Sabtu, 10 Agustus 2019

Buku Terbaru

Percikan Pemikiran Aji Setiawan, ST Katalog Dalam Penerbitan : ISBN : 20160507-11878 Percikan Pemikiran Aji Setiawan Hak penerbitan ada pada penerbit : Penyusun: Aji Setiawan Penyunting: Penerbit Desain Sampul: Ababil Diterbitkan oleh penerbit: Buku ini dapat dipesan di perwakilan penerbit: Pengantar Penulis Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam semoga selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga , sahabat dan pengikut setia beliau hingga hari kemudian. Pembaca yang budiman yang semoga senantiasa di Rahmati Allah SWT, pada kesempatan kali ini penulis mencoba menyajikan sebuah kumpulan artikel yang dimuat di harian umum nasional. Merupakan perjuangan berat untuk menulis sendiri buku bilbiografi setebal 250 halaman, menembus penerbit, hingga akhirnya karyanya terpajang di toko buku. Saya pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Kabar Kampus, Jogja Pos Edisi Pagi, PT Jogja Pos dan Majalah AlKisah PT aneka Yess Group. Tekad menulis buku berawal sepuluh tahun lalu ketika saya menyaksikan pergulatan sahabatnya, Nhuda Efendi menulis di Alinea Publishing Jogjakarta, yang menggarap profile buku biografi calon kepala daerah. ”Saya bilang padanya, saya harus menulis cerita tentang pemikiran sendiri. Waktu itu belum tahu dalam bentuk apa. Apalagi, saya juga tidak tahu teorinya,” kataku pada waktu itu. Saya pun kemudian mulai mengumpulkan bahan, termasuk dengan memengumpulkan tulisan artikel yang tersebar di Harian Republika, Suara Merdeka, Santrinews, nu.or.id, muslimmedia, Pontianak Pos, Santrinews, Berita9Online , dan lain-lain. Ada kendala, karena sebagian besar tulisan itu bercerai-berai , belum dikumpulkan. Toh, saya berhasil mengatasi kesulitan itu. Pada 2017, saya mulai mengumpulkan tulisan itu, di sela-sela kesibukan maju sebagai Caleg PPP no urut 1 Dapil Purbalingga 1 (bukateja, Purbalingga dan kemangkon) akhirnya tulisan itu berhasil dikumpulkan. Tidak mudah memang mengumpulkan tulisan yang tercerai berai, butuh waktu , kerja keras, kerja ikhlas dan semangat pantang menyerah. Apalagi saya saat ini menjabat Wakil Sekretaris DPC PPP Purbalingga Jawa Tengah. Saya menulis artikel dan opini dari bahan yang sudah terkumpul. Keterampilan menulis juga saya asah dengan mengikuti beberapa pelatihan jurnalisme tingkat dasar tahun 1997 di LPM Keadilan Fak Hukum UII Yogyakarta, berlanjut dengan pelatihan jurnalisme tingkat Nasional di Unit Penerbitan Mahasiswa Pabelan, Universitas Muhammadiyah Surakarta tahun 1998. Dari teori yang didapat pada tahun 1998 sembari kuliah, saya bekerja sebagai wartawan Koran Kabar Kampus, PT Jogja Pos. Ketrampilan menulisnya pun semakin teruji, saat masuk PT Aneka Yess, menjadi redaktur majalah Islam AlKisah. Setelah naskah selesai, perjuangan berikutnya adalah menggaet penerbit buku. Mendapat penerbit tak mudah. Saya senang ketika penerbit pertama langsung tertarik. Tetapi mereka meminta mengubah beberapa isi tulisan. Saya menolak karena tulisan ini seperti menunggu kelahiran bayi saya. Kalau harus ada yang dihilangkan, esensinya juga hilang. Selain itu, ditambahkan bahwa pemikiran serta genre penulisan artikel yang saya tulis dan dimuat di berbagai surat kabar yang ada di Indonesia, sengaja saya sisipkan semoga menambah pengetahuan dan dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Dengan dibukukan semoga kumpulan artikel yang banyak dimuat di harian dan koran itu dapat dijadikan referensi dan dapat dijadikan rujukan lebih lanjut dalam khazanah Islam Nusantara. Demikian pengantar penulis dalam penerbitan buku “Percikan Pemikiran Aji Setiawan” semoga dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Penulis Aji Setiawan Daftar Isi Buku : Jejaring Ulama Nusantara Cover---i Katalog Dalam Penerbitan—ii Pengantar Penulis--iii Daftar isi---iv 1.Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia--- 2.Sejarah Thariqah Masuk Indonesia— 3.Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa--- 4.Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di Indonesia— 5.Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri Nasional— 6.Peran NU Pra dan Pasca Kemerdekaan 7.Habaib dan Ulama Berdampingan Membangun Betawi— 8.Peran Strategis Ulama Pada Masa Sekarang— 9.Pentingnya Pendidikan Karakter--- 10.Misi Pendidikan Islami— 11.Peran dan Sejarah Dakwah Kaum Habaib di Nusantara 12.Sejarah Pergerakan Kaum Perempuan Indonesia 13.Sebaiknya Jaring Cantrang Dilarang— 14.Mencari Payung Hukum Pers Mahasiswa 15.Penguatan Identitas Politik 16.Mengembangkan Potensi Lokal Kab Purbalingga 17.Memilih Pemimpin Dalam Pandangan Islam 18.Makna Sumpah Pemuda 19.Santri Sebagai Pemersatu Bangsa 20.Kita Harus Optimis 21.Santun dan Sabar 22.Bekerjalah 23.Pejabat Muslim Lupa Konsep Qanaah 24. Pakaian Malu 25.Kehidupan Yang Zuhud 26.Keutamaan Musibah 27.Kearifan Rasulullah 28. Kedermawanan Rasulullah SAW 29.Nasehat Haji 30. Mengukir Hati 31. Memerangi Nafsu 32. Zakat Fitrah 33. Hari Nan Fitri 34. Ampunan Allah 35. Jurnalis berpihak kepada kebenaran 36.Perlunya Jaminan Produk Halal Dalam Negeri 37.Stop Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan 38.Visi Dan Misi 2020 Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah 39.Menegakan Martabat Bangsa Indonesia Sebagai Negara Maritim 40.Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir 41.Memaknai Hari Pahwalan 42.Adab Mubaligh 43.Menggerakan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pariwisata 44.Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa 45. Peluang Industri Kreatif di Indonesia 46. Perlunya Sinergi Antara Media Sosial dan Media Jurnalistik 47. Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia 48. Peran Cendekiawan di Panggung Politik 49. Masa Depan Konstalasi Politik Indonesia 50. Pentingnya Oposisi Dalam Parlemen 51. Tantangan Menteri Muda Dalam Kabinet Jokowi 52. Ampunan Allah SWT 53. Menuju Purbalingga Smart City 54.Catatan Penutup 55.Daftar Pustaka 56.Biografi Penulis 1 Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli sejarah Islam Indonesia. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indonesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24). Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, transkripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75) Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25) Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76). Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan. Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.) Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India. Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77). Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.). Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.) Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah satu-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu. Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain. SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di Bengal bermahzab Hanafi. (Azra, 25). Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26). Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.) Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya. Kesamaan kebudayaan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringatan ini ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i. (Suryanegara, 91) Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual Islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.) Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia. Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab ‘Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28). Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magribi (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54) Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30). Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82). Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82). Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur. Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92). Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia. Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir. Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai. Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia. Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia. Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480). (***) 2 Masuknya Thariqah dan Perkembangannya di Indonesia Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah  Bani Umayyah, di mana sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau kelompoknya dan mengalahkan kepentingan  rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan Khawarij, Syiah, dan Zuhhad. Dua golongan pertama memberontak  dengan  motivasi politik: merebut kekuasaan dan jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani. Mereka berpendapat  bahwa kehidupan rohani yang terjaga  dan terpelihara dengan baik akan dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam. Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati)  itu pula yang belakangan mereka yakini telah menghancurleburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang terbesar di dunia, dengan wilayah kekuasaan  yang terbentang dari  daratan Asia dan Afrika di bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat. Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan  sebagian  kaum muslimin yang semata- mata berusaha  mengendalikan jiwa mereka  dan menempuh cara hidup untuk mencapai ridlo Allah SWT, agar tidak terpengaruh dan terpedaya  oleh tipuan dan godaan duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang menjadi alat untuk  mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu mencapai hakekat  ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya, melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh), mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian terhadap keberadaan Allah). Dengan istilah lain, laku batin yang mereka tempuh  dimulai dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi  hati dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata cara kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh  berkembang di kalangan masarakat muslim, yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu tashawuf  atau sufisme. Bersamaan munculnya tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi. Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran. Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa) sedangkan yang kedua lebih menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk  menyebut suatu  pembimbingan pribadi dan perilaku  yang dilakukan oleh seorang guru musyid  kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat. Perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbedaan pengalaman dan rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah, Naqsabandiyyah, Alawiyyah dan lain sebagainya. Mursyid Thariqah Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam. Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah. Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain. Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi. Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan. Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah SAW, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya. Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah. Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus. Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain. Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke Nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqoha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial.  Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah.   Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para Wali. Sayangnya dokumen sejarah Islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Sebenarnya tak jauh berbeda, definisi tasawuf menurut Buya HAMKA dalam buku Tasawwuf Modern, tasawuf adalah keluar dari budi pekerti yang jelek menuju budi pekerti yang luhur. Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy- Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Meski jika mengacu pada data kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16 dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin. Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa.  Thariqah lain yang masuk Nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawa adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah. Seiring kepulangan santri Jawa yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.  Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.  Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).   Thariqah Alawiyyah sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW. Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim Nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.   Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk ke Nusantara di seputar abad 19-20. Seperti Nama Al-Idrisiyyah dinisbatkan kepada salah seorang Mursyid Al-Idrisiyyah yang bernama Syekh Ahmad bin Idris Ali Al-Masyisyi Al-Yamlakhi Al-Hasani. (1760 - 1837), salah seorang Mujaddid (Neo Sufisme) yang berasal dari Maroko (Maghribi). Idris, yang kepadanya dinisbatkan nama tarekat ini adalah nama ayah dari pendirinya. Syekh Ahmad bin Idris dikenal sebagai sosok Ulama yang berhasil memadukan dua aspek lahir (syari’at) dan batin (hakikat). Ia juga dikenal sebagai pembaharu dalam dunia tasawuf dari penyelewengan kaum kebatinan seperti tahayul, khurafat, dll. Tarekat Sanusiyyah dibawa ke Indonesia oleh Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah tahun 1932. Dia menerimanya dari Syekh Ahmad Syarif As-Sanusi (1875-1933) di Jabal Qubais (Mekkah) dan berguru selama 4 tahun. Kemudian dengan beberapa alasan Asy-Syekh Al-Akbar Abdul Fattah mengganti nama tarekatnya menjadi Tarekat Idrisiyyah. Sejak masuknya ke Indonesia pada masa penjajahan, Tarekat ini sudah mengalami 4 kepemimpinan. Saat ini tampuk pimpinan tarekat dipegang oleh Syekh Muhammad Fathurahman, M.Ag. Dalam masa kepemimpinannya Al-Idrisiyyah telah berkembang hingga memiliki 50 Zawiyah yang tersebar pada 12 Propinsi di Indonesia. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Chalidiyyah (TNC), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maulana Chalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk Nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzanjani (khalifah Maula Khalid) itu TNC-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air. Thariqah Naqsyabandiyyah Chalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).   Setidaknya ada 45 Thariqah NU yang berstandar, yakni Thariqah yang Mu’tabaroh. Hanya mereka yang memenuhi standar saja yang diperkenankan masuk menjadi Banom NU dalam JATMAN, Jamiyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabaroh Al Nahdliyyah. Seperti apa standar Thariqah versi NU? KH. Aziz Masyhuri, pengasuh Pondok Pesantren Al-Aziziyah Denanyar Jombang pernah melakukan penelitian tentang aliran Thariqah di Indonesia. Kesimpulan yang didapat; keberadaan Thariqah di tanah air ini ada sekitar ribuan. Jumlah itu dianggap wajar seiring dengan dinamika yang mengelilinginya. Secara singkat, Kiai Aziz mengemukakan bahwa kriteria ke mu’tabaran sebuah Thariqah adalah dapat dilihat dari sanad para Mursyidnya yang muttashil (bersambung ijazah bai’at -nya) sampai kepada Rasulullah SAW. Demikian pula yang tidak bisa ditawar adalah ajaran yang disampaikan harus berpedoman pada pakem NU; yakni dalam fiqh mengikuti salah satu imam empat. Dalam aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi. Jika di andaikan sebuah rumah, maka Thariqat adalah pondasi paling bawah yang menjadi dasar bangunan besar Nahdlatul ulama. Kemudian pesantren, di lapis kedua, dari struktur bangunan organisasi kemasyarakatan NU. “Karena masuknya Islam ke bumi Nusantara, diawali dengan masuknya thariqat, jadi thariqat adalah peletak dasar bangunan NU. Kekuatan inilah yang menjadikan NU mengakar di tengah-tengah jama’ah dan jamiyyahnya,” demikian diungkapkan Ro’is A’am Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’Tabarah An Nahdliyah, KH. Habib Luthfiy Ali bin Yahya. Menurutnya, sejarah membuktikan bahwa agama Islam di berbagai belahan dunia berkembang berkat jasa para ulama yang kemudian dikenal sebagai Wali Allah, seperti di India, Afrika Utara dan Afrika Selatan bahkan di Indonesia. Di Aceh terkenal dengan serambi Mekkah, suatu gelar yang diberikan untuk menggambarkan betapa pesatnya kemajuan Ilmu-ilmu Islam di daerah itu, seperti Syekh Nuruddin Ar Raniri, Syekh Abdurrauf Singkly, Syekh Syamsuddin Sumatrani, dan masih banyak lagi; sebagai orang-orang yang sangat berjasa dalam pengembangan Islam di sana. Demikian pula di Jawa, terkenal dengan Walisongonya sebagai ulama yang berjasa dalam pengembangan Islam. Dan masih banyak lagi yang dapat disebutkan hanya untuk menjelaskan bahwa ulama-ulama tasawuflah yang banyak jasa dan pengorbanannya dalam pengembangan Islam di dunia. Karena dimanapun tempat mereka berada, walaupun berbeda adat dan budaya maupun bahasa mereka berbaur dengan masyarakat dengan hati dan jiwa suci sehingga dengan mudahlah ajaran Allah dan Rasul-Nya difahami. “Jadi sufisme atau dalam Islam diberi nama tasawuf , bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan. Intisari sufisme, adalah kesadaran akan adanya komunikasi rohaniah antara manusia dengan Tuhan lewat jalan kontemplasi. Jalan kontemplasi tersebut, dalam dunia tasawuf dikenal dengan istilah tarekat,” urai habib Luthfi bin Yahya yang memiliki puluhan juta jama’aah ini.(***) 3 Jejaring Ulama Nusantara Sepanjang Masa Dari masa ke masa ulama-ulama Nusantara telah lama menjalin jejaring sanad keilmuan dengan para maha guru Islam yang ada di Mekkah dan Timur Tengah. Sekembalinya dari merantau itulah, para ulama Indonesia mulai mengembangkan keilmuan (pembaharuan) serta menjadi inspirasi untuk menggerakan semangat jihad melawan kolonialisme John R Bowen dalam artikelnya “Intellectual Pilgrimages and Local Norms in Fashioning Indonesian Islam” menulis, ulama Indonesia yang pernah berguru kepada ulama Makkah dan Madinah, kembali ke Indonesia membawa semangat pembaruan untuk melawan tekanan kolonialisme melalui organisasi Islam. Gerakan ini pada dasarnya adalah bentuk pemurnian nilai Islam dari campuran nilai-nilai lain. Meski awalnya organisasi ini bersifat kultural dan kedaerahan, pola tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan modern. Jejaring ulama Nusantara ini sudah lama diteliti oleh Dr Asyumardi Azra dalam disertasi asli “The Transmission of Islamic Reformism to Indoesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries”. Disertasi saudara Azyumardi Azra yang diajukan kepada Departemen Sejarah, Columbia University, New York, pada akhir tahun 1992, guna memperoleh gelar Ph.D. Dalam penelitiannya ini, Dr. Azyumardi Azra, dikemukakan lebih jauh, bahwa penelitian ini adalah merupakan langkah awal dalam menyelidiki sejarah sosial dan intelektual ulama dan pemikiran Islam di Indonesia, khususnya dalam kaitannya perkembangan pemikiran Islam di pusat-pusat keilmuan Islam di Timur Tengah. Karena tidak mungkin, pembaharuan yang terjadi di berbagai negara Muslim ini tanpa adanya mata rantai yang sambung-bersambung (sanad ‘ilm, mata rantai emas sanad keilmuan-red) dengan pusat pertumbuhan dan perkembangan Islam dari tempat Nabi Muhammad SAW berasal, yakni daratan tanah Arab (Timur Tengah). Dalam realitas kesejarahan, pertumbuhan dan perkembangan Islam di Nusantara, yang pada dasarnya memiliki keterkaitan erat dengan dinamika umat Islam di Timur Tengah, bukanlah sekedar dilandasi oleh faktor politis. Pada masa awalnya, yakni pada akhir abad ke-8 hingga abad ke-12, hubungan diantara kedua wilayah umat Islam tersebut, lebih sebagai hubungan perdagangan dan ekonomi. Pada masa berikutnya, hingga akhir abad ke-15, hubungan antar kedua kawasan mulai mengambil aspek yang lebih luas. Disamping mereka melakukan praktik perdagangan, para pedagang dari Timur Tengah juga melakukan upaya penyebaran agama Islam, sehingga akhirnya terjalin hubungan sosial-keagamaan yang sangat erat diantara keduanya. Selanjutnya, pada abad ke-15 hingga paruh kedua abad ke-17, hubungan yang terjalin diantara Melayu-Indonesia dengan Daulat Utsmani, lebih banyak diwarnai oleh faktor politis. Kenyataan ini sebagai akibat dari adanya pengaruh perebutan dua kekuatan besar, yakni dari penguasa Spanyol dan Daulah Utsmani. Dengan adanya hal ini, maka kemudian para elit penguasa di Nusantara mengambil posisi untuk menjalin kebersamaan dengan daulat Utsmani. Hubungan yang lebih bersifat keagamaan dan politis ini, dikembangkan dengan para penguasa di Haramayn. Dengan adanya jaringan dengan ulama di Haramayn ini, kemudian menjadikan ulama dari Nusantara untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan keilmuan serta intelektualnya. Dari sinilah kemudian sejak paruh kedua abad ke-17 ini, hubungan diantara ulama Haramayn dengan ulama di Nusantara ini lebih merupakan hubungan sosial-intelektual, selain juga hubungan sosial-keagamaan. Melalui pendekatan penelitian historis-filosofis serta pendekatan sosiologis-antropologis penulis dapat menelusuri pertumbuhan dan perkembangan lembaga-lembaga pendidikan yang terjadi dikawasan periferi, yang selama ini dianggap remeh oleh para peneliti serta sarjana modern. Dari penelitian little tradition yang ada di kawasan periferi ini, terdapat gagasan serta ide-ide pembaharuan, yang pada dasarnya juga dikembang tumbuhkan dari jaringan ulama, yang berpusat di Haramayn, dengan memunculkan “sintesis baru” menjadi great tradition. Jaringan Ulama yang telah lama terbangun dalam wilayah Internasional ini dibuktikan dengan adanya jaringan ulama Melayu-Indonesia, bukan berarti hasilnya berlaku lokal bagi Muslimin di Nusantara, karena Jaringan Ulama yang terjadi ini merupakan mata rantai emas keilmuan yang sangat luas dan menyeluruh ke semua belahan Dunia Muslim. Ulama Melayu-Indonesia adalah merupakan bagian dari jaringan besar tersebut dimana pada masa itu mulai dilaksanakannya pemikiran serta gerakan pembaharuan di wilayah Islam Nusantara. Menurut penulis, setidaknya ada dua istilah kunci digunakan Dr Azyumardi Azra dalam menguak jejaring ulama Nusantara yang menjadi sangat penting dan menentukan. Pertama adalah kata Jaringan. Dengan jaringan ini maka diantara para ulama yang berasal dari berbagai daerah bisa melakukan kontak untuk melakukan dialog serta proses peleburan tradisi-tradisi “kecil” (little tradition) untuk membentuk “sintesis baru” yang sangat condong pada tradisi besar” (great tradition). Proses peleburan yang semacam ini, diantara ulama dilakukan dengan berpusat di Haramayn (Makkah dan Madinah). Kedua adalah kata Transmisi. Yang dimaksud dengan transmisi adalah, upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk menyebarkan , menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh dari daerah tertentu, tentang sesuatu yang tertentu pula, untuk kemudian disebarkan ke berbagai daerah lainnya. Yang dimaksud dengan transmisi ini adalah, upaya yang dilakukan oleh seorang ulama untuk menyebarkan, menyampaikan gagasan, ilmu serta metode yang diperoleh di Haramayn, tentang tradisi keagamaan pusat-pusat keilmuan Timur Tengah, ke berbagai dunia Muslim, seperti Melayu-Indonesi (Nusantara). Proses transmisi ini akan menghasilkan letupan-letupan pembaharuan, yang pada gilirannya nanti secara signifikan akan mempengaruhi perjalanan historis Islam di tanah air masing-masing. Ulama-ulama Nusantara memberikan sumbangan dalam pengembangan keilmuan Islam pada masa itu. Karena, pertama, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa hubungan antara Ulama di Timur Tengah dengan para Ulama di Nusantra, hanyalah bersifat politis. Hal ini dikarenakan, semenjak abad ke-17, terutama diparuh kedua abad ini, hubungan diantara mereka lebih menekankan pada aspek sosial-intelektual (keilmuan). Kedua, tertolaknya suatu asumsi yang mengatakan bahwa abad ke-17 dan 18 adalah abad kegelapan bagi umat Islam. Karena pada kenyataannya di abad ini justru merupakan masa yang sangat harmonis dan dinamis, bagi perkembangan pemikiran serta keilmuan Islam. Islam dimasa ini bukan lagi Islam yang bercorak mistik (sufistik), akan tetapi Islam yang merupakan perpaduan antara Tasawwuf dan Syariah (Neo Sufism). Terjadinya perpaduan diantara keduannya ini, merupakan kesadaran dari para ulama fiqih (fuqoha) dan ulama tasawwuf (sufi), untuk saling menyadari akan keberadaan serta peranan masing-masing. Dengan adanya kesadaran yang demikian inilah, maka kemudian berkembang suatu praktik keislaman yang baru, yakni yang disebut dengan Neo-Sufisme. Ketiga, adanya peranan serta keterlibatan ulama-ulama Melayu dalam jaringan ulama Internasional, yang pada taraf selanjutnya mampu melakukan upaya transmisi keilmuan dan pemikiran ke wilayah Nusantara, untuk melakukan langkah pembaharuan. Perkembangan pemikiran dan keilmuan didunia Islam, memang tidak terlepas dari adanya jaringan yang terbentuk diantara para ulama Timur Tengah dengan ulama-ulama lain di berbagai dunia Muslim. Demikian pula dengan perkembangan pemikiran dan pembaharuan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia, adalah merupakan hasil dari keberadaan ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan tersebut. Peranan Ulama ini bisa dilakukan dengan mengaplikasikan ilmu, gagasan serta metode yang didapatkan dalam jaringan tersebut, di tanah airnya, atau juga bisa melalui buku-buku yang disusun dan disebarkan ke wilayah asalnya. Teori-teori yang berkembang dapat ditelisik melalui dialog para ahli sejarah, dapat dirunut melalui awal sejarah kedatangan Islam ke Nusantara yang dimulai dari abad ke 7 sampai abad 12 M melalui gelombang I (Dewan Wali) dan II (Wali Songo). Sebagian mengatakan dari India (Gujarat), sebagian lain dari China ( melalui sahabat Said bin Abi Waqqas yang diutus Rasulullah SAW ke Cina), Persi dan lain sebagainya. Dengan demikian, dapat ditarik benang merah mengenai hubungan antara Haramayn dengan Nusantara. Kebangkitan dan perkembangan jaringan ulama nusantara ini masih dalam jaringan internasional yang berpusat di Haramayn (Mekkah). Berbagai kebijakan yang diambil dalam pemerintahan Haramayn, yang kemudian memunculkan kemudahan dan efektifitas diantara para ulama untuk melakukan transmisi keilmuan diantara mereka. Selain itu juga dijelaskan proses ekspansi jaringan ulama ke daerah lain. Adanya pembaharuan yang terjadi, sebagai akibat dari terjalinnya antar ulama dari berbagai daerah ini. Perkembangan dan kecenderungan masyarakat muslim dari mistik menuju pada neo-sufisme. Ulama-ulama Nusantara memiliki andil terhadap kelahiran pembaharuan Islam di negeri Nusantara. Ulama Nusantara pada masa itu antara lain Syekh Nurrudin Al Raniri (w.1068/1658), Syekh ‘Abd Al Ra’uf Al Sinkili (1024-1105/1615-1730) dan Syekh Muhammad Yusuf Al Makassari (1037-1111/1627-1699), Syekh Burhanudin Ulakan (w. 1100 H/1680 M), Syekh Arsyad Al Banjari (w.1777) dll. Sementara jaringan ulama beserta langkah pembaharuan yang dilakukan oleh para ulama di wilayah Melayu-Indonesia pada abad 17 dan 18 banyak dilakukan oleh Ulama Aceh di bawah pimpinan Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien dll , ulama-ulama Padri di bawah komando Tuanku Imam Bondjol (Padang Minangkabau), P Diponegoro dan Kyai Mojo di Tanah Jawa, Sayid Idrus Sulawesi, Syekh Arsyad Al Banjari Kalimantan, Haji Wasid dan H Abdul Karim Banten dll banyak membentuk pola pemberontakan lokal dan belum meluas serentak se tanah air dalam melawan kolonialisme. Pengembangan keilmuan Islam pada saat itu tentu terpusat pada surau, dayah dan musholla, sisanya banyak ulama, kyai dan santri berjuang secara gerilya dalam skala lokal (territorial) Kompeni Belanda. Baru pada akhir abad ke-19, ulama-ulama pesantren di Nusantara di atas makin masif berkonsolidasi. Selain di Makkah Madinah (Haramain)  konsolidasi juga dilakukan di Nusantara, misalnya di Aceh tahun 1873 telah mencetuskan ide “Jumhuriyah Indonesia” (Republik Indonesia) dan disebarkan hingga ke Papua untuk membangun cita-cita kesatuan tanah dan bangsa Indonesia. Jejaring ini pernah dibangun dalam jejaring ‘Busur Laut Nusantara’ pada abad ke-14 hingga abad ke-16. Jejaring ulama-santri yang telah menegakkan Indonesia sebenarnya hasil dari proses panjang terbentuk dan terkonsolidasinya jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara sebelumnya. Memasuki paroh kedua abad ke-19 dan abad ke-20, semakin banyak ulama tanah Jawa yang menuntut ilmu di tanah suci. Informasi tentang biografi mereka lebih banyak dan tercatat dengan cukup detail di dalam kitab-kitab sanad dan buku-buku biografi Arab. Banyak dari mereka telah mendapat ijazah (sertifikasi) dan mengajar di Masjidil Haram. Hal tersebut secara tidak langsung, menjadikan mereka di tanah suci sebagai penerus jejaring ulama Nusantara yang telah dirintis oleh para ulama Nusantara sebelumnya. Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, seorang mufti agung Makkah pada abad ke-19 yang telah membuka pintu bagi ulama-ulama Nusantara untuk berkiprah dan memancangkan komunitasnya di Haramain dan berjejaring dengan ulama-santri di Nusantara. Sebagian ada yang menyemai di Haramain untuk menampung para ulama-santri yang datang dari berbagai penjuru nusantara, sebagian kembali ke Nusantara untuk menjadi poros dan mengokohkan bergeraknya jejaring yang telah dibangun. Seperti dari Kalimantan muncul Syekh Khatib As Sambasi, Syekh Arsyad Al Banjari dan Syekh Nafi Al Banjari, dari Sumatera muncul Syekh Ismail al Minangkawi, Syekh Abdusshommad Al Falimbani dan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syaikh Abdul Wahab Sandenreng Daeng Bunga Bugis, dari Jawa muncul Syekh Habib Ahmad an Nahrawi al Banyumasi, Syekh Juned al Batawi , Syaikh Abdur rahman al Mishri, Syekh Nawawi al Bantani, Syeikh Agung Asnawi bin Syeikh Abdurahman Caringin al Bantani, Syekh Mahfudz Termas Pacitan, Syekh Abdul Karim al Bantani, dan dari Nusa Tenggara Barat menghadirkan Syekh Abdul Madjid Bima pada abad ke-19 yang berada di Masjidil Haram Makkah menjadi poros bagi ulama-ulama Nusantara. Poros ulama Nusantara di Haramain tersebut berhasil membentuk soliditas ulama. Muncullah nama-nama semisal Syekh Sholeh Darat As-Semarangi, KH Ahmad Rifai’i Kalisalak, Syekh Khalil Bangkalan, Al Hadlratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, Syekh Tolhah Cirebon, KH Ahmad Dahlan Jogjawi, Tuan Guru Haji Zainuddin bin Abdul Madjid Al Amfani Al Fancuri (Tuan Guru Zainudin Pancor , Lombok NTB) , KH Ahmad Sanusi Sukabumi Gunung Puyuh Sukabumi, Guru Mansur Al Batawi, Syaikh Muhtar Al Bughuri, Dr. H Moh Hatta Bukit Tinggi dll. Kenapa penulis perlu memasukan Dr Hatta dalam salah satu khazanah ulama Indonesia. Dr Moh Hatta pernah belajar dengan Haji Mohammad Djamil, putra Syekh Batu Hampar. Ia juga belajar dengan Syekh Arsyad dan Syekh Djambek yang tiada lain tokoh besar ulama Minangkabau pada masa itu, dll. Ulama-ulama inilah yang dikemudian hari menjadi jangkar ulama di Nusantara yang menggerakkan poros tersebut, berkiprah di pesantren, surau atau dayah. Mereka tidak hanya menimba ilmu di Haramain, tapi juga di Kairo Mesir sehingga terdapat diskursus intelektual dan perbedaan garis perjuangan. Meskipun demikian, karena memiliki kesamaan semangat anti kolonial, diskursus dan perbedaan tersebut mampu diredam meskipun percikan-percikannya tentu saja mempengaruhi arah dan warna perjuangannya di kemudian hari, khususnya dalam tradisi keberagamaan. Dan sejarah mencatat, simpul-simpul utama jejaring ulama tersebut terkonsolidasi dalam suatu poros untuk menegakkan bangsa Indonesia. Syekh Hasyim Asy’ari berupaya mensinergikan simpul-simpul utama ulama, habaib, dan kelompok pembaharu (intelegensia/cendekiawan) untuk bergerak bersama KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai di Surabaya pada tahun 1926 dalam Nahdlatoel Ulama (HBNO), KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah, KH Ahmad Sanusi dengan Persatuan Islam (Persis), Tuan Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al Al Fancuri (Tuan Guru Pancor , Lombok Nusa Tenggara Barat) dengan mendirikan Nahdlatul Wathan pada 1937, Sayid Idrus (Guru Tua) dengan Al Khairat di Palu (Sulawesi), Syekh Nafi dengan Darussalam di Banjarmasin, Jejaring ulama Betawi-Bekasi (Guru Mansyur Jembatan Lima, Guru Mughni Kuningan, Guru Mujtaba, Guru Mahmud, Guru, Khalid, Guru Marzuki Cipinang Muara, KH Noer Ali Bekasi, Syaikh Muhadjirin Amsar ad-Dari, KH Abdullah Syafi’i, KH Tohir Rohili, KH Fatullah Harun, KH Zayadi Muhajir dll). Sementara tokoh pergerakan dan kebangkitan Nasional dari intelektual muslim, tampil Dr Moh Hatta , KH Abdul Wachid Hasyim, Ir Soekarno dan Syahrir dengan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) dan lain sebagainya. Melalui jejaring gurunya, koleganya dan muridnya, simpul-simpul itu membangun soliditas dan kekuatan utama baik Jumhuriyyah Indunisie maupun pergerakan nasional hingga tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terbentuk dan terkoneksinya jejaring itu menjadi kekuatan baru (new emergyzing) yang nantinya membungkam sejarah kolonial dan menjadi titik pijak gerakan pembaharuan Islam (nasionalis-Islam) baik yang gerakan Islam tradisional dan gerakan Islam moderat. Gerakan Islam yang tradisional , moderat dan toleran itu masih berkembang hingga kini telah mewarnai, bentuk dan serta corak gerakan Islam keagamaan, politik, ekonomi, hukum dan sosial budaya kemasyarakatan dalam bingkai NKRI . (***) 4 Peran Pondok Pesantren Dalam Penyebaran Islam di Indonesia Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa. Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7). Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku. Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25) Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22). Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22) Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pendidikan pesantren memang luar biasa. Pendidikan pesantren  membekali santrinya dengan ilmu hidup,  mengajari mereka berinteraksi dengan berbagai budaya, dan bahkan belajar tentang perbedaan. Dari pesantren, Menag mengaku memahami  peran nilai-nalai agama dalam menyatukan keragaman. Hal ini penting sebagai modal hidup di Indonesia yang sangat beragam. “Sesungguhnya esensi dari semua agama itu bertemu pada satu titik temu yakni memanusiakan manusia,” ujarnya. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi kiprah  pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan. “Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag. Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren. Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya. Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa ke thawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya.  Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa depan santri,” urai Menag panjang lebar. Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib. Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagai bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20). (*****) 5 Peran Ulama pada Masa Kemerdekaan dan Refleksi Hari Santri Nasional Gagasan Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober menjadi sebuah rutinitas ceremonial (upacara) kenegaraan baru namun perlu disambut dengan positif thinking. Hari ini tanggal tepat 22 Oktober 2015 pada kalender Nasional ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo dengan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 22 Tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta patut disambut dengan positif thingking. Kenapa hari ini dipilih sebagai hari santri? Keppres tersebut telah diteken oleh Presiden Jokowi 15 Oktober. Penetapan Hari Santri sendiri telah dijanjikan Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2014. Alasannya adalah untuk menghargai jasa santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada hari ini, bertepatan dengan 70 tahun yang lalu dikeluarkankan fatwa Jihad oleh AlHadratus Syaikh Hasyim Asy’ari al Basyaiban. Dengan demikian 22 Oktober 1945 bagi santri Nahdlatul Ulama pada saat itu pada saat itu keluarnya Fatwa berperang (jihad) melawan Kompeni Belanda. Keluarnya berperang melawan segala bentuk penjajahan dunia sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan oleh AlHadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sejak pertama kali Asyaikh membuka pesantren. KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asy’ari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya baik padi maupun palawija serta rempah-rempah. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub. Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH. Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri. Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini. Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam. Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Wahid Hasyim (anaknya, salah satu founding father Republik Indonesia) dan KH. Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim Asy’ari al Basyaiban. Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Karuan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang. Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA Nedherland (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim. Para ulama dianggap oleh para penjajah sebagai ‘Pendeta Islam’ itu ternyata merupakan golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.” Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota. Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah jajahannya, KH Hasyim Asy’ari —pemimpin para ulama di Jawa—menentang. Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda hukumnya haram. Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk mempertahankan Indonesia melawan musuh Jepang. Waktu itu Kiai Hasyim mengeluarkan fatwa yang terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara Belanda atau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun. Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung Belanda selalu gagal dilakukan. Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan bintang jasa terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolaknya. Gerakan non kooperatif pada penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama lainnya. Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabĆ®lillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama. Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin—ajaran utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardu ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Padahal pada waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928 di Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah konsep Negeri Darussalam (sebuah negeri yang penuh aman, sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh keselamatan). Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima tahun (1825-1830) juga karena alasan serupa. Dalam proklamasi dan permintaan dukungannya pada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro—pangeran yang juga ulama—menekankan bahwa ia adalah pemimpin ‘perang sabil’, perang suci, untuk mengusir Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka “untuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurken agami Islam)”.Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya. Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya pada Perang Dunia II, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU, sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan rakyat terhadap Belanda dan Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946. Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94 km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa jihad dari para ulama. Mengenang hari santri pada hari ini tepatnya tanggal 22 Oktober 2015 setidaknya mengenang jasa perjuangan salah seorang pejuang dan founding father bangsa ini KH Hasyim Asy’ari. Setidaknya dimana rekam jejak KH. Hasyim dari kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun pesantren Tebuireng tidak mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya waktunya dianggap belum tiba. Sebuah kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang, AlHadratus Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk membiayai pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang sukses, Jatuh bangun membangun nama besar Tebuireng, sebagai sebuah Pondok Pesantren. Namun berkat kesabaran, semua rintangan beliau lalui dengan sukses selain bertani, berkebun, berdagang kuda dan rempah-rempah di Surabaya. KH. alHadratussyaikh Hasyim Asy’ari alBasyaiban juga seorang pendidik modernis. Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan dengan cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu Dinniyah School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir Tanah Abang Lembaga Rabithah Alawiyah. KH. Hasyim Asy’ari juga menjalankan sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada 1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin , ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini sempat menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap terlalu modern. Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO. KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang. Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan Inggris. Dalam proses belajar KH. Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya. “Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit Muzadi (alm) sebagaimana dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45. Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial sekarang-red). Perkembangan pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan 1948-setahun setelah Wahid menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar kemana-mana, sementara KH. Wahid Hasyim beserta keluarga memutuskan pindah ke Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi setahun kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng saat itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi. Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran. Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus memanggul senjata dan berperang. Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang paling besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy). Ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie di muka. Ketujuh ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau Arab Pegon. Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab kuningnya dengan Arab Melayu. Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda. Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi. Kembali kesoal dunia santri, santri bila dilihat secara harfiyah terdiri dari lima huruf; Sin, Nun, Ta’, Ro dan Ya’. Kelima huruf itu mempunyai arti tersendiri. Pertama huruf Sin, berasal dari kata salikul fil’ibadah (melaksanakan ibadah). Nun, berasal dari kata naibun ‘anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta’ berasal dari kata taibun artinya santri senantiasa bertaubat dari melakukan dosa dan menjauhi maksiat. Huruf keempat Ro’ berasal dari kata roghibu artinya senang mendatangi tiap-tiap kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara yang bajik (baik, bagus), santri selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf kelima Ya, berasal dari kata yaqin. Santri harus yakin dengan pembagian nikmat dari Allah Subhannallah Wata’ala Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren “Al Kautsar” Babadan Kediri; 2002). Ada juga istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa. Sejak zaman pra-Islam, menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7). Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku. Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25) Apabila masih ada Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa belajar tidak berfikir yang penting sebagai santri mencari kepintaran dan masih perlu banyak mengaji kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang pertama semoga sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga cita-cita Negara dan Bangsa Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. (*****) 6 PERAN NU PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN RI Sejarah mencatat Tinta Emas kemerdekaan RI tidak jatuh dari langit, namun melalui jalan panjang pergerakan umat Islam Indonesia. Jejaring ulama pada 18-19 yang banyak menimbulkan korban begitu banyak di kalangan rakyat, mulai dari Perang Diponegoro, Perang Aceh, Perang Padri, Pemberontakan Petani Banten, membuat sebagian tokoh cendekian terpelajar merubah pergerakaan yang tadinya non kooperasi menjadi kooperasi sembari menyatukan barisan untuk sebuah pergerakan melalui jalur pendidikan. “Pergerakan tanpa pendidikan adalah pemberontakan” sangat pas lah untuk menggambarkan perjuangan umat Islam pada masa untuk mencapai cita-cita bersama atau mimpi besar (great imagine) masa depan gemilang. Munculnya Jami’at Kheir, NU, Muhammadiyyah, Masyumi adalah upaya –upaya organisasi Islam untuk memperjuangkan anggota-anggotanya. Nahdlatul Ulama yang lahir 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H) menyimpan sejarah kelahiran yang berliku-liku. Selain menghadang arus modernisasi pemikiran yang bertentangan dengan kaum tradisionalis, juga menjadi wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin) Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926), kedua Rapat Akbar Umat Islam Indonesia ini untuk memilih utusan untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Mekah. Kongres Al-Islam di Yogyakarta dan Bandung sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah. KH A Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran madzhab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. (lihat alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72). Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior. Musyawarah-musyawarah kecil itu awalnya hanya melibatkan beberapa tokoh yang datang dari sekitar daerah Ampel, Kawatan, Bubutan, Sawahan dan daerah sekitarnya, semuanya kebanyakan dari Surabaya. Uniknya, rapat semacam itu dilakukan di sebuah mushala yang didirikan oleh H. Musa. Mushala itu terletak Jalan Ampel Masjid (sekarang menjadi Jl Kalimas Udik). Baru setahun kemudian, tepatnya pada 31 Januari 1926 (16 Rajab 1344 H), dalam sebuah pertemuan di rumah Kiai Wahab di kampung Kawatan, Surabaya, yang dihadiri sejumlah ulama dari beberapa pesantren besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, para kiai sepuh sepakat mendirikan Komite Hijaz untuk mengantisipasi gerakan Wahabi, yang didukung secara politik oleh Raja Ibnu Saud. Pertemuan bersejarah itu memang dihadiri oleh beberapa ulama senior yang berpengaruh, seperti KH Hasjim Asj’ari dan KH Bisri Syansuri (Jombang), KH R. Asnawi (Kudus), KH Ma’sum (Lasem, Rembang) KH Nawawi (Pasuruan), KH Nahrowi, KH. Alwi Abdul Aziz (Malang), KH Ridlwan Abdullah, KH Abdullah Ubaid (Surabaya), KH Abdul Halim (Cirebon), KH Muntaha (Madura), KH Dahlan Abdul Qohar (Kertosono), KH Abdullah Faqih (Gresik) dan lain-lain. (sumber: Pengurus Wilayah NU Jawa Timur, Khitthah Nahdhlatul Ulama, Surabaya, Lajnah Ta’lif Wan Nasr, t.t hal 10-11). Pertemuan para ulama di kediaman Kiai Wahab itu juga menyepakati pembentukan sebuah jam’iyah sebagai wadah para ulama dalam memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jam’iyah itu diberi nama Nahdlatoel Oelama (kebangkitan kaum ulama), yang antara lain bertujuan membina masyarakat Islam berdasarkan paham Ahlusunnah wal Jama’ah seperti tertuang dalam Pasal 3 ayat a & b, (Statuten Perkoempulan Nadlatoel Oelama 1926, HBNO, Soerabaia, 1344 H), yakni: ”Mengadakan perhoebungan di antara oelama-oelama jang bermadzhab” dan “memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitab Ahli Soennah wal Djama’ah atau kitab Ahli Bid’ah.” Dalam forum ulama yang cukup sederhana itu, Haji Hasan Gipo (1869-1934) ditunjuk oleh KH Wahab Chasbullah menjadi ketua Tanfidziyah HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama) dengan diampingi KH Rois Said (Paneleh, Surabaya) sebagai Rois Syuriah. Pertemuan tersebut juga memutuskan, mengirim delegasi (Komite Hijaz) antara lain: KH Wahab Hasbullah (Jombang), KH Khalil Masyhudi (Lasem) dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri untuk menghadiri Kongres Islam se-Dunia di Makkah sekaligus menemui Raja Ibnu Saud. Mereka membawa pesan para ulama agar Ibnu Saud menghormati ajaran madzhab empat dan memberikan kebebasan dalam menunaikan ibadah. Dalam jawaban tertulisnya, Ibnu Saud hanya menyatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat madzhab dan paham Ahlusunnah wal Jama’ah. Sampai sekarang, riwayat ketua Tanfidziyah HBNO pertama, yakni Haji Hasan Gipo, sangat sulit dilacak. Hanya saja sejarah mencatat, kepengurusan duet H. Hasan Gipo dan KH. Rois Said berlangsung selama 3 tahun. Menurut buku Karisma Ulama: Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, Yayasan Saifuddin Zuhri dan penerbit Mizan, 1998 hal 49-54 menyebutkan, Hasan Gipo lahir di daerah Kampung Sawahan (sekarang Jl. Kalimas Udik). Ia masih keturunan keluarga besar dari “marga” Gipo sehingga nama Gipo diletakan di belakang nama Hasan. Nama Gipo sebenarnya merupakan singkatan Sagipoddin dari bahasa Arab Saqifuddin, saqaf (pelindung, atap para wali) dan al-dien (agama). Jika dirunut silsilahnya, Hasan Gipo masih punya hubungan keluarga dengan KH. Mas Mansyur, salah seorang pendiri Muhammadiyah, yang juga adalah keturunan Abdul Latief Gipo. Gipo yang berdarah Arab, merupakan saudagar kaya di daerah komplek Ampel, Surabaya. Hingga kampung tempat Gipo kemudian dikenal dengan Gang Gipo dan keluarga ini mempunyai makam keluarga yang dinamai makam keluarga, makam Gipo di kompleks Masjid Ampel. Gang Gipo sendiri kini berubah menjadi Jalan Kalimas Udik. Sebagai orang yang punya keturunan Arab, Hasan Gipo digambarkan bertubuh sedikit besar, berbadan gemuk dan berkumis. Ia dikaruniai tiga putra dan wafat pada tahun 1934. Sebagian keturunan Hasan Gipo kini tinggal di daerah Wonokromo, Surabaya dan Gresik. Baru sesudah Muktamar IV di Semarang (1348 H/1929 M), H. Hasan Gipo digantikan oleh KH Noor (Sawah Pulo, Surabaya) yang didampingi KH Hasyim Asya’ri sebagai Rois Akbar HBNO dengan KH Wahab Chasbullah sebagai Katib ‘Am. (Sumber: surat permintaan pengakuan pengajuan pendirian NO pada 5 September 1929 M oleh kuasa Nahdlatoel Oelama yakni KH Said bin Saleh). Pemerintah Hindia Belanda baru merespon permintaan tersebut pada tanggal 6 Februari 1930 dan masuk dalam besluit (Surat Keputusan) Goebernoer-Djendral (GD) Nomor I x.23.1930. Dalam Statuten itu juga berisi Anggaran Dasar NO yang terdiri 12 pasal yang ditulis dengan dwi bahasa; Belanda dan Indonesia. Yang mengesahkan Badan Hukum NO atas nama GD Hindia-Nederland adalah GR. ERDBINK. Sayang, dokumen penting ini kini berada di Universitas Leiden, Belanda. Kantor HBNO Presiden HBNO pertama, H. Hasan Gipo, menempati sebuah rumah yang sederhana sebagai sekretariat di Jl. Sasak no 32, Surabaya sampai tahun 1945. Selain HBNO, badan otonom NO yakni barisan pemuda Anshor berkantor di Jl Bubutan 6/2, Surabaya. Ketika Surabaya direbut Belanda dan menyusul meletusnya perlawanan rakyat melawan penjajah pada 10 November 1945. KH Muhammad Dahlan, Konsul NO Jawa Timur memindahkan ke Jl. Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda I (1947) dan Pasuruan jatuh ke tangan Belanda, KH Mohammad Dahlan kembali memindahkan kantor HBNO ke Jl. Dr. Soetomo No 9, Madiun. Setahun kemudian, September 1948 meletus pemberontakan PKI Madiun dan disusul dengan Angresi Militer Belanda II. Akhirnya kantor PBNU kembali dipindahkan ke Surabaya. Sejak ibukota Republik Indonesia kembali ke Jakarta, 1950, PBNO juga ikut pindah ke Jakarta. Ruangan kantor PBNO terletak di Jl Menteng Raya 24, kira-kira 300 meter sebelah timur stasiun Gambir. Ruangan tersebut adalah bagian dari Kantor Dagang ‘Waras’, sebuah perusahaan dagang milik orang-orang NO yakni Wahid Hasyim, Zainul Arifin dan Achsien. Sekalipun berpindah-pindah kantor, NO telah menjelma menjadi ‘bayi raksasa’ seperti yang telah diramalkan KH Cholil, Bangkalan. Pengurus Cabang dan Wilayah secara cepat telah tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia dan menadapat dukungan yang luas dari para Kiai serta santri pesantren salaf. Tak mengherankan jika pada Pemilu 1955, dalam tempo kurang dari tiga tahun persiapan, NO mampu menduduki tiga dari the big four (empat besar) pemenang pemilu dengan jumlah pemilih 6.955.141 suara; setelah PNI dan Masyumi, posisi keempat ditempati PKI. Tentu, untuk ukuran sebuah organisasi sosial kemasyarakatan dan partai politik Islam terbesar di Indonesia, kantor NO di Menteng Raya sudah sangat tidak layak. Pada 1956, KH Saifuddin Zuhri sewaktu menjabat Sekjen PBNO meminta KH Mohammad Dahlan untuk mencari tempat yang lebih layak. Dua minggu kemudian, Dahlan melapor kepada KH Saifuddin Zuhri bahwa calon gedung PBNO terletak di Jl. Kramat Raya No 164. Ketika melihat bangunan fisiknya, Saifuddin merasa kurang cocok dengan gedung itu. Baginya, gedung tersebut hanya layak sebagai toko. Dahlan terus meyakinkan Saifuddin bahwa letak yang strategis dan harganya juga murah, cuma Rp 1.250.000,- dan dapat diangsur dua kali. Menurut KH Mohammad Dahlan, sulit mencari gedung yang baik dan harga terjangkau PBNO karena kondisi keuangan PBNO waktu itu kurang menggembirakan. (sumber: Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987). Selain itu ada cerita menarik lainnya, dahulu KH Mohamad Dahlan dan KH Saifuddin Zuhri mempunyai kesukaan yang sama yakni makan sup, gulai dan sate kambing di Jl. Raden Saleh yang terkenal sangat nikmat. Mengapa Dahlan ngotot memilih gedung di Jl Kramat 164 sebagai kantor PBNU, menurut Subhan ZE kepada KH Saifuddin Zuhri.”Letaknya kan hanya 300-400 meter dari warung makan (RM di Jl. Raden Saleh) langganan kita,” kata Dahlan kepada Subchan ZE dengan tertawa terkekeh-kekeh. Tanpa disadari sebelumnya, kantor PBNU itu ternyata berhadapan dengan CC-PKI. Seperti diketahui Jalan Kramat Raya itu memanjang dari ujung paling utara di Senen Raya dan ujung paling selatan di Salemba Raya. Di jalan strategis dan sibuk itu 4 partai politik menempatkan kantor mereka. Pada satu deretan berjarak antara 200-300 meter berdiri kantor DPP Masyumi, CC PKI persis di muka PBNU, mendekati Salemba Raya berdiri kantor DPP-PNI. Hingga kini, setelah 70 tahun lebih berselang, gedung di Jl Kramat Raya 164 tetap dimanfaatkan sebagai kantor PBNU. 1999 sewaktu KH. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden RI, gedung PBNU direnovasi menjadi gedung megah berlantai delapan.(***) 7 Berdampingan Membangun Betawi Kaum Alawiyin berdampingan dengan ulama lokal Betawi, di Jakarta atau Batavia itu. Ada sebutan Habaib yang menandakan bahwa ia adalah anak keturunan Rasulullah SAW Para Habaib itu datang ke Betawi sejak jaman penaklukan Sunda Kelapa oleh R Fatahillah (Jatinegara Kaum) dan seiring migrasi besar-besaran dari tanah Hijren terutama pada abad 18. Dalam dunia Islam, baik dari sunni maupun syiah, di Arab maupun di luar Arab, bertarikat ataupun tidak, dikenal dengan adanya golongan-golongan yang mengaku sebagai ahlul bayt, atau sebagai keturunan nabi. Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, mereka banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW. Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah : Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri. Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi. Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman. Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad. Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif). Berjuang Jenderal Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia (1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia, ibukota Hindia Belanda. Dia tinggal di Rijswijk (kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana Negara). Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House. Dalam salah satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap — lembaga kesenian yang para anggotanya beragama Kristen — Raffles meminta mereka belajar pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara pendekatan mereka dalam mengajarkan Al Qur’an yang kala itu menjadi bacaan dan pelajaran di kampung-kampung Betawi. Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi Nasrani itu mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh. ”Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan,” kata Letnan Jenderal Gubernur Inggris saat itu. Seperti layaknya meneruskan perang Salib, sekalipun tidak sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk terhadap para mubaligh dan kiai — figur yang dihormati di masa penjajahan. Ia memang banyak belajar dari kekalahan kumpeni pada Sunda Kelapa yang saat itu ditaklukan R Fatahillah. Sesudah Sunda Kelapa kembali berusaha direbut VOC Kumpeni, tetapi itupun sangat tidak mudah bahkan terus menerus mendapat perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh kyai dari Jawa, para ulama dan Jawara, pendekar Banten yang bahu membahu mempertahankan Sunda Kelapa atau Batavia dari pendudukan penjajahan asing. Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini — sekalipun oleh para ulama Betawi tidak diindahkan — lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga pendidikan Islam bermunculan. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal berbunyi, ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah.” Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, Prof Dr Abdul Karim Amrulah (HAMKA) yang selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah dan anak negeri bagaikan minyak dan air — meskipun keduanya dimasukkan ke dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu. Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang berkedudukan cukup baik. Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan ulama terkemuka. Seiring dengan arus urbanisasi itu, mereka datang ke Sunda Kelapa pada waktu itu. Ini bisa dilacak dengan kedatangan para Habaib di bumi Betawi di makam-makam keramat yang ada di Luar Batang, Kramat Bandan, Koja, Kwitang, Al Hawi, Kalibata dll yang menandakan bahwa kaum Habaib tidak membentuk komunitas sendiri menjadi kaum Arab, namun bersimbiosis dengan ulama lokal Betawi dalam bahu membahu pergerakan dakwah Islam dari masa lalu hinggi kini. Pergerakan jalur maritim lewat pantai utara Jawa yakni Pelabuhan barang Tanjung Priok dan Pasar Ikan Muara Angke. Yang awalnya komunitas penduduk itu berada di belahan utara Jakarta sedikit demi sedikit bergeser ke arah Selatan atau Kota mulai dari Pekojan, Tanah Abang, Senin, hingga akhirnya kawasan kampung Arab tidak bisa menjadi dominasi penduduk karena Jakarta sudah bercampur baur. Ada mungkin orang akan mencari jejaknya lewat kumpulan makam Habaib Arab yang ada di Kramat Luar Batang, kampung Bandan, Al Hawi Cililitan, Kalibata, hingga Bekasi, Depok, Bogor bahkan Banten. Keberadaan makam para Habaib ini tetap lestari karena ziarah makam, peringatan Maulid dan Haul (memperingati hari meninggalnya orang), upacara menikah, tasmiyah (aqiqah, pemotongan rambut pada bayi) sampai upacara saat meninggal menjadi tradisi dan adat kalangan Habaib. Berdampingan Kaum Habaib sangat terbuka dan berjalan seiring berdampingan dengan ulama setempat, karena ajaran Islam yang dibawa sama, bahkan ulama lokal banyak berguru dengan Habaib dan Habaib juga banyak berguru dengan ulama Betawi yang berbobot. Sebenarnya banyak ulama Betawi yang kiprah keulamaannya cukup menonjol masa itu, namun sayang sekali tidak banyak yang berhasil didokumentasikan. Beberapa yang berhasil diketahui berkiprah dalam melaksanakan ibadah haji saat ini — dengan pesawat udara — hanya perlu waktu 10 jam. Tidak demikian ketika perjalanan masih menggunakan kapal layar. Perlu waktu berbulan-bulan, mungkin lebih setahun, dengan berbagai resiko selama pelayaran. Dalam suasana demikian, sejak abad ke-18 orang Betawi banyak yang pergi ke kota suci Mekah. Mereka menjalankan ibadah haji. Karena perjalanan yang begitu sulit, setelah menunaikan rukun Islam ke-5, banyak yang tidak kembali ke tanah air dan bermukim di Mekah al Maukaramlah. Mereka yang bermukim di sana menggunakan Al Batawi sebagai nama keluarga. Menjadi kebiasaan para pemukim ketika itu menjadikan nama kota asalnya sebagai nama keluarga. Misalnya, Syech Abdul Somad al Falimbani dari Palembang, Syech Arsyad Al Banjari dari Banjarmasin, Syech Basuni Imran al Sambasi dari Sambas dan Syech Nawawi al Bantani dari Banten. Masih dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syech Junaid, seorang ulama Betawi, mulai bermukim di Mekah. Ia pun memakai nama al-Betawi. Ia amat termashur karena menjadi imam di Masjidil Haram. Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama Mahzab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syech kelahiran Pekojan Jakarta Barat, ini. Enam ulama Betawi mulai Guru Marzuki, Guru Mughni, Guru Mansyur, Guru Madjid, Guru Mahmud dan Guru Khalid juga dikemudian hari yang hadir sebagai simpul pengikat mata rantai emas keilmuan (sanad ‘ilm) dari hampir setiap ulama di kemudian hari. Keenam guru utama ini adalah murid terkemuka Syekh Junaid Al Betawi. Selama itu di Betawi bukan sepi oleh perlawanan rakyat. Justru bersamaan dengan berakhirnya Perang Diponegoro, saat itu di Betawi muncul awal letupan-letupan sosial sebagaimana Kisah Si Pitung, Jampang dan Entong Gendut dan nun jauh di bagian barat Betawi yakni bagian paling Barat Pulau Jawa, Kab Cilegon (sekarang Provinsi Banten-red), muncul pemberontakan lokal petani desa oleh Haji Wasid, H. Abdul Karim, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Ulama-ulama lokal yang pergi haji, kemudian banyak belajar dengan Syaikh Junaid di Mekkah. Syech Junaid mempunyai dua orang putera dan dua orang puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya yang menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syech Junaid yakni As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun. Kawasan Pekojan dikenal melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim Roji’un, dan Kyai Syamun. Termasuk Habib Ustman bin Yahya dan Guru Mansyur dari Kampung Jembatan Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan guru Mansyur berseru kepada penduduk, ”Betawi, rempug.” Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Al Habsji (1870-1966), ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman yang melukis gambar Pangeran Diponegoro bertempur dengan seekor macan sambil memegang pistol sambil terjatuh.. Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang menjadi murid Habib Ali, seperti KH R Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, KH Fathullah Harun dan KH Sjafi’i Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad. Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan — sebagai bagian dari jihad fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Al Hamidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu. Di antara murid Syekh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syech Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syech Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syech Junaid. Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syech Junaid. Pasangan ini menurunkan guru Mujtaba tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujtaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syech Nawawi al Bantani dan Syech Ahmad Khatib al Minangkabawi. Sedangkan putera almarhum guru Marzuki Cipinang Muara Jakarta Timur, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya. Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia, seperti KH Abdullah Syafi’ie dari perguruan Assyafiiyah dan KH Tohir Rohili dari perguruan Tohiriah di Bukitduri Tanjakan, Jakarta Timur. Kedua perguruan Islam (Assyafiiyah dan Tohiriah) itu kini berkembang pesat sekali. Keduanya memiliki sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.  KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, kini merupakan masjid yang megah. Mushola bekas kandang sapi itulah yang kemudian menjadi cikal bakal perguruan Asyafiiyah. Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Al-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie — perguruannya menghasilkan ribuan orang — di antara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia. KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Dalam diri beliau tercermin betul warna NU dan Muhammadiyah-an. Toh beliau mampu menjadikan diri sebagai model kombinasi yang menarik itu. Kalau KH Abdullah Sjafii pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi. Maka, rekan seangkatannya, KH Tohir Rohili selama dua periode pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan. Seperti juga KH Abdullah Syafiie, ia mulai berdakwah keliling Jakarta dengan bersepeda. Tiap Ahad pagi, di majelisnya yang juga merupakan kediamannya, diadakan pengajian, yang jamaahnya cukup banyak. Ulama Betawi, angkatan KH Abdullah Syafii dan KH Tohir Rohili, yakni Mualim Rojiun, KH Nur Ali, Bekasi, sangat ditakuti oleh Belanda karena keberaniannya di front terdepan Bekasi — Karawang — Purwakarta, KH Fathullah Harun, KH Zayadi dari Klender, Mualim Tabrani, Paseban, dan sejumlah kyai lainnya.  Ulama Betawi sesudah angkatan ini adalah KH Syafi’i Hazami, mantan ketua MUI Jakarta Raya, yang memiliki belasan perguruan Islam di Ibukota. Kemudian KH Abdurahman Nawi, yang kini memiliki tiga buah pesantren yang kesemuanya bernama Al-Awwabin, di Tebet, Depok I, dan Tugu (Sawangan Depok). Tiga pesantrennya itu memiliki ribuan santri sejak tingkat TK sampai SLTA. Bersamaan dengan KH Abdurahman Nawi yang memiliki tiga pesantren — sebuah di Tebet (Jakarta Selatan) dan dua di Depok — KH Abdul Rasyid AS, putera almarhum KH Abdullah Sjafii, kini juga membangun majelis taklim di Pulau Air, Sukabumi. Di sini dia telah menghasilkan santri-santri yang memperdalam Alquran. Sementara, kakaknya, Hj Tuty Alawiyah AS, kini tengah mengembangkan Perguruan dan Universitas Asyafiiyah, di Jatiwaringin, Jakarta Timur. KH. Abdurahman Nawi sendiri merupakan salah seorang murid KH Abdullah Sjafii. KH Abdul Rasyid kini juga tengah menyiapkan pembangunan Universitas Islam KH Abdullah Sjafii dan rumah sakit Islam di Sukabumi di atas tanah seluas 28 hektar. Satu angkatan dengan kedua ulama itu adalah Habib Abdurahman Al Habsyi, putera Habib Muhammad Al Habsji dan cucu Habib Ali Kwitang. Pada awal abad ke-20 Habib Ali mendirikan madrasah modern dengan sistem kelas yang diberi nama Unwanul Falah. Perguruan Islam yang juga menampung murid-murid perempuan ini, sayang, terhenti pada masa proklamasi. Karena itulah, Habib Ali yang meninggal tahun 1968 dalam usia 102 tahun dianggap sebagai guru para ulama Betawi, banyak diantara mereka pernah belajar di sekolahnya. Dia adalah murid Habib Usman Bin Yahya, yang pernah menjadi Mufti Betawi. Hampir bersamaan datang dari Hadramaut Habib Ali bin Husein Alatas. Dia bersama Habib Salim Bin Jindan banyak ulama Betawi yang belajar kepadanya. Termasuk KH Abdullah Syafii, KH Tohir Rohili, dan KH Sjafii Al Hazami. Yang belakangan ini kelahiran Gang Abu, Batutulis, Jakarta Pusat. Mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika kecil, di Batutulis, belajar agama kepadanya. Salah seorang ulama Betawi kelahiran Matraman yang merupakan penulis produktif adalah KH Ali Al Hamidy. Dia telah menulis tidak kurang dari 19 kitab dan buku, seperti Godaan Setan. Menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, KH Ali Al Hamidy setiap minggu membuat naskah khotbah Jumat yang digunakan para khotib di masjid-masjid. Tidak hanya di Jakarta tapi juga di Sumatera. Termasuk masjid-masjid ahlussunah wal jamaah, sekalipun tulisannya lebih kental kearah Muhammadiyah. Tatkala masuk penjara dalam Orde Lama karena kedekatannya dengan Masyumi, ia berhenti menulis. Dan, akhirnya penguasa mengijinkan ia menulis naskah khutbah Jumat dari balik terali penjara. Sampai tahun 1970-an, dikenal luas nama ulama KH Habib Alwi Jamalullail, yang telah beberapa kali mendekam di penjara, baik pada masa Orla maupun Orba, karena keberaniannya mengkritik pemerintah, yang kala itu dianggap tabu. Pada masa itu di Betawi sejaman dengan Singa Podium Jakarta Habib Novel bin Salim bin Ahmad Jindan alm, Habib Syekh Ali Jufri alm (Condet), KH Syukron Makmun, KH Hasyim Adnan (Kayu Manis) dll. Perjuangan Habib Alawi kemudian diteruskan oleh puteranya, Habib Idrus Djamalullail, yang pada tahun 1995 mengajak demo forum alim ulama Betawi yang pada waktu itu dikomandani KH Saifuddin Amsir ke DPR menolak SDSB. Keluarga Jamalullail termasuk generasi awal yang datang ke Indonesia dari Hadramaut pada abad ke-18. Mereka banyak terdapat di Aceh. Yang Dipertuan Agung Malaysia sekarang ini juga dari keluarga Jamalulail. Islamisasi di Betawi mendapatkan momentum baru tatkala Sultan Agung melancarkan dua kali ekspedisi ke Batavia untuk menyerang VOC. Terlepas ekspedisi ini tidak berhasil menyingkirkan penjajah Belanda, tapi dari segi kultural, ekspedisi itu mencapai hasil yang mempesona. Para tumenggung Mataram, setelah gagal mengusir Belanda, setelah tinggal di Jakarta, banyak menjadi juru dakwah yang handal. Mereka telah mempelopori berdirinya surau-surau di Jakarta — yang kini menjadi masjid — seperti Masjid Kampung Sawah, Jembatan Lima, yang didirikan pada 1717. Salah seorang ulama besar dari kampung ini adalah guru Mansyur. Ia lahir tahun 1875. Ayahnya bernama Abdul Hamid Damiri al Betawi. Pada masa remaja dia bermukim di Mekah. Di kota suci ini dia berguru pada sejumlah ulama Mekah, seperti Syech Mujtaba bin Ahmad Al Betawi. Guru Mansyur sewaktu-waktu hadir dalam majelis taklim Habib Ustman, pengarang kitab Sifat Duapuluh. Guru Mansyur menguasai ilmu falak, dan memelopori penggunaan ilmu hisab dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya Idul Fitri serta Idul Adha di Jakarta. Dia juga merupakan penulis produktif. Tidak kurang dari 19 kitab karangannya. Guru Mansyur mendalami ilmu falak, karena dulu di Betawi orang menetapkan awal Ramadhan dan lebaran dengan melihat bulan. Kepala penghulu Betawi menugaskan dua orang pegawainya untuk melihat bulan. Jika bulan terlihat, pegawai tadi lari ke kantornya memberi tahu kepala penghulu. Kepala penghulu meneruskan berita ini kepada masjid terdekat. Mesjid terdekat memukul beduk bertalu-talu tanda esok Hari Raya Idul Fitri atau Hari Idul Adha. Tahun 80 sampai akhir tahun 2000 an gaya berdakwah ulama Betawi tetap berbobot dan bersahaja. Di balik riuh denyut ibukota, kehadiran gaya orasi KH Zainudin MZ (alm) adalah cukup fenomenal sebagai awal kebangkitan dakwah di akhir abad 19 karena banyak menyedot perhatian dan simpati puluhan ribu pengunjung dan dakwah Islam menjadi menarik bisa masuk ke acara televisi, media telivisi dan elektronik. Kemunculannya lewat polesan KH Dr. Idham Khalid alm semasa menjadi ketua NU dan sekaligus Ketua PPP pada waktu itu, di kemudian hari menjadikan gaya berdakwah KH Zainuddin MZ dan H. Rhoma Irama (Bang Haji) pada Pemilu 1977 menjadi rujukan banyak ustadz dan kyai yang masuk ke dalam dunia televisi dan media. Mulailah bermunculan dai-dai bintang ibukota yang lahir dari sentuhan dingin dari Habaib dan ulama Betawi. Dengan demikian, selain arus gelombang urbanisasi pada kurun tahun 70-90 an dan simbiose mutulalisme masyarakat setempat pada akhirnya banyak juga melahirkan ulama-ulama yang sebelumnya belajar pada ulama-ulama lokal bahkan internasional kemudian masuk ke ibu kota berbaur dengan tradisi masyarakat setempat, seperti Buya Hamka alm (Univ Hamka), KH Sukron Makmun (Ittiihadul Mubalighin, Ponpes Darul Rohman, Kebayoran Baru), KH Abdurrahman Wahid alm (PBNU Ciganjur), Prof. Dr. Nur Kholismadjid alm (Paramadina), KH Iskandar Noer As-Shidiqy (Assyidiqiyah Jakarta Barat) dll dan belakangan seabrek ustadz-ustadz muda muncul ke panggung dakwah seperti Ustadz Jefry Bukhori (alm), KH Arifin Ilham (Ad Zikra Depok), Ustadz Solmed, Ustadz Guntur, Ustadz Cecep, Ustadz Maulana, Mamak Dedeh dan yang jelas bukan ustadz dadakan dan ustadz karbitan dll. Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak melulu berada di atas panggung podium (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama dan Habaib juga berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan. Ada banyak ulama Betawi yang cukup banyak dikenal produktif menulis kitab bukan sekedar penerjemah seperti Dr Nahrowi Al Indunisie alm (Mampang), Syekh Muhadjirin Amsar Ad-Dari alm (Bekasi Utara), Guru Mansyur, Syaikh Junaid Al Betawi, KH Syafi’i Hadzami, dll. Tentu berbeda dengan gaya ustadz baru pada jaman sekarang yang mudah tergiur oleh perang tarif dan rating di media, sehingga mudah pasang harga. Sudah barang tentu pergerakan ustadz jaman sekarang, akan mudah terkikis oleh para ustadz dan Habaib kampung Betawi yang ikhlas berdakwah dan mereka cukup berbobot secara keilmuan dan mereka kuat menjaga tradisi dalam menjalankan ajaran agama. Ulama dan Habaib lokal Betawi juga dikenal sangat keras dan kuat serta energik dalam mengembangkan syiar Islam di berbagai majlis taklim dan pesantren yang begitu banyak tersebar seantero Ibu Kota Jakarta, karena sangat jelas mereka sangat mengerti ilmu agama (‘alim) dan bisa dijadikan petunjuk (mua‘alim). Untuk mendapatkan mereka sangat mudah, cukup hadir dengan melakukan rihlah dan silaturahmi di banyak acara pengajian, peringatan Maulid atau Haul ulama serta Habaib yang ada di Jakarta. Ulama dan Habaib di Jakarta dapat dikatakan berdampingan dalam berdakwah. Lahan dan garapan umat yang mendiami kota Jakarta yang sangat luas serta ber ragam, namun masih dalam satu nafas gerakan Islam, satu Thariqah (jalan) yakni Thariqah Islam Ahlus Sunnah wal Jamma’ah. Pluralitas dan keberagaman aliran serta madzhab dalam Islam yang bersebar di berbagai lembaga agama, organisasi masa bahkan partai politik bila dikelola dengan baik tentu saja dalam pengembangan dan penyebaran ajaran Islam yang penuh Rahmatan Lil ‘Alamin ini dengan cara-cara tawassut, i’tidal, toleran dan mauizah’idzotil khasanah akan melahirkan kekayaan khazanah keilmuan (dapat menjadi al ikhtilafu ummah ila rahmah) dan budaya Islam yang menjadi modal sosial dalam membangun negeri. Jadi gerakan modernisasi dan yang puritan tradisional dalam Islam sebenarnya bisa berjalan seiring dan seirama dalam menyongsong masa depan yang lebih baik. Yang mencirikan pergerakan Habaib adalah pada masa kini, kalangan ini biasa di sebut kaum Alawiyin, karena bernasab dengan jalur keturunan Rasulullah SAW dan berbagai pesantren serta majlis taklim yang ada di Ibu kota ini tidak menjadi ekslusif, namun semakin terbuka menerima murid atau jamaah anak muda, sehingga tidak heran Majlis Taklim yang awalnya hanya terkenal di Majlis Taklim Minggu Pagi Habib Ali Kwitang Kawasan Pasar Senin, Jakarta Pusat, kini banyak bermunculan semacam Majlis Taklim Habib Munzir (alm) yang terkenal dengan Majlis Rasulullah SAW, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Mustofa Alaydrus Tebet, Majlis Taklim Nurul Musthofa Habib Hasan bi Jakfar Assegaf dan ribuan majlis Taklim dan pesantren yang tersebar di seantero Betawi saat ini. Begitulah kota Jakarta. Sejak dahulu di saat rimbunnya pepohonan menebar hawa sejuk keshalihan , seluruh penjuru kota Betawi hingga sekarang. Tatkala keberkahan udara sejuk itu seakan tersapu oleh bumbungan asap polusi maksiat kota metropolitan, Jakarta bisa dibilang hampir tidak pernah sepi melahirkan tokoh –tokoh ulama berbobot yang turut menghias indah sejarah perjalanan syiar Islam Nusantara. (***) 8 Peran Strategis Ulama Indonesia Masa Kini Dalam membangun bangsa yang maju besar dan beradab, agama memiliki peran yang sangat besar. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak dulu Ulama-ulama berperan sangat besar dalam mengayomi dan membangun masyarakat, baik melalui pendidikan, dakwah dan lain sebagainya. Peran ulama yang sedemikian besar itu diemban oleh para ulama tidak lain karena ulama adalah pewaris dari ajaran naby (al ulama’ warisatun anbiya, sementara tugas ulama selain liyatafaqqahu fiddin, mengggali, merumuskan dan mengembangkan pemikiran keagamaan, tetapi juga memiliki tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaaan yaitu tugas liyundziru qaumahum (membangun masyarakat) yakni membentuk kepribadian.  Dalam kaitan dengan masalah masyarakat, Ulama masa kini memiliki beberapa tugas pertama adalah pembangunan mental-spiritual, pembentukan kepribadian atau karakter masyarakat (character building) ini sangat penting agar lahir kader orang-orang  atau masyarakat yang memiliki sikap, memiliki ketegasan, memiliki prinsip serta memiliki tanggung jawab baik terhadap Tuhan dan terhadap sesama manusia dan terhadap bangsa dan Negara. Karena itu para ulama memiliki tugas kedua yaitu nation building (pembangunan bangsa). Dengan adanya pembantukan karakter (character building) itulah nation building (pembangunan bangsa) bisa dilaksanakan dan ini merupakan modal dasar bagi state building (membangun Negara). Dengan nation building ini maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani, karena memiliki kepribadian nasional yang kokoh, sehingga bisa berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa beradab yang lain. Tugas ketiga adalah criticism buiding (membangun sikap kritis), ini sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap ulama terhadap negara taat mutlak bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi terhadap pemerintah yang ada ulama menerapkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Sementara dalam melakukan amar ma’ruf sendiri perlu menggunakan etika,”Amar ma’ruf bil ma’ruf.”(Barangsiapa mengajak kebaikan maka dengan cara yang baik pula). Pun demikian dalam mencegah kemunkaran dengan cara-cara yang baik pula, mauidzotil khasanah (nahy munkar bil ma’ruf-red). Sikap kritis Ulama dalam mendukung atau mengkritik pemerintah ini didasari oleh pertimbangan etis, bukan oleh pertimbangan politis, karena itu akan dilakukan terus walaupun Ulama sudah banyak di Partai Politik dan Ormas, namun ulama memang memiliki tugas moral atau etis. Kembali pada upaya character building dan nation building, ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini merupakan persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ketika sekolah dan lembaga pendidikan lain termasuk lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukan tugas ini. Sementara gelombang globalisasi yang begitu besar menghancurkan sendi-sendi bangsa ini di semua sektor kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan moral, budipekerti, akhlaq dan lunturnya karakter. Penanaman rasa cinta tanah air dan bangga terhadap sejarah serta peradaban sendiri itu dilakukan karena berdasarkan pertimbangan bahwa: (barang siapa tidak memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air, maka tidak memiliki sejarah, barang siapa tidak memiliki sejarah maka tidak memiliki memori dan karakter). Bagi orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka dia akan menjadi bangsa tidak memiliki karakter, dan bangsa yang tidak memiliki karakter akan kehilangan segalanya. Politiknya akan hilang, peradabannya akan merosot dan aset ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi bangsa yang miskin dan tidak terhormat. Inilah pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air, dan karena itu tidak henti-hentinya, ulama-ulama Indonesia sejak jaman dahulu menanamkan rasa cinta tanah air. Penegasan pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI ini merupakan bentuk paling nyata dari rasa cinta tanah air tersebut. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Dalam pengertian itulah agama ditempatkan sebagai unsur mutlak dalam nation dan character building. (Said Agil Siraj, Pidato Harlah NU ke 89). Pentingnya pendidikan karakter ini tentu menjadi kewajiban para ulama untuk membentuk kader-kader pejuang ummat. Syarat-syarat berjuang bagi ummat Islam di jaman sekarang menurut Prof. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah” (spiritualisme sosial) dengan: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al Qur’an ; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan sirah (membaca biografi) beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al Qur’an dan sunnah dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah. KH Sahal Mahfudz dalam sebuah buku Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS) telah mengisaratkan akan adanya kemungkinan munculnya kekhawatiran berlebihan, yang dapat menimbulkan keputusasaan dan sikap pesimis di kalangan umat terhadap gejala kekosongan ulama, sehingga akan mendorong persiapan sedini mungkin. Pembicaraan kali ini menyangkut ulama. Tidak sembarang orang boleh dan mampu memberikan kriteria ulama, karena ia memiliki nilai lebih yang sering kali tidak dapat dijangkau oleh keawaman umat. Saya hanya menggunakan kriteria dan batasan ulama menurut al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin yang menyebutkan, ulama adalah seorang yang rajin beribadah, zuhud, alim dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu-ilmu ukhrawi, senantiasa ikhlas karena Allah dan faqih dalam segala aspek kemaslahatan umat. Dari kriteria itu, yang seringkali tidak dipahami secara benar adalah sebutan “faqih” bagi ulama. Ada dua pengertian yang hampir sama, yakni faqih dan mutafaqqih. Faqih secara harfiah berarti seorang yang alim fiqih. Sementara mutafaqqih adalah orang yang menguasai fiqih. Kedudukan faqih berada di atas mutafaqqih, karena di dalam mengkaji masalah-masalah fiqih seorang faqih tidak hanya memahami teks-teks kodifikasi fiqih yang sudah matang, akan tetapi juga melalui kajian-kajian suplementer, seperti ushul al-fiqh, qowa'id al-fiqh, ishtilah al-fuqaha' dan lain sebagainya. Sedangkan mutafaqqih adalah seorang yang hanya menguasai masalah-masalah yang telah terbukukan dalam kitab fiqih yang ada. (KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS) Mengapa isu krisis ulama muncul? Barangkali melalui tarikan garis historis yang panjang kita akan dapat menyimak munculnya isu itu. Semenjak beberapa abad yang lalu, konsep fiqih yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Indonesia sempat menjadi sumber nilai. Fiqih tidak saja berlaku sebagai norma yang berwatak legalistik, tapi juga mewarnai sikap dan perilaku masyarakat. Bahkan sebagian konsep tersebut telah dianggap sebagai subkultur yang telah menyatu dengan kehidupan yang ada. Kecenderungan seperti ini sebagai hasil nyata dari kemampuan para ulama yang telah mencoba memasyarakatkan fiqih, dengan pendekatan kultural sedemikian rupa, sehingga perubahan budaya dengan nilai-nilai Islami dari ajaran fiqih berjalan beriringan begitu mulus tanpa menimbulkan kerawanan yang berarti. Secara konvensional, ajaran-ajaran fiqih itu dimodifikasi oleh para ulama sedemikian rupa sesuai dengan tradisi yang ada pada zamannya. Membicarakan masalah ulama, konsep-konsep dan keadaan masyarakat yang berbudaya fiqih tentu tidak mungkin lepas dari membicarakan eksistensi pesantren yang telah memberikan kontribusi paling besar bagi pembudayaan fiqih itu sendiri. Sejak berdirinya, pesantren merupakan lembaga tafaqquh fiddin (memahami agama) yang begitu kuat, mengakar dan sekaligus diterima oleh masyarakat pada zamannya. Lembaga ini memang lahir di tengah-tengah masyarakat kelas bawah, sehingga warna konvensional sangat pekat tampak dalam sikap, langkah dan pemikiran pesantren. Namun justru berangkat dari kesederhanaan demikian, pesantren menjadi lebih mudah mengakomodasikan nilai-nilai fiqih ke dalam kehidupan yang ada. Bagaimanapun, masyarakat lebih suka menerima hal-hal yang tidak terlalu asing, aneh, dan berkesan baru serta modern bagi segala aspek perilaku kehidupannya. Masyarakat pada masa itu cenderung menolak apa saja datang dari penjajah, tentu saja bercorak modern, baru dan asing. Hal ini malah semakin mendukung langkah pesantren dalam mengkonsumsikan ajaran-ajaran fiqih. Sebagai lembaga tafaqquh fiddin, pesantren membekali para santrinya dengan ilmu-ilmu yang bermuara pada pendalaman masa’il diniyah (masalah-masalah agama). Ilmu-ilmu fiqih paling kuat mempunyai manfaat dalam hal itu, karenanya pesantren menjadi getol mengkajinya ketimbang ilmu-ilmu yang lain, meski tidak berarti meninggalkannya. Kekentalan eksistensi pesantren sebagai lembaga tafaqquh fiddin berjalan beberapa abad lamanya sampai suatu saat ketika pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan bentuk pendidikan baru yang benama sekolah, untuk mengimbangi pengaruh pesantren. Perubahan pun tak terelakkan lagi. Pesantren juga mengimbangi sistem klasikal yang dimiliki oleh sekolah dengan mendirikan lembaga pendidikan dalam pesantren yang bertitel madrasah, yang secara harfiah adalah terjemahan dari sekolah. Pada mulanya, pesantren dengan madrasahnya itu, meski wilayah garapannya bertambah akan tetapi justru semakin memantapkan eksistensinya di tengah masyarakat. Madrasah sebagai wujud pengembangan pesantren, juga tetap menitikberatkan tafaqquh fiddin sebagai garapan utamanya. Hanya saja, sistem dan metodenya berbeda dengan pesantren tradisional (salaf). Madrasah-madrasah pesantren pada waktu itu belum mengenal sertifikasi bagi setiap lulusannya dan juga akreditasi sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan lain. Baru ketika mulai diperkenalkan pendidikan guru agama oleh pemerintah yang diikuti dengan pengangkatan guru negeri dengan gaji tetap, maka mulai tampak pergeseran nilai-nilai ikhlas, dari menuntut ilmu li wajhillah menjadi karena ijasah. Dampaknya, eksistensi pesantren menjadi kabur, bahkan hilang identitasnya secara perlahan. Fenomena pergeseran nilai semacam itu tidak bisa semata-mata diartikan sebagai kemunduran pesantren secara total. Sampai saat ini masih cukup banyak ditemukan pesantren tradisional, baik di Jawa maupun luar Jawa, meski profilnya tentu saja tidak seperti yang ada pada tahun 60-an ke belakang, di mana para alumnus pesantren masih dapat digolongkan sebagai mutafaqqih. Pergeseran tersebut hanya merupakan kasus secara individual, yang menimpa para insan pesantren dan bukan secara kolektif. Lalu di mana letak krisis ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas telah tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal. Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas di dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemahan kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama persis dengan aslinya. Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada reduksi dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai kesenjangan yang kentara dan tidak mustahil akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren. Isu krisis ulama agaknya pernah coba dihadapi dan ditanggulangi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang lalu, ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang semakin menuntut peran ulama lebih besar lagi. Meskipun banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu kekosongan ulama, akan tetapi jumlah kuantitas umat yang kian bertambah, tentu tidak akan cukup hanya dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah. Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha'’(ahli-ahli ilmu fiqih) yang rapih dengan manajemen dan pendanaan yang memadahi. Kebutuhan dan urgensi akan lembaga ini pernah muncul dan dibahas dalam sebuah forum ulama pada sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu, alhamdulillah sambutan para ulama cukup positif. Saya beserta para ulama pengasuh pesantren yang hadir mencoba memformulasikan lembaga yang ideal bagi penempaan kader-kader fuqoha’ yang alami, zuhud dan ikhlas itu.Alhamdulillah pula, gaung yang ada terus bersambut. Pihak-pihak yang merasa terkait kemudian mencoba untuk berpartisipasi. Sebagai contoh, lahirlah madrasah aliyah program khusus yang diprakarsai Departemen Agama. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian. Pendidikan Sosial Keagamaan Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar yang membentuk watak dan perilaku secara sistematis, terencana dan terarah. Sedangkan sosial, secara ensiklopedis berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat atau secara abstraksis berarti masalah-masalah kemasyarakatan yang menyangkut pelbagai fenomena hidup dan kehidupan orang banyak, baik dilihat dari sisi mikro individual maupun makro kolektif. Dengan demikian, sosial keagamaan berarti masalah-masalah sosial yang mempunyai implikasi dengan ajaran Islam atau sekurang-kurangnya mempunyai nilai Islamiah. Pendidikan sosial keagamaan seperti pada lazimnya mempunyai tujuan, media dan metoda serta sistem evaluasi. Media dalam hal ini bisa berupa kurikulum atau bentuk-bentuk kegiatan nyata. Yang terakhir inilah yang akan menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena, syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual mau pun kelompok) dengan Allah SWT, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya. Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun sosial). Interaksi kedua terumuskan dalam bentuk mu’amalah dan mu’asyarah. Prinsip mu'amalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga menjadikan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme (al-isytirakiyah al-mutlaqah). Ia juga tidak menitikberatkan penguasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki konsen (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme (al-ra'sumaliah al-mutlaqah). Akan tetapi Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada pelbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari dan lain-lain. Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam pelbagai dimensi kepentingan dan struktur sosial. Dalam kepentingan kemaslahatan umum, kaum Muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerja sama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak di luar Islam. Sedangkan antara kaum Muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiah bagi segala bentuk sikap dan pelilaku pergaulan sehari-hari. Dari sisi struktur sosial yang menyangkut stratifikasi sosial bisa dilihat, bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya hubungan lingkar balik antara ulama, umara' (pemerintah), aghniya’ (orang kaya) dan kelompok fuqara’ (orang fakir). Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu’asyarah antara pelbagai kelompok sosial dengan pelbagai status masing-masing. Disiplin sosial secara sosiologis dapat diartikan sebagai suatu proses atau keadaan ketaatan umum atau dapat juga disebut sebagai “ketertiban umum”. Ketertiban itu sendiri merupakan aturan mu’asyarah antar masyarakat baik yang ditentukan oleh perundang-undangan mau pun yang tidak tertulis, hasil bentukan dari suatu kultur atau budaya. Dapat juga, ia merupakan nilai-nilai yang berlaku, baik yang berorientasi pada budaya mau pun agama. Bagi Islam, bentuk disiplin sosial adalah kesadaran menghayati dan melakukan hak dan kewajiban bagi para pemeluknya, baik dalam sikap, perilaku, perkataan perbuatan mau pun pemikiran. Dalam hal ini, di dalam Islam dikenal ada huquq Allah (hak-hak Allah) dan huquq al-Adami (hak-hak manusia). Sedangkan hak-hak manusia pada hakikatnya adalah kewajiban-kewajiban atas yang lain. Bila hak dan kewajiban masing-masing bisa dipenuhi, maka tentu akan timbul sikap-sikap sebagai berikut: Solidaritas sosial (al-takaaful al-ijtima'i), toleransi (al-tasamuh), mutualitas/kerjasama (al-ta’awun), tengah-tengah (al-i'tidal), dan stabilitas (al-tsabat). Sikap-sikap itu merupakan disiplin sosial yang sangat erat hubungannya dengan ajaran Islam yang mempunyai cakupan luas, seluas aspek kehidupan yang berarti, bahwa Islam sebenarnya mampu menjadi sumber referensi nilai bagi bentuk-bentak kehidupan sosial. Lebih dari itu, mengaktualisasikan sikap-sikap itu dengan motivasi ajaran dan perintah agama, berarti melakukan ibadah. Disiplin sosial dapat juga identik dengan ibadah dalam Islam (dengan amal). Dari uraian pada ketiga kerangka di atas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa masalah-masalah sosial ke agamaan Islam meliputi semua aspek kehidupan sosial sementara itu ajaran Islam telah meletakkan landasan yang kuat dan fleksibel bagi sikap dan perilaku dalam disiplin sosial. Pendidikan ke arah itu sebenarnya implisit masuk dalam pendidikan Islam. Karena pendidikan Islam seutuhuya yang menyangkut iman (aspek ‘aqidah), Islam (aspek syari’ah), hubungan antar manusia (muamalah) dan ihsan (aspek akhlaq, etika dan tasawuf) akan berarti melibatkan semua aspek rohani dan jasmani bagi kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun makhluk sosial. (***) 9 Pendidikan Berbasis karakter "Begitu terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mengemukakan pendapatnya, “Untuk membangun bangsa ini dengan melakukan  revolusi mental.” Revolusi mental hanya bisa diwujudkan melalui dunia pendidikan (Gramsci). Dalam era globalisasi yang terjadi saat ini membawa masyarakat  Indonesia  melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan dini kepada anak-anak. Dari kasus kekerasan yang semakin marak di tanah air ini menunjukan bahwa masyarakat ternyata mampu melakukan tindak   kekerasan yang sebelumnya mungkin belum pernah terbayangkan. Hal ini karena globalisasi telah membawa kita pada “penuhanan” materi sehingga terjadi ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi dan tradisi kebudayaan masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan runtuhnya karakter bangsa  Indonesia pada saat ini. Di antaranya adalah faktor pendidikan. Kita tentu sadar bahwa pendidikan merupakan mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan karakter bangsa dan juga berfungsi sebagai arena mencapai tiga hal prinsipal dalam pembinaan karakter bangsa. Ada tiga hal prinsipal dalam membangun karakter bangsa; Pertama, pendidikan sebagai arena untuk re-aktivasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan , nasionalisme , sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau  adalah  bukti keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak masyarakat maju, berbudaya dan berpengaruh. Kedua, pendidikan sebagai sarana  untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa. Ketiga, pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek di atas, yakni se-aktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif , ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pemerintah. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh instansi dan pemerintah. Berdasar fenomena tersebut dan menyadari akan pentingnya pendidikan berbasis karakter sebagai tindak lanjut dan jalan keluar dari berbagai masalah dan testimoni tantangan multidimensional dunia pendidikan. Di mana dunia pendidikan di Indonesia dinilai belum mendorong pembangunan bangsa. Hal ini disebabkan oleh ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan pada pasar. Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan nasional telah kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur. Dunia pendidikan telah kehilangan ruhnya lantaran tunduk dengan pasar bukan pencerahan pada peserta didik.Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan , karena kehilangan  karakter itu sendiri. Selain itu faktor kemunduran bangsa Indonesia adalah karena bobroknya mental pejabat di pemerintahan. Ini bisa dilihat dari skor korupsi, di mana Indonesia merupakan rangking tertinggi sebagai negara terkorup se Asia Tenggara. Jika melihat kondisi terburuk dalam korupsi, maka pantaslah bangsa Indonesia mengalami kemunduran dalam berbagai macam posisi di dunia. Untuk mengawasi permasalahan tersebut, pemerintahan yang  terbentuk di bawah Kabinet duet H. Joko Widodo dan H. Yusuf Kala (Jokowi-Kala), pemerintah harus membina membangun bangsa dengan menanamkan nilai-nilai positif (pendidikan berbasis karakter), agar bangsa Indonesia memiliki karakter yang positif dan mampu bersaing dengan negara lain di era  globalisasi. Gagasan pembangunan bangsa yang unggul sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Di mana Presiden Soekarno pada waktu itu telah menyatakan perlunya nation and character building sebagai bagian integral dari pembangunan bangsa. Ir Soekarno (Presiden 1) pada waktu itu menyadari bahwa karakter bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia. Cukup banyak fakta empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan besar dalam mencapai tingkat keberhasilan dan kemajuan bangsa. Contoh pertama adalah bangsa Cina. Negeri Cina dikatakan tidak lebih makmur di banding Indonesia pada tahun 1970-an. Namun, dalam kurun kurang lebih 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah berhasil bangkit menggerakan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan birokrat (pemerintahan) tanpa pandang bulu baik secara struktural maupun substansial. Sementara itu, budaya kerja keras menampak pada semangat rakyat Cina untuk bersedia selama 7 hari dalam seminggu untuk bekerja demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja menjadi pengekspor terbesar, akan tetapi produksi ekspor Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi tinggi. Contoh lainnya adalah India. Negeri India telah berhasil menjadi berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua terbesar sedunia, pencapaian posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri merupakan prestasi  yang membanggakan. Keberhasilan ini didorong  keinginan yang kuat (karakter) bangsa India untuk dan membangun dengan kemampuan sendiri atau dikenal dengan budaya swadesi. Prinsip inilah yang membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai kebutuhan hidup mulai dari paling sederhana  seperti sabun mandi  hingga mobil, mesin-mesin industri, kapal laut bahkan  pesawat terbang dibuat sendiri. Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah (tidak mempunyai keunggulan kompetitif) dengan bangsa Jepang maupun barat, namun semangat Swadesi (cinta produk dalam negeri) secara komparatif produk-produk domestik India telah menjadikan ketergantungan India terhadap produk impor yang sangat rendah. Ekonomi India bukanlah yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India tidak ada (zero). Karakter bangsa-bangsa lainnya juga hampir sama.Prinsipnya adalah ada kombinasi antara semangat  juang, disiplin, dan kerja keras. Indonesia yang memiliki sumber daya alam dan sumber  daya manusia yang melimpah ruah seharusnya dapat menjadi salah satu bangsa yang unggul di kancah dunia. Namun, untuk mencapai hal tersebut bangsa Indonesia haruslah berbenah diri terlebih dahulu dan harus membangun bangsa ini dengan menumbuhkan karakter positif diri setiap bangsa Indonesia. Pemerintah Jokowi-JK sebagai rregulator dan instruktur bahkan sekaligus dirigen dari kabinet sudah terbentuk sejak bulan Oktober 2014 perlu membangun  langkah-langkah strategis agar dapat membentuk karakter bangsa Indonesia yang unggul dan siap bersaing dengan bangsa lain di era globalisasi. Beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk membangun karakter bangsa antara lain: Pertama, menginternalisasikan pendidikan karakter pada instansi pendidikan sejak tingkat dini atau anak-anak. Kedua, menanamkan sebuah koordinasi gerakan revitalisasi kebangsaan bersama generasi muda, yang diarahkan terutama pada penguatan ketahanan masyarakat dan bangsa terhadap upaya nihilisasi pihak luar terhadap nilai-nilai budaya positif bangsa Indonesia. Ketiga, meningkatkan daya saing bangsa dalam bentuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Daya saing sebagai salah satu keunggulan yang dimiliki suatu entitas dibandingkan entitas lainnya, bukanlah baru muncul di era  abad ke 21 sekarang ini namun sudah muncul sejak jaman yang lampau. Daya saing di sini tentunya harus dipahami dalam arti yang lebih luas. Peran teknologi dan informasi serta telekomunikasi hanya sebatas mempercepat sekaligus memperbesar peran daya saing dalam menentukan keunggulan suatu entitas dibandingkan dengan entitas lainnya. Keempat, menggunakan media sebagai penyalur upaya pembangunan karakter bangsa. Dimana peran media ada tiga yakni sebagai informasi, edukasi dan hiburan. Peran strategis ini dapat diberdayakan pemerintah dengan kerja sama yang baik antara pemerintah dan pemilik media dalam penayangan informasi yang positif dan mendorong karakter bangsa yang kompetitif. Keempat langkah di atas hanyalah sebagian dari langkah-langkah strategis yang dapat diambil  oleh pemerintahan yang baru akan terbentuk untuk membangun karakter bangsa ini. Masih banyak cara yang dapat ditempuh agar dunia pendidikan bangsa ini memiliki  kapasitas daya saing yang tinggi, agar  mampu memberikan komplementasi baik keunggulan komparatif maupun kompetitif pada persaingan global sehingga mampu menyumbangkan dan memberikan peran pada sektor perekonomian dan sektor-sektor lainnnya. Semoga! (***) Makalah ini dimuat di http://www.muslimedianews.com/2015/02/membangun-pendidikan-berbasis-karakter.html 20 Februari 2015 10 Misi Pendidikan Islam Masalah pendidikan di negara kita telah menarik perhatian berbagai kalangan, mengingat pendidikan belum bisa beranjak dari masalah-masalah dari kurang berkualitasnya para lulusan sekolah , masih banyaknya guru yang mismatch sampai kurang memadainya gaji para guru yang menyebabkan proses pengajaran mereka lakukan kurang terkonsentrasi. Berbagai upaya perbaikan telah dilakukan dengan dibuatnya undang-undang yang menjamin pendidikan yang memadai hingga peningkatan insentif guru. Tetapi masalah pendidikan itu belum kunjung reda. Dari aspek kualitas pendidikan, kita berada jauh di bawah negara-negara maju, bahkan jika kita bandingkan dengan negara tetangga kita yakni Malaysia dan Philipina. Belum lagi kalau kita tengok kepada bangsa Indonesia pendidikan semakin hari semakin merosot moralnya. Buruknya kondisi moral bangsa ini tetntunya berkaitan dengan tidak berhasilnya misi pendidikan. Banyak orang menilai bahwa kegagalan pendidikan di negeri ini pada umumnya disebabkan kurang diarahkannya pendidikan kita pada pembentukan karakter bangsa (nation caracter building). Pengajaran di sekolah sekolah atau perguruan tinggi hanya difokuskan pada penguasaan siswa terhadap pelajaran-pelajaran yang diberikan. Mengenai masalah ini, pendidikan kita memang berhasil meluluskan para anak didiknya setiap tahun dari berbagai pendidikan tinggi dan sekolah, sehingga secara statistik jumlah orang pintar selalu bertambah. Kalau pendidikan pada umumnya kurang memberi perhatian pada aspek pembentukann karakter, hal ini kelihatannya lebih ditangani oleh lembaga lembaga pendidikan agama. Sesuai dengan tradisinya, pendidikan Islam sebenarnya lebih menekankan pada aspek pendidikan karakter, seperti terlihat dari berbagai aspek materi yang diajarkannya. Akan tetapi sekolah-sekolah agama pun sekarang ini terkesan telah meninggalkan habitatnya. Mereka justru telah meninggalkan tradisinya hanya untuk melayani kebutuhan umum yang dikelola pesantren , misalnya,  sama saja dengan pembelajaran sekolah-sekolah umum yang memeberi pelajaran sekuler dengan meninggalkan pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan budi pekerti dan akhlak. Sudah menjadi pemahaman umum di kalangan kaum muslimin bahwa mencari ilmu pengetahuan merupakan keharusan atau mendekati kewajiban mengingat pengetahuan manusia itu hidup dan dengan pengetahuan pula mereka mengabdi kepada Allah SWT sesuai dengan hadist Rasulullah SAW, ”Mencari ilmu itu merupakan kewajiban (faridhotun) bagi umat Islam baik laki-laki maupun perempuan”. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadist Nabi Muhammad SAW,”Carilah ilmu sejak kamu dalam ayunan sampai kamu masuk liang kubur.” Allah SWT secara tegas memberikan penghargaan kepada mereka yang berpengetahuan dan mengangkat derajat oraang-orang yang berilmu. ”Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang –orang yang berilmu melebihi orang lainnya: QS Adzariyat : 56). Ketinggian derajat orang yang berilmu itu jelas terlihat dalam kehidupan bermasyarakat kita. Orang-orang yang berilmu itu telah menjadi penerang dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan kita sebagai manusia. Jadi benarlah apa yang diungkapkan melalui sebuah kata ulama bahwa “ilmu itu adalah cahaya”, karena dengan ilmu lah manusia mendapat jalan terang untuk mengarungi kehidupannya. Penghargaan terhadap orang berilmu sendiri juga disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, ”khoirunnas anfa’uhum linnas” (Yang paling bagus di antara kamu adalah yang paling bermanfaat bagi manusia). Sejarah Islam telah memperlihatkan bahwa melalui ajarannya yang menganjurkan pencarian pengetahuan yang menyebabkan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang berbudaya tinggi (civilized). Perkembangan pengetahuan dalam masa Islam awal telah melahirkan berbagai macam ahli yang kemudian bisa menerangi dunia dengan pengetahuannya. Dengan berbagai tuntutan yang dikemukakan di atas, apa yang disodorkan oleh Islam sebenarnya bisa disederhanakan pada apa yang disebut “longlife education”. Ini berarti bahwa pendidikan dalam Islam bukan hanya pembelajaran di dalam kelas , di mana para murid mendapatkan pengetahuan dari para guru. Pendidikan dalam Islam haruslah dijadikan sebagai media pembentukan watak dan karakter, sehingga anak didik tidak hanya pintar, tetapi juga berperadaban secara pengetahuan atau berakhlaq. Akhlaq itu bukan hanya aspek moralitas tingkah laku atau sopan santun manusia, tetapi juga menyangkut sikap , pandangan atau bahkan karakter seorang muslim. Dengan demikian, pendidikan adalah totalitas pembentukan manusia supaya berguna bagi sesamanya dengan mempunyai akhlaq yang tinggi. Imam Ghozali merumuskan akhlaq sebagai potensi yang dipunyai manusia dalam kaitan manusia berperan sebagai khalifatul fil ardhi. Potensi ini harus diarahkan agar bisa memberikan manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya. Pendidikan, sekali lagi harus dapat memberikan manfaat bagi kemanusiaan, yakni ketika pendidikan mampu membentuk manusia-manusia yang tidak hanya pintar tapi juga berakhlaq atau berperadaban. Sering dikatakan orang bahwa menjadi orang pintar itu gampang, sebab dengan disekolahkan orang akan menjadi pintar, artinya mempunyai pengetahuan. Yang tidak mudah adalah membentuk manusia pintar  dan berakhlaq. Imam Ghozali membedakan akhlaq itu ke dalam akhlaq karimah dan akhlaq madzummah. Ahlaq karimah adalah potensi manusia yang direalisasikan dalam kehidupan nya yang memberi manfaat bagi sesama manusia. Sedangkan akhlaq madzummah itu muncul ketika potensi manusia tidak memberikan manfaat bagi manusia. Jadi dalam hal ini akhlaq tidak diartikan semata-mata sebagai sopan santun, tetapi sebagai peradaban. Akhlaq itu adab sebagaimana dikatakan Rasulullah SAW, ”addabani rabbi fa ahsana ta’dibi”. Memang berbeda Rasulullah SAW yang mengajari akhlaq beliau adalah Allah SWT sehingga ta’dib nya tentu sempurna. Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang berakhlaq mulia. Jadi ahlaq mulia itu tidak hanya berkaitan dengan sopan santun tetapi juga sikap dan karakter manusia yang diarahkan untuk memberikan manfaat bagi umat manusia. Misi pendidikan Ada dua konsep penting yang berkaitan yang berkaitan dengan keberadaan manusia yang karenanya pendidikan yang kita lakukan juga diarahkan ke sana. Konsep itu terangkum dalam firman Allah SWT, ”wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun”, yang artinya adalah, ”tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah Ku”. Perintah Allah SWT mengharapkan manusia agar menjadi hamba yang Islam (yang taat) yang melaksanakan  perintah-Nya. Nilai-nilai yang terkandung dalam perintah Allah SWT ini bersifat universal. Artinya hal itu berkaitan dengan ukuran yang sama dirumuskan oleh manusia. Al Qur’an dalam hal ini mendorong manusia agar menjadi khalifatullah (khalifah Allah) di bumi yang berarti menjadi hamba Allah yang mengurusi kehidupannya dan kehidupan manusia lainnya. “mengurusi” itu mempunyai arti yang luas, tidak hanya berarti menjadi pemimpin manusia juga mengekplorasi rahasia alam dan lainnya untuk kepentingan umat manusia. Karena itulah dalam pendidikan Islam anak didik itu dengan pengetahuannya diarahkan untuk mempunyai tanggung jawab terhadap sesamanya. Dengan berilmu manusia itu dibebani untuk membantu sesamanya dan menciptakan tidak saja masyarakat yang religius tetapi juga masyarakat yang makmur, tidak kekurangan. Jadi misi pendidikan tidak saja membentuk kesalehan individu menjadi abdullah (hablum minallah) belaka namun juga kesalehan sosial di mana seorang manusia juga dituntut menjadi manusia yang baik secara sosial (kholifatullah). Dalam konsep kholifatullah itulah dimensi akhlaq mendapatkan tempat, karena salah satu aspek yang harus dipenuhi manusia untuk menjadi khalifatullah yang berhasil adalah masalah keberadaban (akhlaq). Pemenuhan kedua konsep di atas adalah bentuk ekspresi dari keimanan dan keislaman umat Islam. Islam itu memang berkaitan dengan masalah akidah dan syariah, yang menuntut manusia untuk mempersembahkan keimannya kepada Allah SWT serta memberikan ketaatannya atas aturan –aturan Nya. Sepertti sering dinyatakan dalam ajaran Islam sendiri, pencapaian keduanya haruslah seimbang dalam artian tidak ditinggal salah satunya, karena keduanya yakni hablumninnallah dan hablumminannas merupakan hal yang saling berkaitan dengan keislaman itu sendiri. Dalam dunia pendidikan, pengenalan kedua hal itu harus ditekankan karena keduanya menjadi sumber pembentukan karakter para siswa. Jadi, pendidikan Islam itu membentuk kesalehan secara menyeluruh. Orang yang saleh itu bukan hanya yang taat beribadah, tetapi juga harus peduli dengan masalah kehidupan sosial manusia. Dengan kata lain, kesalehan yang harus dibentuk melalui pendidikan keagamaan juga kesalehan sosial dan kesalehan religius. Orang yang taat sholat di masjid harus juga menjadi orang yang peduli lingkungan dan orang yang mengikuti aturan sosial yang berlaku. Di jalanan, misalnya, orang yang saleh itu harus menjadi pengendara yang baik, mentaati semua peraturan lalu lintas, karena melakukan hal itu juga bagian dari keharusan agama, yakni menjadi khalifah di muka bumi. Memang banyak nilai-nilai dan ajaran Islam yang mendorong manusia untuk beradab tadi. Misi pendidikan Islam sebaiknya diarahkan bagi terbentuknya manusia yang mengabdi kepada Allah SWT dengan juga melakukan masalah keduniawiyannya sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah SWT. Jangan sampai pendidikan yang dilakukan melulu untuk mencerdaskan bangsa dengan tanpa mengasah unsur spritualnya. Demikian juga kurang sempurna pendidikan hanya bagi pembentukan spiritual manusia dengan melupakan maslaah-masalah duniaawi di mana manusia sendiri hidup. Penggabungan keduanya menjadi keharusan, sebab disamping hamba yang taat menjadi kekasih Allah SWT, tetapi juga menjadi khalifah di muka bumi yang mendapatkan nilai lebih dari Allah SWT. (***) Makalah ini dimuat di http://www.muslimedianews.com/2015/03/misi-pendidikan-islam.html 8 Maret 2015 11 Peran dan Sejarah Dakwah Kaum Habaib di Nusantara Dengan berbagai silsilah yang dinyatakan sebagai yang paling valid atau benar, para Habaib atau banyak dikenal sebagai jalur keturunan (nasab) Rasulullah SAW banyak yang diagung-agungkan oleh ummat. Dalam sejarah Hejaz, keturunan nabi ini hingga abad ke-20 memegang peranan penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Dinasti Othoman di Turki, karena hampir dipastikan corak Negara yang bersifat khilafah bahkan di beberapa bagian dari kerajaan Islam dunia berangsur-angsur mulai digantikan oleh yang bercirikan Republik atau Nasionalis yang sifatnya territorial, berdasarkan letak kepulauan atau dalam batas-batas tertentu daratan sebagaimana semangat dan watak Demokrasi yang mulai bergaung dari jaman Revolusi Prancis, Yunani di belahan Eropa dan berkembang dengan Revolusi Amerika, sejak itulah Negara Demokrasi menjadi pilihan utama bagi Negara-negara yang masih terjajah oleh Post Kolonialisme. Semenjak masa-masa sebelumnya mereka ini mendapat tempat khusus dimata penduduk Hejaz. Mereka dibaiat menjadi penguasa dan imam serta pelindung tanah suci. Dalam tatanan Hejaz, mereka diberikan sebutan Syarif untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Sedangkan diluar Hejaz, dari beberapa golongan ada yang memberikan title Sayyid dan Sayyidah, atau juga dengan sebutan Habaib, dan lain sebagainya untuk memberikan satu tanda bahwa mereka yang diberikan titel ini dianggap masih memiliki kaitan darah dan nasab dengan Nabi Muhammad SAW. Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri dalam bukunya Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah : Imam (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum Khawariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri. Syaikh (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Habaib (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan al-Qadri di kepulauan Komoro dan Pontianak, al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina. Tokoh utama Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa, juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin Syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi. Sayyid (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecemerlangan kaum Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar. Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa Alawiyin atau qabilah Ba’alawi dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman. Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawi digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawi) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawi hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwi bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan Alawiyin diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. Kaum Arab, terutama yang beragama Islam telah sejak berabad lamanya melakukan perniagaan dengan berbagai negara di dunia, yang selanjutnya menciptakan jalur-jalur perdagangan dan komunitas-komunitas Arab baru diberbagai negara. Dalam berbagai sejarah dinyatakan bahwa kaum Arab yang datang ke Indonesia merupakan koloni Arab dari daerah sekitar Yaman dan Persia. Namun, yang dinyatakan berperan paling penting dan ini diperlihatkan dengan jenis madzhab yang ada di Indonesia, dimungkinkan adalah dari Hadramaut. Dan orang-orang Hadramaut ini diperkirakan telah sampai ke Indonesia semenjak abad pertengahan (abad ke-13) sesudah adanya huru-hara di Baghdad. Secara umum, tujuan awal kedatangan mereka adalah untuk berdagang sekaligus berdakwah, dan kemudian berangsur-angsur mulai menetap dan berkeluarga dengan masyarakat setempat. Dari mereka inilah kemudian muncul banyak tokoh dakwah yang termaktub dalam team Walisongo dan banyak tokoh dakwah islam hingga masa sekarang. Walaupun masih ada pendapat lain seperti menyebut dari Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, tampaknya itu semua adalah jalur penyebaran para Mubaligh dari Hadramawt yang sebagian besarnya adalah kaum Sayyid (Syarif). Para sayyid Alawiyin menyebarkan da’wah Islamiyah di Asia Tenggara melalui dua tahap, pertama hijrah ke India. Kemudian pada tahap kedua dari India ke Asia Tenggara, atau langsung dari Hadramaut ke Asia Tenggara melalui pesisir India. Di antara yang hijrah ke India adalah seorang alim syarif Abdullah bin Husein Bafaqih ke kota ‘Kanur’ dan menikahi anak menteri Abdul Wahab dan menjadi pembantunya sampai wafat. Salah seorang Habaib lainnya adalah Syarif Muhammad bin Abdullah Alaydrus yang terkenal di kota Ahmadabad dan Surat. Ia hijrah atas permintaan kakeknya Syarif Syech bin Abdullah Alaydrus. Begitu pula keluarga Abdul Malik yang diberi gelar ‘Azhamat Khan’. Dari keluarga inilah asal keturunan penyebar Islam di Jawa yang disebut dengan Wali Songo. Kemudian dari India, mereka melanjutkan perjalanannya ke Indonesia, yaitu daerah pesisir utara Sumatera yang sekarang dikenal dengan propinsi Aceh. Menurut Prof. Dr. Hamka, sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan-keturunan Hasan dan Husain itu datang ke tanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, Kepulauan Indonesia dan Filipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam di seluruh Nusantara ini. Penyebar Islam dan pembangun kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanau dan Sulu. Sesudah pupus keturunan laki-laki dari Iskandar Muda Mahkota Alam pernah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail jadi raja di Aceh. Negeri Pontianak pernah diperintah bangsa sayid al-Qadri. Siak oleh keluarga bangsa sayid Bin Syahab. Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa sayid Jamalullail. Yang Dipertuan Agung III Malaysia Sayid Putera adalah raja Perlis. Gubernur Serawak yang sekarang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang ialah dari keluarga Alaydrus. Kedudukan mereka di negeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri di mana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi ulama. Mereka datang dari Hadramaut dari keturunan Isa al-Muhajir dan al-Faqih al-Muqaddam. Mereka datang kemari dari berbagai keluarga. Yang kita banyak kenal ialah keluarga Alatas, Assaqaf, Alkaf, Bafaqih, Alaydrus, Bin Syekh Abubakar, Al-Habsyi, Al-Haddad, Bin Smith, Bin Syahab, Al-Qadri, Jamalullail, Assiry, Al-Aidid, Al-Jufri, Albar, Al-Mussawa, Gathmir, Bin Aqil, Al-Hadi, Basyaiban, Ba’abud, Al-Zahir, Bin Yahya dan lain-lain. Menurut keterangan almarhum sayid Muhammad bin Abdurrahman Bin Syahab telah berkembang jadi 199 keluarga besar. Semuanya adalah dari Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Ahmad bin Isa al-Muhajir Illallah inilah yang berpindah dari Basrah ke Hadramaut. Lanjutan silsilahnya ialah Ahmad bin Isa al-Muhajir bin Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far al-Shaddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain al-Sibthi bin Ali bin Abi Thalib. As-Sibthi artinya cucu, karena Husain adalah anak dari Fathimah binti Rasulullah saw. Orang-orang Arab Hadramaut mulai datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad 18, sedangkan kedatangan mereka di pantai Malabar jauh lebih awal. Perhentian mereka yang pertama adalah Aceh. Dari sana mereka lebih memilih pergi ke Palembang dan Pontianak. Orang Arab mulai banyak menetap di Jawa setelah tahun 1820, dan koloni-koloni mereka baru tiba di bagian Timur Nusantara pada tahun 1870. Pendudukan Singapura oleh Inggris pada tahun 1819 dan kemajuan besar dalam bidang perdagangan membuat kota itu menggantikan kedudukan Aceh sebagai perhentian pertama dan titik pusat imigrasi bangsa Arab. Sejak pembangunan pelayaran dengan kapal uap di antara Singapura dan Arab, Aceh bahkan menjadi tidak penting sama sekali. Di pulau Jawa terdapat enam koloni besar Arab, yaitu Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang dan Surabaya. Di Madura hanya ada satu yaitu di Sumenep.. Koloni Arab di Surabaya dianggap sebagai pusat koloni di pulau Jawa bagian Timur. Koloni Arab lain yang cukup besar berada di Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Lumajang, Besuki dan Banyuwangi. Koloni Arab di Besuki mencakup pula orang Arab yang menetap di kota Panarukan dan Bondowoso.Koloni-koloni Arab Hadramaut khususnya Alawiyin yang berada lokasi pesisir tetap menggunakan nama-nama famili mereka, sedangkan Alawiyin yang tidak dapat pindah ke pesisir karena berbagai sebab kemudian berganti nama dengan nama Jawa, mereka itu banyak yang berasal dari keluarga Bayaiban, Ba’bud, Bin Yahya dan lainnya. Kebanyakan para Habaib ini menempuh jalan Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba'Alawi adalah suatu tarekat sufi Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba'alawi, bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/k. 1178 M, dan wafat 653 H/k. 1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman, selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania, India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M-653H/1255 M Tarim-Yaman). Ada dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya. Pertama ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW.  Di Kemudian hari, keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan  spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya dokumen sejarah islam sebelum abad 17  cukup sulit dilacak. Meski begitu, beberapa catatan tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan keluarga istana raja-raja muslim. Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam. Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran  Islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah. Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan batin yang tulus dan suci. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at) dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada orang lain. Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada Rasulullah SAW. Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para politisi. Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan. Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya. Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah. Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah. Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus. Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri. Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan suluknya kepada guru mursyid lain. Di kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai keilmuan) ke ulama dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad ilm’) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba'Alawi bila ditinjau berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi'iyah. Sedangkan bila ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy'ariyyah. Pengajaran keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba'alawi ialah mengajarkan berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma'had dan rubath tarekat ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah). Tarekat Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah SAW. Mereka menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati. Dari situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan horizontal (antara sesama manusia). Selain itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam) di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Saadah Bani Alawy pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama, sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan zaman dan tetap eksis sampai saat ini. Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih Ba’alawi pernah ditanya, “Apa dan bagaimana tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi (keluarga Bani Alawy) itu?. Apakah cukup didefinisikan dengan ittibĆ¢’ (mengikuti) Quran dan sunah?. Apakah terdapat pertentangan di antara mereka?. Apakah tarekat mereka bertentangan dengan tarekat-tarekat yang lain?.” Dia pun menyampaikan jawabannya sebagai berikut : “Ketahuilah, sesungguhnya tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi merupakan salah satu tarekat kaum sufi yang asasnya adalah ittibĆ¢’ (mengikuti) Quran dan sunah, pokoknya adalah sidqul iftiqĆ“r (benar-benar merasa butuh kepada Allah) dan syuhĆ»dul minnah (menyaksikan bahwa semuanya merupakan karunia Allah). Tarekat ini mengikuti ittiba’ manshĆ»sh dengan cara khusus dan menyempurnakan semua dasar (ushĆ»l) untuk mempercepat wushĆ»l. Melihat hal ini, maka tarekat Saadah Aal Abi ‘Alawi lebih dari sekedar mengikuti Quran dan Sunah secara umum dengan mempelajari hukum-hukum dhohir. Pokok bahasan ilmu ini sifatnya umum dan universal, sebab tujuannya adalah untuk menyusun aturan yang mengikat orang-orang bodoh dan kaum awam lainnya. Tidak diragukan bahwa kedudukan manusia dalam beragama berbeda-beda. Oleh karena itu diperlukan ilmu khusus untuk orang khusus, yakni ilmu yang menjadi pusat perhatian kaum khowwash, ilmu yang membahas hakikat takwa dan perwujudan ikhlas. Demikian itulah jalan lurus (shirĆ“thol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut. Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq, asrĆ“r, maqĆ“mĆ¢t dan ahwĆ¢l. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan dan karunia yang diberikan Allah, sebagaimana syairku dalam Ar-Rasyafaa.(***) Kunjungi www.facebook.com/muslimedianews Sumber MMN: http://www.muslimedianews.com/2016/03/peran-dan-sejarah-dakwah-kaum-habaib-di.html#ixzz43OrNS9Cp 12. Sejarah Pergerakan Kaum Perempuan Indonesia Setiap bulan April kita mengenal Hari Kartini, sebagai Hari Pergerakan Kaum Perempuan atau Hari Ibu. Berbicara pergerakan kebangsaan atau sejarah pergerakan nasional yang membicarakan perjuangan bangsa Indonesia membangkitkan kesadaran nasional, pergerakan Muslimah Indonesia juga turut menyumbangkan catatan sejarah yang tak kecil.  Membicarakan tentang organisasi perempuan, tentu saja kita tidak dapat melupakan perjuangan pahlawan perempuan sebelumnya yang mengantarkan kita kepada kemajuan-kemajuan yang telah kita capai sekarang. Pada jaman Kolonial Belanda, di antara nama pejuang perempuan yang terkenal, yaitu Martha Christina Tiahahu dari Maluku, Raden Ayu Ageng Serang dari Jawa, Cut Nyak Dien dari Aceh, dan Cut Meutia dari Aceh. Kemudian kita mengenal RA Kartini dari Rembang, Jawa Tengah, Nyi H Achmad Dahlan dari Yogyakarta, dan Nyi H Rasuna Said dari Sumatra Barat. Seiring dengan modernisasi yang diperkenalkan pihak Kolonial Belanda, isu emansipasi yang menghendaki dibukanya pintu bagi kaum perempuan memasuki alam kemajuan telah berkembang menjadi satu wacana penting, termasuk di kalangan Muslim Indonesia. gerakan perempuan Islam sebagian besar disuarakan oleh mereka yang menjadi bagian dari organisasi pembaruan Islam. Lembaga Aisyiyah adalah salah satu contoh penting dari hal ini. Sebagai bagian dari sayap perempuan Muhammadiyah, gerakan dan pemikiran Aisyiyah untuk memajukan kaum perempuan berada dalam agenda pembaruan Muhammadiyah.Menyangkut bidang pendidikan dan organisasi, gerakan Islam untuk kemajuan perempuan telah menempatkan Rahmah el Yunusiah pada posisi yang demikian penting. Demi mewujudkan cita-citanya, Rahmah membentuk lembaga pendidikan yang didirikan khusus untuk kaum perempuan. Seperti Diniyah School Putri (Madrasah Diniyah li al-Banat) didirikan pada 1 November 1923.Sekolah tersebut sengaja dirancang untuk memberi pendidikan dan selanjutnya meningkatkan derajat kaum perempuan. Selain itu, Rahmah juga mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum ibu yang belum bisa baca tulis. Hj Rahmah El Yunusiah merintis pendirian sejumlah lembaga pendidikan khusus untuk kemajuan kaum perempuan. Karena itu, Rahmah kerap disebut juga sebagai "Kartini perguruan Islam." Aisyiyah sejak semula memang dirancang sebagai orgnaisasi untuk memberi pendidikan Islam bagi kaum perempuan, yakni untuk memimpin, menjaga, dan menuntun anggota perempuan dalam Muhammadiyah hingga mereka mampu membimbing perempuan Indonesia pada umumnya untuk mempunyai keinsafan terhadap agama dan hidup berorganisasi. Dalam hal pendidikan kaum perempuan, kalangan pesantren berbasis organisasi keagamaan NU terbilang berada di belakang kalangan pembaru Muhammadiyah. Melalui organisasi Fatayat, Muslimat dan IPPNU kalangan kaum tradisionalis NU tumbuh berkembang di lapisan kultural pedesaan. Organisasi perempuan di Indonesia bermunculan sejak kepeloporan Aisyiyah yang berdiri pada 1917, yang bergiat dalam bidang pendidikan, terutama untuk tingkat dasar. Dimulai dengan membangun masjid untuk kaum perempuan di Yogyakarta pada 1922 dan Garut pada 1926, Aisyiyah melakukan kegiatan yang terpisah dari aktivitas keagamaan kaum lelaki dengan tujuan agar perempuan bukan menjadi objek, melainkan subjek dari kegiatan keagamaan. Meski dalam perjuangannya tidak pernah menggunakan istilah feminisme, yang dilakukan oleh para aktivis organisasi kegamaan serupa, Aisyiyah ini jelas menyerap pandangan kalangan feminis yang telah lebih dulu lahir di Barat. Melalui sosok dan gagasan Kartini di Jepara, pemikiran feminisme Barat dipersambungkan dengan pemikiran kalangan feminis Muslim di Tanah Air. Kalangan aktivis organisasi Muslimah ini percaya bahwa emansipasi perempuan harus dilakukan melalui perbaikan dunia pendidikan bagi kaum perempuan. Gagasan sekolah untuk kalangan kaum Muslimah ini dilatari oleh semangat reformisme Islam yang sedang memuncak. Sementara, di sisi lain masih terdapat keinginan kuat untuk menempatkan perempuan sebagai penjaga warisan adat. Dengan kata lain, sekolah ini berhasil menyintesiskan tuntutan modernisme di satu sisi dan tradisi di sisi lain. Wacana jender selalu menampilkan wacana stereotif yang membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Selama berabad-abad, masalah ini agaknya kurang mendapat perhatian dan cenderung dilupakan. Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, gerakan-gerakan penentangan terhadap sistem feodalisme menuju pencerahan (aufkllarung)-pun tidak terlepas dari kondisi ini. Sehingga, dari waktu ke waktu dalam rentang sejarah feodalisme hingga abad pencerahan hampir tidak terdengar kritik para pemikir terhadap pandangan gereja yang diperkuat terutama oleh Thomas Aquinas tentang perbedaan derajat laki-laki dan perempuan. Kalaupun ada hal itu tidak menjadi masalah yang cukup krusial dalam upaya umat manusia untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Thomas Aquinas, filsuf skolastik abad ke-13 dalam filsafatnya menyatakan bahwa tatanan sosial merupakan bagian integral dari alam semesta ciptaan Allah. Baginya, Allah telah menciptakan dunia yang teratur sesuai dengan derajat rasionalitas dan kesempurnaan, dan masyarakatpun diciptakan sebagai suatu hierarki yang teratur sesuai dengan derajar rasionalitas. Secara umum, kaum laki-laki dianggap lebih rasional dari pada perempuan, dan karena itu kaum laki-laki harus memimpin kaum perempuan; demikian pula orang tua lebih rasional dari pada anaknya; dan seterusnya. (Hans Fink, 2003: 25-26). Di masa-masa berikutnya perjuangan memperoleh kebebasan umat manusia berjalan sambil membawa ”PR” (pekerjaan rumah) kerangka berpikir yang paternalistik itu, hingga muncul kemudian gerakan-gerakan perlawanan yang menentangnya. Sejarah penyebaran Islam juga bergulat dengan relaitas yang serupa. Seting masyarakat Arab ketika Nabi Muhammad tampil membawa risalah Islam adalah komunitas yang tidak ”memanusiakan” perempuan. Kaum laki-laki dengan sewenang-wenang mencari pasangan perempuan sebanyak-banyaknya tanpa batas. Anak laki-laki lebih dibanggakan dari pada anak perempuan, hingga menyebabkan beberapa suku tertentu memilih untuk membunuh bayi perempuannya. Ini diperparah lagi dengan cara mereka dalam menempatkan perempuan sebagai benda yang bisa diwariskan secara turun temurun. Oleh sebab itu, secara umum dapat dipahami bahwa fakta Al-Quran (baca: Islam) merupakan peristiwa kebahasaan, kebudayaan, dan keagamaan yang berfungsi sebagai garis pemisah dalam sejarah sejarah Arab, antara “pemikiran primitif” (savage thinking), dalam pengertian yang diberikan kepada istilah itu oleh ClaudĆ© Lavi-Strauss, dan “pemikiran berbudaya” (civilited thinking). (Arkoun, 1996: 1). Para ahli sejarah menggambarkan pemisahan itu dalam kronologi linear. Zaman sebelum Al-Quran (Islam) dikaitkan dengan tradisi Jahiliah, yaitu suatu kondisi masyarakat yang secara keagamaan bercirikan paganisme dan secara cultural tergolong “tidak berbudaya”. Sedangkan zaman sesudah Islam dikaitkan dengan pencerahan agama dan budaya, yang biasanya mengambil fakta “negara Islam” di Madinah yang didirikan oleh Nabi Muhammad pada tahun 622 M, sebagai sampel kebenarannya. (Zamzami, 2000: 62). Akibat dari mapannya kultur yang demikian itu, masyarakat dunia secara umum memandang bahwa peran perempuan terbatas pada urusan rumah tangga dan keluarga, sedangkan peran publik dipegang oleh kaum lak-laki. Masalah jender memang demikian rumit, karena tidak terbatas pada perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Lebih jauh lagi harus diperjelas apa batas-batas yang bisa dipersoalkan dalam "pembedaan“ terhadap kedua jenis makhluk ini. Kalau melihat lima prinsip hukum Islam sebagaimana dijelaskan di atas agaknya tidak menjadi persoalan. Artinya, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan, perlindungan, dan jaminan keselamatan. Akan tetapi sejauh menyangkut posisi kaum laki-laki dan perempuan, ada semacam pemahaman yang salah kaprah. Bagaimana Islam menempatkan perempuan? Ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Ada sebagian kalangan menganggap bahwa secara doktrinal ajaran Islam menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Ini merupakan buah penafsiran atas beberapa teks agama yang seolah-olah berbicara demikian. Al-Quran menyatakan bahwa, "kaum laki-laki menguasai perempuan“ (QS. An-Nisa, 4:34). Ayat ini sesungguhnya memberikan pengertian antropologis (Lily Zakiyah Munir (ed.), 1999: 36). Menurut K.H. Abdurrahman Wahid, walaupun diputar-balik, memang laki-laki itu tetap qawwam, lebih tegar, lebih bertanggungjawab atas keselamatan perempuan, ketimbang sebaliknya (secara fisik), dan sebagainya. Bisa juga dalam pengertian psikologis, lelaki melindungi perempuan sebagai makhluk yang dianggap lemah. Akan tetapi ada kekuatan pada diri perempuan, yakni bisa memilih laki-laki. Ini membuktikan bahwa di balik kelemahannya dari segi fisik, perempuan mempunyai kedudukan yang amat kuat. Memang sudah kodratnya lelaki mengejar perempuan. (Lily Zakiyah Munir (ed.) : 36-37). Namun demikian penafsiran yang keliru terhadap ayat itu akan menyebabkan Islam secara ideologis seperti membedakan posisi laki-laki dan perempuan. Penafsiran semacam itu tidak akan pernah terjadi seandainya umat Islam mau melakukan kajian yang serius terhadap asbĆ¢b an-nuzĆ»l ayat itu dengan memperhatikan konteks sosial yang ada saat itu. Model pengkajian semacam ini sudah dikembangkan berabad-abad yang lalu oleh para ahli ilmu Al-Quran seperti As-Suyuthi, Al-Wahidi, dan lain sebagainya. Di tempat lain, ada hadis yang menyatakan: “Jangan serahkan urusan penting kepada perempuan“. Hadis ini sering dijadikan legitimasi ideologis oleh sebagian kelompok umat Islam untuk melakukan proraganda dalam menghalang-halangi akses politik dalam berpolitik dan menghalang-halangi mereka untuk berperan dalam ruang publik. Sesungguhnya akan berbeda pemahamannya ketika mereka mempertimbangkan seting sosial masyarakat yang selalu berkembang dari zaman ke zaman. Untuk ini para ulama terdahulu sesungguhnya telah mengembangkan ilmu asbĆ¢b al-wurĆ»d yang berbicara tentang latar belakang munculnya hadis. Ahli sejarah manapun akan mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad bangsa Arab dan sekitarnya, tertutama yang belum menganut Islam, menggunakan model kepemimpinan atas dasar suku, kabilah, klan keluarga, dan semacamnya. Bahkan tampilnya dinasti-dinasti Islam pasca al-khulafĆ¢ ar-rĆ¢syidĆ»n, seperti Umawiyah, Abbasiah, Fathimiyah, dan lain sebagainya, sering dianggap sebagai menguatnya kembali rasa kesukuan pada bangsa Arab setelah perekat spiritual di antara umat Islam semakin memudar –dengan tidak menutup mata atas keberhasilan-keberhasilan cemerlang dinasti-dinasti tersebut. Penghormatan terhadap perempuan yang digariskan oleh Islam bukti bahwa Islam selangkah lebih maju dibandingkan dengan peradaban yang lebih dulu eksis dan tumbang. Pada saat perempuan dikebiri haknya, Islam memberikan secara proporsional hak-hak tersebut, dalam banyak hal, mereka setara dengan laki-laki, bahkan lebih mengetahui, seperti dalam kasus pengetahuan keagamaan keperempuanan, Aisyah RA contohnya.  Tak mengherankan bila sejarah mencatat banyak tokoh dari golongan hawa yang sukses menorehkan prestasi di berbagai bidang. Meski, perbandingannya masih teramat kecil. Bagi Fatimah Mernissi itu wajar, mengingat budaya patriarki yang teramat kental dalam masyarakat Arab saat itu. Meski demikian, peradaban Islam menjadi tonggak bangkitnya kemuliaan perempuan. Mereka berperan besar dalam membangun peradaban yang bermartabat. Di bidang fikih, sejarah mencatat nama Amra' binti Abdurrahman (98 H/716 M), Hafsah binti Sirrin (100 H/718 M), atau Ummu al-Bani Atikah. Ada pula perempuan yang terekam sejarah sebagai ahli hukum, seperti Ummu Isa bin Ibrahim (328 H/939 M) dan Amah al-Wahid (377 H/987 M). Sejarah juga mengabadikan sejumlah nama penyair perempuan. Abu Faraj al-Ishfahani dalam kitabnya yang berjudul Akhbar an-Nisa' fi Kitab al-Aghani memperkirakan jumlah pujangga perempuan itu ada pada kisaran 200 orang. Sebagian besar mereka hidup pada tabiin, generasi kedua pascasahabat. Ada Salamah al-Qash, Khansa, atau Jamilah as-Sulamiyah yang mahir berpuisi dan bermusik. Meski sebagian besar karya mereka nyaris tak berbekas. Sejarawan menyebut, karya-karya sastra mendominasi buku-buku yang dibakar oleh Hulagu Khan saat meluluhlantakkan Baghdad pada 1258 M.   Ada banyak alasan tentunya mengapa tokoh-tokoh perempuan sepanjang sejarah peradaban Islam tak banyak terungkap meski harus tetap diakui bahwa capaian ini pun jauh lebih baik ketimbang peradaban yang eksis sebelumnya. Ibnu Sa'ad dalam magnum opus-nya di bidang biografi, ath-Thabaqat al-Kubra, hanya memasukkan 629 nama perempuan dari total 4.250 entri para tokoh yang ia catat. Persentasenya hanya sekira 15 persen. Pemandangan serupa juga akan kita dapatkan saat menelaah kitab Wafiyat al-A'yan karya Ibnu Khalikan yang hanya mencantumkan enam tokoh perempuan dari 826 entri nama. Begitulah sejarah. Kembali pada soal kepemimpinan perempuan yang diisyaratkan dalam hadis tersebut, semestinya disadari bahwa kepemimpinan atas dasar suku waktu itu mengandaikan seorang pemimpin (suku) memegang peran penting untuk segala macam urusan. Dengan kata lain, dia adalah pemutus hukum, pemimpin peperangan, pengatur kebijakan ekonomi, pengatur keuangan, pengatur akhlak, dan keamanan. Bisa dibayangkan, bagaimana jika perempuan yang dalam masa itu masih disubordinasikan dalam tingkat yang demikian rendah, harus tampil sebagai pemimpin. Oleh sebab itu, tidak cukup beralasan jika Islam (baca: Ahlussunnah Waljama’ah) secara ideologis menolak kepemimpinan perempuan atau mensubordinasikan kaum perempuan.(***) 13. Sebaiknya Jaring Cantrang Dilarang PEMERINTAH akhirnya memberikan kesempatan bagi nelayan untuk kembali menggunakan cantrang. Hal ini menyusul pertemuan antara perwakilan nelayan dan pemerintah daerah (pemda) dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana, pada Rabu, 17 Januari 2018. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, ada sejumlah syarat yang akan diatur pemerintah terkait dibukanya kembali penggunaan alat tangkap tersebut. Syarat itu seperti soal ukuran kapal yang digunakan nelayan. Kemudian, pemerintah juga mengatur zona tangkap untuk cantrang. Peraturannya, tidak boleh semua zona perairan dijadikan tempat untuk menangkap ikan menggunakan cantrang. Cantrang dilarang karena merusak terumbu karang sampai ke dasar laut. Jadi, harus pada kedalaman berapa. Pemerintah juga akan mengatur waktu bagi nelayan yang menggunakan cantrang untuk mencari ikan. Dengan demikian, nelayan tidak bisa menggunakan cantrang di sepanjang tahun. Kerusakan lingkungan laut akibat jaring cantrang ini sudah hampir 68% terumbu karang di wilayah pesisir laut dipatikan rusak dan mengancam biodata di dalamnya termasuk ikan-ikan kecil.  Harus dipikirkan berapa bulan dalam setahun cantrang boleh beroperasi, untuk berikan jeda ikan tumbuh lagi. Jadi uji petik dengan peraturan baru yang bisa mengantisipasi dari peraturan lama. Agar para nelayan cantrang tidak boleh curang dalam mengungkapkan ukuran kapalnya. Sebab, segala aturan yang diterapkan pemerintah ditujukan untuk kepentingan bersama. Ada 4 wilayah area tangkapan ikan oleh nelayan yakni 0-3 mil, 3-10 mil, 10-40 mil dan 40 ke atas atau laut bebas. Jaring cantrang biasanya bermain di wilayah Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) yakni 3-12 mil. Cantrang atau pukat harimau ini dari berbagai penelitian Kampus terkemuka di Indonesia sudah tidak cocok dan merusak terumbu karang. Maka kapal yang beroperasi di ZEE dari ukuran kapal 10-40 PK mestinya berganti ke alat tangkap ikan yang ramah lingkungan. Bila tidak itu akan mengancam 60% nelayan  tradisonal yang menggunakan jaring mata pancing banyak. Industri yang memakai bahan baku ikan untuk memanfaatkan kebijakan perpanjangan masa transisi penggunaan cantrang dengan baik.Saat ini ada beberapa perusahaan yang merugi akibat pelarangan penggunaan cantrang. Maka perusahaan yang bergerak menggantungkan ikan untuk memanfaatkan kebijakan masa transisi penggunaan cantrang dengan meningkatkan nilai tambah produknya. Dengan begitu, ke depan, tidak lagi tergantung dari ikan-ikan yang selama ini ditangkap nelayan di Laut Jawa.   Dengan kembali diperbolehkannya penggunaan cantrang untuk menangkap ikan di laut jawa ini, industri kecil mendapat napas. Namun, pada saat yang bersamaan, dengan keuntungan yang didapatkan, harus digunakan untuk peningkatan produksinya. Maka jika nanti semua nelayan tak lagi menggunakan cantrang, industri ini tetap hidup. Dalam setiap kebijakan memang selalu ada pro dan kontra. Namun, hal itu menjadi hal yang biasa. Jika ada satu pihak yang merasa dirugikan, maka seharusnya perusahaan itu berinovasi demi meningkatkan nilai tambah produknya. Sehingga apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi tentang peningkatan nilai tambah ekspor ikan bisa terwujud.      Secara umum, industri perikanan laut mendukung upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terkait pelarangan penggunaan cantrang tersebut. Sebab memang kalau tidak dikendalikan, tidak diawasi dengan ukuran yang giant tadi, kemudian tidak ada kontrol tentu akan lama-lama destruktif. Artinya kemudian overfishing dan ikan lama-lama jadi berkurang. Merubah pola juga dari yang biasa menggunakan cantrang untuk lebih meningkatkan produktifitas perikanan budidaya. Sehingga empowering (pemberdayaan) nelayan bisa terlaksana seiring dengan peningkatan produksi ikan dan sekaligus pengolahannya, tidak menggantungkan diri dengan kebijakan penggunaan jaring cantrang (jaring pukat harimau). Kementerian Kelautan dan Perikanan ( KKP) menegaskan para nelayan tidak diperbolehkan kembali untuk menggunakan alat tangkap ikan cantrang pada tahun depan. Masa penggunaan cantrang akan berakhir pada akhir tahun 2017. Cantrang selesai sudah, tidak perlu dibahas lagi. 1 Januari 2018 pelarangannya diterapkan, jadi artinya cantrang tidak boleh beroperasi di Indonesia. Pelarangan alat tangkap cantrang sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela dan Pukat Tarik.  Problem cantrang bukanlah terletak pada alatnya, tetapi pada operasionalnya. Misalnya penggunaan pemberat yang berlebih sehingga alat tangkap ikan itu tenggelam hingga ke dasar laut. Padahal, pengoperasian cantrang tidak berada di dasar laut, namun tetap mengapung. Penggunaannya pun tidak diseret tetapi hanya ditarik dengan begitu tidak merusak karang. Pemerintah diharapkan bisa mengatur pengunaan cantrang sehingga bisa ramah lingkungan termasuk mengatur panjang dan besaran mata jaring kantongnya. Dengan begitu tertangkapnya ikan-ikan kecil yang berpotensi tumbuh besar bisa diminimalisir. Kalau pun (cantrang) diperbolehkan, harus ada pengendalian pemanfaatan lewat pembatasan jumlahnya dan wilayahnya di mana. Untuk kapal ukuran kecil dan besar itu ditentukan wilayah penangkapan ikannya yang tepat sehingga tidak terjadi konflik dan degradasi lingkungan. Sementara itu, Menteri Susi mengatakan, penggunaan cantrang umumnya bukan digunakan nelayan kecil melainkan oleh kapal-kapal besar perikanan dengan ukuran di atas 30 gross ton. Pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang lantaran pengoperasian cantrang menyentuh dasar perairan seperti tertuang dalam surat edaran nomor 72/MEN-KP/II/2016, tentang pembatasan penggunaan alat penangkapan ikan, cantrang. Karena cantrang membuat ekosistem laut rusak sehingga menyebabkan produktivitas dasar perairan berkurang. Penulis sangat berharap nelayan bisa mengganti cantrang dengan alat tangkap ramah lingkungan, seperti alat tangkap gillnet millennium ,demi keberlanjutan sumberdaya ikan untuk anak cucu.