
satu menjadi sungai Serayu. Saat ini potensi batu akik sungai Klawing sedang
booming, setelah pesona batu pancawarna dan nagasui menjadi juara internasional
di majalah Gamstone. Selain potensi batu pancawarna Klawing, ada juga potensi
batu akik bahkan batu warna yang ada di Kec Karanganyar, Mrebet, Karangmoncol
dan Rembang serta sepanjang sungai
Pekacangan.
Ada beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal
sampai ke daerah di luar kabupaten Purbalingga, dan juga digemari oleh
kebanyakan orang. Kabupaten Purbalingga sendiri merupakan salah satu kabupaten
yang ada di Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kotanya yaitu Purbalingga.
Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan Kabupaten Pemalang di sebelah Utara, berbatasan
dengan Kabupaten Banjarnegara di sebelah Timur dan Selatan, serta berbatasan
dengan Kabupaten Banyumas di sebelah Barat dan Selatan.
Secara geografi, Kabupaten Purbalingga terbentang pada altitude + 40 sampai
1.500 meter diatas permukaan laut.
Ibu kota Kabupaten Purbalingga yakni Purbalingga yang
berada di sekitar 21 km sebelah Timur Laut Purwokerto. Di Kabupaten Purbalingga ada
terdapat banyak industri, seperti industri bulu mata dan wig serta industri
knalpot sebagai alternatif suku cadang murah. Selain terdapat banyak industri,
ada pula beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal sampai keluar
daerah Purbalingga semacam Objek Wisata Owabong (Bojongsari), Gua Lawa (Karangreja), Monumen
Jendral Sudirman (Rembang), Wisata Air Congot (Kemangkon) dan lain-lain.
Namun selain objek wisata yang sudah menasional
itu, ada potensi wisata yang belum digarap secara serius, yakni wisata
religi. Menggagas lahirnya wisata religi
di Purbalingga dengan dikemas berbagai macam keunikan dan keunggulan (baik
kompetitif dan defiratif) yang ada, adalah salah satu pekerjaan rumah
Pemerintah untuk dapat membuka lapangan kerja baru di Purbalingga. Wisata
religi juga akan dapat menyentuh langsung perekonomian rakyat Purbalingga.
Karena peninggalan sejarah Purbalingga bersentuhan langsung dengan penduduk
setempat. Maka, wisata religi adalah gagasan yang harus dipikirkan dengan baik
oleh seluruh stekholder di Purbalingga
Selain
itu, wisata religi di Purbalingga juga dapat meningkatkan hasil yang maksimal untuk
sektor pariwisata di Purbalingga. Karena kelihatannya, sektor pariwisata belum
digarap serius oleh Pemerintah. Padahal kalau dilihat, seharusnya Purbalingga
layak dijadikan sebagai daerah potensi pariwisata dan pendidikan. Tentu harus
didesain dengan bingkai ke-Islam-an, agar wisata di Purbalingga harus berbeda
dengan wisata-wisata di daerah lain. Oleh karena itu, sektor pariwisata harus
digarap dengan serius, seperti industri wisata religi yang dapat meningkatkan
pemahaman wisatawan tentang sejarah Islam di Purbalingga, Jawa Tengah.
Sebenarnya
yang dimaksud dengan wisata religi itu? Dari penamaan ini, tampak jelas bagi
kita bahwa wisata ini dimaksudkan untuk memperkaya wawasan keagamaan dan
memperdalam rasa spiritual kita. Karena bagaimanapun, ini adalah perjalanan
keagamaan yang ditujukan untuk memenuhi dahaga spiritual, agar jiwa yang kering
kembali basah oleh hikmah-hikmah religi. Jadi ini bukan wisata biasa yang hanya
dimaksudkan untuk bersenang-senang, menghilangkan kepenatan pikiran, semacam dengan
pergi ke tempat hiburan.
Dengan
demikian, maka semestinya tujuan wisata religi tidaklah sempit, namun memiliki
cakupan yang sangat luas, dan sifatnya cukup personal. Artinya tempat-tempat
yang menjadi tujuan wisata religi tidak terbatas pada makam-makam para wali
saja, namun mencakup setiap tempat yang bisa menggairahkan cita rasa
religiusitas kita, atau bisa menyegarkan dahaga spiritual kita, baik itu
pemakaman para wali, museum-museum kesejarahan Islam, tempat-tempat bersejarah,
atau tempat apapun yang bisa menyampaikan kita pada tujuan yang dikehendaki
dalam wisata religi itu. Tergantung kecendrungan kejiwaan masing-masing orang.
Namun
sebagaimana diketahui secara umum, bahwa pada tataran praktis, masyarakat
memahami dan menjalani wisata religi ini hanya dengan cara berziarah dan
mengunjungi makam-makam para wali saja, baik wali songo maupun yang lain. Tentu
saja ini telalu sempit untuk menjelaskan wisata religi dalam tataran praktis. Lalu
apakah wisata religi dengan mengunjungi makam para wali ini tidak tepat
sasaran? Tentu saja tidak demikian. Namun pertanyaannya adalah, apakah ziarah
wali yang dilakukan selama ini sudah memenuhi maksud dan tujuan yang semestinya
wisata religi itu?
Dalam
sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi disebutkan, bahwa Nabi
bersabda yang artinya,”Aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun
sekarang, lakukanlah ziarah kubur itu. Karena hal itu bisa mengingatkan kalian
pada akhirat.” Dalam Mu’jam al-Kabir karya Imam ath-Thabrani dicantumkan Hadis
yang artinya, “aku telah melarang kalian untuk ziarah kubur. Namun sekarang,
lakukanlah ziarah kubur itu. Karena dalam ziarah kubur itu terdapat ibrah.”
Jadi,
apakah selama ini tampak jelas bagi kita bahwa tujuan ziarah kubur ini telah
tercapai dalam wisata religi yang kita jalani, sesuai dengan tujuan yang
direkomendasikan dalam Hadis di atas? Adakah para peserta wisata religi
mengingat akhirat pada saat berkunjung ke ziarah wali, dan mengalami
peningkatan spiritual setelah ziarah itu? Dan seberapa banyak ibrah atau pelajaran
yang diambil dari mengunjungi makam para wali itu?
Sepintas,
tanpa melihat masing-masing person peserta wisata religi, dari tampilan luar
kita melihat tujuan ini masih belum tercapai. Tampaknya wisata ke makam para
wali masih sebatas dijalani sebagai perjalanan biasa, untuk sekedar ingin tahu,
atau untuk memenuhi hajat duniawi, ngalap barakah dengan meletakkan botol air
mineral di sekeliling makam, dan semacamnya, dan sepertinya belum ada ibrah
apapun yang didapat dari kunjungan wisata religi ini, yang bisa membuat lebih
dekat kepada Allah, ingat mati, takut akan siksa kubur dan siksa neraka.
Buktinya,
rata-rata keadaan peserta wisata religi tak mengalami perubahan apapun dari
sebelum menjalanin perjalanan spiritual ini. Bahkan banyak yang ketika berada
di sekitar makam para wali tidak mengaji dan tidak membaca doa apapun, namun
hanya berkeliling di lokasi itu, berpose ria kesana kemari, berbelanja ini dan
itu, hanya makan-makan, hanya cengar-cengir dan cengengesan, menikmati keunikan
budaya lokal, dan semacamnya.
Bahkan,
kini rata-rata lokasi makam para wali lebih mengesankan lokasi pasar ketimbang
lokasi pemakaman, sehingga suasana ini jelas sangat berpengaruh terhadap
suasana kejiwaan dan rasa yang ditangkap oleh para pengunjung. Padahal dalam
wisata religi, mestinya suasana kejiwaan dan kesan spiritual sangat penting.
Maka dari itu wajar jika di sini mereka tak menangkap suasana sakral sama
sekali. Lalu bagaimana bisa para pengunjung akan mengingat akhirat, berpikir
tentang kematian, dan mengambil pelajaran dari orang yang sudah meninggal?
Dari
sini bisa disimpulkan, bahwa betapapun tren wisata religi yang tengah
berkembang dewasa ini adalah baik, namun bukan berarti ini telah benar-benar
sejalan dengan semestinya. Karena itu, tradisi ini masih harus menjalani proses
yang cukup panjang, dan memerlukan perbaikan-perbaikan dan koreksi, agar bisa
sesuai dengan tujuan wisata religi yang sebenarnya. Untuk itu, berbagai elemen
masyarakat yang terlibat perlu melakukan pembenahan-pembenahan, baik pihak yang
menangani tempat tujuan wisata religi maupun pihak yang mengunjunginya.
Di
sini penulis mengajukan sedikit usulan, bahwa alangkah sebaiknya jika dalam
wisata religi ini pembimbing atau ketua rombongan tidak hanya mengantar peserta
rombongan ke lokasi makam, dan bahkan tidak hanya sekedar memimpin bacaan
tahlil, akan tetapi ketua rombongan berperan semacam pembimbing jamaah haji.
Jadi
di sini, sebelumnya ketua rombongan juga perlu menerangkan apa tujuan
sebenarnya ke makam para wali ini, kenapa kita perlu ziarah, dan seterusnya.
Saat di lokasi makam wali, ia juga perlu menerangkan sekilas tentang perjuangan
dakwah wali bersangkutan, sejarahnya, rintangan-rintangan yang dihadapinya, dan
seterusnya. Setelah itu, ia juga perlu menerangkan kepada rombongan mengenai
hikmah apa yang bisa dipetik dari perjalanan ziarah wali ini, serta apa saja
yang perlu dilakukan oleh peserta ziarah setelah melakukan perjalanan ini.
Dengan
demikian, tentu akan ada sesuatu yang berbeda yang bisa ditangkap dan dirasakan
oleh para peserta ziarah wali atau wisata religi ini, baik pada saat mereka
berangkat, ketika berada di lokasi, maupun setelah usai dari perjalanan ini.
Karena perjalanan religi hanya bisa berarti jika si pelaku sudah memahami arti
yang dikehendaki.
Hal
tersebut tentu akan berdampak pada terbukanya lapangan kerja baru di
Purbalingga. Bagi para peziarah, wisata ruhani dari makam ke makam di
Purbalingga biasanya, para peziarah ramai datang pada bulan Rabiul Awal
(Maulid), Syawal (Idul Fitri), menjelang musim haji dan bulan Ramadan. Peninggalan
sejarah yang dapat dijadikan sebagai wisata religi potensial bagi Purbalingga,
misalkan: Masjid Agung Darussalam, Masjid Laksamana Cheng Ho (Bobotsari), Masjid
dan makam Wali Prakosa Pekiringan (Karang Moncol), Makam Nyai Rubiah Bekti
(Kramat, Karang Moncol), Museum Jendral Sudirman, Gua Lawa (Karangreja), Makam
Sayid Mansyur (Sumampir, Karang Moncol), Makam Kyai Pekeh (Grantung,
Karangmoncol), Makam Nyai Rubiah Sekar Bekti (Putri Syekh Atas Angin di Gunung
Wuled, Rembang), Makam Syekh Haji Datuk (Rajawana, Karangmoncol), Makam Syekh
Mahdum Cahyana Sura (Grantung, Karangmoncol), Masyarakat Aboge (Mrebet),
Pendopo dan makam KH Muhammad Irsyad (Maribaya, Karanganyar), Petilasan Syekh
Jambu Karang, dll.
Potensi
wisata religi ini sangat perlu ditingkatkan, agar tidak ‘njomplang’ dengan potensi wisata unggulan pemandian dan kolam
renang ‘Owabong’(Bojongsari) yang telah mampu meningkatkan potensi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Purbalingga sebesar kurang lebih Rp 5 Milyar per tahun. Hal tersebut dapat terjadi, apabila para
pemangku kepentingan di Purbalingga serius untuk mensejahterakan rakyat Purbalingga.
Karena itu, bila Pemerintah Purbalingga masih prihatin dengan kondisi
masyarakat Purbalingga sekarang, maka mulailah untuk berbenah membuka lapangan
kerja baru bagi masyarakat Purbalingga. Salah satunya harus menjadi fokus
utamanya adalah wisata religi.
Wisata
religi menjadi sebuah kenikmatan wisata apabila tempat wisatanya nyaman,
bersih, murah dan membuang stress.Untuk itu pengembangan tempat-tempat wisata
religi dapat dimulai dengan perbaikan jalan akses menuju ke tempat wisata yang
selama ini terkesan rusak dan berlubang. Perbaikan, penertiban dan penataan (service public) kemudahan di area
lokasi wisata, seperti sarana penginapan, warung, ruko,rumah makan, parkir,
tiket dll sudah sangat perlu dilakukan. Pemberdayaan dan industrialisasi wisata religi ini apabila
dikemas secara baik tentu dapat meningkatkan PAD Purbalingga.
Sudah
barang tentu pula, gagasan tersebut harus diwujudkan dengan kerja konkret, agar
masyarakat dapat merasakan hasil yang nyata. Penulis yakin, bila ini
dikembangkan dengan serius, maka akan lahir pengusaha baru di
Purbalingga. Karena rentetan efek domino dari pengembangan wisata religi
ini tidak hanya sektor pariwisata (bagi pemerintah) saja tapi juga berdampak
luas pada potensi ekonomi kerakyatan lokal, seperti pada industri makanan
lokal, transportasi, penginapan, batik (pakaian), aksesoris dll secara luas di
Kab Purbalingga dan sekitarnya.
Menggagas
wisata religi di Purbalingga juga dapat memberi manfaat secara moral kepada
para generasi muda Purbalingga mendatang. Tentu dengan wisata religi muda-mudi Purbalingga
akan ‘melek’ sejarah Islam di Purbalingga. Karena bila ini tidak digagas secara
baik dan konkret, maka dikhawatirkan sejarah Purbalingga akan terlupakan oleh
para pemuda. Maka perlu kemasan yang baik dari pemangku kepentingan, Bupati,
Gubernur, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan untuk dapat memikirkan maksimal
tentang wisata religius di Purbalingga, Jawa Tengah.
Dari
paparan tulisan di atas, penulis menyarankan bagaimana cara mengangkat potensi wisata religi yang
ada di Purbalingga dengan cara: Pertama, Pemerintah dalam hal
ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan diharapkan lebih intensif untuk melakukan
pembinaan terhadap pengelola objek wisata yang ada di Purbalingga. Dinas
Pariwisata diharapkan mampu menyiapkan tenaga- tenaga profesional untuk
melakukan pembinaan dan pengelolaan pariwisata yang ada di Purbalingga, terutama
objek wisata religi makam-makam wali. Pengembangan objek wisata juga perlu
ditingkatkan agar bisa menambah ketertarikan para wisatawan dan wisatawan pun
merasa betah dan nyaman.
Kedua,
Pengurus Yayasan Masjid dan Makam para wali diharapkan bisa melakukan
promosi terhadap objek wisata religi makam para wali di Purbalingga, mengingat
promosi merupakan salah satu hal penting untuk memasarkan objek wisata.
Kebersihan di lingkungan dan objek wisata perlu ditingkatkan, agar kenyamanan
pengunjung semakin bisa dirasakan. Kerjasama dengan masyarakat sekitar
juga perlu ditingkatkan, terutama pembinaan
tentang sadar wisata. Masyarakat juga perlu diajak kerjasama dalam rangka
pengembangan dan pengamanan objek wisata. Selain itu juga pelayanan kepada
pengunjung makam-makam wali juga harus ditingkatkan agar pengunjung
merasa nyaman, misalnya pengurus Yayasan
Masjid dan Makam Para wali di Purbalingga melayani pengunjung dengan
ramah, dan sebagainya.
Ketiga,
objek wisata religi di Purbalingga merupakan salah satu tujuan wisata bagi
masyarakat luas. Kenyataan ini tentunya membuka peluang usaha bagi masyarakat
sekitar. Para wisatawan yang datang ke suatu objek wisata biasanya akan membeli
souvenir sebagai kenang-kenangan. Para pedagang souvenir di objek
wisata religi makam Para wali di Purbalingga mendapatkan souvenir selama
ini berasal dari Pasar Segamas dan Pasar Bobotsari yang merupakan
pasar terbesar di Purbalingga. Alangkah baiknya kalau masyarakat sekitar
ada yang berani untuk membuat usaha souvenir sendiri.
Pengunjung juga akan lebih terkesan dengan hasil
kerajinan masyarakat sekitar. Hal ini secara tidak langsung juga ikut
mempromosikan objek wisata religi makam para wali di Purbalingga kepada
masyarakat luas.
Pelayanan
kepada para wisatawan hendaknya ditingkatkan agar para wisatawan tersebut
merasa dihargai dan merasa senang, misalnya dengan menunjukkan keramahan kepada
para pengunjung, menunjukkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat agar para
pengunjung juga ikut mengenal nilai-nilai budaya masyarakat di sekitar makam
Para wali di Purbalingga. Selain itu juga masyarakat sekitar ikut serta dalam
menjaga kebersihan dan keamanan di daerah kompleks makam Para wali di Purbalingga.
Semoga ke depan, wisata religi di kawasan Purbalingga semakin baik dan tambah
berkembang serta di kenal tidak saja lokal, namun meningkat menjadi kunjungan
wisatawan nasional serta mancanegara dari dunia internasional.(***) Aji
Setiawan, penulis tinggal Purbalingga Jawa Tengah