(***)  Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga https://www.suaramerdeka.com/index.php/news/baca/21570/sebaiknya-jaring-cantrang-dilarang 14. Mencari Payung Hukum Pers Mahasiswa Saat melakukan proses kerja jurnalistik, para pegiat pers mahasiswa (persma) acap kali dihadapkan pada posisi yang sulit. Di mana dewasa ini, banyak sekali terjadi kasus pembungkaman terhadap persma, misalnya intimidasi dari narasumber, pelarangan terbit, dan perampasan produk setelah terbit. Payung hukum terhadap persma pun menjadi perbincangan yang menarik saat ini. Sementara di lain sisi, dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, tidak tertera nama persma di dalamnya. Lalu kemanakah persma harus berlindung? Payung hukum terhadap persma amat lah penting. Hal tersebut sebagai pelindung jika terjadi masalah saat proses kerja jurnalistik berlangsung. Bahkan meskipun persma sudah sesuai dengan kode etik jurnalistik dalam melakukan proses kejurnalistikannya, selalu ada intimidasi dan pelarangan terbit. Sebenarnya tidak hanya persma yang belum jelas payung hukumnya. Ada beberapa kasus yang menimpa jurnalis media massa dan sampai saat ini belum tuntas. Kasus Udin contohnya, sudah sangat lama sekali dan belum selesai hingga sekarang. Persoalan itu muncul karena negara belum bisa memberikan kepastian hukum secara penuh. Walaupun sebenarnya, kebebasan pers sudah sangat dihargai. Kebebasan pers yang kita nikmati saat ini niscaya merupakan buah yang paling signifikan dari gerakan reformasi di Indonesia. Sudah selayaknya pers berterimakasih kepada kaum muda, mahasiswa dan rakyat, yang berjuang meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru yang otoriter dan represif. Berbagai kritik pun, terutama yang ditujukan ke alamat kekuasaan dengan mudah dapat disampaikan tanpa hambatan. Akses terhadap informasi pun mudah didapat, hampir tak adalagi fakta yang ditutup-tutupi seperti di masa orde baru. Lewat pers yang bebas ini, diharapkan proses demokratisasi dapat berkembang secara sehat. Sepanjang sejarah Republik Indonesia, inilah kebebasan pers yang sebenar-benarnya. Kini, setiap warga negara dapat menerbitkan media tanpa terlebih dahulu harus mendapatkan izin dari pemerintah. Semarak kebebasan pers pun diwarnai dengan terbitnya berbagai macam media. Mutu penampilan, penyajian berita dan politik redaksionalnya pun sangat beragam. Berkat dibukanya keran kebebasan pers pula, kini jumlah penerbitan pers berlipat-lipat dibanding tiras masa lalu. Apakah motivasi yang mendorong orang menerbitkan media? Inilah sebenarnya yang pertama kali harus dipertanyakan. Apakah para penerbit sudah benar-benar memahami misi pers? Agaknya sebagian besar penerbit memang memahaminya, meskipun ada beberapa di antaranya yang semata-mata terdorong oleh euphoria kebebasan pers. Bahkan ada pula yang semata-mata menginginkan keuntungan komersial. Memang, posisi dan peran media sedikit banyak ditentukan oleh pemilik bersama pemimpin redaksi. Namun posisi pers di lingkup masyarakat sipil yang demokratis saat ini juga ditentukan oleh kepercayaan publik. Pers yang tak lagi dipercaya oleh publik dengan sendirinya akan ditinggalkan pembacanya. Sebab, publik yang cerdas menghendaki media massa yang mengutamakan kepentingan umum, bukan kepentingan politik pemilik modal atau pribadi pemimpin redaksi. Maka dari itu pers harus independen dari berbagai kepentingan politik, apalagi yang saling bertentangan. Agar pers mampu bersikap independen, dengan sendirinya pers harus mandiri secara ekonomi dan manajemen. Tetapi tetap, di atas segala-galanya adalah integritas. Hanya media pers dan juga wartawan yang berpegang teguh pada integritas moral yang tinggi lah, yang mampu independen. Dan jika pers dikelola secara profesional, suatu saat pers akan tumbuh sebagai industri penerbitan yang kuat secara ekonomi. Bahkan bukan tak mungkin kemudian tampil menjadi semacam konglomerasi yang sangat berkuasa dalam mempengaruhi opini. Selain itu, ujung tombak media pers adalah wartawan. Mereka harus memiliki integritas moral yang tinggi sembari dipandu dengan Kode Etik Wartawan Indonesia yang berlaku untuk seluruh wartawan Indonesia, termasuk persma. Moral dalam arti kata yang luas ialah nilai-nilai kebajikan yang diakui oleh dan berlaku di masyarakat beradab. Sedangkan integritas, sesungguhnya adalah “ideologi” bagi para pekerja pers, sebagai pegangan atau pedoman yang harus ditaati dalam menjalankan tugas profesi. Seorang wartawan, selain harus profesional ia juga harus independen. Profesional dalam artian mampu bekerja dan menghasilkan karya sesuai ukuran-ukuran kelayakan jurnalisme, serta independen atau tak bergeming di tengah benturan berbagai kepentingan yang saling berbenturan. Namun keduanya saja tak cukup, wartawan harus pula mempunyai komitmen kuat dengan integritas moral yang teruji. Jika semua itu dikaitkan dengan kebebasan pers, ada satu hal yang selama ini dilupakan. Bahkan juga oleh kalangan pers sendiri. Yaitu, kebebasan pers sesungguhnya bukanlah semata-mata kepentingan industri pers, pemilik modal, pemimpin redaksi, ataupun wartawan. Bukan! Kebebasan pers adalah hak publik, sebagai pengejawantahan dari hak asasi, sebagai konsekuensi logis dari hak yang bebas untuk mendapatkan akses informasi, sebagai salah satu akar tunjang demokrasi. Kekuasaan pers semacam itu tidak seharusnya menjadi kekuasaan otokratis, melainkan kekuasaan yang menyadari tanggung jawabnya untuk mendidik dan mencerahkan publik. Seorang pemimpin redaksi bukan pula “diktatur intelektual”, melainkan seorang yang editorialnya berpihak pada kebenaran,keadilan, akal sehat, dan rakyat kecil yang tertindas. Dengan demikian, maka media pers, begitu pula para pemilik modal, pemimpin redaksi, dan wartawan hanyalah sekedar sebagai pembawa amanat dari hak sipil publik tersebut. Supaya amanat tersebut dapat diemban sebaik-baiknya, maka syarat utamanya ialah: pekerja pers harus bersikap sebagai intelektual yang komitmen dengan profesi kewartawanan, dengan independensi yang teruji, dan dilandai integritas moral yang tinggi. Hanya dengan sikap seperti itulah, pekerja pers mampu membantu proses pertumbuhan masyarakat sipil yang cerdas, yang mampu menilai dengan akal sehat, yang demokratis dan dinamis. Itulah yang disebut pekerja pers yang memiliki integritas moral yang tinggi. Justru karena memiliki integritas itu pulalah, pers mendapat semacam “hak istimewa” yang secara konstitusional diakui oleh undang-undang yang menjamin kebebasan pers. Memang, meskipun tak banyak, ada beberapa di antaranya yang merasa “bebas” dalam mengelola media, sehingga pers dianggap bukan lagi sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan umum. Bisa dibilang, bebas yang “kebablasan”. Anehnya, selama ini tak jelas apa yang dimaksud dengan “pers yang kebablasan”. Apa kriteria atau parameternya? Jika yang dimaksud ialah “kebablasan” dalam mengkritik kekuasaan, tentulah tudingan itu salah alamat. Namun, jika yang dimaksud ialah “pers kuning” yang beritanya insinuatif dan bombastis, sesungguhnya di mana pun dan kapan pun gaya pers semacam itu selalu ada. “Pers kuning” atau “koran kuning” tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai perkembangan pers. Apalagi jika tudingan itu tidak berdasarkan data yang akurat. Meskipun tanpa data, kalaupun ada pers yang dianggap “kebablasan” –apapun parameter atau kriterianya–pasti jumlahnya tidaklah banyak. Apalagi jika berujung pada pembungkaman. Ketika ada pembredelan, sebenarnya yang harus rugi bukan jurnalis, tetapi masyarakat karena informasi terhambat. Apalagi secara berangsur-angsur publik mulai menyadari hak-hak sipil mereka, antara lain hak untuk mendapatkan akses informasi, hak untuk mengemukakan pikiran,berekspresi, dan berkumpul secara bebas. Oleh karena itu, semua media, termasuk persma harus bisa membangun kepercayaan publik dengan menyajikan liputan-liputan yang berkualitas. Termasuk persma yang tak jarang mendapatkan intimidasi. Setiap persma harus melakukan proses kerja jurnalistik sesuai kode etik jurnalistik. Lakukan pula secara profesional, jika ragu-ragu tanyakan. Jika terdapat ancaman baik fisik maupun psikis, adukan ke Dewan Pers. Kendati tidak diterangkan dalam UU nomor 40 tadi, persma pun sebenarnya masih tetap dilindungi oleh undang-undang yang sama dalam hal keterbukaan informasi publik. Juga oleh UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyasar pada kebebasan mimbar akademik. Persma sendiri lahir dari kampus dan digerakan oleh aktivis kampus, namun kehadirannya belum diperlakukan sama dengan media massa pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa syarat yang mesti dipenuhi, standar perusahaan misalnya, lalu konsistensi penerbitan apakah setiap hari atau tidak, serta bagaimana kompetensi wartawannya. Jadi penulis kira, menempatkan persma sejajar dengan pers umum merupakan salah satu upaya menempatkan persma agar lebih serius dalam mengelola media. Sehingga persma nantinya mampu mengusung isu yang berbeda dan menjadi bacaan alternatif dari ruang kampus, yang tentu saja akan berbeda dengan pers umum. Persma memiliki peranan penting dalam menentukan dan mengawal arah kebebasan pers bangsa ini ke depan, sebagai media dan wahana berlatih sebelum memasuki dunia pers umum yang semakin ketat dan tantangan yang beraneka ragam. (Aji Setiawan- Alumnus Universitas Islam Indonesia (UII), mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia-Reformasi Korda Dista Yogyakarta 1999-2002) https://old.himmahonline.id/2017/01/20/mencari-payung-hukum-pers-mahasiswa/ 15. Penguatan Politik Identitas Jelang Pemilu 2019 POLITIK identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan 'kekitaan' yang menjadi basis utama perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa 'sama', baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Puritanisme atau ajaran kemurnian atau ortodoksi juga berandil besar dalam memproduksi dan mendistribusikan ide ‘kebaikan’ terhadap anggota secara satu sisi, sambil di sisi lain menutup nalar perlawanan atau kritis anggota kelompok identitas tertentu. Politik identitas, menurut Abdillah (2002) merupakan politik yang fokus utama kajian dan permasalahannya menyangkut perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas asumsi-asumsi fisik tubuh, politik etnisitas atau primordialisme, dan pertentangan agama, kepercayaan, atau bahasa. Politik identitas hadir sebagai narasi resisten kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodir kepentingan minoritas; secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi bagi yang tertindas. Fitur dikotomi oposisional menjadi fondasi utama yang membedakan perasaan kolektivitas ke-kita-an terhadap yang lain. Tetapi kenyataannya, pada tataran individual di era modernisasi yang serba mekanik, muncul ‘kegagapan’ untuk memahami struktur masyakarat yang plural, maka intoleransi semakin meningkat. Pendeknya, terjadi ketidaksesuaian social imagination atau imajinasi sosial tentang kehidupan sehari-hari manusia modern dan interaksinya dengan masyarakat umum. Munculnya penguatan politik identitas karena, pertama, adanya kesenjangan ekonomi. Suatu daerah dengan angka kesenjangan ekonomi tinggi cenderung membuat politik identitas berkembang contohnya di Jakarta.Catatannya Bawaslu, daerah yang rawan adalah daerah yang punya kesenjangan ekonomi. Faktor kedua, rendahnya literasi baik politik dan komunikasi. Soal literasi politik, banyak partai politik yang tidak bisa mengelola konflik dengan baik. Sementara kecerdasan masyarakat cenderung lemah menyikapi masalah tersebut. Kemudian, soal rendahnya literasi komunikasi dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat dalam membedakan opini yang berisi ujaran kebencian dengan fakta yang beredar di ruang publik. Kita paham bahwa salah satu instrumen yang digunakan untuk menyebarkan politik kebencian adalah Medsos. Tanpa literasi komunikasi orang gagal membandingkan opini dan fakta. Faktor ketiga yakni buruknya kelembagaan politik. Kondisi ini terjadi karena partai-partai cenderung memusatkan kekuasaan di tangan elite. Partai dianggap sering kali gagal mengelola konflik yang berimbas ke level masyarakat. Hampir selalu gagal mengelola konflik. Konflik-konflik internal di parpol membawa konsekuensi kalau tidak partainya pecah, kemungkinan kedua adalah konflik akan masuk ke penagdilan dan berlarut-larut. Politik identitas juga tumbuh subur karena polarisasi politik. Model politik identitas, kata Arif, mulai mencut di tahun 2016. Efek dari model politik ini punya efek sangat kuat dan menimbulkan pembelahan di masyarakat.Dengan polarisasi yang tegas maka sangat mudah bagi elite politik untuk memicu konflik yang menyebabkan pembelahan. Terakhir karena lemahnya kewenangan Presiden Joko Widodo terhadap dua institusi TNI-Polri. Padahal, isu SARA disebut bukan isu baru yang bisa ditangani oleh pemerintah pada tahun 2009 dan 2014 lalu. Lemahnya grip atau cengkraman kekuasannya Jokowi pada hampir semua level. Salah satu yang paling repot adalah karena grip kekuasaan Jokowi pada 2016, 2017 tidak cukup kuat di TNI-Polri. Jika kita mau, tahun 2018 bisa saja kita sebut tahun politik identitas, karena di tahun inilah kita begitu mudah menemukan isu identitas menggelinding bebas. Pada kasus-kasus tertentu, politisasi identitas bukan saja telah berhasil membuktikan keampuhannya secara telanjang di hadapan kita, tetapi juga telah menghadirkan kenyataan-kenyataan baru yang begitu dahsyat, melebihi era-era sebelumnya. Berkenaan dengan kenyaataan ini, tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana kekuatan isu identitas terbukti ampuh memukul jatuh seorang gubernur petahana yang pada waktu itu memiliki tingkat elektabilitas luar biasa, bahkan dengan angka kepuasan publik mencapai lebih 70 persen. Bercermin dari peristiwa ini, dalam alam politik yang serba cair —untuk tidak memgatakan pragmatis— sangat mungkin akan muncul rentetan-rentetan peristiwa serupa pada tahun-tahun selanjutnya. Faktanya, menjelang akhir 2017, secara kasat mata dapat kita saksikan isu-isu identitas kian ramai menyeruak. Berbagai pihak, khususnya kalangan elite politik tertentu, kian matang dan piawai memanfaatkan situasi. Sentimen-sentimen atas nama identitas menyebar luas ke ruang publik. Ironisnya, masyarakat sebagai subjek politik acap menerimanya dengan sukarela. Bahkan beberapa kelompok menyambutnya dengan gelora heroisme diri, yang kemudian memolesnya dengan terma-terma pembelaan terhadap keyakinan, kebangkitan kaum pribumi, perlawanan atas penjajahan ekonomi kelompok "asing".  Menggaet Agama Sebuah penelitian menyebutkan, sembilan dari sepuluh orang Islam dan Kristen, delapan dari sepuluh orang Konghucu dan Budha, serta lima dari sepuluh orang Hindu menilai agama sebagai bagian dalam aktivitas keseharian mereka (A'la, 2014). Fakta ini membuktikan betapa sulit memisahkan agama dari aktivitas keseharian masyarakat. Termasuk di dalamnya menyangkut urusan politik. Dalam realitas politik Indonesia, kenyataan ini menjadi angin segar bagi para politisi. Hal ini didukung oleh sejarah perjalanan politik Indonesia, di mana kebanyakan politisi dari lintas ideologi seringkali mendudukkan agama sebagai strategi polical marketing. Pertanyaan besarnya kemudian, dengan tingkat rasionalitas dan kesadaran politik masyarakat yang semakin tinggi, apakah unsur emosional keagamaan akan tetap menemukan tajinya dalam perhelatan kontestasi politik yang akan datang, minimal di tahun politik 2018 ini?  Jika mengikuti situasi politik saat ini, ada kecenderungan aspek emosional (agama) masih akan memengaruhi jalannya sirkulasi politik ke depan. Bahkan, bukan suatu yang mustahil jika nantinya akan banyak partai politik memanfaatkan (simbol) agama. Itulah sebabnya, meski selama ini akrobat politik SARA beroperasi dalam ruang terbuka, namun modus operandinya lebih dominan pada domain-domain keagamaan. Di sini, mereka tahu dan paham betul, agama sebagai narasi agung dapat memproduksi dan mereproduksi kekuasaan yang dahsyat untuk bisa menghasilkan ketaatan dari para pemeluknya (Michel Foucault, 1975). Oleh karenanya, adalah sebuah kecerobohan jika saat ini kita menaruh kepercayaan, bahwa dalam perhelatan pesta demokrasi ke depan kontestasi politik kita akan steril dari isu-isu sensitif. Yang kita rasakan saat ini, iklim demokrasi mengalami gelombang pasang, baik di level daerah maupun nasional. Kondisi ini, sesungguhnya berkelindan kuat dengan maraknya penggunaan simbol-simbol identitas, utamanya yang berkaitan dengan dimensi agama. Pada batasan-batasan tertentu, menggaet agama dalam dunia politik sesungguhnya sah-sah saja. Dengan catatan, kehadiran agama murni ditujukan untuk membumikan nilai ajaran agama itu sendiri. Sebaliknya, akan menjadi naĆÆf jika agama sekadar menjadi formalitas untuk kepentingan syahwat politik. Karena yang demikian hanya akan menghadirkan kekacauan, dan pemberangusan hak asasi kelompok masyarakat tertentu. Politik identitas seharusnya dapat hilang karena pemilu merupakan kontes kompetensi, bukan membedakan suku, partai, serta pihak sana dan sini. Karena itukepada para pejabat di daerah yang punya kewenangan dan tanggung jawab harus bersama-sama dan kompak. Itu kuncinya. Kalau pimpinan daerah bersatu padu, maka daerah aman, membuat Indonesia aman.  Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga , Jawa Tengah https://www.suaramerdeka.com/index.php/news/baca/26590/penguatan-politik-identitas-jelang-pemilu-2019 16. Mengembangkan Potensi Lokal Kab Purbalingga Strategi mengembangkan produk lokal sebagai komoditas unggulan daerah merupakan salah satu strategi memberdayakan potensi lokal guna meningkatkan kemandirian suatu daerah. Produk lokal dapat dipandang sebagai salah indentitas daerah yang menggambarkan tidak hanya aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial budaya. Pada setiap produk-produk lokal tergambar suatu entitas kedaerahan yang terbangun puluhan tahun bahkan ratusan tahun. Pada umumnya produk-produk lokal banyak dikaitkan dengan Usaha mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM merupakan salah satu pilar ekonomi Bangsa Indonesia yang memegang peran penting dalam menjaga dan mengembangkan produk-produk lokal.Oleh karenanya melestarikan dan memberdayakan para pelaku UMKM merupakan salah satu cara untuk mendorong agar produk-produk lokal mampu bersaing baik level lokal maupun nasional.   Secara geografis, Kabupaten Purbalingga Kabupaten Purbalingga sendiri merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kotanya yaitu Purbalingga. Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan Kabupaten Pemalang di sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara di sebelah Timur dan Selatan, serta berbatasan dengan Kabupaten Banyumas di sebelah Barat dan Selatan. Secara geografi, ibu kota Kabupaten Purbalingga yakni Purbalingga yang berada di sekitar 21 km sebelah Timur Laut Purwokerto. Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah berada di antara cekungan-cekungan dari beberapa rangkaian pegunungan yang ada di sekitarnya. Di sebelah Utara merupakan rangkaian pegunungan dari Gunung Slamet dan dataran tinggi Dieng, sedangkan bagian Selatan merupakan Depresi Serayu yang dialiri oleh dua sungai besar yaitu kali dan anak sungainya yaitu kali Pekacangan.  Dari kali Pekacangan ini bertemu anak sungai Klawing dan akhirnya bermuara menjadi satu menjadi sungai Serayu. Saat ini potensi batu akik sungai Klawing sedang booming, setelah pesona batu pancawarna dan nagasui menjadi juara internasional di majalah Gamstone. Selain potensi batu pancawarna Klawing, ada juga potensi batu akik bahkan batu warna yang ada di Kecamatan Karanganyar, Mrebet, Karangmoncol dan Rembang serta sepanjang sungai Pekacangan. Menyusuri hutan, sungai-sungai mencari jejak akan pesona alam dengan berjalan-jalan di pinggir sungai Daerah Kaliori sampai Bungkanel, kec Karanganyar masih Kab Purbaligga Jawa Tengah. Di musim kemarau, warna jernihnya air dan arus sungai ada yang menarik diambil, ya batu berwana hijau dan merah. Di kemudian hari batu berwarna warna itu menjadi trade mark batu akik dari Klawing Purbalingga yakni jenis nagasui dan pancawarna, yang secara mengejutkan menjadi juara internasional kontes batu. Di Kabupaten Purbalingga ada terdapat banyak industri, seperti industri bulu mata dan wig serta industri knalpot sebagai alternatif suku cadang murah. Selain terdapat banyak industri, ada pula beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal sampai keluar daerah Purbalingga semacam Objek Wisata Owabong (Bojongsari), Gua Lawa (Karangreja), Monumen Jendral Sudirman (Rembang), Wisata Air Congot (Kemangkon) dan lain-lain. Namun selain objek wisata yang sudah menasional itu, ada potensi wisata yang tidak kalah menariknya, yakni wisata religi. Bagi para peziarah, wisata ruhani dari makam ke makam di Purbalingga biasanya, para peziarah ramai datang pada bulan Rabiul Awal (Maulid), Syawal (Idul Fitri), menjelang musim haji dan bulan Ramadan.  Peninggalan sejarah yang dapat dijadikan sebagai wisata religi potensial bagi Purbalingga, misalkan: Masjid Agung Darussalam, Masjid Laksamana Cheng Ho (Bobotsari), (Masjid dan makam Wali Prakosa Pekiringan (Karang Moncol), Makam Nyai Rubiah Bekti (Kramat, Karang Moncol), Museum Jendral Sudirman, Gua Lawa (Karangreja), Makam Sayid Mansyur (Sumampir, KarangMoncol), Makam Kyai Pekeh (Grantung, Karangmoncol), Makam Nyai Rubiah Sekar (Putri Syekh Atas Angin di Gunung Wuled, Rembang), Makam Syekh Haji Datuk (Rajawana, Karangmoncol), Makam Syekh Mahdum Cahyana Sura (Grantung, Karangmoncol), Masyarakat Aboge (Mrebet), Pendopo dan makam KH Muhammad Irsyad (Maribaya, Karanganyar), Petilasan Syekh Jambu Karang, dll. Mengangkat Keunikan Produk Lokal Produk lokal memiliki karakteristik unik dibandingkan produk-produk umum yang telah dikenal secara luas oleh masyarakat secara nasional maupun produk yang berasal dari luar negeri. Produk lokal memiliki karakteristikantara lain: bentuknya seder¬hana, bahan bakunya dari daerah setempat, identitasnya dikenal masyarakat secara luas, dan konsumen atau produsennya berasal dari daerah setempat. Keberlangsungan produk-produk lokal sangat ditentukan oleh masyarakat yang ada ditempat tersebut. Melihat fakta bahwa akhir-akhir ini keinginan masyarakat didaerah tersebut untuk mengonsumsi produk lokal relatif rendah dibandingkan dengan konsumsinya pada produk-produk umum lainnya maka perlu terobosan agar produk-produk lokal dapat berjaya di daerahnya.Hal tersebut terjadi terutama karena persepsi masyarakatterhadap produk lokal seringkali disejajarkan dengan produk umum yang telah beredar luas secara nasional dan produk umum tersebut dijadikan tolok ukurdalamhal: harga, tampilan, jaminan ketersediaan dan informasi produk. Masyarakat cenderung membandingkan produk-produk lokal dengan produk umum yang  telah ada dan berdar secara nasional. Pembandingan tersebut akan mempengaruhi persepsi masayarakat tentang atribut produk lokal yang terkesan inferior (rendah) dibandingkan dengan produk umum lainya.Keunggulan produk lokal harus diperoleh dari atribut yang ada di dalam produk lokal itu sendiri, atau disebut atribut intrinsic. Kata intrinsic diterjemahkan sebagai berbagai hal penting yang sudah dimiliki atau menjadi dasar dari sesuatu (produk). Atribut intrinsik yang umum  dari produk lokal antara lain: kesesuaian, ketersediaan, keberlanjutan dan kepemilikan-nya. Kesesuaian produk lokal dikaitkan dengan pemanfaatannya yang sejalan dengan budaya masyarakat setempat dan berlaku dalam jangka waktu yang lama. Ketersediaan produk lokal dikaitkan dengan ketersediaan bahan bakunya yang berasal dari daerah setempat. Keberlanjutan produk lokal dikaitkan dengan kemudahan pengembangan dan pelestariannya. Kepemilikan produk lokal dikaitkan dengan kepedulian untuk menjaga eksistensi, reputasi dan mencari solusi atas permasalahan yang terjadi. Atribut intrinsik inilah yang menjadi dasar untuk memperoleh keunggulan produk lokal. Membiarkan produk lokal tanpa mengembangkan atribut intrinsiknya hanya akan menurunkan keunggulan produk lokal, dan suatu saat keunggulan itu akan hilang secara permanen. Dengan mengamati derajat keunggulan produk lokal yang terus-menerus menurun saat ini, perlu suatu pendekatan yang mengkombinasikanpendekatan berbasis sumber daya (Barney, 2007); dan pendekatan berbasis orientasi pasar (Jaworski & Kohli, 2006; Narver & Slater,2004). Kedua pendekatan ini perlu digunakan secara berurutan, pertama adalah pengamatan berbasis sumber daya dan dilanjutkan dengan orientasi pasar.Pendekatan melalui pengamatan sumber daya digunakan untuk melengkapi atribut intrinsik produk lokal sehingga memiliki keunggulan berupa kelangkaan, kompleksitas peniruan, kesulitan penggantian dan nilai¬-nilai lokalnya. Perlengkapan atribut intrinsik berupa: jejaring para pemangku kepentingan, dokumen legal dan kontraktual, spesifikasi produk, panduan, brosur dan displai, riset pasar, konsultansi dan advisori. Kedua, pendekatan melalui orientasi pisar digunakan untuk menyesuaikan atribut intrinsik produk lokal sehingga memiliki keunggulan berupa keinginan sesungguhnya dari konsumen, kinerja pesaing dan fakta dalam persaingan, serta kepekaan dalam menyesuaikan situasi pasar. Penyesuaian atribut intrinsik berupa: kapasitas produksi, arus dan tahapan pemasaran, praktik terbaik, lokasi produksi dan konsumsi, regulasi, dan tingkat pengetahuan konsumen. Strategi Memasarkan Produk Lokal Kekayaan produk lokal dari berbagai kecamatan atau desa yang ada di Kabupaten Purbalingga, tentunya menjadi salah satu bukti nyata bagi masyarakat Purbalingga bahwa sekarang ini pertumbuhan UMKM di Purbalingga semakin menunjukan arah kemajuan yang cukup positif. Beragam jenis produk rumahan maupun hasil produksi industri kecil pun kini mulai memperlihatkan keunggulannya masing-masing, sehingga tidak menutup kemungkinan bila produk-produk lokal buatan UMKM di Kabupaten Purbalingga siap meramaikan persaingan baik pasar lokal, nasional, bahkan diharapkan dapat menjangkau pasar internasional. Untuk dapat mengangkat produk lokal ke jangkauan pasar yang lebih luas, pastinya para pelaku UMKM di Kabupaten Purbalingga dituntut untuk lebih aktif dalam membangun jaringan bisnis, serta meningkatkan kemampuan dan kreativitasnya dalam mengembangkan sebuah usaha, sehingga produk yang mereka produksi benar-benar berkualitas bagus dan bisa berhasil memenangkan persaingan pasar yang ada. Dalam rangka mengenalkan dan mendayasaingkan produk-produk khas Kabupaten Purbalingga perlu kiranya rancangan strategi pemasaran yang tepat.Beberapa strategi pemasaran yang dapat digunakanmeningkatkan daya saing dan daya jangkau produk-produk lokal khas Purbalingga antara lain. Pertama, melengkapi produk dengan kemasan yang menarik. Kedua,  mengembangkan jaringan pemasaran produk ke pasar modern. Ketiga, mempromosikan produk melalui event pameran. Keempat, Membuka gerai pemasaran produk UKM. Dengan implementasi strategi pemasaran tersebut diharapkan dapat mengangkat potensi produk lokal ke pasar nasional maupun internasional. (*****) Memilih Pemimpin Dalam Pandangan Islam 17.Memilih Pemimpin Dalam Pandangan Islam Pemilu Pilpres dan Pileg Tahun 2019 sudah diambang mata. Demikianpun dengan Pilkades serentak di Purbalingga pada tanggal 9 Desember 2018 mendatang. Sehingga pilihan yang hampir serentak ini menyita perhatian kita, bagaimana memilih pemimpin di masa mendatang menurut pandangan Islam. Dengan Pilihan langsung, masyarakat atau pemilih akan memilih secara langsung Bupati dan Gubernur sesuai hati nurani masing-masing secara langsung. Bagi pemilih yang cerdas, memilih pemimpin tentu harus berdasar pertimbangan-pertimbangan tertentu. Tidak asal pilih.Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam atau khalifah tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat syariat. Bila tak seorang pun faqih yang memenuhi syarat, harus dibentuk ‘majelis fukaha’.” Sesungguhnya, dalam Islam, figur pemimpin ideal yang menjadi contoh dan suritauladan yang baik, bahkan menjadi rahmat bagi manusia (rahmatan linnas) dan rahmat bagi alam (rahmatan lil’alamin) adalah Muhammad Rasulullah Saw., sebagaimana dalam firman-Nya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS.al-Ahzab [33]: 21). Sebenarnya, setiap manusia adalah pemimpin, minimal pemimpin terhadap seluruh metafisik dirinya. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas segala kepemimpinannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Saw., yang maknanya sebagai berikut : “Ingatlah! Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, seorang suami adalah pemimpin keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya, wanita adalah pemimpin bagi kehidupan rumah tangga suami dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya. Ingatlah! Bahwa kalian adalah sebagai pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinannya,” (Al-Hadits). Rasulullah SAW sendiri menekankan pentingnya kepemimpinan Islam dalam Shahih  Bukhari. Setiap diri kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunggjawaban atas kepemimpinannya.Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni : Siddiq, Tabligh, Amanah dan Fathanah (STAF):(1) Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;(2) Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi; (3) Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya; (4) Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan mengimplementasikannya. Selain itu, juga dikenal ciri pemimpin Islam dimana Nabi Saw pernah bersabda: “Pemimpin suatu kelompok adalah pelayan kelompok tersebut.” Oleh sebab itu, pemimpin hendaklah ia melayani dan bukan dilayani, serta menolong orang lain untuk maju. Dalam mitos jawa, seorang pemimpin diidentikan dengan mitologi satrio piningit. Seorang yang digambarkan bisa membawa perubahan atas gonjang-ganjing kepemimpinan rakyat, pembawa kedaiaman, keamanan dan kesejahteraan mereka. Dalam sejarah Walisongo, seorang pemimpin digambarkan dalam tembang Ilir-ilir yang dikarang sunan Giri. Lil ilir /Tandure wus sumilir /Kang ijo royo-royo/Tak sengguh temanten anyar// Bocah angon/ bocah angon/ penekno blimbing kuwi/ Lunyo-lunyo penekno kanggo mbasuh dodot iro/ Dodot-iro dodot iro lumintir bedah ing pinggir/ Dondomono jlumetono kanggo sebo mengko sore/ Mumpung jember kalangane/ Mumpung padhang rembulane/ Yo surako/ Surak hayoo//   Cobalah simak syair Cah Angon yang digambarkan dalam tembang ilir-ilir ini: Bocah angon, cah angon penekno blimbing kuwi. Tafsirnya, Sunan Giri tidak menuliskan,”Pak Politikus”,Pak Jendral,“Pak Intelektual” ulama-ulama, kiyai atau apapun lainnya, melainkan Bocah angon-bocah angon (Anak muda-anak muda). Sunan Giri juga tidak menuturkan ‘Penekno sawo kuwi” atau “penekno Palem kuwi” atau buah apapun lainnya, melainkan “penekno blimbing kuwi” Karena blimbing yang asam itulah yang dapat mencuci kain yang kotor. Dalam era kepemimpinan modern menurut Scumpeter, demokrasi bermakna adanya kesempatan bagi rakyat untuk menerima atau menolak seseorang yang akan memerintah mereka. Itulah Sebabnya maka dalam konteks demokrasi , kepemimpinan dibedakan dari otoritas. Seseorang  yang perintah-perintahnya ditaati karena posisi dan jabatan formal yang dipangku, tidak otomatis dapat dianggap sebagai pemimpin. Memang melalui pengalamannya memegang suatu jabatan dan mengelola tugas-tugas tertentu, ia akan berkesempatan membangun kemampuan kepemimpinannya. Tetapi ini hanya merupakan peluang yang terbuka untuk dimanfaatkan atau dilalaikan.(Ryas Rasyid: Etika Pemerintahan; hal 94-95). Banyak orang yang gagal memanfaatkan ini , karenanya tidak mengherankan jika kita menyaksikan seorang yang sudah cukup lama duduk dalam suatu jabatan formal/kekuasaan formal, namun tidak berhasil mengembangkan potensi kepemimpinannya. Orang semacam ini otomatis akan kehiangan wibawa dan respek terhadap orang lain, sekali ia meninggalkan atau ditinggalkan oleh jabatan dan kekuasaannya. Karena itu pengembangan bagi seorang calon pemimpin dalam demokrasi yang berkualitas paling tidak mensyaratkan empat kapasitas ; yakni pertama, kepekaan terhadap situasi lingkungan. Yakni kemampuan untuk membaca perkembangan yangn terjadi di sekitarnya dengan pengetahuan dan kepedulian . Kedua , adanya penjagaan atas moral masyarakat. Yaitu kemampuan untuk menahan diri agar tidak terjebak melakukan sesuatu yang dapat menciptakan atau meningkatkan keresahan dalam masyarakat. Ketiga, Keterbukaan pikiran. Yaitu kemampuan untuk memahami bahwa dalam interaksi politik , khususnya dalam pertarungan kepentingan, tidak ada kebenaran yang bersifat tunggal, dan tidak ada sesuatu kelompok yang memiliki hak monopoli atas kebenaran. Keempat, kemampuan untuk mendengar, memperlajari dan menterjemahkan suara orang banyak.Yakni  kemampuan untuk dekat dan mau repot untuk mengurus kepentingan orang banyak. Galibnya, dalam demokrasi dukungan orang banyak merupakan salah satu kunci pokok bagi keberhasilan seorang pemimpin, tetapi dukungan hanya mungkin diperoleh jika ada kemauan dari pemimpin untuk mendengar suara mereka, mempelajari harapan dan aspirasi mereka, serta menterjemahkannya ke dalam serangkaian tindakan dan langkah perjuangan untuk memenuhi harapan itu. Dalam pandangan Islam yang perlu diperhatikan adalah adanya prinsip-prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam yakni : Musyawarah; Keadilan; dan Kebebasan berfikir. Secara ringkas penulis ingin mengemukakan bahwasanya pemimpin Islam bukanlah kepemimpinan tirani dan tanpa koordinasi. Tetapi ia mendasari dirinya dengan prinsip-prinsip Islam. Bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya secara obyektif dan dengan penuh rasa hormat, membuat keputusan seadil-adilnya, dan berjuang menciptakan kebebasan berfikir, pertukaran gagasan yang sehat dan bebas, saling kritik dan saling menasihati satu sama lain sedemikian rupa, sehingga para pengikut atau bawahan merasa senang mendiskusikan persoalan yang menjadi kepentingan dan tujuan bersama. Pemimpin Islam bertanggung jawab bukan hanya kepada pengikut atau bawahannya semata, tetapi yang jauh lebih penting adalah tanggung jawabnya kepada Allah Swt. selaku pengemban amanah kepemimpinan. Kemudian perlu dipahami bahwa seorang muslim diminta memberikan nasihat bila diperlukan. Ada kisah yang sukup menyentuh, sekelumit tentang pengambilan keputusan atau hukum, mari kita simak kisah sepenggal tanya jawab antara Rasulullah SAW dan Sahabat Muadz bin Jabbal. Dalam kecerdasan otak dan keberaniannya mengemukakan pendapat, Mu’adz hampir sama dengan Umar bin Khathab. Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?" ”Kitabullah,” jawab Mu'adz. ”Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula. “Saya putuskan dengan Sunnah Rasul." “Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?" “Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia,” jawab Muadz. Maka berseri-serilah wajah Rasulullah SAW. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau. Dan mungkin kemampuan untuk berijtihad dan keberanian menggunakan otak dan kecerdasan inilah yang menyebabkan Mu’adz berhasil mencapai kekayaan dalam ilmu fiqih, mengatasi teman dan saudara-saudaranya hingga dinyatakan oleh Rasulullah sebagai “orang yang paling tahu tentang yang halal dan yang haram”. Karena itulah, dalam memilih pemimpin  mulai dari skala yang lebih kecil, sampai pada tingkat nasional, penulis hanya ingin mengingatkan, semoga bisa dijadikan nasihat dan sekaligus dapat dilaksanakan dalam memilih calon pemimpin baik Bupati maupun Gubernur secara langsung sehingga bisa memilih pemimpin yang baik dan berkualitas. Insya Allah. Amiin. (***) http://www.muslimedianews.com/2015/03/mencari-sosok-pemimpin-dalam-pandangan.html 18.Makna Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 ”Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu/Tanah Indonesia//Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu/Bangsa Indonesia//Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan/Bahasa Indonesia”// Setiap tanggal 28 Oktober, kita memperingati sebuah hari yang bersejarah terhadap arah bangsa Indonesia, yakni Hari Sumpah Pemuda. Kongres Pemuda II yang berlangsung dari 27-28 Oktober 1928 di gedung Katholieke Jongelengen Bond, Waterlooplein (Lapangan Banteng), Jakarta Pusat. Sidang Pemuda dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito dan M Yamin sebagai sekretaris yang diikuti oleh utusan; Jong Java, Jong Sumantranen Bond, Jong Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamenten Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi dan utusan lain akhirnya menyatakan sepakat dan mencetuskan sumpah pemuda pada 28 Oktober 1928 di gedung Indonesische Clubgebouw (Jl Kramat Raya No 106 Jakarta Pusat atau sekarang lebih terkenal sebagai Gedung Museum Sumpah Pemuda). Sumpah Pemuda II itu bertabur bintang pemuda teladan bangsa Hindia Belanda mulai dari Soekarno, Hatta, M Yamin, AK Gani, Agus Salim, Jusupadidanuhadiningrat, Amir Sjarifudin, Abu Hanifah, Soegondo Djojopoespito, Sunario, WR Soepratman, J. Leimena, Sundari, Suyatin Kartowijono, Maskoen, dll. Para pemuda dan pemudi itu berikrar ; ”Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu/Tanah Indonesia//Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu/Bangsa Indonesia//Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan/Bahasa Indonesia”// Tiga pilar Sumpah Pemuda itu dirumuskan oleh M Yamin yang malam itu menjadi sekretaris Kongres sekaligus sebagai pembicara tentang,”Persatuan dan Kebangsaan Indonesia,”. Termasuk tentang perlunya bahasa persatuan untuk menyatukan seluruh kelompok dan suku bangsa di Indonesia. Para pemuda dahulu yang berusia antara 20-30 tahun, masih terbilang sangat muda, namun semangat juang untuk bersatu, berdaulat dan merasakan derita penjajahan yang tengah menghunjam hampir seluruh daratan Hindia Belanda mulai dari Sabang sampai Merauke menjadi sebuah mimpi bersama (cita-cita) para pemuda untuk bersatu baik dalam satu state sekaligus nation yang di kemudian hari mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia Raya secara nation and state dari belenggu penjajahan dunia. Jauh sebelum Kongres Pemuda II, Kongres Pemuda I yang digagas oleh Mohammad Tabrani Soerjowitjitro pada tahun 1926 yang diikuti oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Pelajar Minahasa dan Sekar Rukun, dimana tujuan Kongres Pemuda Pertama itu adalah menggugah semangat kerja sama di antara bermacam-macam organisasi pemuda di tanah air kita, supaya dapat diwujudkan dasar pokok lahirnya persatuan Indonesia, di tengah-tengah bangsa di dunia.(Laporan Kongres, Verslag van Het Eerste Indonesisch Jeugdcongress: Monumen Nasional; 1925). Panitia Kongres Pemuda itu terdiri 10 orang antara lain; Bahder Djohan, Sumarto, Jan Toule Soulehuwij, Paul Pinontoan, dan Tabrani. Panitia Kongres menggelar Rapat Inti dari 30 April-2 Mei 1926 dengan Ketua Tabrani; Wakil ketua Sumarto dan Sekretaris Djamaludin (Adinegoro), serta Soewarso sebagai Bendahara. Artinya rumusan sumpah pemuda pertama sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Sumpah Pemuda II. Para pemuda pada waktu itu mencurahkan pikiran dan tenaga untuk mewujudkan persatuan. Mengesampingkan perbedaan suku, warna kulit, dan agama. Mereka menggelar pertemuan-pertemuan tertutup (bawah tanah) dan terbuka (resmi melalui rapat umum) yang merisaukan penjajah Belanda. Adalah mimpi besar bersama (great imagine) yang bernama Kemerdekaan menjadi dambaan serta cita-cita. Anak-anak muda itu masih berumur belasan bahkan Sumpah Pemuda II tercatat 870 pemuda pemudi yang hadir umurnya di bawah 18 Tahun. Mereka telah menorehkan tinta emas sejarah perjalanan bangsa ini dan menjadi bagian dari sejarah negeri kita: Sebagai pemimpin bangsa, penyair, musisi, atau orang biasa saja. Ada pula nasibnya berakhir tragis, tewas diujung bedil yang kemerdekaan turut ia perjuangkan. Nama mereka senantiasa disebut dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. 86 Tahun sudah persatuan tanah air, bangsa dan bahasa yang diretas di atas fondasi persatuan dan kebangsaan, tanah air dan bahasa bernama Indonesia yang kokoh. Dalam konteks sekarang, arti dan peran Sumpah Pemuda masih relevan di saat kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan menuntut peran pemuda untuk ikut menyingsingkan lengan baju membangun bangsa dengan ilmu dan teknologi di hadapan percaturan serta persaingan global. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut. Proklamasi Kemerdekaan Negara Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan buah sejarah dan puncak perjalanan panjang perjuangan bangsa Indonesia. Setiap peristiwa memiliki keterkaitan dan benang merah yang kuat antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya. Momentum berdirinya berbagai organisasi sosial politik yang dimulai dari tahun 1893 oleh Syaikh Hasyim Asy’ari dengan pesantren Tebuireng. Pergerakan dan perlawanan baik kooperatif terorganisir resmi sejak tahun 1901 dengan berdirinya organisasi keagamaan keturunan Arab yakni Jami’at Kheir Rabithoel Alawijah. Disusul dengan makin terbukanya sikap Belanda, mulailah bermunculan banyak organisasi pemuda dan agama seperti Syarikat Dagang Islam (SDI) tahun 1905, Budi Oetomo (1908), Muhammadiyah (1918), Hoolf Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO, 1926) dan berpuncak dbengan Sumpah Pemuda I (1925) dan Sumpah Pemuda II (27-28 Oktober 1928), Masyumi (1945) muara akhirnya adalah Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan satu tonggak sejarah perjuangan pergerakan nasional yang monumental. Rangkaian sejarah itu menggambarkan ikhtiar kolektif bangsa Indonesia membebaskan diri dari imprealisme dalam rangka membangun jiwa dan raga sebagai satu bangsa, yakni Bangsa Indonesia. Adalah Ir. Soekarno memandang bahwa ,”Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri. Oleh karena itu, pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian tersendiri. Salah satu karakteristik bangsa Indonesia sebagai Negara bangsa adalah kebesaran , keluasan, dan kemajemukannya. Dimana Negara bangsa Indonesia yang terdiri dari 1.128 suku bangsa dan bahasa,, 17.508 pulau yang membentang dari Sabang-Merauke ini diperlukan sebuah kesatuan yang kokoh di wadahi dalam bangsa persatuan yaitu Bhineka Tunggal Ika. Untuk itu diperlukan satu konsepsi, kemauan dan kemampuan yang kuat dan adekuat (memenuhi syarat/memadai), yang dapat menopang kebesaran, keluasan, dan kemajemukan Indonesia. Para pendiri bangsa Indonesia berusaha menjawab tantangan tersebut dengan melahirkan sejumlah konspesi kebangsaan dan kenegaraan , antara lain yang berkaitan dengan dasar Negara, konstitusi Negara, bentuk Negara dan wawasan kebangsaan yang dirasa sesuai dengan karakter keindonesiaan. Bangunan kosmotalisme masyarakat beraneka ragam ini (kemajemukan) akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia Upaya pemahaman sejarah oleh warga Negara merupakan bagian dari usaha menempatkan bangsa dalam konteks perubahan zaman yang terus berlangsung, sehingga sumber-sumber sejarah akan dapat dijadikan sebagai pemersatu dan pengikat identitas bangsa di tengah perkembangan hubungan dunia internasional. Setiap warga Negara harus mengetahui gambaran sejarah Negara, sehingga Negara berkewajiban untuk sejauh mungkin memperkenalkan visi kesejarahan dan memberikan gambaran tentang sebuah sejarah nasional yang dapat dipahami dari generasi ke generasi. Melalui penegasan kesejarahan nasional, identitas bangsa akan terus terpelihara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perjalanan bangsa Indonesia tentu tidak bisa tidak lepas dari peran pemuda di dalamnya, sampai-sampai ada kementrian khusus yakni Menteri Pemuda dan Olahraga yang membawahi dan membina organisasi pemuda baik di organisasi agama, politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, olah raga, seni , pariwisata dan lain-lain. Ini menandakan betapa peran pemuda tidak bisa dipandang sebelah mata. Idealisme pemuda dimulai saat usia menginjak dewasa (masa pubertas) tentu menyisakan sebuah harapan sekaligus masalah di kemudian hari. Di mana tantangan masa muda itu bila dipergunakan dengan kegiatan positip akan melahirkan karya cipta anak bangsa, namun bila sudah tergerus oleh himpitan kapitalisme dan hedonisme maka angka pegangguran meningkat dan kriminalitas remaja merajalela dan hanya menyisakan pemuda sebagai sampah masyarakat. Kesadaran perubahan (daya kritisme pemuda) bila dikelola dengan baik melalui organisasi pemuda baik secara alamiah (evolusi) maupun yang bentukan (revolutif) melahirkan kesadaran bersama, bahwa pemuda adalah bagian dari agent of change arah perjalanan bangsa baik di kota maupun di desa. Peran pemuda sangat signifikan, masih sangat banyak pekerjaan rumah yang harus di selesaikan. Penggarapan potensi desa, misalnya ini bukan mission imposibel di mana pemuda menjadi bagian dari pembangunan desa. Sebagian besar konsep pemberdayaan desa hanya membicarakan pemanfaatan sumber daya alam desa dapen hubungan pusat dan daerah dalam masalah alokasi keuangan desa, belum menyentuh potensi yang dimiliki para pemuda. Adalah Ir. Soekarno salah satu founding father Republik Indonesia yang pernah menyatakan untuk merubah negeri ini hanya butuh sepuluh pemuda tangguh. Pernyataan ini bukan tanpa alasan atau sekedar retorika belaka. Dimana peran pemuda dari sejak Sumpah Pemuda sampai kemerdekaan Indonesia, perannya tidak dapat dipandang remeh. Pemuda di manapun berada tidak dapat dipisahkan dari sejarah perubahan. Sebab sejarah dunia terus berubah seiring berubahnya waktu. Generasi muda sekarang akan ditanya oleh generasi muda yang akan datang apa perannya dalam arah pembangunan bangsa ini, jika pemuda generasi sekarang tidak mampu mengukir sejarah yang gemilang deretan prestasi dan peranannya. Bahkan Reformasi yang digulirkan pada 1998 itu juga peran dari mahasiswa dan pemuda yang berhasil menumbangkan regim Orde Baru. Berbarengan dengan Sumpah Pemuda sebelum Reformasi bergulir, telah mengalir kencang Sumpah Mahasiswa: Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah : Bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan//Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah : Berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan//Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah :Berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan// Pada kondisi perubahan sosok pemuda ibarat pahlawan, jika tidak mampu melepas label pemuda sebagai agen perubahan maka pemuda akan berulang seperti jaman Orde Baru, hanya sebagai stempel pembangunan, menjadi obyek bukan subjek dari perubahan. Hanya menjadi generasi pengekor bukan pelopor. Yang terpenting dari peran pemuda adalah pergerakan dinamika pemuda dalam arah kebangsaan dan pembangunan mempunyai bargaining position dengan pemerintah dan parpol bahkan organisasi agama. Hari Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah bangsa yang di masa lampau menunjukkan pada dunia jika pemuda dan pemudi Indonesia bisa bersatu menuju keutuhan NKRI.Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa, memang pada tanggal 28 Bulan oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan dengan penuh semangat perjuangan, hingga dari itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Bulan oktober selaku hari lahirnya bangsa Indonesia, prosedur kelahiran Bangsa Indonesia ini adalah buah dari perjuangan rakyat yang selagi ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis saat itu, kondisi ketertindasan ini-lah yang terus mendorong para pemuda saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan juga martabat hidup manusia Indonesia asli, tekad ini-lah yang men-jadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun terus yaitu kepada 17 Bulan agustus 1945. Bersesuaian namanya, Sumpah Pemuda dirumuskan oleh para pemuda. Mereka terus menjadikannya selaku dasar untuk membangkitkan rasa nasionalisme. Para pemuda tidak terus berjuang sendiri, melainkan bersama-sama.Perlu kita ketahui bersama, Sumpah Pemuda tidak lahir begitu saja. Banyak perihal yang melandasi para pemuda bertekad untuk bersatu. Mereka berpikir tidak hendak bisa membikin Indonesia merdeka kalau berjuang di kelompok sendiri. Pemuda dengan segenap perangkat dan organisasi mampu mengakomodasi aspirasi politik dan peran dalam proses demokratisasi yang lebih berani, kritis dalam mengontrol pemerintah. Keterlibatan secara aktif dan partisipatoris akan berlangsung bila pemuda mampu mengorganisir orang-orang muda untuk semakin kreatif apalagi bila ditunjang juga dengan produk produk hasil karya cipta yang kreatif serta mempunyai keunggulan baik secara kompetitif maupun kualikatif dengan pemuda bangsa lain. Tentu itu mampu membanggakan pemuda dan harapan yang terpikul oleh generasi pendahulu kita. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. 19. Santri Sebagai Pemersatu Bangsa Hari Santri Nasional yang diperingati setiap 22 Oktober menjadi sebuah rutinitas ceremonial (upacara) kenegaraan baru namun perlu disambut dengan positif thinking. Diharapkan dengan peringatan hari Santri, santri Indonesia bisa menapaktilasi Hari keluarnya Fatwa Jihad, sebagai titik awal mempersatukan anak bangsa Setiap 22 Oktober pada kalender Nasional ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional. Wacana Hari Santri pertama kali ditetapkan oleh Presiden RI Joko Widodo dengan lewat Keputusan Presiden (Keppres) No 22 Tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta patut disambut dengan positif thingking. Kenapa hari ini dipilih sebagai hari santri? Keppres tersebut telah diteken oleh Presiden Jokowi 15 Oktober. Penetapan Hari Santri sendiri telah dijanjikan Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2014. Alasannya adalah untuk menghargai jasa santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, kehendak untuk mengukuhan Hari Santri secara nasional muncul di mana-mana. Di tingkat akar rumput, dengan berbagai cara ungkap dan salurannya, ada begitu banyak prakarsa yang mencerminkan kuatnya kehendak tersebut. Sementara pada tingkat nasional, wacana “Hari Santri” mengemuka pada banyak pernyataan tokoh, pejabat publik, forum diskusi, dan peliputan media massa. Tema Hari santri 2018 yang ditetapkan oleh Kementerian Agama adalah Bersama Santri Damailah Negeri. Sebagaimana “ayo madrasah” lansir dari situs remi kemenag, kemenag.go.id, santri tidak hanya mereka yang lulusan pondok pesantren, tetapi adalah mereka umat Islam yang memiliki basis keilmuan memadai dan memiliki daya pikir terbuka serta menyebarkan agama Islam dalam rangka mendamaikan dan menjadi rahmatan lil alamin. "Santri dalam pengertian luas adalah umat muslim yang  memiliki basis pengetahuan memadai dan memiliki cara berpikir terbuka dan menebarkan ajaran islam dalam mewujudkan kedemaian di tengah-tengah kehidupan", ujar Menag, H. Lukman Hakim Saifudin Zuhri. Sehingga dengan tema Bersama Santri Damailah Negeri, diharapkan kaum santri menyadari tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga, memelihara, dan merawat keindonesiaan. Berikut ini adalah rangkaian kegiatan yang akan digelar dalam rangka menyambut peringatan Hari Santri Tahun 2018; 11 - 12 Agustus : Kopdar Akbar Santrinet Nusantara dan Car Free Day Bershalawat bersama Nissa Sabyan di Jakarta; 29 - 31 Agustus : Pesan Trend (Ngaji kitab Ihya’ ulum al-din bersama Gus Ulil Abshar Abdalla) di Jakarta; September-Oktober : Pesantren Business Challenge (ajang pengembangan ekonomi dan bisnis di lingkungan pesantren); 18 – 20 September : Muktamar Pemikiran Santri Nusantara di Yogyakarta; 19 September : Ketika Kyai, Nyai, Santri Berpuisi dan Pegon Exhibition di Yogyakarta; 1 – 7 Oktober : Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (PPSN) di Jambi; 21 Oktober : Santriversary (Malam puncak Hari Santri) di Bandung. Secara khusus, sejumlah Organisasi Masyarakat yang terhimpun dalam Lembaga Persaudaraan Ormas Islam (LPOI) bersama-sama menyepakati pentingnya pengukuhan hari santri. Dua belas ormas tersebut ialah Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam Indonesia (SII), Persatuan Islam (PERSIS), Al Irsyad Al Islamiyyah, Mathlaul Anwar, Al-Ittihadiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ikatan DA’I Indonesia (IKADI), Azzikra, Al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), dan Persatuan Umat Islam (PUI). Beriringan dengan itu, TNI Angkatan Laut dan Kementerian Agama jua mengadakan persiapan untuk menyongsong peringatan Hari Santri. Fatwa berperang (jihad) melawan segala bentuk penjajahan dunia sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan oleh AlHadlaratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari sejak pertama kali Asyaikh membuka pesantren. KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang) dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Keluarnya fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabĆ®lillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama. Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin—ajaran utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban moral (fardu ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Padahal pada waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928 di Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah konsep Negeri Darussalam (sebuah negeri yang penuh aman, sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh keselamatan). Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima tahun (1825-1830) juga karena alasan serupa. Dalam proklamasi dan permintaan dukungannya pada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran Diponegoro—pangeran yang juga ulama—menekankan bahwa ia adalah pemimpin ‘perang sabil’, perang suci, untuk mengusir Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka “untuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurken agami Islam)”.Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya. Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya pada Perang Dunia II, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU, sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan rakyat terhadap Belanda dan Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29 Maret 1946. Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki, perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar jarak 94 km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat Singaparna di Jawa Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa jihad dari para ulama. Mengenang hari santri pada hari ini tepatnya tanggal 22 Oktober 2015 setidaknya mengenang jasa perjuangan salah seorang pejuang dan founding father bangsa ini KH Hasyim Asy’ari. Setidaknya dimana rekam jejak KH. Hasyim dari kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun pesantren Tebuireng tidak mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya waktunya dianggap belum tiba. Sebuah kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang, AlHadratus Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk membiayai pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang sukses, jatuh bangun namun berkat kesabaran, semua rintangan beliau lalui dengan sukses selain bertani, berkebun, berdagang kuda dan rempah-rempah di Surabaya. KH. alHadratussyaikh Hasyim Asy’ari alBasyaiban juga seorang pendidik modernis. Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan dengan cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu Dinniyah School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir Tanah Abang Lembaga Rabithah Alawiyah. KH. Hasyim Asy’ari juga menjalankan sistem yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada 1916. Pelajaran umum seperti membaca dan menulis huruf latin , ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini sempat menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap terlalu modern. Kesadaran bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO. KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang. Semasa kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda dan Inggris. Dalam proses belajar KH. Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar. Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya. “Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit Muzadi (alm) sebagaimana dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45. Selain perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial sekarang-red). Perkembangan pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan 1948-setahun setelah Wahid menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar kemana-mana, sementara KH. Wahid Hasyim beserta keluarga memutuskan pindah ke Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi setahun kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng saat itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi. Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran. Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus memanggul senjata dan berperang. Di sepanjang jalur kesejarahannya, keutuhan Indonesia berkali-kali diuji. Dalam tiap ujian itu, santri selalu hadir menjaminkan diri untuk mengawal keutuhan tersebut. Jauh sebelum diproklamasikan, bagi santri, Indonesia atau nusantara merupakan tanah-air yang wajib dibela. Tidak sempurna keimanan seseorang, hingga ia mencintai tanah-airnya. Kesadaran bertanah-air ini hidup melalui jaringan pengetahuan dan gerakan yang tersebar di seantero pulau dengan masjid, pondok pesantren, dan tarekat sebagai simpul-simpul utamanya. Dalam kenyataan, Santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Dengan pengertian ini, segala jenis usaha pembenturan santri dengan kelompok-kelompok lain di negeri ini sudah pasti mentah. Kecintaan terhadap tanah air selalu mengatasi sentimen kelompok. Membela tanah-air berarti membela agama. Hal ini merupakan sesuatu yang secara spiritual diyakini, secara gagasan dipikirkan, dan secara empiris dikerjakan. Kenyataan yang demikian ini terus-menerus meluas dalam ruang dan memanjang dalam waktu. Meluas dalam ruang sebab kesadaran bertanah air diungkapkan di banyak tempat dengan ekspresi yang sangat beragam. Memanjang dalam waktu sebab terdapat mata-rantai pengetahuan dan tradisi yang terus-menerus bersambung. Hari santri perlu dikukuhkan dan diperingati sekurang-kurangnya karena dua alasan. Pertama, sebagai penghormatan atas jasa pahlawan. Pengakuan semacam ini penting bagi generasi sekarang agar tak tercerabut dari kampung halaman sejarahnya. Kedua, sebagai pembangkit patriotisme. Ini relevan sebab sejumlah gagasan yang belakangan bermunculan di Indonesia  tidak banyak yang sungguh-sungguh memiliki komitmen keindonesiaan. Dan perlu dipahami jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil lisan), tetapi dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit) namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang besar sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy). (*****) 20. Harus Optimis Kita harus yakin bahwa Allah SWT, Mahakuasa. Tak ada yang terlepas dari kekuasaan-Nya. Di ‘tangan-Nyalah’ segala sesuatu. Allah Maha mengatur, Allah Maha berkehendak, Allah yang membuat sesuatu menjadi mulia, dan Allah pula yang membuat sesuatu menjadi hina. Jika Allah menghendaki sesuatu terjadi, meskipun sulit menurut kita, maka itu pasti terjadi.             Kepercayaan akan semua ini, dalam pandangan Islam dikenal dengan sebutan tawakal. Semakin kuat kepercayaan ini, maka akan semakin tebal rasa tawakal, dan akhirnya rasa optimis dalam diri semakin bertambah. Dari rasa tawakal inilah optimis berawal. Rasa optimis haruslah mengalahkan pesimis yang bisa menyerang siapa saja. Jika ingin berhasil, kita harus bisa membangun rasa optimis dalam diri dan kita memulainya dengan memupuk rasa tawakal kepada Allah.             Optimis yang lahir dari tawakal itulah yang menyebabkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para khalifah setelahnya bisa memenangkan banyak pertempuran melawan orang kafir. Dalam berbagai medan peperangan, sebenarnya pasukan muslim selalu kalah dalam hal jumlah prajurit, fasilitas persenjataan, kelengkapan medis, dan lain sebagainya. Tetapi sejarah mencatat, kaum muslimin hampir selalu meraih kemenangan dalam setiap pertempuran. Salah satu kuncinya adalah optimisme dan keyakinan kepada kekuasaan Allah.             Pernah, kaum Muslimin agak pesimis. Yaitu, saat menghadapi Romawi di Perang Yarmuk tahun 13 Hijriah. Jumlah prajurit dan perlengkapan senjata antara dua pasukan sangat tidak berimbang. Pasukan Romawi mencapai 240.000 personel, sedangkan jumlah pasukan Islam tidak sampai 30.000 personel. Melihat hal ini, Panglima Khalid bin Walid, mencoba membangkitkan rasa optimisme pasukan Islam. Ia berteriak, “Betapa sedikitnya pasukan Romawi dan betapa banyak pasukan Islam. Banyak dan sedikit bukan dari jumlah prajurit. Pasukan dianggap banyak jika ia menang dan sedikit jika ia kalah.”             Ketika itu optimisme pasukan Islam bangkit dan akhirnya mampu memporak-porandakan pasukan Romawi.             Manusia, ketika dihadapkan pada hal-hal sulit atau menemukan sebuah tantangan besar, maka ada dua pilihan yang harus dia ambil salah: maju menabrak dan menjawab tantangan tersebut atau mundur tanpa melakukan apa-apa. Jika dia memilih maju, maka ada dua kemungkinan yang bisa diraih, berhasil atau gagal. Tapi, jika dia memilih diam tanpa ada usaha dan tindakan nyata, maka kemungkinannya hanya satu, yaitu gagal. Dari ini, maka diperlukan pemupukan sikap optimis dalam menghadapi setiap tantangan dan membuang jauh-jauh sikap pesimis.             Optimis merupakan keyakinan diri dan merupakan salah satu sifat yang sangat ditekankan dalam Islam. Dengan sifat optimis seseorang akan bersemangat dalam menjalani hidup ini untuk menjadi lebih baik. Allah melarang dan tidak menyukai orang yang bersikap lemah dan pesimistis baik dalam bertindak, berusaha, maupun berpikir. Dalam al-Qur’an Allah berfirman (artinya):“Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) bersedih hati, padahal kalianlah orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kalian beriman.” (QS Ali Imran [3]: 139) Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda, ”Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah,…” (HR an-Nasai dan al-Baihaqi)      Optimis berarti berusaha semaksimal mungkin dalam mencapai target atau standar ideal. Adanya standar ideal dan visi-misi yang jelas bisa menjadi tolok ukur dan memperjelas arah tujuan kita, agar hidup tidak sekadar mengalir begitu saja. Dengan begitu kita bisa mengetahui di manakah posisi kita dalam standar tersebut, sehingga bisa terpacu untuk menjadi lebih baik.         Memang tidak ada manusia yang sempurna, kenyataan tak selalu sesuai dengan impian. Dalam mewujudkan niat dan rencana yang sudah dibuat, tak jarang kita dihadapkan pada kondisi dan keadaan yang jauh berbeda dengan harapan. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah sejauh mana dan sekeras apa kita berusaha mencapainya. Hal ini jika tidak dihadapi dengan sikap optimis, sabar, dan disertai tawakal kepada Allah akan mempengaruhi pola pikir kita berikutnya. Allah berfirman menceritakan doa hamba-Nya:       “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan kepada yang dikehendaki. Engkau memuliakan yang Engkau kehendaki dan menghinakan yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mulah segala kebaikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran [3]: 26)       Dengan demikian, sikap optimis akan menjadi energi hidup yang terus menyala di waktu yang tepat. Kita harus selalu menumbuhkan semangat pantang menyerah, terus berdoa sambil berusaha, serta beramal dengan penuh keyakinan akan kekuasaan Allah SWT. Bila Allah berkehendak hal tersulit sekalipun akan menjadi sangat mudah bagi kita. Jika belum mencoba, jangan mengatakan tidak bisa. Seorang mukmin tidak boleh kalah sebelum berperang. Optimisme itu dibangun dengan sikap disiplin dan profesional (the right man in the right place) atau orang bekerja sesuai bidang keahliannya serta bersikap pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8). Selain ketiga prinsip ini, golongan orang-orang yang selalu optimis yakni orang yang mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini.Allah SWT berfirman:“Wahai orang-orang yang beriman! Kalau kamu menolong(Agama) Allah, niscaya Allah akan menolong kamu dan mengukuhkan kamu”(QS Muhammad: 7).(***) 21.Santun dan Sabar Islam adalah dinun samhah, agama yang mengajarkan kesantunan, kelembutan, dan kesa baran dengan sesama makhluk Allah. Sifat yang baik mesti dilakukan kepada sesama manusia, sehingga akan terwujud hubungan harmonis dan toleransi da lam bermuamalah. Rasulullah SAW memiliki sifat yang sangat pemaaf dan santun. Tapi, jika hak Allah SWT dilecehkan, beliau akan marah dan tampil meluruskan kedurhakaan itu dengan tegas, namun tetap bijaksana.Keutamaan sikap lemah lembut dan santun itu memiliki kedudukan di atas maqam akhlak lainnya. Orang yang mempunyai sikap lemah lembut cenderung memperoleh kebajikan dan kebaikan, sedangkan orang yang temperamental dan berhati kasar cenderung memperoleh keburukan. Suatu kali, ketika Rasulullah lewat di depan rumah seorang wanita yang sangat membenci, bahkan kerap meludahinya, wanita tersebut tak lagi meluda hinya. Bahkan, batang hidungnya saja tak keli- hatan. Nabi pun menjadi "kangen" akan air ludah si wanita tadi. Karena penasaran, Nabi lantas bertanya kepada seseorang, "Wahai Fulan, tahukah engkau, di mana kah wanita pemilik rumah ini yang setiap kali aku lewat selalu meludahiku?" Orang yang ditanya menjadi heran, mengapa Nabi justru menanyakan wanita itu. Namun, si Fulan tak ambil peduli. Ia pun segera menjawab pertanyaan Nabi, `'Apakah engkau tidak tahu wahai Muhammad bahwa si wanita yang biasa melidahimu sudah beberapa hari terbaring sakit?"Mendengar jawaban itu, Nabi mengangguk-angguk, lantas melanjutkan perjalanan untuk ibadah di depan Ka'bah dan bermunajat kepada Allah Pemberi Rahmah. Sekembalinya dari ibadah, Nabi mampir menjenguk wanita tersebut. Ketika tahu bahwa Nabi, orang yang tiap hari dia ludahi, justru menjenguknya, si wanita menangis dalam hati. "Duhai, betapa luhur budi manusia ini. Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjenguk kemari."Dengan menitikan air mata haru bahagia, si wanita bertanya, "Wahai Muhammad, mengapa engkau menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?"Nabi menjawab, "Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin, engkau tak akan lagi melakukannya."Mendengar ucapan bijak dari manusia utusan Allah SWT ini, si wanita menangis dalam hati. Dadanya sesak, tenggorokannya serasa tersekat. Setelah mengatur napas dan dapat bicara lepas, ia pun berkata, "Wahai Muhammad, mulai saat ini aku ber saksi untuk mengikuti agamamu." Lantas, si wanita mengikrarkan dua kalimat syahadat. Begitu indahnya Islam mengajarkan kewajiban ber buat baik dalam segala hal perbuatan. Inilah salah satu sifat kasih sayang Nabi SAW yang meru pakan cerminan ajaran Islam. Memudahkan urusan dan menjauhkan hal yang mengandung dosa dan cela.Rasulullah SAW juga mengajarkan tentang akhlak kelemahlembutan, kesabaran, dan kesantunan. Beliau tidak menunjukkan marah sedikitpun dan tidak ada keinginan untuk menuntut balas pada hal- hal yang memancing dan memprovokasi kemarahan beliau. Inilah sifat dan akhlak Nabi Muhammad SAW yang mulia.(***) https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/03/22/dunia-islam/hikmah/13/11/28/koran/khazanah-koran/14/08/30/nb48td-santun-dan-sabar 22.Bekerjalah Suatu hari ada seorang laki-laki dari kaum Anshar mendatangi kediaman baginda Rasulullah SAW. Ia datang dengan pakaian compang-camping dan wajah yang pucat, langsung menghadap di depan Rasulullah SAW untuk mengemis. Seusai mengucap salam, pengemis itu meminta sesuatu pada baginda Rasulullah SAW.  Ya. Ada sehelai kain. Kami pakai sebagiannya dan kami bentangkan sebagiannya untuk duduk dan lain sebagainya. Saya juga punya satu bejana untuk minum air, jawab Rasulullah SAW. Beliau kemudian menyuruh para sahabat yang hadir saat itu untuk membawakan kain dan bejana kepunyaan beliau. Bawalah keduanya kepadaku!  Dengan bergegas, salah satu sahabat yang ada di majelis beranjak dari tempat duduknya dan mengambil barang yang dimaksud. Lalu sahabat itu membawanya ke hadapan beliau. Rasulullah SAW lalu mengambil keduanya dengan kedua tangan nya dan memperlihatkannya di hadapan para sahabat, beliau bercerita, Aku beli kain dan bejana ini satu dirham. Rasulullah SAW menawarkan barang-barang kepunyaan beliau kepada para sahabat, Aku akan menjualnya. Adakah Saudara-Saudara akan membelinya? Adakah yang sanggup menambah satu dirham?  Beliau berulang-ulang menawarkan kepada para sahabat. Akhirnya seorang sahabat mengambilnya. Aku ambil dengan dua dirham, seperti tawaranmu, ya Rasulullah, jawabnya. Rasulullah SAW kemudian memberikan kedua barang itu kepada sahabat yang sepakat membeli kedua barang itu. Beliau kemudian mendekati sang pengemis dari kaum Anshar itu dan langsung beliau serahkan uang dua dirham itu seraya memberikan nasihat untuk sang pengemis, Belilah dengan satu dirham makanan dan serahkan kepada keluargamu.  Dan belilah dengan satu dirham lagi sebuah kapak di pasar terdekat dan kemudian bawalah kapak yang kamu beli itu kepadaku! Setelah menerima uang dua dirham, sang pengemis pamit pulang. Ia mampir ke pasar me lak sanakan perintah Rasulullah SAW, yakni membeli makanan dan sebuah kapak besi. Selepas me ngantar makanan untuk keluarganya di rumah yang tengah kela paran, ia membungkus kapak itu dengan sebuah kan tong kulit dan ia langsung kembali menuju ke kediaman Rasulul lah.  Saat itu Rasulullah SAW masih dalam satu majelis, dikelilingi para sahabat. Hai fulan, sudahkah engkau laksakan perintahku? tanya Rasulullah SAW pada sang pengemis yang tampak malu-malu berdiri di depan pintu rumah. Sudah, Tuan, jawab sang pengemis itu.  Kemarilah! Bawa kemari kapak yang telah engkau beli itu! perintah beliau. Lalu sang pengemis mendekati baginda Rasulullah SAW dan duduk di depan beliau. Pengemis itu kemudian mengeluarkan kapak itu dari kantong kulit dan diserahkan pada Rasululah SAW. Rasulullah SAW hari itu tampak bergembira melihat perangai dari sang pengemis yang telah taat menerima perintah beliau.  Baginda Rasulullah SAW lalu mengambil kapak besi dan ia beranjak ke pojok ruangan. Beliau kemudian berjongkok dan mengambil sepotong kayu yang tergeletak di pojok majelis itu. Tangan beliau yang terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari, dengan sangat cekatan segera memasang tangkai kayu pada lobang kapak besi. Tak berapa lama kemudian kapak besi itu telah siap untuk digunakan.  Selesai memasang tangkai kapak besi itu, Rasulullah SAW ke mudian kembali ke tempat semula, di majelis yang sedari tadi para sahabat biasa menyimak penjelasan dan mengambil hikmah ilmu dari beliau. Pergilah ke gurun dan tebanglah kayu! Jual kayu bakar yang kau peroleh ke pasar dan ke marilah 15 hari lagi! sabda Rasulullah SAW kepada pengemis itu.  Sang pengemis itu lalu pamit pada Rasulullah SAW. Ia kemudian pulang ke rumah dan mengambil perbekalan makanan dan minuman secukupnya untuk dibawa ke gurun. Dengan penuh semangat, sang pengemis itu lalu berangkat ke gurun yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Satu per satu ranting pohon yang telah kering dipotong dengan kapak. Setelah terkumpul banyak kayu bakar, ia kemudian membawanya pulang ke rumah.  Selama 15 hari sang pengemis itu melakukan pekerjaan mencari kayu bakar dan seluruh kayu bakar yang dikumpulkan dijual ke pasar. Genap pada hari kelima belas, pengemis itu menghadap ke Rasulullah SAW dengan membawa 10 dirham dari hasil penjualan kayu bakar. Sahabat Ibnu Majah RA meriwayatkan sebuah hadis tentang mulianya bekerja daripada mengemis.  Belilah sebahagian dengan uangmu itu makanan dan sebahagian lagi pakaian. Ini adalah lebih baik bagi kamu daripada meminta-minta. Sebab, mengemis itu merupakan satu tanda di mukamu di hari kiamat nanti. Sesungguhnya mengemis itu tidaklah layak melainkan bagi orang yang sangat miskin/papa dina atau orang yang berutang berat atau harus membayar diyat (denda karena membunuh orang).(***) https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/17/10/14/oxtgn0313-bekerjalah 23.Pejabat Muslim Lupa Konsep Qanaah Rasulullah SAW pernah berkata kepada Hakim bin Hizam, “Harta memang indah dan manis, barang siapa mengambilnya dengan lapang dada maka dia mendapatkan berkah. Sebaliknya, barang siapa menerimanya dengan kerakusan maka harta itu tidak akan memberikan berkah kepadanya layaknya orang makan yang tak pernah kenyang.” Dunia nyata semakin menggelorakan nafsu menumpuk harta dan berebut takhta. Karenanya, kita memerlukan treatment menghadapi itu semua, salah satunya dengan mengingat kembali konsep qanaah. Qanaah adalah merasa puas atas pemberian yang sudah diterimanya. Puas itu ditunjukkan dengan syukur dan menghindari kerakusan. Selain itu, mengekang diri dalam memburu apa yang diinginkannya karena merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh. Qanaah merupakan salah satu jalur alternatif mengendalikan diri di tengah gemerlap dunia yang semakin menggiurkan. Inilah sikap yang harus dimiliki oleh seorang Muslim pada umumnya dan Muslim pejabat pada khususnya. Hal itu mengingat derasnya cobaan yang silih berganti menawarkan isi dunia. Bukankah kita sudah maklum bahwa pada akhirnya nanti uang, harta, dan takhta juga akan sirna. Uang akan usang, harta akan binasa, dan jabatan akan digantikan. Mengapa diri ini selalu tertarik untuk mengumpulkannya, bukankah itu sama artinya menimbun busa yang akan lenyap diterpa udara? Orang yang cerdas pastilah lebih suka mencari sesuatu yang lebih tahan lama, sesuatu yang tidak cepat punah dan habis hanya karena pergantian masa. Adakah hal yang demikian itulah qanaah. Kita perlu bersandar pada hadis Rasulullah SAW, “Jadilah kamu orang yang wara’, pasti kamu menjadi orang yang rajin beribadah, dan jadilah kamu orang yang qanaah, pastilah kamu menjadi orang yang banyak bersyukur (HR.Bukhari).” Janganlah salah mengartikan qanaah dengan berpangku tangan, berserah diri tanpa usaha, namun penuh harap akan rahmat Allah SWT. Tidak, bukan demikian maksud qanaah tersebut. Manusia tidak dilarang mencari rezeki, bahkan Allah SWT memerintahkan manusia untuk berusaha. Karena hasil usahalah yang akan menopang ibadah seseorang. Usahalah yang menjadi modal perjuangan agama. Tanpa ada hasil usaha, tidak akan ada masjid mewah, tidak ada panti asuhan, tidak ada madrasah dan mushalla. Semua itu memerlukan usaha dan harta. Hanya saja yang perlu disadari dunia usaha bagaikan hutan belantara yang gelap tanpa arah. Apabila kita berjalan tanpa senjata dan tidak berhati-hati, akan diterkam binatang buas atau tersesat di dalamnya. Sehingga kita tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal ataupun mendapatkannya, tetapi bukan hasil yang halal. Bukankah nafsu syaitan selalu mengarahkan kita ke dalam sesat keharaman. Oleh karena itu, marilah kita persenjatai diri dalam belantara usaha dengan qanaah, insya Allah dia akan memberikan rambu-rambu ke arah yang benar walaupun tidak disertai dengan hasil maksimal. Bila demikian, adanya usaha yang kita lakukan akan memilki nilai ibadah. Karena, segala macam kegiatan manusia yang disandarkan niatnya kepada Allah SWT akan dihitung sebagai ibadah. Ibadah tidak terbatas bertekur dan berzikir di dalam masjid saja, tetapi menyingkirkan duri dari jalanan juga termasuk ibadah. Di sinilah kehebatan qanaah, dia tidak mengenal takut dan gentar. Apa pun kondisi yang ada harus kita hadapi dengan sabar dan penuh keyakinan. Seperti janji Allah SWT dalam surah Hud ayat 6, “Tiada sesuatu yang melata di bumi ini, me lainkan di tangan Allah rezekinya.” Memang pada kenyataannya hidup ini tidaklah selalu mulus dan mujur. Terkadang malang dan terkadang berkelok. Dan, ketika berkelok itulah tanda-tanda keberuntungan kita. Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh beruntung orang yang Islam dan rezekinya pas-pasan dan dia merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/12/21/ngwl92-pejabat-muslim-lupa-konsep-emqanaahem 24.Pakaian Malu Menurut fitrahnya, manusia mempunyai sifat malu, tetapi tergerus akibat godaan syaitan, seperti peristiwa merujuk kepada peristiwa Adam dan Hawa yang diceritakan dalam Alquran saat mereka masih tinggal di surga. Allah SWT berfirman, “Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya sudah merasai buah itu,tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun. Kemudian, Tuhan mereka menyeru mereka, ‘Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu, ‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS Al-‘Araaf [7]:22). Aspek iman tidak boleh dipisahkan dengan sifat malu karena malu itu merupakan cabang iman. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sifat malu adalah satu cabang daripada cabang iman.” (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Pada kesempatan lain, Rasulullah bersabda, “Malu itu sebagian dari iman. Dan iman tempatnya di surga, sedangkan ucapan keji termasuk sebagian tabiat kasar dan tabiat kasar itu tempatnya di neraka”. (Hadis riwayat al-Tirmizi). Malu termasuk sifat mulia. Sifat ini perlu diwujudkan dalam setiap individu Muslim. Adanya malu akan mencegah seseorang melakukan kemungkaran dan perbuatan keji yang dilarang agama. Oleh sebab itu, perasaan malu akan menjadi pakaian iman bagi seseorang Muslim. Dalam diri orang yang beriman akan muncul perasaan malu untuk melakukan dosa. Namun,  jika keimanan nipis dan dikuasai nafsu serta godaan syaitan, ia tidak akan malu melanggar perintah Allah. Malah tanpa rasa malu itu ada yang sanggup bermegah mencanangkan perbuatan kejinya. Allah SWT berfirman, “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang yangberiman, hendaklah mereka senantiasa merendahkan pandangan dan memelihara kehormatan mereka.” (QS an-Nuur [24] ayat 30). Malu bukan saja boleh mengawal perlakuan, melainkan juga emosi dan tingkah laku. Seseorang yang malu mengeluarkan kata-kata kasar apabila marah merupakan hasil kemampuan diri mengawal perasaannya. Jika dilihat konteks malu dalam Islam dan kaitannya dengan masyarakat Islam, banyaknya kemungkaran saat ini karena berkurangnya sifat malu. Sekaligus memperlihatkan kerapuhan iman dalam kalangan generasi muda. Kebebasan tidak pernah dihalangi, tetapi perlu melihat pada batasan. Ini karena kebebasan mutlak akan menghancurkan fitrah malu yang ada dalam diri hingga perbuatan dan tindakan yang sepatutnya memalukan sudah tidak lagi dianggap sebagai memalukan. Oleh karena itu, malu sebagai benteng kepada kekukuhan iman perlu ditanam dalam diri anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua supaya hanya contoh terbaik dapat dilihat serta diamalkan dalam kehidupan. Biarlah jadi pemalu daripada dik atakan tidak tahu malu. Dari Abu Mas’Ć»d ‘Uqbah bin ‘Amr al-AnshĆ¢rĆ® al-Badri RA ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu,berbuatlah sesukamu.” https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/14/10/12/ndb70o-pakaian-maluēŖ—体åŗ•ē«Æ https://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/hikmah/14/10/12/ndb70o-pakaian-malu 25.Kehidupan Yang Zuhud Suatu ketika Nabi Muhammad SAW telah bersumpah akan berpisah dengan istri-istrinya selama satu bulan sebagai peringatan bagi mereka. Selama sebulan beliau tinggal seorang diri dalam sebuah kamar sederhana yang letaknya agak tinggi. Terdengar kabar di kalangan para sahabat, Nabi telah menceraikan semua istrinya. Ketika Umar bin Khathab mendengar kabar ini, segera ia berlari ke masjid. Setiba di sana, dia melihat para sahabat sedang duduk termenung, mereka bersedih dan menangis. Kaum wanita juga menangis di rumah-rumah mereka. Kemudian, Umar pergi menemui putrinya, Hafsah yang telah dinikahi Nabi. Umar mendapati Hafsah sedang menangis di kamarnya. Ia bertanya kepada Hafsah, “Mengapa engkau menangis? Bukankah selama ini saya telah melarangmu agar jangan melakukan sesuatu yang dapat menyinggung perasaan Nabi?” Hafsah tak menjawab apa-apa, ia terus menangis. Umar kembali ke masjid. Terlihat olehnya beberapa orang sahabat sedang menangis di mimbar. Kemudian, ia duduk bersama para sahabat, lalu ia berjalan ke arah kamar Nabi Muhammad yang terletak di tingkat atas masjid. Umar mendapati Rabah dan dia minta izin untuk menemui Nabi. Rabah menghampiri Nabi dan memberitahukan bahwa dia telah menyampaikan pesan Umar apakah bisa menemuia beliau. Tapi, Nabi hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya. Permintaan untuk menjumpai Nabi diulang. Baru setelah permintaan yang ketiga kalinya, Nabi Muhammad mengizinkan Umar naik ke atas. Ketika Umar masuk, dia menjumpai Nabi sedang berbaring di atas sehelai tikar yang terbuat dari pelepah daun kurma. Terlihat jelas bekas daun kurma pada badan Nabi yang putih bersih. Di tempat kepala beliau ada sebuah bantal yang terbuat dari kulit binatang yang dipenuhi oleh daun dan kulit pohon kurma. Selepas mengucapkan salam kepada beliau, Umar bertanya, “Apakah engkau telah menceraikan istri-istri engkau, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Tidak.” Umar sedikit lega, sambil bercanda ia mengatakan, “Ya Rasulullah, kita adalah kaum Quraisy yang selamanya telah menguasai wanita-wanita kita. Tetapi, setelah hijrah ke Madinah, keadaannya sungguh berbeda dengan orang Anshar. Mereka telah dikuasai wanita-wanita mereka, sehingga wanita-wanita kita terpengaruh dengan kebiasaan mereka.” Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Umar. Umar lalu memperhatikan keadaan kamar Nabi. Terlihat tiga lembar kulit binatang yang telah disamak dan sedikit gandum di sudut kamar itu, selain itu tidak terdapat apa pun. Umar menangis sesenggukan melihat keadaan Nabi yang seperti itu. Tiba-tiba Rasulullah bertanya kepada Umar, “Mengapa engkau menangis?” “Bagaimana saya tidak menangis, ya Rasululah. Saya sedih melihat bekas tanda tikar yang engkau tiduri di badan engkau yang mulia dan saya prihatin melihat keadaan kamar ini. Semoga Allah mengaruniakan kepada tuan bekal yang lebih banyak,” jawab Umar. Ia mengatakan, orang-orang Persia dan Romawi yang tidak beragama dan tidak menyembah Allah, raja mereka hidup mewah. Mereka hidup dikelilingi taman yang di tengahnya mengalir sungai, sedangkan Rasul, hidup dalam keadaan sangat miskin. Mendengar jawaban Umar, Rasulullah berkata, “Wahai Umar, sepertinya engkau masih ragu mengenai hal ini. Dengarlah, kenikmatan di alam akhirat tentu akan lebih baik daripada kesenangan hidup dan kemewahan di dunia ini.” Beliau menambahkan, jika orang-orang kafir itu dapat hidup mewah di dunia ini, umat Islam pun akan memperoleh segala kenikmatan tersebut di akhirat nanti. Di sana, kita akan mendapatkan segala-galanya. Mendengar sabda Nabi, Umar menyesal. Lalu, ia berkata, “Ya Rasulullah, memohonlah kepada Allah SWT untuk saya. Saya telah bersalah dalam hal ini.” https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/09/05/msmwx1-kehidupan-yang-zuhud 26.Keutamaan Musibah Ketahuilah, sesungguhnya rasa syukur itu timbul karena mendapatkan sesuatu yang membahagiakan. Sedangkan sabar muncul karena tertimpa sesuatu yang tidak menyenangkan atau menyusahkan. Meskipun keduanya bertentangan, tetapi kadang ketika memperoleh suatu musibah manusia dapat bersabar sekaligus bersyukur. Ini bisa terjadi jika yang bersangkutan menyadari bahwa di dalam kesabaran itu terdapat kenikmatan tersendiri yang harus disyukuri. Amirul Mukminin Umar bin Khathab RA berkata, ''Tidaklah aku diuji dengan sebuah musibah melainkan di dalamnya kutemukan empat kenikmatan dari Allah, yaitu karena musibah tersebut tidak menimpa agamaku, tidak lebih besar dari yang sedang terjadi, aku ridha dengan musibah itu, dan aku dapat mengharapkan pahala darinya.'' Begitulah kunci yang diberikan Umar bin Khattab RA kepada kita saat ditimpa musibah agar kita bisa senantiasa bersabar dan bersyukur. Mengingat begitu banyak nikmat di balik musibah, maka sepantasnya manusia harus tetap bisa bersyukur atas musibah yang menimpanya. Hikmah itu sangat nyata sebagaimana Allah firmankan, ''Dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin.'' (QS Al Luqman (31): 20). Ayat tersebut ditafsirkan sebagian ulama bahwa Allah telah menjadikan berbagai musibah zhahir sebagai nikmat, sebab di balik musibah terdapat pahala dan pendidikan dari Allah SWT. Perpaduan berbagai musibah duniawi dan rasa syukur itu adalah sebuah kebahagiaan dan kesabaran yang menjadi reaksi dari rasa sakit. Sebenarnya berbagai musibah duniawi tersebut merupakan obat penyakit hati sebagaimana rasa sakit menjadi obat bagi penyakit jasmani. Karena itulah sebagian kalangan memahami bahwa untuk membuang sakit itu memang diperlukan kesakitan. Kendati demikian, memperoleh sehat tetap lebih baik daripada sakit. Karena itu, Rasulullah SAW berlindung kepada Allah dari segala jenis bencana di dunia dan akhirat serta memohon keselamatan darinya. Rasulullah SAW bersabda, "Mintalah kepada Allah kesehatan, sebab tidak ada karunia yang diberikan kepada seorang hamba yang lebih utama daripada kesehatan, kecuali keyakinan.'' (HR Ibnu Majah dan Nasai). Yang dimaksud dengan keyakinan dalam hadis tersebut adalah terselamatkannya hati dari kebodohan. Rasulullah SAW juga pernah berdoa, ''Dan karunia kesehatan-Mu lebih kusukai.'' (HR Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dunya). Sesungguhnya Allah Mahakuasa untuk membuat seseorang memperoleh kenikmatan yang sempurna di dunia dan pahala yang besar di akhirat. Oleh karena itu, kita mohon kepada-Nya agar dengan kemurahan-Nya, dalam segala hal, Dia memberi kita kenikmatan zhahir maupun batin yang sempurna dan berkesinambungan. Sabar atau syukur adalah kunci yang bisa kita miliki untuk menggapai kenikmatan tersebut. Sabar dan syukur juga menjadi senjata yang sangat kuat untuk membantu kita dalam menghadapi segala macam bentuk musibah.(***)Republika, Sabtu, 13 Agustus 2005 27.Kearifan Rasulullah Suatu hari kaum Muhajirin dan Anshar mendatangi Nabi Muhammad SAW di rumahnya. Setelah mereka masuk dan duduk di majelis, Rasulullah mempersilakan  mereka mengutarakan maksud kedatangannya. "Ya Rasulullah, tuan tentu memerlukan barang-barang untuk nafkah dan kebutuhan pribadi, juga untuk menjamu para utusan yang datang menghadap tuan. Ambillah harta kekayaan kami dan pergunakanlah menurut kemauan tuan, atau simpanlah jika Rasul ingin menyimpannya," kata salah seorang sahabat. Mendengar itu, Rasulullah SAW dengan wajahnya yang putih bersih menyampaikan kepada para sahabatnya tentang wahyu yang baru saja diterimanya melalui Malaikat Jibril AS. "Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah apa pun kepada kalian atas (dakwah yang kusampaikan) selain agar kalian berkasih sayang kepada kerabatku." (QS asy-Syuura: 23). Kemudian, mereka mendengarkan dakwah Rasulullah SAW. Dan, saat pulang dari majelis tersebut, beberapa sahabat saling berbincang-bincang. "Yang membuat Rasulullah SAW tidak mau menerima tawaran itu ialah karena beliau hendak mendesak supaya kita mencintai kerabatnya setelah beliau wafat." "Jangan berprasangka begitu, wahai sahabatku," kata yang lain, karena menganggap itu sebagai fitnah. Tak berapa lama, Rasul SAW menerima wahyu surah asy-Syuura ayat 24. Ayat tersebut menerangkan supaya umat Islam tidak terjebak dalam perbuatan fitnah. "Bahkan, mereka mengatakan,  'Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allah.' Maka jika Allah menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu, dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (Alquran). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati." Setelah wahyu diterima, Rasul langsung menemui seorang sahabat dan menanyakan berita bohong yang beredar. Kemudian, beberapa orang di antara rombongan datang menghadap Rasulullah SAW. "Ada beberapa orang di antara kami yang berkata kasar dan kami sendiri tidak menyukainya." Rasul SAW lalu membacakan Alquran surah asy-Syura ayat 24 kepada para sahabat yang hadir. Setelah mendengar wahyu itu, para sahabat pun menangis dan menyesali semua fitnah yang mereka lontarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Rasul pun memaafkan mereka. Beliau lalu membacakan ayat ke-25 surah asy-Syuura. "Dan Dia (Allah SWT) yang berkenan menerima taubat dari hamba-hamba-Nya, mengampuni mereka atas kesalahan-kesalahan mereka, dan Dia mengetahui apa-apa yang kalian perbuat." Setelah mendengar kalam Ilahi itu, para sahabat bersalaman dan saling berangkulan dengan Rasululah SAW. Kemudian, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan lapang. Itulah salah satu kemuliaan Rasulullah SAW yang begitu pemaaf terhadap siapa saja yang memfitnahnya. (HR Imam Ahmad bin Hambal, Tabrani, dan Hakim dari Ibnu Abbas). Betapa mulianya akhlak Rasulullah SAW. Beliau memberikan teladan kepada umatnya dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS al-Ahzab [33]: 21). Dimuat di harian Republika edisi Sabtu, 17 Desember 2011  ēŖ—体锶ē«Æ ēŖ—体åŗ•ē«Æ 28. Kedermawanan Rasulullah SAW Sayyidina Umar bin Khattab bercerita, suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Hari berikutnya, lelaki itu datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya. Pada keesokannya, lelaki itu datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.” Sahabat Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah janganlah memberi di luar batas kemampuanmu.” Namun, Rasulullah tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah SAW tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi).   Jubair bin Muth’im bertutur, ketika ia bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba orang-orang mencegat dan meminta dengan setengah memaksa sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri. Kemudian salah seorang dari mereka mengambil mantelnya. Rasulullah SAW berhenti sejenak dan berseru, ”Berikan mantelku itu! Itu untuk menutup auratku. Seandainya aku mempunyai mantel banyak (lebih dari satu), tentu akan kubagikan pada kalian." (HR Bukhari). Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW bercerita, suatu hari Rasulullah SAW masuk ke rumahku dengan muka pucat. Aku khawatir beliau sedang sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begini?” tanyaku. Rasulullah menjawab, ”Aku pucat begini bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.” (HR Al-Haitsami dan hadistya sahih). Siti Aisyah RA berkata, suatu hari, ketika sakit, Rasulullah SAW menyuruhku bersedekah dengan uang tujuh dinar yang disimpannya di rumah. Setelah menyuruhku bersedekah, beliau lalu pingsan. Ketika sudah siuman, Rasulullah SAW bertanya kembali: “Uang itu sudah kau sedekahkan?” “Belum, karena aku kemarin sangat sibuk,” jawabku. Rasulullah SAW bersabda, “Mengapa bisa begitu, ambil uang itu!” Begitu uang itu sudah di hadapannya, Rasulullah SAW lalu bersabda, “Bagaimana menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal, sementara aku mempunyai uang yang belum kusedekahkan? Uang ini tidak akan menyelamatkan Muhammad seandainya ia meninggal sekarang, sementara ia mempunyai uang yang belum disedekahkan.” (HR Ahmad). Beberapa kisah di atas hanyalah sekilas jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW. Kisah-kisah lainnya bagaikan gunung pasir tertinggi yang takkan pernah sanggup diimbangi oleh siapapun, termasuk para sahabat terdekatnya di masa beliau masih hidup. Sahabat-sahabat Rasulullah hanya bisa meniru kedermawanan yang diajarkan Baginda Rasul itu, yang kemudian menambah panjang jejak sejarah kedermawanan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya. Indah nian jejak-jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW, lebih indah lagi apa-apa yang dijanjikan Allah atas apa yang diberikan di jalan-Nya. Karenanya, seluruh sahabat pada masa itu berlomba-lomba mengikuti jejak Nabi SAW dalam segala hal, termasuk tentang kedermawanan. Semoga, jejak kedermawanan itu terus terukir pada umat Muhammad hingga kini selama kita masih terus meleburkan diri pada rantai jejak indah itu, dan mengajarkannya kepada anak-anak dan penerus kehidupan ini.  https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/16/11/21/ogyoid301-kedermawanan-rasulullah-saw 29. Nasehat Haji Musim haji telah tiba. Jutaan orang bersiap melaksanakan ibadah itu dengan satu niat, yakni ingin memperoleh haji mabrur. Balasan bagi orang yang hajinya mabrur sangat jelas, yaitu surga. Ganjaran yang begitu besar ini tentunya mempunyai konsekuensi dalam pelaksanaannya. Haji tidak hanya ritual rohani, melainkan juga melibatkan fisik seseorang. Beberapa ibadahnya merupakan gabungan dari olah fisik dan rohani. Tidak salah kalau kemudian ada yang mengatakan, haji adalah suatu ibadah yang 'berat' bagi seorang Muslim. Sehingga, sayang bila orang yang berhaji tidak bisa menjadi haji mabrur. Haji termasuk ritual ibadah yang istimewa. Tidak semua umat Islam bisa melaksanakannya. Dibutuhkan segala persiapan yang matang mulai fisik, finansial, hingga mental. Persiapan secara fisik sangat dibutuhkan mengingat dalam beberapa rukun haji perlu perjuangan fisik, seperti sa'i, melempar jumrah, dan tawaf. Sedangkan finansial jelas diperlukan. Dalam Alquran telah digariskan, yang wajib haji adalah orang yang mampu. Sedangkan persiapan mental adalah yang paling penting karena hal ini menyangkut hati. Menyiapkan mental berarti menata hati guna menyambut panggilan Allah. Di samping itu, haji merupakan ibadah yang mempunyai dampak luas bagi umat manusia. Tidak hanya dari segi fisik maupun rohani, juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Tentu saja haji yang mabrur bisa dilihat dari maslahatnya terhadap kehidupan umat manusia. Haji adalah sebuah ibadah spektakuler, karena di balik semua itu terdapat hikmah yang jauh lebih dahsyat. ''Barang siapa yang mengerjakan haji kemudian ia tidak berkata kotor dan tidak melakukan kefasikan, maka ia kembali (bersih) seperti saat dilahirkan oleh ibunya.'' (HR Bukhari Muslim) Bagaimana sebenarnya menjadi haji mabrur itu? Imam Hasan bin Ali Abi Thalib pernah ditanya, apakah haji mabrur? Jawabnya, ''Jika engkau telah pulang, kamu menjadi orang yang zuhud (tidak terbelenggu dalam cinta dunia), dan bersemangat mencapai kebahagiaan di akhirat.'' Zuhud tidak berarti antimateri, tetapi kesanggupan rohani untuk mengalahkan ambisi pribadi, keserakahan kepemilikan benda, serta kebanggaan semu di dunia. Semoga saja kaum Muslimin yang saat ini sedang menjadi tamu Allah SWT di Tanah Suci, pulang kembali ke Tanah Air dengan hajjun mabrur. 30.Mengukir Hati Kita harus senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mengapa kita perlu mendekatkan diri kepada Allah SWT? Karena, kita ingin melaksanakan sabda Rasulullah SAW, ''Hidup di sisi Allah itu baik untuk kalian, dan mati di sisi Allah juga baik untuk kalian.'' Untuk bisa hidup dengan mencintai dan dicintai Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW memang tak mudah. Tergantung bagaimana kita bisa becermin dengan apa yang telah Allah SWT contohkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan, untuk dapat melaksanakannya, kita harus memperbanyak amal ibadah serta membersihkan hati. Sebab, amal ibadah dunia yang didasari dengan niat yang baik akan menjadi amal akhirat. Amal ibadah yang kelihatannya seperti amal ibadah akhirat tapi tidak disertai dengan niat yang baik, akan menjadi amalan dunia saja. Itu artinya, kita harus memperbaharui setiap amal ibadah kita dengan menyucikan niat, hanya demi berbakti kepada Allah SWT. Jangan sampai kita tergelincir sehingga menderita penyakit hati, seperti ujub (membangga-banggakan diri), riya (pamer), sumah (suka menceritakan amal), dan lainnya, yang bisa menghancurkan amal ibadah akhirat kita. Menyucikan hati itu penting sekali, sebab hati manusia mudah berubah-ubah. Itulah sebabnya, Rasulullah SAW mengajarkan doa, ''Ya muqallibal qulub, tsabbit qalbi an dinika. (Ya Allah, yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku kepada agama-Mu). Artinya, kita harus selalu membersihkan hati dari kotoran penyakit-penyakit hati. Hati itu ibarat besi yang setiap kali diampelas, segera setelah itu karatan kembali. Lalu, sejauh mana kita berikhtiar untuk membersihkan dan mencuci hati? Sebagian orang menempuh jalan tarekat, yaitu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bagaimana caranya? Pertama, beribadahlah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Antakbudallaha ka annaka tara, fa-inlam tarahu fa-innahu yara. (Beribadahlah kamu seolah-olah kamu melihat Allah; tapi jika kamu tidak bisa melihat-Nya, beribadahlah seakan-akan kamu merasa dilihat Allah SWT). Untuk kali pertama mencoba ''melihat Allah'', mungkin terasa berat. Tapi, kita harus berusaha beribadah sedemikian rupa sehingga kita bisa merasa dekat pada Allah SWT, berusaha beribadah sehingga merasa seolah-olah kita dilihat Allah SWT. Bagaimana caranya agar kita bisa beribadah dan merasa dekat serta dilihat Allah SWT? Ingatlah firman Allah SWT dalam beberapa ayat Alquran, bahwa kita harus senantiasa berdzikir.(***) Republika 28 Juni 2008 31.Memerangi Nafsu Ucapan takbir dan tahmid yang berkumandang memenuhi angkasa raya merupakan suatu manifestasi dari kebahagiaan setiap manusia muslim dalam menyambut hari Idul Fitri yang suci. Kegembiraan itu merupakan pencerminan dari ungkapan syukur kita kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Manusia mukmin bersyukur di hari Ied ini karena mereka telah melaksanakan puasa sebulan penuh dan ibadah-ibadah lain dengan tulus dan ikhlas. Berlatih mengendalikan nafsu dan membiasakan diri untuk bersikap tabah Dalam kenyataan sejarah kehidupan manusia, kita jumpai banyak sekali orang yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya di medan laga tetapi ia tidak berkutik melawan nafsu yang ada dalam dirinya sendiri. Nabi s.a.w. ketika ia dan para sahabatnya baru saja kembali dari Perang Badar, dalam perang itu banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak, kerugian harta dan benda sangat banyak. Nabi bersabda kepada para sahabat, “Kami baru saja kembali dari perang  yang kecil menuju perang  yang lebih besar.” (Syarah Sunan Ibnu Majah). Mendengar ucapan Nabi seperti itu para sahabat terperanjat, spontan mereka bertanya, “Perang apa lagi yang akan kami hadapi?” Nabi menjawab, “Perjuangan memerangi hawa nafsu.” Dengan puasa Ramadhan dan ibadah lainnya, manusia muslim akan meningkatkan dirinya menjadi insan takwa yang akan mendapat keridhaan Allah dalam segala kehidupannya. Manusia taqwa adalah mereka yang dapat melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangannya. Manusia taqwa adalah seorang yang teguh dalam berkeyakinan, tekun dalam menuntut ilmu, semakin bertambah ilmunya ia semakin merendah, semakin berkuasa ia semakin bijaksana, nampak wibawanya, jelas sikap syukurnya, senantiasa berhias, bersih walau miskin, senantiasa sederhana walau kaya, bersikap murah hati, tidak menghina dan mengejek, tidak menghabiskan waktu secara sia-sia dan tidak berkeliaran menebar fitnah. Adalah Nabi Muhammad s.a.w., pembawa risalah agama Islam, memberikan suri tauladan semasa hidupnya untuk dipraktikkan oleh umatnya. Al-Qur’an dan al-Sunnah yang diajarkan beliau, baik secara verbal maupun non-verbal sungguh membekas di kalangan umatnya. Bahkan sampai sekarang, banyak kalangan non-muslim Barat yang berduyun-duyun ingin memeluk dan mengikuti ajarannya. “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr r.a. bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi s.a.w.: “Ajaran Islam apakah yang baik?” Nabi s.a.w. menjawab, “Memberi makanan dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal dan kepada orang yang tidak kamu kenal.” (HR. Bukhari, No: 5882 dan Muslim, No: 2961) Dari hadits di atas, sepintas kita menyaksikan betapa agungnya nilai-nilai Islam yang sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Tidak hanya masalah ibadah saja yang diurusi Islam, tetapi masalah-masalah kehidupan sosial pun menjadi sorotan. Hadits tersebut mengajak umat Islam, bahkan umat manusia secara keseluruhan untuk memperhatikan nasib masyarakat di sekitarnya. Tanggung jawab untuk menyantuni orang-orang lemah, fakir miskin, yatim piatu, para manula, dan mereka yang membutuhkan, tidak hanya dilimpahkan kepada para pemimpin. Tetapi itu semua merupakan tanggung jawab setiap orang yang mengaku dirinya sebagai muslim. Jawaban Rasulullah ketika ditanya seorang sahabatnya tentang amalan Islam apakah yang paling baik, beliau langsung menyarankan orang itu untuk memberikan bantuan dan memasyarakatkan salam kepada siapa saja, baik pada orang yang dikenal maupun pada orang yang belum dikenal sebelumnya, termasuk kepada orang-orang non-muslim. Akan tetapi, khusus pada mereka yang non-muslim, Rasulullah biasa mengucapkan salam dengan redaksinya yang khusus, yaitu “Salamun ‘ala man ittaba’ al-huda” (salam sejahtera bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya). Hal ini dikarenakan redaksi “Assalamu’alaikum” adalah salam Rasulullah saw yang ditujukan bagi sesama muslim dan masyarakat campuran antara muslim dan non-muslim. Islam memandang bahwa rizki yang barakah adalah rizki yang cukup untuk diri sendiri dan orang lain, bukan rizki yang banyak dan berlimpah tetapi tidak barakah. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Makanan satu orang cukup untuk dua orang, makanan dua orang cukup untuk empat orang, dan makanan empat orang cukup untuk delapan orang.” (HR. Muslim, No: 3845, Tirmidzi, No: 1358 dan Ibnu Majah, No: 2137) Menurut Jarir yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Rahawaih, pengertian hadits di atas bahwa makanan untuk satu orang dapat mengenyangkan dua orang, makanan untuk dua orang dapat mengenyangkan empat orang, dan seterusnya. Sedangkan pendapat Abdullah bin Urwah, maksud hadits tersebut kembali pada perkataan Sahabat Umar ra, “Aku ingin memberikan makanan pada setiap anggota keluarga sesuai dengan jumlah mereka, dengan asumsi bahwa satu orang dari mereka tidak akan mati meski mendapatkan porsi setengahnya.” Berbeda halnya dengan orang yang kikir, tidak memiliki rasa empati terhadap sesama, meskipun hartanya banyak dan berlimpah ruah, tetapi ia merasa hal itu masih kurang dan tidak cukup baginya. Sehingga ia merasa berat untuk mengeluarkan sebahagian rizkinya pada mereka yang membutuhkan. Hidupnya selalu dikejar-kejar oleh nafsu duniawi, seolah-olah ia ingin mencengkeram seisi dunia ini dengan jari-jari tangannya. Akibatnya, ia hidup dengan prinsip they’re for me (mereka harus melayaniku) bukan I’m for them (aku harus melayani mereka). Sikap demikian inilah yang membuat hidupnya tidak barakah dan tidak pernah merasa cukup atas rizki yang ia dapatkan. Sejatinya, manusia muslim harus memperhatikan nasib masyarakat yang berada di bawahnya. Ia harus empati dan iba untuk menolong dan meringankan beban mereka. Jika hal itu terwujud, maka jurang kemiskinan pun bisa diminimalisir dan angka gejolak sosial pun dapat ditekan. Dengan demikian masyarakat muslim akan sejahtera sesuai dengan tatanan dan tuntunan agamanya. Alangkah tingginya Islam yang memandang semua umatnya adalah bersaudara yang harus saling membantu dan menolong antara satu dengan yang lainnya. Bahkan, lebih jauh lagi, Islam melalui sabda Rasulullah s.a.w. memandang bahwa iman seseorang tidak sempurna sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a, Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak sempurna imannya seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari, No: 13, dan Muslim, No: 45).(***) Sumber : http://www.muslimedianews.com/2016/07/hikmah-memerangi-nafsu.html#ixzz5VU4YjrvH 32. Zakat Fitrah Puji dan syukur bagi Allah yang telah memberikan kekuatan lahir dan batin, sehingga kita telah dapat menyelesaikan tugas berat sebulan lamanya yakni puasa Ramadlan. Setelah dalam satu bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa, kini tibalah saatnya hari Raya Fitri, hari yang penuh kebahagiaan, kebahagiaan untuk kita, dan untuk semua umat Islam yang telah memenuhi kewajibannya berpuasa pada bulan Ramadlan. Apabila orang-orang itu telah selesai berpuasa pada bulan Ramadlan lalu keluar menuju (shalat )hari raya mereka, maka Allah Ta’ala berfirman : “Wahai Malaikat-Malaikat-Ku, setiap yang beramal tentu mengharap/meminta pahalanya, dan sekarang hamba-hamba-Ku yang telah berpuasa sebulan dan keluar menuju (shalat) hari raya, juga meminta pahala mereka, maka saksikanlah olehmu seka lian bahwa Aku benar telah mengampuni mereka”. Kemudian suatu panggilan memanggil; “Hai umat Muhammad!, kembalilah kalian ke rumah kalian masing-masing, sesungguhnya kesalahan-kesalahan kalian telah diganti dengan kebajikan”. Lalu Allah Ta’ala berfirman; “Wahai hamba-hamba-Ku, kalian telah berpuasa untuk-Ku, dan telah berbuka untuk-Ku, maka bangkitlah kalian dalam keadaan telah mendapatkan ampunan”. Hari Raya‘Idul Fitri adalah sebagai hari kembalinya kaum Muslimin kepada kesuciannya, maka pada hari itulah Allah Swt. telah memerintahkan kepada kita untuk mengeluarkan zakat fitrah, yakni zakat pribadi. Zakat fitrah yang berupa bahan makanan pokok penduduk masing-masing daerah, telah ditentukan banyaknya dalam Islam. Tentang banyaknya zakat fitrah ini, Ibnu Umar telah meriwayatkan yang berasal dari Rasulullah Saw : ”Zakat fitrah (sebagai penyempurnaan) dari puasa Ramadlan, yaitu satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum, wajib atas hamba sahaya orang yang merdeka, lelaki dan perempuan, besar dan kecil dari orang-orang Islam”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits di atas memberikan pengertian tentang wajibnya zakat fitrah, serta ke terangan banyaknya yang harus dikeluarkan bagi tiap jiwa. Zakat fitrah meru pakan kunci pembuka dan penyempurna untuk diterimanya ibadah puasa kita, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:“Bulan Ramadlan tergantung di antara langit dan bumi dan tidak akan diangkat ke hadapan Allah, kecuali dengan zakat fitrah”. (HR. Ibnu Syahin). Zakat fitrah adalah suatu kewajiban harus ditunaikan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu mulai terbenamnya matahari akhir bulan Ramadlan sampai sebelum dilaksanakannya shalat Idul Fitri. Dalam hal ini Nabi Muhammad Saw. telah memberikan penegasan dengan sabdanya: “Zakat fitrah adalah pembersih bagi orang yang berpuasa dari tindak laku yang sia-sia dan perbuatan yang kurang baik, sebagai hidangan bagi orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Ied, itulah zakat yang diterima (sebagai zakat fitrah) dan barangsiapa yang menunaikannya sesudah shalat ‘Ied, maka ia adalah shadaqah biasa sebagaimana shadaqah-shadaqah yang lain”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Pesan sosial Ramadhan ini terlukiskan dengan indah. Indah disini justru terlihat pada detik-detik akhir Ramadhan dan gerbang menuju bulan Syawwal. Dimana, ketika umat muslim mengeluarkan zakat fithrah kepada Ashnafuts Tsamaniyah (delapan kategori kelompok masyarakat yang berhak menerima zakat), terutama kaum fakir miskin tampak bagaimana tali silaturrahmi serta semangat untuk berbagi demikian nyata terjadi. Kebuntuan dan kesenjangan komunikasi dan tali kasih sayang yang sebelumnya sempat terlupakan tiba-tiba saja hadir, baik di hati maupun dalam tindakan. Semangat zakat fitrah ini melahirkan kesadaran untuk tolong menolong (ta`awun) antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin, antara orang-orang yang hidupnya berkecukupan dan orang-orang yang hidup kesehariannya serba kekurangan, sejalan hatinya sebab kita semua adalah ummat Allah. Dalam kesempatan ini orang yang menerima zakat akan merasa terbantu beban hidupnya sedangkan yang memberi zakat mendapatkan jaminan dari Allah SWT. Kita tentu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allah jualah kita semua dapat menyelesaikan kewajiban puasa. Selama Ramadlan kita telah diberi kekuatan oleh Allah untuk berpuasa yang berarti kita semua merasa memperoleh kemenangan, bagaikan prajurit yang baru saja datang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang. Kita tentu menyadari bahwa hanya dengan pertolongan Allah jualah kita semua dapat menyelesaikan kewajiban puasa. Selama Ramadlan kita telah diberi kekuatan oleh Allah untuk berpuasa yang berarti kita semua merasa memperoleh kemenangan, bagaikan prajurit yang baru saja datang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan yang gilang gemilang. Akhirnya, semoga Allah SWT senantiasa berkenan membimbing kita semua agar tergolong hamba-hambanya yang mampu meraih sertifikat kefitrahan di hari kemenangan yang agung ini, sehinnga kita layak mendapatkan penghargaan “Minal’aidin Walfaizin”, Semoga Allah SWT berkenan mencurahkan rahmat-Nya kepada bangsa Indonesia serta umat Islam pada umumnya untuk senantiasa mengamalkan syariat-Nya, menghidupkan sunnah-sunnah Rasul-Nya. Semoga momentum Idul Fitri ini juga benar-benar mampu mengantarkan tatanan kehidupan kita yang berlandaskan nilai-nilai agama, akhlak karimah, kebersamaan dan kasih sayang guna terwujudnya ummat dan masyarakat Indonesia yang berharkat dan bermartabat, sejahtera dan berperadaban, baldatun thayyibatun warabbun ghafur, bangsa yang gemah ripah lohjinawi di bawah naungan ridla Allah SWT. Amin, Ya Mujiibassaailiin (***) http://cyberdakwah.com/2016/07/hikmah-zakat-fitrah/ 33.Hari Nan Fitri Alhamdulillah. Bulan suci Ramadan adalah bulan penuh berkah dan magfirah, semua umat muslim berlomba-lomba menunaikan ibadah dan memohon ampunan dari segala kesalahan yang telah dilakukan. Di bulan suci Ramadan biasanya umat muslim berkumpul bersama keluarga besar dalam menjalankan ibadah puasa.Bisa berkumpul bersama orang tua, saudara, dan keluarga di kampung halaman dalam menjalankan ibadah puasa adalah kebanggaan tersendiri dan sesuatu hal yang sangat diinginkan oleh semua umat muslim. Karena dengan berkumpulnya sanak keluarga dalam menjalankan ibadah puasa dapat mempererat silaturahmi persaudaraan dan kekeluargaan. Satu bulan penuh kita diwajibkan menunaikan ibadah Shiyam Ramadan. Sekarang kita hampir sebulan penuh menyelesaikan perintah menunaikan ibadah puasa Ramadan sebulan penuh dengan masih diberi kesehatan dan semoga Alloh SWT tetap senantiasa memberikan umur kita yang panjang serta badan yang sehat, dengan tetap diberi kekuatan iman, Islam dan taqwa sehingga dapat bisa menunaikan ibadah puasa kembali pada masa yang akan datang. Sekarang kita akan memasuki waktu bulan Syawal, bulan yang tepat untuk mengisi halal bi halal, sesuai sabda Nabi SAW: Man qooma romadhona imaanan wahtisabn ghufiro lahu ma taqoddama min danbihi”. Yang artinya, ”Siapa saja orang giat beribadah ramadan kanthi iman dan hanya berharap pahala karena Allah, maka orang tersebut akan diampuni dosa-dosa nya pada masa lampau.” Di hari hari terakhir bulan Ramadan ini makin giat kita melaksanakan ibadah. Ramadan hampir meninggalkan kita dan tiada tersisadaripadanya melainkan sedikit saja Berbahagialah orang-orang yang telah berbuatkebaikan dan menutupnya dengan sempurna. Adapun orang-orang yang telahmenyia-nyiakannya maka berusahalah untuk menutupnya dengan kebaikan pula,karena yang dinilai dari amal adalah penutupnya. Selayaknya bagi setiap mukmin untuk terus semangat dalam beribahadah di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan lebih dari lainnya. Di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat lailatul qadar. Allah Ta’ala berfirman: “Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al Qadar: 3). Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemuliaan. Telah terdapat keutamaan yang besar bagi orang yang menghidupkan malam tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa melaksanakan shalat pada lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari no. 1901). Sebagian orang sibuk mencari tanda kapan lailatul qadar terjadi. Namun sebenarnya tanda tersebut tidak perlu dicari. Tugas kita di akhir Ramadan, pokoknya terus perbanyak ibadah. Karena kalau sibuk mencari tanda malam tersebut, kita malah tidak akan memperbanyak ibadah. Walaupun memang ada tanda-tanda tertentu kala itu.  Tanda tersebut di antaranya: Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Jaami’ul Ahadits 18/361, shahih). Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak dirasakan pada hari-hari yang lain. Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat. Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tanpa sinar yang menyorot. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot.” (HR. Muslim no. 762). Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata: ”Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang mesti aku ucapkan saat itu?” Beliau menjawab, ”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi no. 3513, Ibnu Majah no. 3850, dan Ahmad 6/171, shahih). Karena itu pada kesempatan di menjelang awal bulan Syawal atau bulan Idul Fitri pada tahun ini mari kita manfaatkan sebaik-baiknya kesempatan bulan ini untuk berhalal bi halal dengan keluarga, teman dan tetangga serta kepada orang yang lebih tua. Mari kita memohon halal bi halal dan mohon ridha terhadap hak anak adam atau hubungan sesama. Nabi Muhammad bersabda: Man ahabba anyus satholahu fi rizqihi wayuntsaa a lahu fi atsarihi falyasil rohimahu”. Yang artinya, “Siapa saja orang yang senang dan melapangkan urusan rizqi orang lain maka akan dipanjangkan umurnya dan ditambah sanak keluarganya. (HR Muslim). Jadi jelaslah tujuan diadakannya idul fitri yang sudah mentradisi tidak saja di Indonesia namun oleh umat Islam seluruh dunia tujuannya adalah untuk saling memaafkan, menghilangkan rasa permusuhan dan menyambung tali silaturahmi. Akan tetap kendati tiap tahun diadakan dirayakan masih sering kita jumpai rasa saling bermusuhan diantara manusia. Ketika bulan Ramadan berlalu, kesalihan umat islam kembali tereduksi atau makin terkikis. Rasa dendam, iri dan dengki kembali merasuki jiwa manusia. Kesadaran sosial semakin bekurang. Kemungkaran dan kemaksiatan menyebar di mana-mana. Padahal hakikat idul fitri hakikat hari raya idul fitri sebenarnya adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya.Yaitu manusia yang beriman dan berserah diri kepada Allah SWT. Nampaknya, nilai-nilai yang terkandung di dalam hari raya idul fitri belum terlaksana dengan baik. Oleh karena itu sudah saatnya kita merenungi akan hakikat dan makna idul fitri yang sebenarnya. Hari Raya Idul Fitri adalah momen paling tepat untuk membersihkan jiwa dari segala dosa. Hakikat Idul Fitri adalah mengembalikan manusia pada fitrahnya. Sebagimana Sabda Rasulullah SAW: ”Setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Akan tetapi orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nashrani dan Majusi.”(HR Bukhari). Allah SWT juga berfirman: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah): (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah.Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum:30). Agar hari raya Idul Fitri lebih bermakna bagi kita maka setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, meluruskan kembali arti silaturahmi. Silaturahmi bukan sekedar saling bersalaman dan saling menziarahi. Akan tetapi , harus ada komitmen untuk saling melupakan rasa permusuhan dan membuka lembaran baru untuk saling memaafkan dan berkasih sayang. Rasulullah SAW bersabda,” Bukanlah menyambung (tali silaturahmi) itu dengan saling membalas (mengunjungi), akan tetapi orang yang menyambung (tali silaturahmi) adalah apabila terputus kerabatnya, dia segera menyambungnya. (HR Turmudzi). Kedua, melekstarikan hikmah-hikmah puasa Ramadan. Kita semua tentu mengetahui hikmah dan keutamaan Ramadan, akan tetapi tidak banyak setelah Ramadan berakhir.Kebanyakan kaum muslimin yang aktif dan rajin shalat berjamaah , bersedekah,tadarus Al Qur’an, mendengarkan ceramah agama dan rajin ke masjid selama sebulan Ramadan. Namun ketika Ramadan berakhir, mereka berubah seperti semula. Oleh karena itu, Ramadan dapat dijadikan untuk memperkuat pribadi dan karakter kaum muslimin yang sehat, tangguh dan sabar serta kembali ke fitrah manusia yakni manusia-manusia yang cinta damai, sabar, ikhlas , jujur dan muara akhirnya adalah menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT: ”Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang yang taqwa. (QS Al Baqarah:183). Bulan Ramadan adalah bulan ketika kesabaran kaum muslimin diuji. Salah satu i’tibar atau pelajaran kesabaran adalah dengan membaca kisah-kisah kesabaran para nabi dan Rasulullah.Kesabaran yang timpakan kepada para Nabi dapat diambil hikmahnya dan dicontoh dalam menghadapi obaan Tuhan dan juga gangguan oleh para musuh Nabi. Dengan berpuasa, kesabaran kita asah sehingga ketika menghadapi cobaan dan duri onak kehidupan kita semakin tegar dan bersabar dalam menghadapinya. Oleh karena itu setelah ramadan berakhir, aktivitas-aktivitas ibadah yang positif dilakukan selama bulan Ramadan harus tetap dilestarikan setelah bulan Ramadan. Diantara hikmah puasa yang menjadi prioritas yang dilakukan saat ini adalah menanamkan jiwa sosial terhadap kaum fakir miskin. Selama bulan Ramadan kita diperintah untuk memperbanyak sedekah kepada kaum fakir miskin dan juga diperintah untuk mengeluarkan zakat fitrah yang kesemuanya itu merupakan manifestasi dari jiwa sosial kita kepada fakir miskin. Bersedekah dan mengeluarkan zakat bisa mempersempit jurang sosial antara kaya dan orang miskin. Tidak selayaknya bila dihari raya kita bersenang-senang , bersuka ria bersama sementara tetangga kanan kiri kita hidup menderita serta serba kekurangan. Di hari-hari menjelang hari nan fitri ini, mari kita saling bermaaf-maafan, bersilaturahmi, berziarah kepada orang tua, guru, teman dan sanak saudara. Lupakan rasa permusuhan diantara kita. Mari kita pererat tali persaudaraan umat Islam. Hilangkan segala perselisihan dan kesalahpahaman , lalu kita buka lembaran baru dengan saling pengertian dan kasih sayang. Sehingga pada hari raya idul fitri ini yang kita rayakan lebih terasa dan bermakna bagi kita semua. Semoga Allah SWT menjadikan kita bagian dari orang-orang kembali (‘idul) kepada kesucian (fitrah) serta tergolong menjadi orang-orang yang menang dari melawan hawa nafsu dan memperoleh ridha Allah SWT —dimana kita berhasil menundukan hawa nafsu yang bersemayam dalam diri kita—.Taqabalallahu minna wa minkum, minnal ‘aidzin wal faizin. Mohon maaf lahir bathin.(*) https://www.pontianakpost.co.id/menuju-hari-nan-fitri 34.Ampunan Allah Musibah datang silih berganti di berbagai daerah di negeri kita. Masih teringat tsunami Aceh dan gempa bumi Padang. Yang ter baru, belum selesai bencana gempa bumi di Lombok, muncul lagi gempa bumi di Palu, Sulawesi Tengah, yang membawa korban jiwa maupun harta benda yang tak terkira. Tidak ada yang lebih patut untuk dilakukan selain menjadikan semua kejadian alam ini sebagai bahan untuk mengevaluasi diri dalam hubungan dengan Sang Pencipta dan dengan sesama manusia. Bagi mereka yang telah atau se dang mengalami keadaan tersebut, ju ga bagi siapa saja yang tidak ingin me ngalaminya, tak ada jalan lain ke cuali segera bertobat, memohon am punan dan perlindungan kepada Allah SWT karena Dia-lah yang menentukan se ga la kejadian dan peristiwa di dunia ini. Tobat, menurut Syekh Nawawi al- Bantani dalam kitab Tanqih al-Qaul al Hadits, adalah berpaling dari sesuatu yang tercela menurut syara' kepada sesuatu yang terpuji karena mengetahui bahwa dosa-dosa dan maksiat adalah sesuatu yang membinasakan dan menjauhkan diri dari Allah dan surga-Nya, sedangkan meninggalkannya akan mendekatkan diri kepada Allah dan surga-Nya. Rasulullah SAW bersabda, "Penyesalan adalah tobat, dan orang yang bertobat dari dosa bagaikan orang yang tidak memiliki dosa." (HR ath-Thabarani dan Abu Nu'aim dari Ibnu Sa'id al-Anshari). Hadis lain yang diriwayatkan Bai haqi dan Ibnu Asakir menyebutkan, orang yang memohon ampun dari do sa tetapi tetap saja melakukan per buat an dosa itu seperti orang yang mengejek tuhannya. Tobat, menurut al-Hasan RA, memiliki empat penyangga. Pertama, memohon ampun dengan lisan. Ke dua, menyesal di dalam hati. Ketiga, meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dengan anggota-anggota tubuh. Keempat, bertekad di dalam hati untuk tidak mengulangi. Para ulama juga menjelaskan, tobatnya orang-orang awam adalah bertobat dari dosa-dosa. Tobatnya orang-orang khowash (orang-orang khusus) adalah bertobat dari kelalaian hati. Kemudian, tobatnya khawashul khawash (orang-orang yang sangat khusus) adalah bertobat dari mengingat sesuatu selain Allah SWT. "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orangorang yang menyucikan diri." (QS al- Baqarah: 222). Dalam Alquran surah al-Muzzammil ayat 20, "Dan me mo hon ampunlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengam pun lagi Maha Penyayang." Rasulullah SAW juga menjelaskan, "Tidak ada sesuatu yang lebih Allah sukai dibandingkan seorang pemuda yang bertobat, dan tidak ada sesuatu yang lebih Allah murkai daripada seorang tua yang masih terus mela ku kan perbuatan maksiatnya." (HR Abu al-Muzhaffar dari Salman al-Farisi). Karena pentingnya tobat dan memohon ampun, Nabi Muhammad SAW, selain menyuruh umatnya untuk bertobat, juga melakukannya sebagai contoh bagi umatnya. Beliau menya takan, "Bertobatlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya setiap hari seratus kali." (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). Jika Rasulullah saja yang tidak memiliki dosa senantiasa demikian, bagaimana dengan kita yang setiap hari tak pernah luput dari dosa? Berapa kalikah kita harus bertobat setiap hari? Yang jelas, makin banyak beristighfar tentu makin baik. Nabi juga berpesan agar kita tidak putus asa dalam bertobat. Bertobat dan memohon ampun juga memu dah kan rezeki, sebagaimana disebutkan dalam hadis, "Banyak memohon ampun dapat menarik (mendatangkan rezeki)." Dalam Alquran, Allah SWT ber fir man, "Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Pe ngam pun. Niscaya Dia akan mengi rim kan kepadamu hujan dengan lebat dan memperbanyakkan harta dan anakanakmu, dan mengadakan un tuk mu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai." (QS Nuh: 10-12). Dengan menundukkan hati, mari kita berdoa kepada Allah SWT, (Allohumma Ya Kafiyal bala ikfinal bala qobla nuzulihii minas samai, ya Allah). "Ya Allah, wahai Zat Yang mampu menolak segala bencana, peliharalah kami dari segala bencana sebelum ia turun dari langit, ya Allah."(***) https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/18/10/17/pgqfau313-ampunan-allah-swt 35.Jurnalis Berpihak Kepada Kebenaran BANYAK orang berkomentar miring dan negatif tentang keberpihakan media massa kepada sebuah ideologi, baik ideologi pilitik, ekonomi, agama atau yang lainnya. Media massa di Indonesia pun tak jauh dari cercaan masyarakat terkait keberpihakannya pada sebuah kepentingan politik.  Membaca langgam peta ideologi media mainstream di Indonesia sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di mana partai politik banyak berlindung di balik media-media. Contohnya, TvOne punya ideologi politik Golkar pro Abu Rizal Bakrie, MetroTv punya ideologi politik Partai Nasional Demokrat pro Surya Paloh. Republika adalah media Islam, Suara Pembaruan medianya kaum Kristen, dan media lainnya yang saat ini gampang menilainya. Jika ada yang tidak setuju, anggap saja ini adalah pandangan pribadi saya. Pertanyaan utamanya adalah, mengapa masyarakat umum bisa menilai, memandang negatif, dan sensitif terhadap sebuah media yang memihak kepada salah satu pihak? Sentimen ini juga terjadi pada akademisi-akademisi di bidang pers, termasuk juga di kampusnya para wartawan, Kampus Tercinta IISIP Jakarta. Hal ini sebenarnya terkait pada karakter ideal media massa dan karya jurnalistik yang disimpulkan sebagaian akademisi harus netral, objektif, tidak berpihak, dan berimbang. Pasal 1 KEJ (Kode Etik Jurnalistik), wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Pasal ini tidak salah sebagai sebuah nilai ideal. Tapi proses penyampaiannya yang menyebabkan banyak masyarakat dan akademisi menghujat media yang berpihak kepada salah satu pihak atau kelompok politik. Dasar ini juga yang menjadi bahan pengajaran dosen-dosen di bidang jurnalistik dan media massa. Menurut kriteria nilai ideal tersebut, yang dituntut untuk berperilaku ideal adalah wartawan, bukan beritanya. Dari 11 pasal yang terdapat dalam KEJ tersebut, semua ditujukan kepada manusia, bukan kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Kalau boleh berguyon, harusnya nama Kode Etik Jurnalistik itu diganti, Kode Etik Wartawan atau Kode Etik Jurnalis, karena frasa jurnalistik dalam Kode Etik Jurnalistik harusnya mengacu kepada produk jurnalistik yang dihasilkan. Jurnalistik itu adalah benda, sedangkan jurnalis adalah subyek. Akademisi seharusnya sudah memahami karakter dari setiap pasal dalam KEJ yang selalu memuat kata “wartawan” di awal bunyi setiap pasal. Artinya kelompok pers atau organisasi pers yang menyepakati KEJ tersebut paham bahwa produk jurnalistik yang dihasilkan berasal dari wartawan-wartawan yang membuatnya. Simpelnya begini, hasil produk jurnalistik tidak akan pernah terlepas dari wartawan/jurnalis. Semua elemen dalam karya jurnalistik itu berasal dari jurnalisnya sendiri. Ini yang menjadi dasar mengapa KEJ dibuat untuk wartawan, bukan untuk produk jurnalistiknya. KEJ “berharap” wartawan akan memakai nilai-nilai tersebut dalam karya jurnalistik yang dibuatnya. Sebagai suatu nilai ideal ini tidak salah, tapi hal ini adalah nilai uthopis yang tidak akan pernah bisa tercapai. Pemahaman akademisi dan masyarakat umum saat ini banyak yang salah tafsir. Banyak yang berpendapat bahwa karya jurnalistik itu harus sesuai dengan KEJ. Harus berimbang, harus netral, tidak berpihak, tidak menyudutkan.  Menurut Saya ini salah, karena KEJ sendiri sebagai landasan kegiatan kejurnalistikan tidak pernah menganjurkan berita/produk jurnalistik lainnya untuk bisa berimbang, dan netral. Kata kuncinya pada KEJ itu ditujukan untuk wartawan, bukan produk jurnalistiknya. Mengapa Saya katakan nilai ideal ini tidak akan pernah tercapai? Jawabannya sangat simple, karena wartawan atau jurnalis itu adalah manusia, dan manusia itu adalah subyek. KEJ menuntut objektifitas, sedangkan manusia sebagai subyek akan sangat sulit bisa objektif memandang suatu masalah/ kasus. Terutama jika sudah menyangkut pada ideologi pribadinya sendiri. Wartawan-wartawan yang beragama Islam punya kecenderungan memihak golongannya dalam setiap karya jurnalistik yang dihasilkan ketika menyikapi kasus-kasus konflik horizontal antar agama, begitu juga sebaliknya dengan agama lain. Wartawan-wartawan TvOne (pembahasan ini sebenarnya masuk dalam ekonomi politik media) tidak akan rela untuk memberitakan kejelekan Golkar dengan porsi besar. Begitu juga MetroTv tidak akan memberitakan sesuatu yang negatif tentang Partai Nasional Demokrat dan Surya Paloh. Bukankah ini subjektif? Saya katakan ini sangat sarat subjektifitas. Subjektifitas ini adalah realitas sejati, artinya subjektifitas seorang wartawan dalam menghasilkan karya jurnalistik adalah sebuah keniscayaan.  Teun A Van Dijk dengan paradigma kritisnya mengatakan bahwa sebuah teks (dalam konteks bahasan kita, produk jurnalistik) itu dihasilkan dengan tiga struktur yang mempengaruhinya. Teks (bisa berupa gambar, video, tulisan, dll) dihasilkan dari kognisi sosial (pengetahuan) seseorang. Sedangkan kognisi sosial ini dipengaruhi oleh konteks sosial (lingkungan) wartawan tersebut. Berdasarkan rumusan Van Dijk tadi, nilai ideal yang ada pada KEJ akan “sangat sulit” sekali terwujud. Jurnalis pasti menulis berita sesuai dengan pengetahuan yang dipengaruhi oleh lingkungan yang dimilikinya. Maka sangat tidak salah jika saat ini banyak media massa berpihak ke salah satu ideologi politik. Subjektifitas ini akan menghasilkan produk jurnalistik yang subjektif pula, dan yang patut kita ingat bahwa ini adalah sebuah keniscayaan. Manusia tidak bisa diperintahkan untuk berlaku objektif, karena manusia bukan benda yang tidak terpengaruh oleh lingkungan. Jika wartawan adalah benda mati, barulah objektifitas bisa didapatkan, tapi selama wartawan masih bernyawa, memiliki lingkungan, beridiologi, beragama, dan bermasyarakat, objektifitas tidak akan pernah bisa terwujud, yang ada hanya upaya dari jurnalis untuk meminimalisir subjektifitas yang ada. Kesimpulan Saya, karya jurnalistik yang dihasilkan tidak bisa objektif (ini tidak lantas menjadi buruk), khususnya yang berkaitan dengan isu-isu ideologi politik dan ekonomi media massa yang bersangkutan. Apakah hal ini salah? Saya pikir tidak karena memang subjektifitas adalah sebuah keniscayaan dan objektifitas adalah suatu uhtopia dalam karya jurnalistik. Idealnya pengajar dan akademisi di bidang jurnalistik di kampus-kampus lebih mendalami paradigma kritis media dari pada secara terus menerus menekankan objektifitas jurnalis/ produk jurnalistik yang tidak akan pernah ada (pandangan positivis). Mereka yang sedang menimba ilmu kejurnalistikan harus lebih ditekankan pada karya-karya yang berpihak pada sebuah ideologi. Karya jurnalistik itu tidak netral, tapi berpihak. Berpihak pada nilai-nilai kebenaran pribadi jurnalis dan nilai-nilai kebenaran umum yang berlandaskan pada hukum yang berlaku. Wartawan yang berusaha idealis itu banyak, tapi wartawan yang objektif tidak akan ada, karena idealis adalah upaya mempertahankan dan memasukkkan nilai-nilai kebenaran pribadi pada karya jurnalistik yang dihasilkan. Dan sekali lagi, ini adalah sebuah keniscayaan. Ukuran objektifitas sebuah karya jurnalistik hanya bisa diukur lewat mode kuantitatif, dan hal ini hampir mustahil, karena wartawan tidak akan pernah menghitung jumlah kata-kata ideologis yang dimuat dalam karyanya ketika menulis teks. Terlebih karena sentimen produk jurnalistik tidak bisa pula diukur secara kuantitas. Hal ini semakin memperkuat teori bahwa teks (produk jurnalistik) tidak bisa berdiri sendiri karena dipengaruhi subjektifitas wartawan. Masyarakat dan akademisi harusnya bukan mengkritisi media massa/ jurnalis yang berpihak kepada salah satu ideologi, tapi kritik harusnya ditujukan pada konten karya jurnalistiknya. Karya jurnalistik yang baik juga memperhatikan isu sosial dan efek dimasyarakat sebagai sebuah social control. Berhentilah menghujat media karena keberpihakan adalah sebuah kepastian, dan netralitas adalah sebuah uthopia. Maka, perjuangan seorang jurnalis adalah perjuangan ruang yang mengarah kepada kepentingan penguasa dan bisnis dewasa ini tidak boleh mengikis nilai kritis seorang jurnalis. Karena jurnalis sesungguhnya bekerja untuk publik dan berkewajiban berpihak serta menyampaikan kebenaran.Jurnalis harus independen, dalam artian setiap aktivitas peliputannya harus melepas semua backgroud dan kepentingan kelompok atau golongan. Sehingga hasil liputannya akan objektif.**  https://www.pontianakpost.co.id/jurnalis-berpihak-pada-kebenaran 36. Perlunya Jaminan Produk Halal Dalam Negeri Saat ini ada trend peningkatan permintaan produk halal dunia. Penduduk Muslim dunia yang diperkirakan mencapai 1,57 miliar adalah pasar yang potensial terhadap produk halal. Indonesia adalah negara konsumen produk halal terbesar dengan jumlah USD 197 miliar) berdasarkan kajian State of The Global Islamic Economy 2013, Thomson Reuters.Kesadaran masyarakat untuk mengkomsumsi produk halal karena lebih aman dan sehat. Namun, sayangnya, Indonesia belum memiliki standar halal dan sistem halal yang terstandar yang diakui dan diterima negara lain. Dan masih ada produk halal Indonesia yang belum diterima di negara lain. Saat ini, Indonesia masih kekurangan bahan baku industri yang halalan, thoyibah dan murah. Karena Indonesia juga masih kekurangan SDM dan infrastruktur yang memadai terutama tenaga ahli dibidang auditor halal dan produk halal. Namun demikian, bukan berarti Pemerintah tidak melakukan berbagai upaya. Upaya yang tengah dilakukan pemerintah di antaranya dengan optimalisasi sosialisasi UU JPH secara massif dan intensif kepada seluruh lapisan masyarakat. Perlu didorong penguatan regulasi dan perangkat peraturan terkait penyelenggaraan jaminan produk halal (JPH). Juga, peningkatan anggaran untuk penyediaan SDM, infrastruktur, sarana pendukung pengujian dan riset produk halal. Selain itu, kerja sama internasional juga perlu dilakukan terutama dengan lembaga sertifikat halal luar negeri milik pemerintah dan non pemerintah. Pemerintah harus merevisi Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain memberatkan dunia usaha dan sulit diterapkan, UU tersebut berpotensi mengganggu iklim investasi di Tanah Air. Padahal, pemerintah sedang berupaya menggenjot investasi. Melalui sejumlah perbaikan seperti kemudahan perizinan, pemerintah menargetkan investasi Rp 933 triliun pada 2019 dibanding 2014 senilai Rp 463 triliun. Salah satu poin yang perlu direvisi adalah kewajiban sertifikasi halal pada produk farmasi. Selama ini, obat dan vaksin menggunakan bahan baku kimia dari berbagai negara. Kondisi ini akan menyulitkan lembaga penerbit sertifikat halal dalam melakukan verifikasi. Pemerintah hingga kini belum berniat mengamendemen UU Jaminan Produk Halal. Alasannya, UU ini bertujuan menjaga kualitas produk yang beredar sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. UU ini juga dapat menjegal serbuan produk tidak halal dari berbagai negara, terutama saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) diberlakukan sejak akhir 2015. Sebagai kompensasi, Pemerintah harus memberikan bantuan kepada pengusaha kecil untuk mendapatkan sertifikat halal. Salah satu bentuknya adalah kemudahan proses mendapatkan sertifikat. Hal itu sudah dilakukan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. UU Jaminan Produk Halal disetujui rapat paripurna DPR pada 25 September 2014 dan disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 17 Oktober 2014. Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal ini disebutkan, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. UU itu juga menyatakan pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan jaminan produk halal (JPH). Untuk itulah dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang bertanggung jawab kepada menteri agama. BPJPH antara lain berwenang merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri. Dalam melaksanakan wewenang tersebut, BPJPH bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI. UU Jaminan Produk Halal mengamanatkan BPJPH harus dibentuk paling lambat tiga tahun sejak UU tersebut diberlakukan. Sedangkan peraturan pelaksananya harus ditetapkan paling lama dua tahun sejak UU diterapkan. Adapun kewajiban bersertifikat halal bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia mulai berlaku lima tahun sejak UU Jaminan Produk Halal diberlakukan.Sebelum itu, jenis produk bersertifikat halal diatur bertahap berdasarkan peraturan pemerintah (PP). Yang dimaksud produk halal dalam UU tersebut adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat Islam, meliputi barangdan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat. Berdasarkan UU ini, bahan yang digunakan dalam proses produk halal terdiri atas bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan, dan bahan penolong, yang berasal dari hewan, tumbuhan, mikroba, atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Bahan dari hewan yang diharamkan meliputi bangkai, darah, babi, atau hewan yang disembelih tidak sesuai syariat. Itu belum termasuk bahan dari tumbuhan yang memabukkan atau membahayakan kesehatan orang yang mengonsumsinya. Saat ini produk farmasi belum wajib mengantongi sertifikat halal. Sebab, aturan tersebut baru berlaku lima tahun mendatang. Namun aturan ini sangat sulit diterapkan pada industri farmasi karena produk farmasi menggunakan banyak bahan baku dari beberapa negara. Selain itu, proses kimia bahan baku farmasi berlapis. Artinya, ada bahan baku yang diproses di dua negara sekaligus. Dengan demikian, lembaga penerbit sertifikat harus menyambangi pabrik pemasok satu per satu untuk memastikan kehalalan bahan baku. Padahal negara-negara Timur Tengah sudah sepakat mengeluarkan produk farmasi dari aturan halal. Mereka sudah mengetahui proses sertifikasi produk farmasi sangat rumit. Karenanya pemerintah harus merevisi UU Jaminan Produk Halal. Revisi mencakup pencabutan produk farmasi dari UU tersebut. Sebab ada kekhawatiran pabrik farmasi malah tidak berani memproduksi obat jika aturan itu diberlakukan. Ini tentunya akan merugikan masyarakat. Kementerian Agama tengah membahas peraturan pemerintah tentang kategori produk yang harus tersertifikasi halal dan aturan lainnya. UU tersebut akan diberlakukan bertahap. Saat ini, prosesnya dalam tahap inventarisasi produk apa saja yang termasuk di dalamnya. Untuk itu, para pengusaha kecil menengah tidak perlu khawatir, karena pengaturan akan disesuaikan dengan kebutuhan. Tidak serta-merta semua barang jadi harus halal, akan ada pola seperti SNI (Standar Nasional Indonesia) tidak semua produk langsung diwajibkan mengantongi sertifikat halal. Soalnya, tidak semua perusahaan sanggup mendapatkan sertifikasi, terutama skala industri kecil dan menengah (IKM). Oleh karena itu, perlu ada pembinaan supaya IKM bisa sesuai dengan syariat Islam, sehingga tidak langsung berlaku dan yang tidak halal langsung tidak boleh dipasarkan. Karena Kemendag perlu melakukan pengawasan di pasar bersama Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertanian, dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bertanggungjawab kepada menteri agama. Namun, mekanisme pengawasan yang pasti hingga kini belum ditetapkan. Guna mendapat jaminan produk halal perlu ada lembaga sertifikasi yang diberikan kewenangan dan suatu produk harus mendapatkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sertifikat halal akan diterbitkan pemerintah. Pemerintah harus menyiapkan anggaran untuk membantu proses sertifikasi, terutama untuk IKM. Karena perlu ada sanksi yang akan diberikan jika suatu produk tidak tersertifikasi halal. Bagi orang muslim ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat. Maka baiknyalah bilamana di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim dapat terjamin haknya untuk mengetahui halal tidaknya suatu produk. Menyangkut UUPK, apakah dimungkinkan bila sertifikat halal atau pemberian informasi tentang produk dapat disebutkan atau dijelaskan "halal tidaknya" produk tersebut? Mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”). UU ini telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Jadi memang pada dasarnya, jika produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal. Mengenai keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk, dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”). Yang termasuk “produk” dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.UU Produk Halal telah mengatur secara jelas bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.(***) Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah https://www.kompasiana.com/2ajisetiawan/58833c0a5f23bde6129d616f/perlunya-jaminan-produk-halal-dalam-negeri?page=all 37.Stop Kekerasan Terhadap Anak dan Perempuan Sesungguhnya Pemerintah RI telah memberi perhatian serius terhadap kasus kekerasan anak dan perempuan, wujud dari perhatian tersebut yaitu diterbitkannya sejumlah peraturan setingkat undang-undang. Ada empat undang-undang yang telah dimiliki Indonesia yaitu  UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, UU No 23 Tahun 2004 tentang Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Meski sudah ada empat undang-undang, namun kekerasan terhadap anak dan perempuan di Indonesia bukannya berkurang, justru sebaliknya, setiap tahun tindak kekerasan terhadap anak dan perempuan mengalami peningkatan yang signifikan. Mengutip laporan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise,  kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia pada 2015 mencapai 279.670. Jumlah tersebut mengalami peningkatan di tahun 2014 dimana jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 293.220 kasus. Provinsi terbanyak dengan kasus kekerasan terhadap perempuan adalah DKI Jakarta dengan jumlah 2.881, Sumatera Utara 2.023, dan Jawa Barat 1.846. Sedangkan kasus kekerasan terhadap anak pada 2014 yang terdata oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebanyak  1.408 kasus. Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak diatas, tentunya hanya bagian kecil dari kasus yang sesungguhnya, diibaratkan sebagai gunung es, kasus ini terlihat kecil di permukaan, tetapi akan sangat besar bila diteliti ke dalamnya. Rentetan kasus kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan membuat kita miris, bagaimana tidak, sudah ada tiga undang-undang yang menjaga dan melindungi perempuan dan anak, namun masih tetap saja aksi kejahatan terhadap kelompok yang lemah itu masih terus terjadi. Peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak setiap tahunnya merupakan fenomena gunung es, kebanyakan korban awalnya takut melapor karena berbagai alasan, namun setelah Pemerintah, Polri dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memfasilitasi pelayanan pengaduan, korban pun mulai berani melapor atas tindak kekerasan yang dialaminya. Tak hanya itu, meningkatnya kasus kekerasan ikut dibarengi dengan kesadaran korban yang sudah berani melapor kepada layanan pengaduan yang saat ini sudah difasilitasi oleh pemerintah. Bila melihat undang-undang yang ada, tentunya masyarakat (pelaku) berpikir dua kali melakukan tindak kejahatan, dalam Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur anak-anak yang menjadi pelaku kekerasan.Mengenai perampasan kemerdekaan, merupakan hal yang dilematik, karena terdapat permasalahan apakah kita harus menghukum anak yang menjadi pelaku atau ada cara lain. Karena pada prinsipnya si anak belum memahami secara jelas apa yang sudah dia lakukan, sedangkan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah cukup memadai untuk menjerat para pelaku kejahatan terhadap anak. Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak ditandatangani presiden menyusul sejumlah kasus tindakan kekerasan seksual terhadap anak-anak belakangan ini. Karena itulah, ruang lingkup Perpu ini mengatur pemberatan pidana pidana tambahan dan tindakan lain bagi pelaku kekerasan terhadap anak dan pencabulan dengan syarat-syarat tertentu. Pemberatan pidana itu, berupa penambahan sepertiga ancaman pidana, pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Adapun pidana tambahan, yaitu pengumuman identitas pelaku, tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik. Penambahan pasal tersebut akan memberi ruang kepada hakim untuk memberi hukuman seberat-beratnya dan menimbulkan efek jera kepada pelaku. Terkait hukuman tambahan kepada pelaku kekerasan seksual, tergantung sejauhmana majelis hakim melihat fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Kekerasan terhadap anak dan perempuan perlu dihentikan dan dicegah dengan segera.Negara belum mampu melakukan upaya pencegahan yang komprehensif, selain penindakan. Itu pun dilakukan setelah ada kejadian yang meresahkan masyarakat. Negara dan aparat hukumnya tak ubahnya ”pemadam kebakaran”, nanti ada kejadian barulah bergerak dan menggalang opini bahwa kekerasan seksual bagi perempuan dan anak merupakan musuh bersama. Ramai- ramailah mengecam tindakan itu, tetapi akhirnya dilupakan setelah ada peristiwa baru yang menyusul. Kebiasaan yang tidak bijak itu seharusnya ditinggalkan karena tidak berefek pada penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jikapun dibawa ke ruang pengadilan, sanksi yang dijatuhkan hakim tidak menimbulkan efek jera atau membuat takut bagi yang lain untuk melakukan hal yang sama. Seharusnya negara hadir dalam setiap aktivitas kehidupan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan rasa aman. Terutama pada perempuan dan anak yang hampir setiap hari menjadi korban. Pemerintah dan DPR perlu menyiapkan payung hukum yang intinya memberikan perlindungan secara komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sudah di DPR yang perlu segera disahkan menjadi undangundang. Kita ingin UU Penghapusan Kekerasan Seksual memberikan pesan penting bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi perhatian serius yang harus segera dihentikan. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan implementasi dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai arah dan kebijakan strategi, yaitu memperkuat sistem perlindungan perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan. Gerakan nasional perlindungan perempuan dan anak, termasuk pengawasan pelaksanaan penegakan hukum, harus menjadi prioritas. Bukan hanya bergerak atau secara bergelombang melakukan kecaman setelah jatuh korban. Kekerasan fisik dan teror terhadap anak selayaknya tidak  dipertontonkan setiap hari di media dan televisi. Apalagi membiarkan anak-anak perempuan berada dalam ancaman teror kekerasan fisik dan seksual. Apalagi menjadikan mereka sebagai korban dari kekejian pelaku yang membuat mereka trauma secara psikologis, cacatfisik, bahkan meninggal dunia. Kebijakan”afirmatif” terhadap perempuan dan anak harus diberikan sebagai wujud dari pemenuhan hak konstitusional mereka yang harus dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah tanpa reserve. Negeri ini punya kementerian yang berfungsi memberdayakan perempuan dan melindungi anak. Malah warga masyarakat juga punya tanggung jawab melindungi dan mencegah aksi kekerasan seksual bagi perempuan dan anak. Jika semuanya bersatu dalam satu langkah secara sinergis, saya yakin perang terhadap teror seksual dapat segera dihentikan. Maka itu, negara harus tetap berada di garda paling depan sebab negara diberi amanah membuat hukum melalui kebijakan afirmatif bagi perempuan dan anak, sekaligus bertindak tegas terhadap pelaku kekerasan seksual.(***) Sumber : http://www.muslimedianews.com/2016/11/stop-kekerasan-terhadap-anak-dan.html#ixzz5VlnHl82v 38. VISI Dan MISI 2020 KABUPATEN PURBALINGGA JAWA TENGAH Visi Indonesia 2020 adalah arah pandangan negara Indonesia yang tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001. Di sana tertulis visi Indonesia 2020 adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara.https://id.wikipedia.org/wiki/Visi_Indonesia_2020 - cite_note-1 Visi Pembangunan Kabupaten Purbalingga Tahun 2020 adalah: “PURBALINGGA Sentra Agrobisnis dan Kota Jasa mewujudkan Purbalingga Sejahtera 2020” Visi pembangunan Kabupaten Purbalinggga ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1.Sentra Agrobisnis adalah memiliki kawasan industri pengolahan berbasis sumber daya lokal yang potensial, yaitu industri turunan dari hasil perkebunan, pertanian dan perikanan yang menjadi unggulan daerah Kabupaten Purbalingga. 2.Kota Jasa adalah kota sebagai pusat pelayanan jasa di berbagai sektor yang ditandai dengan tersedianya berbagai jasa ataupun meningkatnya volume dan perusahaan jasa secara terpadu dan bersinergi, diantaranya jasa keuangan, jasa kesehatan, jasa tenaga kerja, jasa pendidikan, jasa telekomunikasi, jasa perdangan dan lainnya. 3.Sejahtera ditandai oleh semakin meningkatnya kualitas kehidupan yang layak dan bermartabat serta memberikan perhatian utama pada terpenuhinya kebutuhan dasar pokok manusia yang meliputi pangan, papan, sandang kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja, yang didukung oleh infrastruktur sosial budaya ekonomi yang memadai. Peningkatan kualitas kehidupan ini akan lebih difokuskan pada upaya pengentasan masyarakat miskin sehingga secara simultan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kemajuan yang ingin diraih mencakup segala bidang baik bidang fisik, ekonomi, mental spiritual (berakhlakul karimah), keagamaan, kebudayaan dan non fisik lainnya sehingga tercapai masyarakat sejahtera lahir dan batin. 1.MISI Merupakan upaya-upaya yang bertujuan untuk mencapai Visi pembangunan sebagai berikut : 1.Meningkatkan tata pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif demokrasi dan terpercaya. 2.Meningkatan pembangunan sektor-sektor strategis dan berbasis sumber daya alam dalam mewujudkan sentra agribisnis. 3.Mengembangkan wilayah perdesaan dan kecamatan melalui peningkatan pembangunan sarana dan prasarana. 4.Pengembangan potensi ekonomi kerakyatan melalui pengembangan produk-produk usaha kecil menengah dan industri rumah tangga berbasis potensi sumber daya lokal. 5.Mewujudkan swasembada pangan melalui pembangunan sarana dan prasarana di sektor pangan. 6.Meningkatan kualitas dan standard hidup masyarakat melalui peningkatan pelayanan kesehatan. 7.Meningkatan kualitas dan produktifitas sumber daya manusia dengan penguatan disektor pendidikan dan kebudayaan. 1.STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Dalam rangka melaksanakan visi dan misi pembangunan Kabupaten Purbalingga, disusun strategi dan arah kebijakan sebagai berikut : Misi : Meningkatkan tata pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif demokrasi dan terpercaya. Untuk mencapai misi ini, ditentukan strategi dan arah kebijakan sebagai berikut : 1.Peningkatan kapasitas SDM aparatur pemerintah daerah. 2.Peningkatan akuntabilitas pelayanan publik dan kinerja birokrasi. 3.Meningkatkan kualitas dan perencanaan pembangunan daerah. 4.Peningkatan koordinasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. 5.Peningkatan kualitas pelayanan administrasi kependudukan dan Pencatatan Sipil. 6.Peningkatan pemberdayaan lembaga dan aparatur pemerintahan desa. 7.Peningkatan kualitas kepastian hukum bidang pertanahan, melalui kebijakan fasilitasi permasalahan pertanahan. 8.Peningkatan kesetaraan gender dan kesejahteraan anak. 9.Peningkatan fasilitasi, prasarana dan pelayanan bagi keluarga miskin dan penyandang masalah sosial lainnya. 10.Peningkatan pemanfaatan informasi dalam penyelenggaraan dan pengawasan pembangunan. 11.Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pelayanan dokumen kearsipan. Meningkatan pembangunan sektor-sektor strategis dan berbasis sumber daya alam dalam mewujudkan sentra agribisnis. Untuk mencapai misi ini, ditentukan strategi dan arah kebijakan sebagai berikut : 1.Peningkatan pembangunan insfrastruktur di sektor transportasi, kapasitas SDM aparatur pemerintah daerah. 2.Peningkatan infrastruktur dan teknologi untuk mendukung industrialisasi turunan pertanian/perkebunan di Kabupaten Purbalingga. 3.Peningkatan infrastruktur jalan dan jembatan dengan arah kebijakan meningkatkan pembangunan dan pemeliharaan jalan dan jembatan serta fasilitas pendukungnya. 4.Peningkatan ketersediaan dan pelayanan ketenagalistrikan bagi masyarakat dan pelaku usaha industri. Mengembangkan wilayah perdesaan dan kecamatan melalui peningkatan pembangunan sarana dan prasarana. Untuk mencapai misi ini, ditentukan strategi dan arah kebijakan sebagai berikut : 1.Peningkatan insfrastruktur pelayanan umum perdesaan dan kecamatan. 2.Peningkatan akses data dan informasi terhadap desa-desa dan kecamatan dengan arah kebijakan publikasi data profil dan potensi desa dan kecamatan. 3.Peningkatan dan pengelolaan potensi sumber daya alam perdesaan dan kecamatan dengan penggunaan teknologi pemetaan potensi sumber daya alam. Pengembangan potensi ekonomi kerakyatan melalui pengembangan produk-produk usaha kecil menengah dan industri rumah tangga berbasis potensi sumber daya lokal. Strategi dan arah kebijakan yang dilaksanakan pada misi diatas adalah : 1.Mengembangkan peran Koperasi dan UMKM, dengan arah kebijakan meningkatkan daya saing produk usaha Koperasi dan UMKM. 2.Peningkatan kualitas sumber daya manusia pelaku UMKM dan koperasi. 3.Kemudahan akses pinjaman kredit bagi pelaku usaha UMKM dan koperasi dengan fasilitasi lembaga keuangan. Mewujudkan swasembada pangan melalui pembangunan sarana dan prasarana di sektor pangan. Strategi dan arah kebijakan yang dilaksanakan pada misi di atas adalah : 1.Peningkatan daya saing produksi pertanian. 2.Peningkatan sarana dan prasarana pertanian dengan bantuan sarana dan prasarana teknologi pertanian. 3.Peningkatan revitalisasi pertanian, dengan peningkatan pemanfaatan teknologi pertanian. 4.Pemenuhan kebutuhan pangan daerah dengan meningkatkan ketersediaan bahan pangan. 5.Peningkatan pengetahuan petani dengan melaksanakan penyuluhan, pembinaan, bimbingan, pelatihan dan pengawasan. Meningkatan kualitas dan standard hidup masyarakat melalui peningkatan pelayanan kesehatan. Strategi dan arah kebijakan yang dilaksanakan pada misi di atas adalah : 1.Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan. 2.Peningkatan profesionalisme dan distribusi tenaga kesehatan, dengan peningkatan kapasitas sumberdaya tenaga kesehatan. 3.Pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dengan pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana kesehatan . 4.Peningkatan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya keluarga miskin serta peningkatan akses pelayanan kesehatan. 5.Peningkatan kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat dengan meningkatkan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. 6.Peningkatan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan program keluarga berencana. Meningkatan kualitas dan produktifitas sumber daya manusia dengan penguatan disektor pendidikan dan kebudayaan. Strategi dan arah kebijakan yang dilaksanakan pada misi di atas adalah : 1.Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga kependidikan. 2.Pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana pendidikan. 3.Peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten Purbalingga dengan arah dan kebijakan meningkatkan kurikulum dan kualitas pendidikan. 4.Mempermudah pelaksanaan kegiatan paket A, B, dan C serta kursus-kursus ketrampilan. 5.Peningkatan standarisasi kualitas dan mutu pendidikan dengan arah kebijakan pelaksanaan evaluasi, pengendalian dan pengawasan penyelenggaraan pendidikan. 6.Peningkatan kualitas perpustakaan dan prasarana dan sarana pendukungnya. 7.Peningkatan profesionalisme pemuda dan kontribusi olah raga dalam pembangunan. 8.Peningkatan peran dan fungsi lembaga/organisasi kepemudaan dan olahraga dengan peningkatan koordinasi dan kemitraan kepemudaan dan olah raga. 9.Peningkatan kualitas sarana dan prasarana olahraga. 39.Menegakan Martabat Bangsa Indonesia Sebagai Negara Maritim Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar didunia, antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar “Fantastis”. Pada zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia merupakan negara maritim. Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai banyak pulau, luasnya laut menjadi modal utama untuk membangun bangsa ini. Indonesia adalah “Negara kepulauan”, Indonesia adalah “Nusantara”, Indonesia adalah “Negara Maritim” dan Indonesia adalah “Bangsa Bahari”,”Berjiwa Bahari” serta “Nenek Moyangku Orang Pelaut” bukan hanya merupakan slogan belaka. Laut dijadikan ladang mata pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat menggalang kekuatan, mempunyai armada laut yang kuat berarti bisa mempertahankan kerajaan dari serangan luar. Memang, laut dalam hal ini menjadi suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dengan mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa Indonesia maju karena Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya. Melihat bagaimana kejayaan masa lampau diperoleh karena mengoptimalkan potensi laut sebagai sarana dalam suksesnya perekonomian dan ketahanan politik suatu negara, maka menjadi suatu hal yang wajar bila sekarang ini Indonesia harus lebih mengembangkan laut demi tercapianya tujuan nasional. Indonesia menyandang predikat “Negara Maritim” atau negara kepulauan. Konsekwensi sifat maritim itu sendiri lebih mengarah pada terwujudnya aktifitas pelayaran di wilayah Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dalam membangun perekonomian akan senantiasa dilandasi oleh aktivitas pelayaran. Pentingnya pelayaran bagi Indonesia tentunya disebabkan oleh keadaan geografisnya, posisi Indonesia yang strategis berada dalam jalur persilangan dunia, membuat Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya. Bangsa Indonesia seharusnya dapat menghargai dan mensyukuri suatu anugerah yang sangat besar, yaitu hidup dalam suatu Negara Kepulauan yang merupakan wilayah sepanjang 3.000 mil laut berupa hamparan laut luas dari Merauke sampai Sabang. Dengan jumlah pulau lebih dari 17.500 meliputi wilayah laut yurisdiksi nasional lebih kurang 5,8 juta km2, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia terletak pada posisi yang sangat strategis, yaitu pada persilangan dua benua dan dua samudera, serta memiliki wilayah laut yang memiliki kekayaan laut yang besar, sekaligus sebagai urat nadi perdagangan dunia. Posisi Indonesia yang sangat strategis tersebut memberikan konsekuensi bagi bangsa Indonesia yaitu untuk menjalankan aturan sebagaimana yang termaktub dalam United Nation Convention on the Law of the Sea 1982. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan mengukuhkannya ke dalam UU RI No 17 tahun 1985, sehingga telah resmi mempunyai hak dan kewajiban mengatur, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan laut nasional untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Geografi Indonesia yang sangat bersifat kelautan, seharusnya membuat Bangsa Indonesia terus mengembangkan tradisi, budaya dan kesadaran bahari serta menjadikan laut sebagai tali kehidupannya. Namun, Indonesia juga wajib memperhatikan kepentingan dunia internasional terutama dalam menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dalam wilayah kedaulatan dan wilayah berdaulatnya. Kewajiban ini tersurat dalam pasal-pasal UNCLOS 1982, serta tidak kalah pentingnya, merupakan salah satu tujuan nasional seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang antara lain berbunyi:…… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …….. Dengan latar belakang demikian, cukup jelas terlihat bahwa aspek alamiah geografi Indonesia (bentuk dan posisinya), kekayaan alamnya dan demografinya sangat menentukan kebijakan pembangunan nasional Indonesia. Sejarah menunjukkan bahwa pada masa lalu, Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan maritim besar di bawah Kerajaan Sriwijaya dan kemudian Majapahit. Wilayah laut Indonesia yang merupakan dua pertiga wilayah Nusantara mengakibatkan sejak masa lampau, Nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan. Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, lebih merupakan penguasaan de facto daripada penguasaan atas suatu konsepsi kewilayahan dan hukum. Namun, sejarah telah menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. Akan tetapi, oleh penjajah kolonial, bangsa Indonesia didesak ke darat, yang mengakibatkan menurunnya jiwa bahari. Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi. Pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones).      Pertama, jaringan perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai  jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. Jaringan perdagangan ini berada di bawah hegemoni Kerajaan Majapahit. Selain itu, banyak bukti prasejarah di pulau Muna, Seram dan Arguni yang diperkirakan merupakan hasil budaya manusia sekitar tahun 10.000 sebelum masehi! Bukti sejarah tersebut berupa gua yang dipenuhi lukisan perahu layar. Ada pula peninggalan sejarah sebelum masehi berupa bekas kerajaan Marina yang didirikan perantau dari Nusantara yang ditemukan di wilayah Madagaskar. Tentu pengaruh dan kekuasaan tersebut dapat diperoleh bangsa Indonesia waktu itu karena kemampuan membangun kapal dan armada yang layak laut, bahkan mampu berlayar sampai lebih dari 4.000 mil. Selain Sriwijaya dan bahkan sebelum Majapahit, Kerajaan Singosari juga memiliki armada laut yang kuat dan mengadakan hubungan dagang secara intensif dengan wilayah sekitarnya. Kita mengetahui strategi besar Majapahit mempersatukan wilayah Indonesia melalui Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit telah banyak mengilhami pengembangan dan perkembangan nilai-nilai luhur kebudayaan Bangsa Indonesia sebagai manifestasi sebuah bangsa bahari yang besar. Sayangnya, setelah mencapai kejayaan budaya bahari, Indonesia terus mengalami kemunduran, terutama setelah masuknya VOC dan kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia. Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda. Sejak itu, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia, dan pergeseran nilai budaya, dari budaya bahari ke budaya daratan. Namun demikian, budaya bahari Indonesia tidak boleh hilang karena alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan terus menginduksi, membentuk budaya bahari bangsa Indonesia. Catatan penting sejarah maritim ini menunjukkan bahwa dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki keunggulan aspek budaya bahari bentukan secara alamiah oleh aspek-aspek alamiah Indonesia. Berkurangnya budaya bahari lebih disebabkan berkurangnya perhatian Pemerintah terhadap pembangunan maritim. Sesungguhnya, secara pemikiran dan konsepsi, Bangsa Indonesia sudah lama ingin kembali ke laut. Pada tahun 1957, Bangsa Indonesia mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang memandang bahwa wilayah laut di antara pulau-pulau Indonesia sebagai satu-kesatuan wilayah nusantara, sehingga wilayah laut tersebut merupakan satu keutuhan dengan wilayah darat, udara, dasar laut dan tanah yang ada di bawahnya serta seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya sebagai kekayaan nasional yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Bung Karno saat pembukaan Lemhanas tahun 1965 mengatakan bahwa "Geopolitical Destiny" dari Indonesia adalah maritim. Melalui suatu perjuangan panjang dan bersejarah di forum internasional, pada tahun 1982, gagasan Negara Nusantara yang dipelopori Indonesia berhasil mendapat pengakuan Internasional dalam kovensi PBB tentang hukum laut. Pada 18 Desember 1996 di Makassar, Sulawesi Selatan, BJ Habibie sebagai Menristek membacakan pidato Presiden RI yang dikenal dengan pembangunan “Benua Maritim Indonesia”. Selanjutnya pada tahun 1998 Presiden BJ Habibie mendeklarasikan visi pembangunan kelautan Indonesia dalam “Deklarasi Bunaken”. Inti dari deklarasi tersebut adalah laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan persatuan, kesatuan dan pembangunan bangsa Indonesia. Sejak tahun 1999 Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan komitmennya terhadap pembangunan kelautan. Komitmen pembangunan pemerintah di bidang kelautan, diwujudkan dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut pada tanggal 26 Oktober 1999 dan menempatkan Sarwono Kusumaatmadja sebagai menteri pertama. Pada bulan Desember nama departemen ini berubah menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, dan sejak awal tahun 2001 berubah lagi menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga sekarang. Demi menggemakan semangat pembangunan nasional yang berdasarkan kelautan, Presiden KH Abdurrahman Wahid mencanangkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara dan memperingatinya untuk pertama kali di Istana Negara, Jakarta tahun 1999. Visi pembangunan kelautan Gus Dur kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan menetapkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara berdasarkan Keppres No. 126 Tahun 2001 tentang Hari Nusantara, dan menjadikan tanggal tersebut sebagai hari resmi perayaan nasional. Kebijakan yang sangat penting di bidang maritim yang dibuat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tahun 2001 yaitu dalam Seruan Sunda Kelapa menyatakan penerapan asas cabotage sebagai suatu keharusan. Penerapan asas cabotage adalah kebijakan fundamental bagi pembangunan industri maritim nasional. Dengan pencetusan kebijakan penerapan asas cabotage dengan Seruan Sunda Kelapa tersebut, Pemerintah kemudian segera memulai penyusunan aturan pelaksanaannya. Aturan pelaksanaannya berupa Inpres tentang Pengembangan Industri Pelayaran Nasional yang akhirnya ditandatangani oleh oleh Presiden berikutnya yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berupa Inpres No. 5 tahun 2005. Namun penerapan Inpres ini berjalan sangat lamban, terutama karena dukungan Kementerian Keuangan dalam hal kebijakan keuangan dan perpajakan untuk pengadaan, pengoperasian dan pemeliharaan kapal. Dalam tataran strategik operasional, budaya bahari bangsa Indonesia masih memprihatinkan, apalagi bila kita sependapat bahwa budaya adalah semua hasil olah pikir, sikap dan perilaku masyarakat yang diyakini dan dikembangkan bersama untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi, mengembangkan kehidupan yang lebih layak, dan beradaptasi terhadap situasi lingkungan hidup. Budaya bahari bangsa Indonesia belum tumbuh kembali, bukan saja di tengah masyarakat, tetapi juga pada tataran pembuat kebijaksanaan sehingga Indonesia belum mampu memanfaatkan kelautan sebagai sumber kesejahteraannnya. Kita perlu mengembangkan kesadaran bahari Bangsa Indonesia, terutama dengan menerapkan kebijakan pembangunan maritim nasional berdasarkan konsepsi yang jelas sesuai aspek-aspek alamiah (Tri Gatra) Indonesia Indonesia membutuhkan segera adanya kebijakan pembangunan maritim nasional yang dimulai dengan perumusan persepsi bangsa Indonesia dalam melihat pengaruh laut terhadap kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya, dan sistem pertahanan dan keamanan nasional. Estimasi yang dikeluarkan oleh Dewan Kelautan Indonesia (Dekin) ketika masih bernama Dewan Maritim Indonesia (DMI), melalui majalah internal Maritim Indonesia edisi Juli 2007 menyebutkan bahwa laut Indonesia menyimpan potensi kekayaan yang dapat dieksploitasi senilai 156.578.651. 400 US dollar per tahun. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp 9.300 per 1 dollar AS, angka itu setara dengan Rp 1.456 triliun. Walaupun demikian, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional dinilai masih rendah. Pada tahun 1998 sektor kelautan hanya menyumbang 20,06 persen terhadap PDB, itupun sebagian besarnya atau 49,78 persen disumbangkan oleh subsektor pertambangan minyak dan gas bumi di laut. Ini menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia yang sangat besar itu masih disia-siakan. Berbeda dengan negara maritim lain seperti RRC, AS, dan Norwegia, yang sudah memanfaatkan laut sedemikian rupa hingga memberikan kontribusi di atas 30 persen terhadap PDRB nasional mereka. Dengan melihat kenyataan seperti ini, sudah saatnya Bangsa Indonesia membangkitkan kembali kesadaran bahwa laut harus dipandang sebagai kesatuan wilayah dan sumber kehidupan, media perhubungan utama, wahana untuk merebut pengaruh politik dan wilayah pertahanan penyanggah utama. Kedudukan Indonesia pada posisi silang perdagangan dan memiliki 4 dari 9 Sea Lines of Communication dunia mengakibatkan Indonesia mempunyai kewajiban yang sangat besar untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran internasional di Selat Malaka/ Singapura dan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Indonesia belum mempunyai kemampuan pertahanan dan keamanan laut yang memadai untuk hal tersebut, apalagi untuk menjaga kedaulatan di seluruh wilayah laut yurisdiksinya. Sepanjang berkaitan dengan kebijakan pertahanan nasional, pada dasarnya Indonesia adalah negara yang cinta damai dan tidak memiliki ambisi untuk menguasai negara atau wilayah bangsa lain. Akan tetapi, Indonesia memiliki pulau-pulau yang jauh terutama di Laut Natuna dan Sulawesi, dan masih ada wilayah perbatasan yang belum ditetapkan serta wilayah dengan potensi sengketa. Oleh karena itu, Indonesia harus tetap mewaspadai adanya kemungkinan kontingensi. Indonesia harus memiliki kesiagaan dan kemampuan untuk dapat mengendalikan lautnya dan memproyeksikan kekuatannya melalui laut dalam rangka memelihara stabilitas dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagi suatu Negara dengan kekuatan ekonomi yang terus berkembang, kelanjutan kemajuan Indonesia akan makin bergantung pada perdagangan dan angkutan laut dan ketersediaan energi, serta pada ekploitasi sumber daya laut dan bawah laut serta membangun industri maritim yang tangguh. Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Indonesia memiliki kepentingan nasional yang sangat besar di laut. Sebagai hal yang mendasari kepentingan Indonesia di laut, Indonesia harus memiliki kemerdekaan atau kebebasan menggunakan laut wilayahnya untuk memperjuangkan tujuan nasionalnya, serta mempunyai strategi untuk menjaga kepentingan maritimnya dalam segala situasi. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk memanfaatkan lautnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan masyarakat internasional? Rasanya masih jauh panggang dari api. Jangankan memiliki kemampuan maritim yang memadai, usaha-usaha ke arah itupun belum tampak jelas. Bahkan Indonesia belum secara tegas menyatakan kepentingan nasionalnya di laut dan belum menetapkan National Ocean Policy. Martabat bangsa memerlukan kekuatan ekonomi dan pertahanan. Industri maritim mempunyai potensi yang sangat besar. Oleh karenanya apabila dikelola dengan baik dan benar, potensi maritim dapat menjadi salah satu pilar ekonomi nasional yang kompetitif, sedangkan pengelolaan yang baik dan benar sangat ditentukan oleh konsepsi pembangunan maritim, mulai dari persepsi, misi, kebijakan dan strategi yang tepat.Agenda pembangunan nasional berfokus pada pembangunan kemaritiman, yang menurutnya terdiri dari lima pilar. Pertama, pembangunan kembali budaya maritim. Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut. Ketiga, pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim. Keempat, diplomasi maritim yang mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerjasama pada bidang kedaulatan dan penguatan kekuatan pertahanan maritim.(***) Sumber : http://www.muslimedianews.com/2015/01/menegakan-martabat-bangsa-indonesia.html#ixzz5VlqfWLbb 40. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif.  Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan perikanan tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya abrasi wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistim laut dan terumbuh karang, serta belum teroptimalkannya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan. Banyak sekali kasus-kasus nelayan miskin di wilayah Indonesia, bahkan hingga diangkat dalam berbagai tulisan dan penelitian. Salah satu contoh penelitian yang pernah dilakukan ialah penelitian yang dilakukan oleh Mubyarto (1984), penelitian tersebut menganalisis perekonomian masyarakat nelayan miskin di Jepara.  Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali di satu pihak.  Penelitian ini menunjukkan adanya dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya terhadap nelayan miskin.  Hampir sama dengan penelitian di atas selanjutnya Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan nelayan di Kepulauan Riau. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin. Hasil-hasil penelitian seperti yang telah disebutkan beberapa di atas, menunjukkan adanya ketidakberdayaan para nelayan miskin terhadap kondisi sosioal, ekonomi, dan politik, yang berlaku terhadap mereka di tiaap-tiap daerahnya. Hal tersebut kemudian mengakibatkan kemiskinan semakin menjadi-jadi dan menekan mereka untuk tetap hidup di dalam garis kemiskinan. Diperlukan sebuah upaya dari pemerintah daerah dan pusat untuk memberian dukungan kepada para nelayan miskin ini, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka dan kemudian menjadi mandiri secara ekonomi karena kemapanan mereka. Untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, terutama para nelayan miskin, pemerintah telah melakukan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dikembangkan secara nasional. Program PEMP ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pendekatan ekonomi dan kelembagaan sosial.  Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan  disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, yakni pembangunan dengan memiliki ciri-ciri:  1.berbasis lokal (melibatkan sumberdaya lokal sehingga return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan adalah sumberdaya manusia dan sumberdaya alam, 2. berorientasi pada peningkatan kesejahteraan (menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi),  3.berbasis kemitraan (kemitraan yang mutualistis antara orang lokal atau orang miskin dengan orang yang lebih mampu, untuk membuka akses terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik atau profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas, 4.secara holistik atau multi aspek (pembangunan mencapai semua aspek, setiap sumberdaya lokal patut diketahui dan didayagunakan),  5.berkelanjutan (keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan sosial) (DKP 2002). Program PEMP yang dibentuk oleh pemerintah pusat memberikan dampak yang positif bagi para nelayan miskin di daerah pesisir. Beberapa aspek yang berubah setelah adanya pemberlakuan program ini antara lain seperti aspek pendapatan para nelayan. Contoh kasusnya adalah aspek pendapatan para nelayan di daerah Halmahera Utara. Sebelum diberlakukannya strategi pemberdayaan dalam bentuk PEMP ini, para nelayan memperoleh pendapatan yang rendah dikarenakan pedagang ikan lebih memiliki nilai tawar yang tinggi dibanding nelayan dalam menentukan harga ikan hasil tangkapan. Ketergantungan nelayan terhadap para pedagang ikan mengakibatkan kesulitan bagi mereka, bahkan bisa disebut sebagai bentuk patron-client diantara nelayan dan pedagang ikan. Maka setelah PEMP berjalan, pendapatan nelayan mengalami peningkatan yang  sangat signifikan antara 100-288%. Tidak hanya melalui PEMP, pemberdayaan masyarakat pesisir terutama para nelayan miskin juga bisa dilakukan dengan bentuk-bentuk program lainnya yang berasal dari pemerintah ataupun dari komunitas nelayan itu sendiri. Beberapa aspek yang bisa diperhatikan dan dijadikan prioritas dalam perencanaan dan formulasi strategi pemberdayaan nelayan miskin antara lain seperti permodalan, pengembangan teknologi dan skala usaha perikanan, pengembangan akses pemasaran, penguatan kelembagaan para nelayan dan masyarakat pesisir, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat,pembangunan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan. Salah satu persoalan mendasar dalam pembangunan perikanan adalah lemahnya akurasi data statistik perikanan. Data perikanan di berbagai wilayah di Indonesia biasanya berdasarkan perkiraan kasar dari laporan dinas perikanan setempat. Belum ada metode baku yang handal untuk dijadikan panduan dinas-dinas di daerah setempat dalam pengumpulan data perikanan ini. Bagi daerah-daerah yang memiliki tempat atau pelabuhan pendaratan ikan biasanya mempunyai data produksi perikanan tangkap yang lebih akurat karena berdasarkan pada catatan jumlah ikan yang didaratkan. Namun demikian akurasi data produksi ikan tersebut pun masih dipertanyakan berkaitan dengan adanya fenomena transaksi penjualan ikan tanpa melalui pendaratan atau transaksi ditengah laut. Pola transaksi penjualan semacam ini menyulitkan aparat dalam menaksir jumlah/nilai ikan yang ditangkap di peraiaran laut di daerahnya. Apalagi dengan daerah-daerah yang tidak memiliki tempat pendaratan ikan seperti di kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia maupun berkembangnya tempat-tempat pendaratan ikan swasta atau 'TPI Swasta' yang sering disebut tangkahan-tangkahan seperti yang berkembang di Sumatera Utara. Bagaimana pemerintah akan menerapkan kebijakan pengembangan perikanan bila tidak didukung dengan data-data yang akurat. Apakah ada jaminan pemerintah mampu  membongkar sistem penangkapan ikan yang carut-marut dan tiap-tiap daerah yang mempunyai bentuk dan pola yang berbeda-beda. Keadaan sistem yang mampu memonitor setiap aktivitas penangkapan di daerah-daerah menjadi satu kelemahan yang terpelihara sejak dulu. Celah kelemahan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terkait untuk memperkaya diri dari hasil perikanan tangkap. Sehingga isu kebocoran devisa dengan adanya pencurian ikan menggambarkan kelemahan sistemmanajemen pengelolaan perikanan nasional. Tanpa mengetahui karakter atau pola/jaringan bisnis penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat atau para nelayan yang bermodal diberbagai daerah atau sentra- sentra penangkapan ikan, maka kebijakan perijinan ulang terhadap usaha penangkapan ikan ini akan terdapat peluang korupsi dan kolusi. Ditengarai dengan pola/jaringan bisnis perikanan tangkap sudah terbiasa dengan budaya KKN, maka mekanisme kolusi dan korupsi di dalam bisnis penangkapan ikan ini harus diatasi secara sistematis. Kebijakan pembangunan perikanan pada masa yang akan datang hendaknya didasarkan pada landasan pemahaman yang benar tentang peta permasalahan pembangunan perikanan itu sendiri, yaitu mulai dari permasalahan mikro sampai pada permasalahan di tingkat makro yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat nelayan. Permasalahan mikro yang dimaksudkan adalah pensoalan internal masyarakat nelayan dan petani ikan menyangkut aspek sosial budaya seperti pendidikan, mentalitas, dan sebagainya. Aspek ini yang mempengaruhi sifat dan karakteristik masyarakat nelayan dan petani ikan. Sifat dan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengolahan hasil perikanan. Kelompok masyarakat ini memiliki sifat unik berkaitan dengan usaha yang dilakukannya. Karena usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar. Gagasan tentang pembangunan ekonomi (local economic development) berdasarkan sumberdaya lokal atau dalam bahasanya Dawam Rahardjo sebagai "pembangunan ekonomi setempat", dikemukakan oleh beberapa pemikir pembangunan yaitu Helena Norberg dan Hodge, David Morris dan Satish Kumar dalam sebuah buku kumpulan tulisan yang berjudul "The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Lokal" dan di edit oleh Jerry Mander dan Edward Goldsmith (2040). Halena Norberg dan Hodge dalam tulisan mereka yang berjudul "Shifting Direction from Global Dependence to Local lnterdependence",menggambarkan bahwa ciri dan pengembangan ekonomi lokal yang merupakan sebuah kebijakan ekonomi baru yang berbasis masyarakat (new community -- Cased economic). Dengan demikian akan tercipta interdependesi ekonomi lokal dalam konteks ekonomi global. Untuk mengembangkan kegiatan ekonomi lokal tersebut,menekankan perlunya tiga landasan utama yang mendukung yakni (i) adanya kewenangan (authority), (ii)pertanggungjawaban (responsibility), dan (iii) kapasitas produksi masyarakat (productive capacity) yang menjamin keberdayaan masyarakat dalam menentukan masa depan kebijakan ekonomi.Sehingga arah dan tujuan pengembangan ekonomi lokal diharapkan agar mampu menciptakan peningkatan semangat masyarakat (community spirit), hubungan masyarakat (community relationship) dan kesejahteraan masyarakat (well-being). Sumberdaya Kelautan memiliki potensi yang besar untuk pengembangan ekonomi nasional menyongsong abad 21, namun demikian pemanfaatannya harus dilaksanakan secara hati-hati agar tidak terjadi kerusakkan ekosistemnya seperti yang terjadi pada sumberdaya daratan. Dalam rangka menjadikan bidang kelautan sebagai sektor unggulan dalam memperkokoh perekonomian nasional, maka diperlukan suatu formulasi kebijakan kelautan (ocean policy) yang integral dan komprehensif yang nantinya menjadi payung politik bagi semua institusi negara yang memperkuat pembangunan perekomian kelautan (ocean economy). Pengembangan formulasi kebijakan tersebut tidak terlepas dengan sejarah kemajuan peradaban bangsa Indonesia yang dibangun dari kehidupan masyarakat yang sangat tergantung dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian dari era kemerdekaan sampai dengan saat ini belum ada kebijakan mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu dibawah satu koordinasi lembaga Negara yang sinergis.  Diketahui bahwa fokus pernbangunan bidang kelautan cukup luas yaitu terdiri dari berbagai sektor ekonomi. Namun selama ini pembangunan yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga negara tetapi dilakukan secara parsial oleh beberapa lembaga negara seperti departemen pertahanan, dalam negeri, luar negeri, perhubungan, energi, pariwisata, industri dan perdagangan, lingkungan hidup, kelautan dan Perikanan. Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).  Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.   Kedua, Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu.  Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula. Yang terakhir, ketiga: Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya.  Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping. (*****) 41.Memaknai Hari Pahlawan Hari Pahlawan atau Hari Pahlawan Nasional dapat merujuk pada sejumlah peringatan hari pahlawan nasional di berbagai negara. Hari Pahlawan sering diselenggarakan pada hari kelahiran pahlawan nasional maupun peringatan peristiwa yang mengantarkan mereka jadi pahlawan. Mengingat hari pahlawan kita jadi ingat hari itu tepatnya 73 tahun yang lalu, terjadi pertempuran Surabaya. Pertempuran ini merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Britania Raya. Peristiwa besar ini terjadi pada 10 November 1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, yakni 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Pulau Jawa secara resmi diduduki oleh Jepang.Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA. Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia pada 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru atau Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan No. 65 Surabaya. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi. Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi 10 November 1945. Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan atau milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia. Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia. Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah serta kiai-kiai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih taat kepada para kiai atau ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu. Setidaknya 6.000-16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200.000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang. Ancaman pada zaman sekarang tak lagi berupa penjajah, tapi dari berbagai penjuru berupa perdagangan ilegal, korupsi, serta ancaman terhadap ideologi Pancasila. Namun ancaman-ancaman baru itu juga telah melahirkan pahlawan-pahlawan baru masa kini,di masa era digital. Mereka yang penuh dedikasi dan tidak kompromi serta tidak melakukan korupsi untuk kepentingan sendiri namun tetap mencintai bangsanya dengan bersikap jujur dan berdedikasi tinggi terhadap bangsa dan negara mereka adalah pahlawan di masa sekarang. Sekitar 72 tahun lalu, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan, meninggalkan pelajaran sejarah penting. Semangat pejuang di Surabaya yang merobek bendera penjajah perlu dicontoh pahlawan masa kini. Mereka yang semangat menggunakan ilmu dan kewenangannya semata-mata untuk memperjuangkan kemajuan Indonesia, mengisi cita-cita negara yang adil, makmur, dan bermartabat. (*)Aji Setiawan, mantan aktivis PMII UII Yogyakarta, dan mantan wartawan Majalah Islam Al-Kisah tahun 2004-2011. http://www.santrinews.com/Opini/8697/Memaknai-Hari-Pahlawan-Nasional 42.Adab Mubaligh Mubaligh, da’i atau ustadz mereka adalah pembawa panji-panji ulama. Kesadaran ini bisa dijadikan bekal bagi dai dan mubaligh dalam berdakwah, sehingga dakwahnya tidak asal bunyi dan bisa diterima umat (dakwah bil hikmah wal maudzotil khasanah). Karena Rasululullah SAW pernah bersabda,”Sesungguhnya ulama itu pewaris nabi, sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad Al Hakim, Al Baihaqi dan Ibnu Hibban). Mereka punya peran penting dalam membumikan nilai-nilai agung syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW, sebagai penyambung lidah Rasulullah SAW melalui ulama kepada umat. Karena itu perlu persiapan bekal ilmu dan ittiba’ (mengikuti ) ulama amillin. Berkaitan dengan pentingnya peran dai’ dan mubaligh terutama dalam konteks keindonesiaan, di damping peran ulama dan mubaligh dalam memberikan ceramah-ceramah dengan bidang ilmu dan ittiba’ para ulama. Karena itu perlu bekal ilmu bagi para dai dan mubaligh , sebagai ulama tidak saja membawa panji-panji agama namun juga punya tugas sebagai individu sebagai jalan ibadah meraih keridhoan Allah SWT. Karena itu adab, mempunyai peran penting disamping ilmu sebagai contoh dan karakter orang berilmu. Adab orang berilmu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang memilih dan menjadikan jalan dakwah sebagai pilihan hidup. Kita lebih butuh sedikit adab dari pada banyak ilmu. Barang siapa meremehkan adab, niscaya dihukum tidak memiliki sunnah. Barang siapa meremehkan sunnah, niscaya dihukum tidak mengerjakan hal-hal wajib, dan barang siapa meremehkan hal-hal wajib niscaya dihukum dengan tidak memiliki ma’rifah. Mengenai adabnya orang alim; Pertama, inshaf, menyadari kebenaran dan keadilan. Kedua, mengatakan tidak tahu dan wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui) apabila ditanya ihwal sesuatu yang tidak diketahuinya sebagaimana firman Allah SWT,” Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu dab aku bukanlah termasuk orang-orang yang mengada-adakan .” (QS Shaad: 86). Ketiga, berhati-hati memberikan fatwa. Keempat, memandang rendah dunia; Al Ghazali menyebutkan,”Seorang alim yang menjadi budak dunia keadaannya lebih buruk dan adzabnya lebih keras dibandingkan dengan orang yang jahil. Kelima, adab seorang alim atau ulama adalah bersikap tawadhu kepada Allah baik dalam keadaan sendiri maupun di tengah orang banyak. Keenam, meninggalkan perdebatan. Ketujuh, tidak bergaul dengan penguasa atau aparat kekuasaan.Kedelapan, seorang alim itu bersikap lemah lembut kepada para penuntut ilmu. Rasulullah SAW sendiri telah mengingatkan ahli ilmu atau orang-orang alim dalam sabdanya, ”Sesungguhnya manusia mengikuti kalian dan sesungguhnya orang-orang dari berbagai tempat akan mendatangi kalian untuk mendalami agama. Maka apabila mereka mendatangi kalian, berikanlah wasiat kepada mereka untuk berbuat kebaikan.” (HR At Tirmidzi dari Abu Harun Al Abd dan Abu Sa’id Al Hudri). Kesembilan, ikhlas dan sabar. Rasulullah adalah penyambung lisan para ulama kepada umat. Karena itu perlu kesiapan matang keikhlasan dan kesabaran yang murni dari para dai mutlak diperlukan. Sehingga amanah dan tugas mulia agung ini dapat dipanggul oleh para dai dan mubaligh.Dengan dua bekal ini para mubaligh dapat menjalankan tugasnya dengan kesabaran, keikhlasan, penuh kesadaran dan kehati-hatian. Kesepuluh, beramar ma’ruf nahy munkar.Saat ini kemaksiatan dan kemungkaran telah merajalela di mana-mana. Tontonan jadi tuntunan, demikian sebaliknya tuntunan jadi tontonan. Korupsi, suap, kolusi, nepotisme adalah bagian dari kemungkaran dan kemaksiatan yang sangat dilarang oleh agama mana pun di muka bumi serta akan mendapat laknat Allah SWT. Padahal kondisi seperti itu sudah merata di seluruh lini kehidupan dan amat sedikit yang mencegahnya dari perbuatan munkar. Sungguh beruntung orang berbuat amar ma’ruf Nahy Munkar , Allah SWT berfirman,” “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali ‘Imran: 110). Rasulullah SAW bahkan memerintahkan kita untuk ber amar ma’ruf nahy munkar,“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia menghilangkannya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya. Orang yang tidak mampu dengan lisannya, maka dengan hatinya. Dan dengan hati ini adalah lemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim). Beliau juga melalui hadist riwayat At Tirmidzi bersabda,”Demi Allah yang jariku berada di dalam genggamannya, kamu harus menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran atau kalau tidak, pasti Allah akan menurunkan siksa kepadamu kemudian kamu berdoa , maka tidak diterima doa darimu.” Nabi Muhammad SAW mengingatkan,”Sesunguhnya jika melihat manusia berbuat jahat dan tidak mereka cegah. Hampir-hampir Allah akan meratakan siksa atau adzabnya kepada mereka.” (HR Abu Dawud). Sementara itu, syarat-syarat berjuang bagi ummat Islam di jaman sekarang menurut Prof. Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah” (spiritualisme sosial) dengan: (1) Membaca dan merenungkan makna kitab suci al Qur’an ; (2) Membaca dan mempelajari makna kehadiran Nabi Muhammad SAW melalui sunnah dan sirah (membaca biografi) beliau; (3) Memelihara hubungan dengan orang-orang saleh seperti ulama dan tokoh Islam yang zuhud; (4) Menjaga diri dari sikap dan tingkah laku tercela; (5) Mempelajari hal-hal tentang ruh dan metafisika dalam al Qur’an dan sunnah dengan sikap penuh percaya; (6) Melakukan ibadah-ibadah wajib dan sunnah.(***) 43. Menggerakan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Pariwisata Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan pariwisata dan produk-produk kreatif, potensi besar ini sangat beralasan karena bangsa ini memiliki kekayaan alam dan budaya yang menurut data World Economic Forum berada pada peringkat 39 dari 139 negara. Indonesia tercatat memiliki 300 suku dan etnis, 27 persen dari 237 juta penduduknya berusia produktif serta memiliki 17.100 pulau. Potensi yang cukup besar ini harusnya mampu memberikan sumbangan yang cukup signifikan pada Product Domestic Bruto (PDB). Sebagai bahan kajian sementara, data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB nasional pada tahun 2008 adalah 3,09 Persen meningkat menjadi 3,25 persen pada tahun 2009. Berubahnya Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjanjikan harapan baru bagi tumbuhnya pariwisata di satu sisi dengan produk-produk kreatif di sisi lain. Belum adanya pedoman-pedoman baku terhadap sektor-sektor ekonomi kreatif menjadikan kementrian ini belum bisa memaksimalkan potensinya. Sejak digabungnya pariwisata dan ekonomi kreatif memang secara nyata di lapangan belum ada upaya yang terpadu untuk membuat keduanya saling mendukung sehingga mampu menciptakan multipler effect bagi tumbuhnya sektor pariwisata dan produk kreatif. Saat ini objek wisata yang ada di Indonesia masih sangat jarang yang didesign agar sektor pariwisata dan ekonomi kreatif bisa maju bersama-sama dan tumbuh saling mendukung. Dari sudut pandang manajemen pengelolaan, objek wisata berdiri sendiri dengan orang-orang yang menjual produk kreatif seperti cinderamata dan produk khas daerah setempat. Mengambil contoh objek wisata Pegunungan dan Pemandian Air Panas di Baturaden, Banyumas. Dari sisi pengelolaan manajemen pariwisata dikelola oleh pemerintah daerah namun dari sisi pengelolaan produk ekonomi kreatif seperti penjualan cinderamata dilakukan oleh masyarakat setempat. Kelemahan utamanya adalah bahwa mereka yang jualan di objek wisata tersebut tidak diberikan tempat khusus oleh pengelola objek wisata tersebut. Fenomena semacam ini juga terjadi di objek wisata lain, seperti Grand Canyon di Ciamis, Goa Lawa di Purbalingga, Pantai Petanahan di Kebumen dan hampir semua objek wisata berjalan seperti ini. Untuk memajukan pariwisata dan produk kreatif secara bersamaan perlu upaya untuk memadukan program pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi satu paket. Artinya objek wisata harus bekerjasama dengan orang-orang yang terlibat dalam penjualan cinderamata di objek wisata tersebut. Bahkan bukan hanya itu, harus diupayakan bahwa cindaramata yang diperjual belikan di objek wisata tersebut harus ikut mendongkrak meningkatnya kunjungan wisatawan pada objek tersebut. Bicara tentang pariwisata tidak terlepas dari budaya secara umum termasuk adat istiadat dan juga produk khas daerah. Oleh karenanya penjual cinderamata dan produk khas daerah pada salah satu objek wisata harusnya ikut menjual identitas objek wisata atau budaya daerah setempat. Sangat penting pengaruhnya untuk memperhatikan para penjual produk-produk kreatif pada objek wisata tertentu mendapatkan pelatihan bagaimana cara menjual yang baik bahkan jika penjual pun hendaknya menonjolkan budaya setempat dengan penguasaan logat daerah yang mumpuni jika perlu menggunakan seragam objek wisata setempat atau pakaian khas daerah setempat. Perhatian pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan untuk menaikkan kontribusi pariwisata dan ekonomi kreatif harus ditunjukkan dengan keterpaduan program semacam ini. Keterpaduan program selanjutnya adalah persoalan menyatunya sektor-sektor ekonomi kreatif dengan objek wisata. Saat ini pemerintah menggolongkan sektor ekonomi kreatif ke dalam 14 sektor antara lain: periklanan (advertising); arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain (design); pakaian (fashion); permaianan interaktif (game); music; seni pertunjukan; video, film dan fotografi; penerbitan dan percetakan; layanan computer dan piranti lunak (software); televisi dan radio serta riset dan pengembangan. Objek wisata yang memiliki wahana wisata yang terpadu dengan 14 sektor tersebut akan sangat membantu pengambangan industri kreatif. Banyak objek wisata di tanah air belum memadukan antara wahana wisata dengan 14 sektor ekonomi kreatif yang mungkin bisa dilakukan di objek tersebut. Pada satu objek wisata tentunya bisa dipakai untuk media periklanan, menampilkan produk arsitekur rumah daerah, membangun pasar seni dan kerajinan, menampilkan fashion khas daerah, membuat video-video dokumenter, menampilkan seni music dan pertunjukan khas daerah dan menunjang sektor yang mungkin ada di objek wisata tersebut. Segala bentuk usaha, aktivitas dan kreativitas yang dapat mendatangkan nilai ekonomi, mempunyai regulasi tersendiri berupa UU dan regulasi di bawahnya yang menjadi legal formal dalam mendorong segala bentuk usaha ekonomi kreatif dapat tumbuh kembang dengan baik.Kegiatan ekonomi kreatif harus punya satu goal yang jelas. Contohnya, kegiatan advertising, bagaimana sebuah produk kuliner, fashion, kerajinan dan sebaginya, dapat dikenal masyarakat melalui sebuah advertising yang menarik, sehingga masyarakat tertarik untuk mengonsumsinya. Jawa Tengah mempunyai banyak potensi lokal yang dapat digali. Tinggal bagaimana sentuhan kreativitas dan seni, sehingga sebuah produk tampil lebih menarik. Masyarakat—utamanya generasi muda—diharapkan berperan aktif dengan berkreativitas dan memunculkan potensi lokal daerah yang dimilikinya. Berbekal ilmu pengetahuan dari berbagai macam disiplin ilmu, diharapkan bisa mengolah potensi yang ada, sehingga layak jual dan bisa bersaing dipasar global. Ada 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, memiliki produk unggulan tersendiri. Seperti batik pada masing-masing daerah yang memiliki corak tersendiri. Semisal, motif tembakau di Temanggung, daun jati dan barong Blora, dan kain troso Jepara. Selain batik, banyak pula dijumpai kuliner yang bervariasi. Misalnya saja, tiwul, getuk ireng, capeng, dodol tjemani, gula semut, pisang greget, dawet ayu, dan lainnya. Agar semua potensi lokal dapat tumbuh kembang dengan baik, perlu dukungan pemerintah daerah melalui kepala daerah dengan regulasinya. Agar potensi yang ada bisa dipakai atau dikonsumsi masyarakat di lingkungan daerah tersebut. Contohnya, batik Banyumas dipakai sebagai seragam para PNS di Banyumas. Kekayaan alam dan budaya merupakan komponen penting dalam pariwisata di Indonesia. Alam Indonesia memiliki kombinasi iklim tropis, 17.508 pulau (yang 6.000 di antaranya tidak dihuni) serta garis pantai terpanjang ketiga di dunia setelah Kanada dan Uni Eropa. Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar dan berpenduduk terbanyak di dunia. Sektor pariwisata dianggap sebagai lahan strategis untuk mempercepat laju ekonomi. Pariwisata diyakini sebagai cara yang tepat dan cepat untuk mensejahterakan rakyat. Pengembangan sektor pariwisata dapat memberikan multifier effect (efek ganda) kepada masyarakat. Selain menciptakan iklim perjalanan dan pengalaman, wisatawan yang datang ke objek wisata juga akan menggerakkan ekonomi kreatif di daerah tersebut. Sektor pariwisata dapat melibatkan orang dari berbagai latar belakang. Mulai dari door boy di sebuah hotel hingga pada bagian yang lebih tinggi berbasis teknologi informasi (IT). Itulah mengapa, sektor pariwisata mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak. Pada tahun 2013, sektor pariwisata dapat menyerap sekitar 10,13 juta tenaga kerja atau sekitar 8,80 persen dari total angka tenaga kerja secara nasional. Hingga akhir tahun lalu, sektor pariwisata juga menjadi penyumbang devisa terbesar, sesudah sektor migas dan tambang, yaitu sebesar USD 9,1 miliar. Wamenparekraf juga menyampaikan kumpulan data, betapa sektor pariwisata sangat menguntungkan Indonesia, termasuk berhasil menggerakkan roda kreativitas dan ekonomi di daerah. Ekonomi kreatif tumbuh sebesar 5,76 persen pada 2013. Angka tersebut masih di atas laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional, yang hanya sekitar 5,74 persen. Persentase penyerapan tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif tersebut mendudukkan urutan keempat setelah sektor pertanian, peternakan dan kehutanan. Besarnya potensi wisata di Indonesia ini harus disinergikan dengan strategi khusus untuk mendongkrak laju ekonomi nasional. “Indonesia ini sangat kaya tempat wisata. Baik wisata budaya (culture tourism) maupun wisata alam (nature tourism) yang tersebar di lebih dari 16 ribu pulau. Sektor perjalanan dan pariwisata Indonesia mengalami peningkatan dalam kontribusinya terhadap perekonomian, sebesar 8,4 persen di tahun 2013. Pertumbuhan yang dialami ini merupakan yang terbesar di antara negara-negara anggota G20 berdasarkan hasil riset World Travel & Tourism Council (WTTC), otoritas global dalam industri perjalanan dan pariwisata. Economic Impact Report tahun 2014 yang dikeluarkan WTTC menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat pertumbuhan pengunjung Internasional sebanyak 15,1 persen dan pertumbuhan ekonomi 7,2 persen dalam pariwisata domestik tahun lalu. Ini merupakan tahun yang fantastis bagi perjalanan dan pariwisata di Indonesia yang mengalami perluasan dalam hal pendapatan ekspor yang didapat dari pengunjung internasional yang juga didorong oleh perubahan nilai rupiah terhadap dolar AS. Laporan WTTC juga menyebutkan perjalanan dan pariwisata berkontribusi sebesar US$ 7 triliun ke perekonomian global dan diharapkan akan berkembang di tahun 2014 sebesar 4,3 persen. Perjalanan dan pariwisata diprediksi akan terus mengalami pertumbuhan selama sepuluh tahun ke depan sebesar lebih dari 4 persen setiap tahunnya dan lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan industri lain. Pada akhirnya, sinergitas antara peran pemerintah dan masyarakat adalah kunci untuk membangun serta memajukan sektor pariwisata Indonesia. Keberhasilan sinergi tersebut akan berdampak pada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.(***) 44.Mewujudkan Pemerintah Yang Bersih dan Berwibawa Pemerintahan yang bersih merupakan tujuan dan harapan yang selalu diinginkan masyarakat di dunia. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yaitu pemerintahan yang selalu memberlakukan dan menjunjung nilai-nilai demokratis serta bebas dari praktik KKN. Secara sederhana, Pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Korupsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal. Kolusi adalah bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara ilegal pula (melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga ataupun kerabat dekat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain. Pemerintahan yang penuh dengan gejala KKN biasanya tergolong ke dalam pemerintahan yang tidak bersih, dan demikian pula sebaliknya. Konsep pemerintahan yang bersih dan berwibawa identik dengan konsep Good Governance (pemerintahan yang baik). Untuk menegakkan pemerintah yang bersih dan berwibawa di perlukan berbagai kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik. Berikut ini akan kami paparkan beberapa kondisi dan mekanisme hubungan pemerintah yang berupa bentuk-bentuk pemerintahan dan sistem-sistem pemerintahan. Istilah pemerintahan dalam arti organ dapat pula dibedakan antara pemerintah dalam arti luas dan pemerintahan dalam arti sempit.entuk pemerintahan yang terkenal yaitu Kerajaan (monarki) dan Republik.Negara Kerajaan atau (monarki) adalah suatu Negara yang dikepalai oleh seorang raja, sultan atau kaisar (bila kepala Negaranya laki-laki) dan matahari atau ratu (bila kepala negaranya perempuan). Kepala Negara diangkat (dinobatkan) secara turun-temurun dengan memilih putra/putri (atau sesuai dengan budaya setempat) dan menjabat untuk seumur hidup. Republik berasal dari bahasa latin res republica yang arinya kepentingan umum. Sedangkan menurut istilah Negara dengan pemerintahan rakyat yang di kepalai oleh seorang presiden sebagai kepala Negara yang dipilih sendiri dan oleh rakyat untuk suatu masa jabatan tertentu. Biasanya presiden dapat dipilih kembali setelah habis masa jabatannya. Ada beberapa sistem yang dikembangkan dalam mengelola mekanisme pemerintahan. Pengelompokan sistem pemerintahan ini tidak lain untuk lebih jauh melihat perbedaan dan kesamaan untuk berbagai sistem pemerintahan, dengan mengetahui tolak ukur pertanggung jawaban pemerintah suatu Negara terhadap rakyat yang diurusinya. Ada dua sistem pemerinathan yang terkenal di dunia yakni parlementer dan prersidensial. Sistem pemerintahan dengan bentuk kabinet parlementer, yaitu kabinet yang menteri-menterinya bertanggung kepada parlemen. Hal ini karena parlemen yang memilih menteri-menteri yang tepat begitu juga perdana menterinya sendiri. Anggota parlemen dapat mejatuhkan setiap kesalahan masing-masing menteri. Dalam sistem pemerintahan presidensil ini, Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif Negara yang tertinggi di bawah Undang-undang Dasar. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala Negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil presiden. Dalam menjalankan pemerintahan Negara, kekuasaan dan tanggung jawab politik berada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the president). Presiden dan Wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung, dan karena itu secara politik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. Para Menteri adalah pembantu Presiden dan Wakil Presiden. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dan karena itu bertanggung jawab kepada presiden, bukan dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. Kedudukannya tidak tergantung kepada parlemen. Akan tetapi, karena pentingnya kedudukan para mentri itu, kewenangan presiden untuk mengangkat dan memperhentikan mentri tidak boleh bersifat mutlak, tanpa kontrol parlemen. Para mentri adalah pemimpin pemerintahan dalam bidangnya masing-masing. Merekalah yang sesungguhnya merupakan pemimpin pemerintahan sehari-hari. Oleh karena itu, para mentri hendaklah bekerjasama yang seerat-eratnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, susunan kabinet dan jumlah mentri yang akan diangkat, karena berkaitan dengan anggaran pendapatan dan belanja Negara, ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, Presiden tidak dapat mengangkat dan memperhentikan para menteri dengan seenaknya. Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidensil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan presiden Lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping itu, beberapa badan atau lembaga Negara dalam lingkungan cabang kekuasaan eksekutif ditentukan pula independesinya dalam menjalankan tugas utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif yang dimaksudkan adalah bank Indonesia sebagi bank sentral, kepolisian Negara dan kejaksaan agung sebagai aparatur penegak hukum, dan tentara nasional Indonesia sebagai aparatur pertahanan Negara. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau pemerintahan yang amanah. Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997). Akuntabilitas adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan akuntabilitas operasional. Akuntabilitas politik berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya. Transparansi merupakan instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan. Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan sosial. Yang kedua, berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional. Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat. Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan sosial.Aparatur pemerintah juga harus berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional. Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat. Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.(***) 45.Peluang Industri Kreatif Indonesia Industri Kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif juga dikenal dengan nama lain industri budaya, terutama di Eropa atau juga ekonomi kreatif. Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Menurut Howkins, Ekonomi Kreatif terdiri dari periklanan, arsitektur, seni, kerajinan, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukkan, penerbitan, Penelitian dan Pengembangan (R&D), perangkat lunak, mainan dan permainan, televisi dan radio, dan permainan video. Muncul pula definisi yang berbeda-beda mengenai sektor ini. Namun sejauh ini penjelasan Howkins masih belum diakui secara internasional. Industri kreatif dipandang semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama dan bahwa industri abad 20 satu akan tergantung pada produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi. Berbagai pihak memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam industri kreatif. Bahkan penamaannya sendiri pun menjadi isu yang diperdebatkan dengan adanya perbedaan yang signifikan sekaligus tumpang tindih antara istilah industri kreatif, industri budaya dan ekonomi kreatif. Industri Kreatif bisa disebut juga dengan sebuah aktifitas ekonomi yang yang terkait dengan menciptakan atau penggunaan pengetahuan informasi. Di Indonesia Industri Kreatif biasa disebut juga dengan Industri budaya atau ekonomi kreatif. Industri kreatif tercipta dari pemanfaatan serta keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu untuk bisa membuat lapangan pekerjaan baru dan juga bisa menciptakan kesejahtraan di daerah. Industri kreatif merupakan hasil dari kreatifitas dan daya cipta setiap individu. Industri kreatif memberikan peranan penting terhadap perekonomian suatu negara. Peran industri kreatif bisa meningkatkan ekonomi secara global. Sebagian orang berpendapat bahwa kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama. Sehingga saat ini banyak sektor industri yang lahir dari kreatifitas dan inovasi dari setiap individu. Di Indonesia terdapat berbagai macam sektor yang termasuk kedalam industri kreatif dan perkembangan setiap tahunnya semakin meningkat. Pada tahun 2019 ini, industri kreatif menggenjot sumbangan untuk produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai Rp 1.211 triliun.Tahun 2019 minimal ada kenaikan Rp 100 triliun. Sumbangan pendatan negara ini dari 16 subsektor ekonomi kreatif terhadap PDB negara terus menerus meningkat secara signifikan. Pada tahun 2017 lalu, tercatat ekonomi kreatif menyumbang PDB hingga Rp 1.000 triliun dan meningkat menjadi Rp 1.105 triliun di tahun 2018. Pada tahun 2019 ini ada tiga subsektor ekonomi kreatif yang akan menjadi prioritas untuk didorong selain tiga subsektor yang sudah menjadi unggulan karena menyumbang PDB untuk Indonesia paling tinggi di antara subsektor lainnya. Kuliner, fashion dan kriya itu masih menjadi subsektor unggulan. Film, musik dan aplikasi games menjadi subsektor prioritas. Sektor industri kreatif di Indonesia di antaranya, sektor arsitektur termasuk kedalam jenis industri kreatif yang berkaitan dengan design bangunan, perencanaan konstruksi bangunan, pengawasan kontruksi dan konservasi bangunan warisan. sektor arsitektur mencangkup semua aspek arsitekur. Dalam perananan industri kreatif memiliki dua level yaitu level makro dan level mikro. Level makro adalah melakukan kontruksi bangunan secara menyeluruh seperti perencanaan pembuatan town planning, urban design, landscape architecture sementara itu level mikro adalah melakukan kontruksi atau renovasi bangunan namun dalam skala kecil seperti membuat detail arsitektur taman, desain interior. Sektor Periklanan termasuk ke dalam jenis Industri kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan. Industri kreatif ini berkaitan dengan produksi dan distribusi iklan yang nantinya akan dilakukan riset pasar dan juga perencanaan pengembangan iklan tersebut. Yang mencangkup kedalam sektor periklanan adalah membuat iklan di luar ruangan, produksi material iklan, proses promosi iklan tersebut. Dalam promosi sebuah iklan bisa memanfaatkan beberapa media seperti media cetak, media elektronik, membuat sebuah poster atau pamflet dan juga mengedarkan brosur. Segala jenis yang berkaitan dengan periklanan seperti penyedia jasa periklanan termasuk ke dalam industri kreatif sektor periklnanan. Sektor pasar barang seni termasuk kedalam jenis industri kreatif. Sektor pasar barang seni merupakan aktifitas perdagangan barang-barang asli unik dan langka yang mempunyai nilai seni yang tinggi. Dalam prosesnya industri pasar barang seni akan menjual barangnya melalui lelang, membuka galeri dan juga melalui internet. Yang termasuk ke dalam sektor pasar barang seni adalah berbagai macam jenis alat musik kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan. Sektor kerajinan merupakan jenis industri kreatif yang di dalam meliputi proses kreasi, produksi dan juga distribusi dari suatu produk kerajinan yang dihasilkan. Sektor kerajinan ini di buat oleh tenaga pengrajin mulai dari design sampai proses hasil penyelesaiannya. Sektor kerajinan memanfaatkan serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu dan kayu dan nantinya akan dibuat menjadi seni kerajinan yang memiliki nilai jual yang tinggi. Sektor design merupakan jenis industri kreatif yang terkait dalam membuat design grafis, design interior dan design produk. Sistem kerja yang diterapkan dari industri kreatif ini adalah dengan melakukan konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan. Sektor fashion termasuk kedalam jenis industri kreatif yang terkait dalam pembuatan suatu produk pakaian, pembuatan aksesoris pakaian. Serta membuka konsultasi fashion dan mendistribusikan produk fashion yang telah di ciptakan. Industri ini terkait dengan produksi suati video, film dan juga membuka jasa fotografi. Sektor ini mencangkup berbagai hal dari mulai pembuatan sebuah film, produksi suatu film sampai memasarkan produk yang telah diciptakan termasuk ke dalam industri kreatif ini. Yang layak dijadikan salah satu produk kreatif dan menjadi wisata unggulan Indonesia adalah industri kuliner. Kuliner, kegiatan kreatif ini termasuk baru, ke depan direncanakan untuk dimasukkan ke dalam sektor industri kreatif dengan melakukan sebuah studi terhadap pemetaan produk makanan olahan khas Indonesia yang dapat ditingkatkan daya saingnya di pasar ritel dan pasar internasional. Studi dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi selengkap mungkin mengenai produk-produk makanan olahan khas Indonesia untuk disebarluaskan melalui media yang tepat, di dalam dan di luar negeri, sehingga memperoleh peningkatan daya saing di pasar ritel modern dan pasar internasional. Pentingnya kegiatan ini dilatarbelakangi bahwa Indonesia memiliki warisan budaya produk makanan khas, yang pada dasarnya merupakan sumber keunggulan komparatif bagi Indonesia. Hanya saja, kurangnya perhatian dan pengelolaan yang menarik, membuat keunggulan komparatif tersebut tidak tergali menjadi lebih bernilai ekonomis. Kegiatan ekonomi kreatif sebagai prakarsa dengan pola pemikir cost kecil tetapi memiliki pangsa pasar yang luas serta diminati masyarakat luas di antaranya usaha kuliner, asesoris, cetak sablon, bordir dan usaha rakyat kecil seperti penjual bala-bala, bakso, comro, gehu, batagor, bajigur dan ketoprak. Sementara sektor industri kreatif lainnya berbasis teknologi seperti industri permainan, musik, komputer dan industri pertelivisian. Industri kreatif tidak hanya mengandalkan kreatifitas secara manual, namun saat ini industri kreatif sudah meluas hingga mencangkup sektor teknologi. Mengikuti perkembangan zaman yang sudah canggih saat ini sektor industri kreatif sudah banyak yang berbasis teknologi. Sektor industri permainan sektor permainan merupakan salah satu jenis industri kreatif berbasis teknologi. Sektor industri permainan ini terkait dengan kreasi permainan, produksi permainan, tidak hanya bersifat untuk hiburan, permainan juga bisa memberikan edukasi dan ketangkasan otak tergantung dari jenis permainannya. Sektor industri ini berkaitan dengan, kreasi musik, komposisi sebuah lagu, menciptakan lagu hingga proses produksi saat rekaman. Saat ini sudah banyak software yang bisa digunakan untuk mengolah musik dalam sebuah PC atau laptop, sehingga semakin mendukung industri kreatif musik di Indonesia. Sektor industri layanan komputer dan perangkat lunak, berkaitan dengan pengembangan suatu teknologi yang di dalam nya meliputi, jasa layanan komputer, pengolahan data, pembuatan website, periklanan berbasis internet, desain sistem dan desain portal termasuk perawatannya. Sedangkan sektor industri pertelevisian ini berkaitan dengan, membuat kreasi, proses produksi hingga Pengemasan acara televisi. Yang bersangkutan dengan kebutuhan pertelevisian termasuk ke dalam jenis industri ini. Pertumbuhan Industri Kreatif Pertumbuhan industri kreatif mengalami peningkatan yang bervariatif dari berbgai sektor. Pertumbuhan industri kreatif di dorong dari berbagai sektor. Peranan industri kreatif sangat berperang penting terhadap pertumbuhan ekonomi secara global, baik ekonomi makro ataupun UKM. Industri kreatif di Indonesia sudah memberikan kontribusi yang baik untuk membantu perekonomian nasional. Hal tersebut bisa terlihat dari meningkatnya jumlah industri kreatif di Indonesia. Sehingga bisa memberikan kontribusi yang sangat baik untuk pertumbuhan ekonomi nasional. Perkembangan industri kreatif di Indonesia sudah semakin berkembang pesat itu sudah terlihat dari beberapa daerah di Indonesia. Tentu ini menjadikan industri kreatif sangat berpotensi bisa berkembang di Indonesia. Ekspor industri kreatif di indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya. Lalu apa saja yang melatarbelakangi perkembangan industri kreatif. Dalam dunia industri kreatif tentu harus memiliki kreatifitas yang tinggi. karena pelaku industri kreatif kebanyakan anak muda sehingga kreatifitas dan potensi mereka tanpa batas. Sehingga bisa membantu mendorong perkembangan industri kreatif di Indonesia. Kemajuan teknologi sangat mempengaruhi industri kreatif tanah air. Seperti yang kita tahu kecanggihan teknologi sudah menjadi pendukung bagi pelaku industri kreatif menengah. Tidak bisa dipungkiri lagi peran media sosial sangat memberikan potensi besar bagi pelaku bisnis tak terkecuali pelaku industri kreatif. Karena bisa menawarkan barang untuk di jual melalui media sosial, sehingga ikut membantu dalam perkembangan industri kreatif.(***) 46.Perlunya Sinergi Antara Media Sosial dan Media Jurnalistik Oleh: Aji Setiawan Media sosial dan jurnalisme sebaiknya bersinergi dan saling melengkapi. Agar tetap terpercaya,  media mainstream harus menjaga kredibilitas jurnalistiknya. Mereka hanya dapat bertahan di tengah media sosialdengan tetap mengelola integritas dan konsistensinya. Sejumlah studi menyebutkan, 2/3 pengguna internet di seluruh dunia mengunjungi media sosial seperti Facebook dan Twitter, dengan melupakan koran untuk mencari informasi. Selain itu, 51 persen orang yang berusia 18 hingga 24 tahun percaya bahwa media sosial lebih cepat menyajikan berita terkini daripada media mainstream. Media sosial dan media jurnalistik keduanya punya karakter yang berbeda. Media sosial hanya menyajikan rumor, sedangkan media mainstream menyampaikan kebenaran melalui konfirmasi, verifikasi dan investigasi. Berita adalah informasi yang diolah dengan semangat dan keterampilan profesionalisme wartawan dengan tujuan mengabdi kepada publik. Apabila media mainstream mempertahankan kebenaran tersebut, maka mereka akan tetap hidup. Karena pengguna media sosial akan tetap mencari kebenaran melalui media yang selama ini mereka percaya. Apakah media sosial mengancam keberadaan media mainstream? Kalau orang bilang media sosial ancaman bagi media mainstream, jawabannya bisa ya bisa tidak. Kehadiran media sosial justru menjadi tantangan bagi wartawan dan perusahaan-perusahaan media. Bisa jadi ini bukan ancaman, karena ketika dulu radio dianggap akan mematikan media cetak, ternyata terbukti tidak benar.Hingga kini koran dan radio masih dinikmati para pembaca dan pendengar setia. Media sosial seperti facebook, twitter, youtube, sebagai sarana percakapan semua orang tentang berbagai hal yang benar maupun yang belum tentu benar. Di Indonesia, situs jejaring sosial Twitter menempati urutan kedua dalam hal jumlah pengguna setelah Facebook. Namun mayoritas jejaring sosial atau media sosial ini justru digunakan hanya untuk hal-hal kurang produktif. Padahal, situs jejaring tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk hal-hal bermanfaat. Biasanya orang yang sering nge-tweet itu adalah orang yang tidak punya pekerjaan, kurang kerjaan. Lebih sering untuk update yang tidak produktif. Sekadar catatan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna terbesar ketiga dunia untuk Facebook. Begitu juga dengan akun Twitter. Dengan besarnya jumlah pengguna Facebook dan Twitter tersebut, pengguna seharusnya mampu memanfaatkan jejaring sosial tersebut untuk hal yang lebih bermanfaat. Misalnya untuk pertemanan, bisnis hingga periklanan.Dengan potensi jumlah pengguna yang besar di Twitter maupun Facebook, seharusnya pengguna bisa serius memanfaatkan untuk membangun bisnis digital. Salah satu yang bisa dilakukan adalah memanfaatkan situs jejaring sosial untuk mendistribusikan segala konten atau informasi dari media yang sedang dibangun. Di sisi lain, anak muda zaman sekarang lebih cenderung untuk mencari informasi melalui jejaring sosial. Sehingga peran guru dan orang tua akan sedikit terabaikan. Selain situs jejaring sosial, anak zaman sekarang juga memanfaatkan mesin pencari (search engine) untuk mencari informasi yang diperlukan. Kini anak zaman sekarang lebih suka tanya ke Google atau lewat temannya di situs jejaring sosial. Malah hasil pencarian bisa lebih lengkap, tidak hanya teks, tapi juga foto maupun video. Kecenderungan konten informasi berupa teks, foto dan video ini sudah disadari oleh pemilik media untuk membuat kontennya lebih beragam. Patut disadari oleh seluruh seluruh media jurnalistik saat ini harus mampu 3M, yaitu Multimedia, multiformat dan multiplatform. Padahal besaran anggaran perusahaan untuk iklan sebenarnya terbatas, sehingga media mau tidak mau harus kreatif membuat konten atau informasi agar pengiklan tetap datang. Dengan konten atau informasi bersifat 3M dan disalurkan melalui situs jejaring sosial, maka masyarakat akan lebih dekat dengan media mainstream. Situs jejaring sosial ini jadi lebih bermanfaat. Untuk itulah, informasi yang didapat dari media sosial dapat dipakai sebagai referensi awal dalam membuat berita. Media sosial dapat dimanfaatkan media mainstream untuk memantau dan mengoreksi berita.  Tidak itu saja, media sosial juga bisa memakmurkan perusahaan-perusahaan media mainstream. Di tengah maraknya pemanfaatan media mainstream sebagai alat partai politik untuk mencapai kekuasaan, media sosial punya peran sebagai penyeimbang informasi agar opini publik tak selamanya didominasi media mainstream. Dengan sistem kepemilikan media yang terpusat seperti sekarang, ada kekhawatiran pemilik modal menggiring konten informasi sesuai dengan kepentingannya. Sehingga, pemberitaan terhadap subjek yang didukung cenderung “berlebihan”. Dibutuhkan media alternatif yang dapat membantah dan meluruskan pemberitaan macam ini. Seharusnya, media sosial, seperti blog, Facebook dan Twitter, bisa mengisi posisi tersebut. Di sini media sosial berperan sebagai watchdog untuk media mainstream. Butuh partisipasi aktif dari warga kepada media mainstream yang berusaha memanipulasi opini publik. Ada baiknya jurnalis warga berperan sebagai ekstra redaksional yang bersikap kritis terhadap pemberitaan media mainstream. Apalagi, konten di media mainstream masih didominasi oleh berita elit dan peristiwa yang terjadi di Jakarta, sementara peristiwa dari daerah lain porsinya tidak banyak. Luka sebagian warga daerah ini bisa terobati dengan membuat sosial media berbasis komunitas yang menyuarakan isu-isu lokal. Cara murah namun efektif untuk membuat media sosial salah satunya adalah media komunitas adalah dengan menggunakan media online, bisa situs web ataupun blog. Industri media menuju single platform, yaitu Internet Protocol. Konvergensi menjadi hal yg tidak terelakkan untuk media. Sehingga harapannya warga tak hanya menjadi komentator yang berkoar di Facebook dan Twitter. Warga yang peduli pada suatu masalah, bisa menekan balik dengan membuat berita bantahan, menciptakan wacana baru dan analisa mendalam. Konten menarik dibuat dengan keterampilan jurnalistik yang bisa dipelajari oleh jurnalis warga. Maka perlu insting jurnalistik bisa dilatih. Kualitas tulisan juga bisa dilatih, bisa sama dengan standar media mainstream. Berita, foto, ataupun video yang dipublikasi oleh warga harus memiliki gimmick (sesuatu yang unik dan spesial) untuk menarik minat warga lain agar melihatnya. Karena kita perlu optimistis internet tidak akan memusnahkan industri media. Kini yang menjadi pesaing media cetak secara nyata adalah media televisi, radio, dan media digital. Kekuatan media cetak hingga kini masih dipersepsi sebagai trusted media dan sumber informasi kredibel. Dan yang mesti dilakukan dalam menjawab tantangan media sosial agar tetap bertahan adalah selalu kreatif baik dari sisi konten maupun bisnis. Caranya, dengan investasi pada pre-press dan percetakan serta kreatif premium dan inovasi redaksi. Karenanya media mainstream tak bisa melepaskan diri dari perkembangan internet. Karena internet menjadi sumber berbagai informasi bagi masyarakat dunia. Kini dan seterusnya, semua orang bahkan dapat menyampaikan informasi terkini secara bebas melalui media sosial dalam satu wadah yang bernama jurnalisme warga (citizen journalism) .Mungkin banyak informasi “sampah” (berita hoaks) di media sosial, tapi bisa jadi banyak juga informasi yang benar. Oleh sebab itu, media sosial dan jurnalisme sebaiknya bersinergi dan saling melengkapi. Agar tetap terpercaya,  media mainstream harus menjaga kredibilitas jurnalistiknya. Mereka hanya dapat bertahan di tengah media sosial yang semakin digemari, dengan tetap mengelola integritas dan konsistensinya dalam menyampaikan informasi.(*) 47.Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Korupsi mencakup penyalahgunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan. Korupsi memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan. Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, tetapi lebih sulit lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi. Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka saat mencalonkan diri menjadi pemimpin di masyarakat baik itu kursi legislatif (DPR/DPRD) maupun kursi eksekutif (Bupati/Gubernur). Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis. Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka. Mengukur korupsi – dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi, menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi Korupsi (berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini); Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator Kepemerintahan Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum;penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, tetapi bukan semuanya, adalah memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara). Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan. Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Kurangnya pendapatan dan besarnya pengeluaran baik sebelum menjabat atau saat menjabat serta kurangnya pengawasan dari luar menyebabkan pejabat sering menyalahgunakan kekuasaannya untuk korupsi. Mengenai kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari makin meningkat. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J Parker dalam tulisannya berjudul “Indonesia 1979: The Record of three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980: 123)”. Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa, ”di Indonesia di bagian pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan dan banyak di antaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang ekstra untuk pelayanan yang diberikan”. ( Sumber buku “Pemberantasan Korupsi karya Andi Hamzah, 2007). Rakyat sudah sangat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum. Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. Dampak Negatif Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien. Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktik korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), tetapi lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar negeri mereka sendiri. Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi pada masa depan. Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, tetapi merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka. Pemberantasan Korupsi Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang  pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus tersebut yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi, memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja dan pertanggung jawaban, tugas dan wewenang serta keanggotaannya diatur dengan Undang-undang. Undang-Undang ini dibentuk berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang tersebut di atas. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;  b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau  c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: 1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; 2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau  institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Untuk mendukung kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi yang sangat luas dan berat  dalam  pemberantasan  tindak  pidana korupsi, maka Komisi Pemberantasan Korupsi perlu didukung oleh sumber keuangan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam UndangUndang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk perwakilan di daerah provinsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Di samping itu, untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan tindak pidana korupsi tersebut bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh majelis hakim terdiri atas 2 (dua) orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Demikian pula dalam proses pemeriksaan baik di tingkat banding maupun tingkat kasasi juga dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 2 (dua) orang hakim dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc. Untuk menjamin kepastian hukum, pada tiap tingkat pemeriksaan ditentukan jangka waktu secara tegas. Untuk mewujudkan asas proporsionalitas, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai ketentuan rehabilitasi  dan kompensasi dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tugas dan wewenangnya bertentangan dengan Undang-Undang ini atau hukum yang berlaku.(***) 48.Peran Cendekiawan di Panggung Politik Cendekiawan atau intelektual ialah orang yang menggunakan kecerdasannya untuk bekerja, belajar, membayangkan, mengagas, atau menyoal dan menjawab persoalan tentang berbagai gagasan. Kata cendekiawan berasal dari Chanakya, seorang politikus dalam pemeritahan Chandragupta dari Kekaisaran Maurya. Secara umum, terdapat tiga pengertian modern untuk istilah “cendekiawan”, yaitu :mereka yang amat terlibat dalam idea-idea dan buku-buku; mereka yang mempunyai keahlian dalam budaya dan seni yang memberikan mereka kewibawaan kebudayaan, dan yang kemudian mempergunakan kewibawaan itu untuk mendiskusikan perkara-perkara lain di khalayak ramai. Golongan ini dipanggil sebagai “intelektual budaya”; dari segi Marxisme, mereka yang tergolong dalam kelas dosen, guru, pengacara, wartawan, dan sebagainya. Oleh karena itu, cendekiawan sering dikaitkan dengan mereka yang lulusan universitas. Namun, Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata: “Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat” Berbeda dengan dunia politik. Politikus (jamak: politisi) adalah seseorang yang terlibat dalam politik, dan kadang juga termasuk para ahli politik. Politikus juga termasuk figur politik yang ikut serta dalam pemerintahan. Dalam demokrasi Barat, istilah ini biasa terbatas kepada mereka yang menjabat atau sedang mencoba mendapatkannya daripada digunakan untuk merujuk kepada para ahli yang dipekerjakan oleh orang-orang yang tersebut di atas. Perbedaan seperti ini tidak begitu jelas jika berpedoman pada pemerintahan yang non-demokratis. Dalam sebuah negara, para politikus membentuk bagian eksekutif dari sebuah pemerintah dan kantor sang pemimpin negara serta bagian legislatif, dan pemerintah di tingkat regional dan lokal. Salah satu hal menarik untuk dibicarakan setelah pesta demokrasi adalah peran kaum inteletual dalam ranah perpolitikan Indonesia. Banyak ulama yang mencoba terjun ke dalam kancah politik, dengan alasan politik sebagai sarana memperjuangkan kebenaan. Situasi semacam itu ternyata menjadi sorotan masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah ulama benar-benar mampu berpolitik? Apakah dengan terjunnya kaum inteletual dalam bidang politik dapat mengubah suasana perpolitikan di Indonesia? Ada pendapat yang menyatakan agar kaum inteltual terdidik mundur dari dunia politik, karena tugasnya membela kebenaran kepada masyarakat. Politik itu kotor, sedangkan dalam sejarah kejayaan Islam, peran intelektual sangat besar. Khalifah Islam adalah para pemimpin yang selalu dan sangat memerhatikan masalah ilmu pengetahuan dan keintelektualan. Di belakang khalifah adalah deretan orang yang ahli dalam bidang masing-masing. Maka tak ayal kalau khilafah Islamiyah bisa mencapai kejayaan karena keintelektualannya. Peranan kaum intelektual dahulu sebagai inspirator kemerdekaan Indonesia. Di antaranya HOS Cokroaminoto, Dr Wahidin Sudiro Husodo, Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, M Natsir dan sejumlah intelektual ulama serta intelektual lainnya. Pendapat yang berusaha untuk memisahkan intelektual dengan politik sebenarnya pendapat yang sekuler. Pendapat yang mengotomi politik itu sendiri. Politik dinilai sebagai sesuatu yang hina, sehingga agama yang sifatnya suci tidak diperbolehkan masuk. Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah adalah jargon yang banyak membuat ilmuwan atau ulama yang terjun di dunia politik kehilangan arah tujuannya. Bila hal seperti ini terus terjadi dan berkembang di dalam dunia intelektual, maka akan menjadi momok bagi ulama maupun ilmuwan. Akhirnya mereka akan makin jauh dari dunia politik, sehingga terciptalah sebuah negara yang sekuler. Negara yang asas pemikirannya selalu berlandaskan untung dan rugi, tanpa menghiraukan etika dan moral. Maka kita perlu mempersandingkan kembali antara intelektual dengan politik, keduanya saling melengkapi. Politik tidak akan terkontrol tanpa adanya kehadiran intelektual. Politik yang busuk adalah politik yang tanpa dilandasi intelektual. Politik dianggap kotor dan kejam karena tidak dikawal dengan intelektual. Jadi kehadiran intelektual dalam dunia politik sangatlah penting. Keduanya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan. Sekarang ini Indonesia tengah dilanda krisis politikus yang intelek, sehingga elite politik banyak yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam pikirannya hanyalah sebuah alat untuk meraih kenikmatan dunia. Pemilu baginya hanyalah ajang perlombaan antara menang dan kalah. Ada perbedaan mendasar politisi Indonesia dulu dan sekarang. Politisi zaman dulu itu juga seorang intelektual, kalau politisi yang sekarang tentu berbeda dengan politidi jaman dahulu yang penuh patriotisme dan idealisme. Politisi zaman dulu itu mereka kuat literasinya dan menguasai banyak bahasa. Para tokoh bangsa di masa lalu merupakan politikus yang amat berani. Tidak jarang saling bergesekan karena perbedaan ideologi. Sebab meski perbedaan ideologi di masa awal kemerdekaan itu amat tajam antara Islam, nasionalis, komunis/sosialis, namun tak sampai dibawa para tokoh itu ke ranah personal. Cukup berhenti di ranah ideologi atau pandangan politik. Misalnya saja Soekarno yang kala itu ditahan Orde Baru amat percaya tugasnya bisa digantikan wakilnya Muhammad Hatta yang kerap berbeda pandangan dengannya. Bahkan seorang Isa Anshary (tokoh Masyumi) kala itu bisa bercengkerama dengan D.N Aidit (pemimpin Partai Komunis Indonesia-PKI), padahal lawan luar biasa itu. Maka, tidak bisa disalahkan kalau Indonesia tidak bisa bangkit lagi seperti zaman perjuangan dulu. Tokoh elite politiknya tidak sebobot dengan politikus dulu. Contohnya, Soekarno dan Hatta. Mereka adalah tokoh politik dan juga tokoh intelektual. Sekarang Indonesia perlu berbenah diri kembali. Indonesia perlu mencetak generasi penerus politikus yang akan memikirkan bangsa dengan politikus yang intelek. Indonesia memerlukan pemimpin yang bisa memadukan antara intelektual dan politik, sehingga dapat bangkit kembali dari penjajahan dan keterpurukan. (*) 49. Masa Depan Konstelasi Politik Indonesia Koalisi Indonesia Kerja adalah nama koalisi yang mendukung pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin pada Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2019. Koalisi ini sendiri secara resmi berdiri bersamaan dengan diserahkannya nama calon Presiden-Wakil Presiden RI Joko Widodo-Ma'ruf Amin ke Komisi Pemilihan Umum pada 10 Agustus 2018. Penamaan koalisi ini merupakan lanjutan dari Koalisi Indonesia Hebat yang pernah digunakan oleh calon presiden petahana Joko Widodo pada kampanye tahun 2014 yang lalu. Koalisi ini terdiri atas 10 partai, antara lain Partai PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai PKB, Partai PPP, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai PSI, Partai Perindo, Partai PKPI, dan PBB. Selain itu, jumlah tim kampanye nasional partai ini berjumlah 150 orang. Adapun koalisi ini memiliki 11 direktorat antara lain perencanaan, konten, komunikasi politik, media dan sosmed, kampanye, pemilih muda, penggalangan dan penjaringan, logistik dan Alat Peraga Kampanye, hukum dan advokasi serta saksi dan relawan. Dinamakan koalisi Indonesia Kerja karena dengan kerja, kerja, dan kerja, Pak Jokowi mengubah paradigma dan orientasi politik selama ini, politik yang hanya mengabdi kepada kekuasaan dan uang saja. Berbeda dengan Koalisi Adil Makmur yang Koalisi Indonesia Adil Makmur adalah koalisi partai politik di Indonesia yang mendukung Prabowo Subianto–Sandiaga Uno dalam Pemilihan Presiden tahun 2019. Koalisi ini terdiri atas 5 partai, antara lain Partai Gerindra,Partai PKS,Partai PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya. Selain itu, jumlah badan pemenangan nasional partai ini berjumlah 800 orang. Koalisi ini resmi dibubarkan pada 28 Juni 2019, pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan pasangan Prabowo–Sandi. Melihat isu-isu terkini yang berkembang dan masih marak di media massa nasional maupun media sosial tentang hasil kompromi politik dan dan rekonsiliasi nasional setelah melihat hasil keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) pada hari Kamis (27/6) dan diperkuat dengan penetapan Komisi Pemilihan Umum pada hari Minggu (30/6) yang memenangkan Pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menggunguli pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Keputusan MK pada 27 Juni 2019 yang diperkuat dengan keputusan KPU telah menetapkan presiden dan wapres yang yang bersifat final dan mengikat serta terbuka untuk semua pihak yang harus ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia dan merupakan mahkota demokrasi dari sistem Pemilihan Umum serentak baik Pilpres, DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD pada 27 April yang lalu. Dengan ditetapkannya pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebagai presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum, maka tinggal selangkah lagi yakni pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dijadwalkan berlangsung pada 20 Oktober 2019 mendatang. Menanti Koalisi Indonesia Kerja (KIK), sangat menarik pidato saat penetapan di KPU Jakarta, 30 Juni 2019, ”Mulai besok kita sudah kerja,” kata Jokowi. Parpol Koalisi Adil Makmur dinyatakan bubar (28/6) setelah melihat hasil keputusan MK dan mempersilahkan partai koalisi pendukungnya untuk menentukan sikap politik masing-masing partai, apakah nantinya akan berada di jalur oposisi atau masuk ke dalam pemerintah. Bahkan Prabowo sendiri mempersilahkan apabila Koalisi Adil Makmur yang terdiri dari Partai Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat dan Partai Berkarya serta partai pengusung Prabowo yakni Partai Gerindra jika bergabung dengan Pemerintah. Sementara ini partai Gerinda akan tetap berjuang di jalur legislatif. Maka melihat kondisi sekarang ini banyak sekali bargaining posision (tawaran politis) menteri (eksekutif)bagi partai pendukung Prabawo-Sandiaga seperti mengarah kepada Demokrat dan bahkan Partai Gerinda sendiri. Idealnya memang harus ada oposisi di pemerintahan sebagai lembaga kontrol pemerintah. Perbincangan dan opini publik ini tidak menarik karena yang muncul adalah perbincangan jabatan menteri dan bagi-bagi kekuasaan. Sehingga melihat kontelasi politik yang ada sekarang ada upaya rekonsiliasi, Presiden Jokowi yang terpilih kembali untuk lima tahun ke depan, memiliki tugas berat, yakni menciptakan rekonsiliasi dengan para pendukung Prabowo. Kampanye berbulan-bulan telah membuat massa pendukung menjadi sangat militan sehingga muncul perpecahan dalam di antara pendukung kedua capres. Maka tugas pertama Presiden Jokowi adalah berusaha merangkul para pendukung Prabowo. Menurutnya beban untuk menyatukan kembali lebih berada di pihak Joko Widodo sebagai pemenang karena mereka memiliki segalanya. Sekalipun begitu, Jokowi sangat terbuka membuka koalisi dengan pihak Koalisi Adil Makmur. Presiden terpilih Joko Widodo menyebut tengah menunggu restu dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK) untuk mengajak Prabowo dan Partai Gerindra masuk dalam barisan koalisi. Namun, pada dasarnya ia membuka peluang bagi rivalnya, Prabowo Subianto untuk bergabung di dalam pemerintahan 2019-2024. ”Masih perlu waktu karena saya pun harus mengajak bicara untuk yang sudah ada di dalam, yaitu Koalisi Indonesia kerja,” kata Jokowi dalam konferensi pers usai pembacaan putusan hasil Pilpres 2019 di Kantor KPU , Jakarta, Minggu (30/6). Meski begitu, Jokowi memastikan ia membuka kesempatan bagi siapapun untuk masuk ke dalam koalisi untuk membangun Indonesia. Sebelumnya, KPU menetapkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pasangan calon terpilih. Penetapan dilakukan usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Jokowi-Ma'ruf dinyatakan menang Pilpres 2019 dengan perolehan 85.607.362 suara atau 55,50 persen suara sah. Sementara Paslon 02 Prabowo-Sandi dinyatakan memperoleh 68.650.239 suara atau 45,50 persen suara sah. Rekonsiliasi adalah perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula sebagai perbuatan untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam kaca mata Agama Islam, hubungan itu adalah berselempangkan tali silaturahmi (shilah ar-rahim dibentuk dari kata shilah dan ar-rahim. Kata shilah berasal dari washala-yashilu-wasl(an)wa shilat(an), artinya adalah hubungan. Adapun ar-rahim atau ar-rahm, jamaknya arhĆ¢m, yakni rahim atau kerabat. Asalnya dari ar-rahmah (kasih sayang); ia digunakan untuk menyebut rahim atau kerabat karena orang-orang saling berkasih sayang, karena hubungan rahim atau kekerabatan itu. Di dalam al-Quran, kata al-arhĆ¢m terdapat dalam tujuh ayat, semuanya bermakna rahim atau kerabat. Dengan demikian, secara bahasa shilah ar-rahim (silaturahmi) artinya adalah hubungan kekerabatan. Banyak nash syariat yang memuat kata atau yang berkaitan dengan shilah ar-rahim. Maknanya bersesuaian dengan makna bahasanya, yaitu hubungan kekerabatan. Syariat memerintahkan agar kita senantiasa menyambung dan menjaga hubungan kerabat (shilah ar-rahim). Sebaliknya, syariat melarang untuk memutuskan silaturahim. Rekonsiliasi menekankan makna perjalanan hidup manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT, yang paling taqwa disisi Allah adalah siapa saja yang bekerja dengan ikhlas tidak membedakan jabatan dalam pekerjaan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 yang artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Salah satu cara bertakwa kepada Allah adalah dengan menjaga tali silaturahmi, mengutip sabda Rasululloh, Kebajikan yang cepat pahalanya ada dua yaitu, berbakti kepada apa saja karena Allah dan orang yang rajin silaturahim. Dan ada dua yang siksanya cepat, pertama orang yang berbuat kekejian dan kedua orang yang memutus tali silaturrahim (HR.Ibnu Majjah). Jadi bukan masalah jabatan menteri dan bagi-bagi kekuasaan yang menarik saat melihat isu dan perkembangan pasca keputusan MK dan KPU tentang Capres-Cawapres saat ini. Karena jabatan menteri itu adalah adalah hak prerogatif presiden yang terpilih nantinya sesuai dengan pasal 17 UUD 1945. Ketentuan dalam pengaturan pembentukan, perubahan dan pembubaran kementrian negara diatur dalam UUD karena belajar dari praktik ketatanegaraan yang pernah terjadi pada era sebelumnya, yakni pembubaran depeartemen oleh presiden terpilih. Akibatnya terjadi ketegangan yang berakibat berat, yakni kesulitan menyalurkan PNS pada departemen itu , serta kesulitan mengatur tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam melanjutkan program pembangunan, yang sebelumnya menjadi tugas departemen yang dibubarkan itu. Belajar dari kejadian tersebut, di dalam pembukaan UUD 1945 dimasukan ketentuan bahwa pembentukan, perubahan dan pembubaran kementrian oleh presiden diatur dalam UUD. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan hal prerogatif Presiden mempunyai aturan yang baku yang disusun DPR bersama Presiden sehingga tidak sesuai kehendak presiden saja. Karena diatur dalam UU, hal itu berarti kepentingan dan aspirasi rakyat juga diwadahi dan menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketentuan ini juga merupakan perjuangan saling mengawasi dan saling mengimbangi antar lembaga negara yaitu Presiden dan DPR. Bentuk pengaturan lebih lanjut dalam UU yang mengatur kementrian negara adalah ditetapkan dalam UU No 39 tahun 2008 tentang kementrian negara. (***) 50.Pentingnya Oposisi Dalam Parlemen Di saat sebagian partai yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merapat ke petahana, misalnya PAN dan Demorat, Gerindra condong memilih sisi seberangnya. Kemungkinan besar Gerindra jadi oposisi. Joko Widodo-Ma’ruf Amin relatif tidak menghadapi tantangan berat karena berhadapan dengan parlemen yang dikuasai koalisi Indonesia Kerja. Seperti diketahui, mayoritas kursi di parlemen dikuasai oleh Koalisi Indonesia Kerja. Demikian pula nantinya kursi pimpinan DPR dan MPR. Lalu, apa yang bisa dilakukan para legislator dari partai oposisi Koalisi Indonesia Adil Makmur yang sudah dinyatakan bubar? Oposisi dalam dunia politik berarti partai penentang di dewan perwakilan dsb yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Beberapa parpol ada yang menyebut dirinya sebagai partai penyeimbang. Oposisi lazim diterjemahkan menjadi oposisi. Kata itu berasal dari bahasa Latin oppōnere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata oposisi didefinisikan dalam dua bidang yang berbeda. Pada dunia politik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa’. Sementara dalam bidang linguistik, arti kata oposisi dimaknai sebagai ‘pertentangan antara dua unsur bahasa untuk memperlihatkan perbedaan arti’. Dari kedua arti kata oposisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata oposisi dalam pemaknaan linguistik nampaknya kurang akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kebanyakan orang Indonesia lebih sering mengaitkan arti kata oposisi dengan dunia politik. Orang-orang pun masih sering mendefinisikan arti kata oposisi sebagai sesuatu yang berlawanan dengan arti kata koalisi. Padahal arti kata oposisi bukanlah antonim dariarti kata koalisi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata koalisi adalah ‘kerja sama antara beberapa partai untuk memperoleh kelebihan suara dalam parlemen’. Arti kata koalisi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini memang lebih cenderung ke dalam dunia politik. Sebuah partai politik tidak akan mampu mengusung calon presiden dan calon wakil presiden tanpa berkoalisi. Hal ini disebabkan karena umumnya jumlah suara pemilih dalam suatu partai politik tidak akan cukup untuk memenuhi batas minimum suara yang diperlukan dalam mengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Berdasarkan definisi tersebut, partai politik dalam pemerintahan seakan terbagi dalam dua kubu. Kalau tidak menjadi partai koalisi berarti menjadi partai oposisi. Hal ini lah yang menyebabkan kebanyakan orang berpikir jika arti kata koalisi dan arti kata oposisi merupakan dua kata yang saling berlawanan. Kenyataannya, koalisi bukanlah antonim dari oposisi. Arti kata koalisi bersinonim dengan kata aliansi, asosiasi dan federasi yang memiliki makna ‘bergabung’. Sedangkan arti kata oposisi bersinonim dengan kata antagonisme dan antitesis yang bermakna ‘bertentangan’. Seperti yang kita tahu, bergabung dan bertentangan bukanlah dua kata yang dapat diantonimkan. Sikap oposisi dari pecahan Koalisi Adil Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi dalam Pilpres kemarin ini harus dicermati karena berpotensi adanya upaya menjegal pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Menurut dia, ada dua hal yang bisa dilakukan Jokowi-JK dan koalisinya. Pertama, Jokowi harus menggunakan kemampuan persuasif untuk menambah jumlah partai pendukung. Hal ini sewajarnya memang harus dilakukan Jokowi. Kedua, Dodi mengatakan, pemerintah, dalam hal ini Jokowi, harus dapat memenangi hati publik. Meski menang kuat di parlemen, Jokowi dapat menggunakan kekuatan rakyat untuk menilai siapa yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat dibanding kepentingan politik. Substansi kebijakan yang dapat dilakukan Jokowi, misalnya, dengan membangun hubungan antara pusat dan daerah dan mengedepankan pembangunan infrastruktur. Serta tantangan yang paling terkini adalah menyatukan kembali seluruh komponen politis dan kebangsaan paska keputusan MK dan KPU. Kemudian, membuat kebijakan-kebijakan yang dapat langsung dipahami dan dirasakan oleh rakyat. Kebijakan-kebijakan itu di antaranya berkaitan dengan pemberantasan korupsi, peningkatan taraf ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem politik dan ketatanegaraan kita memang tidak dikenal istilah partai oposisi. Tetapi secara substansi dan fungsional, peran oposisi banyak dipraktikkan oleh partai politik diluar pemerintahan sejak zaman Soekarno hingga era Jokowi saat ini. Oposisi merupakan bagian dari artikulasi politik yang berfungsi sebagai kontrol dalam pengambilan kebijakan politik pemerintah, apakah kebijakan tersebut untuk kepentingan rakyat atau sebaliknya untuk penguasa semata dan kroninya. Selama periode demokrasi terpimpin (1959-1965) Soekarno, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indoensia (PSI) merupakan partai oposisi yang bersuara lantang karena menganggap Soekarno telah bertindak sewenang-wenang mengangkat anggota parlemen sendiri sebagai kepala Negara yang tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945. Di bawah rezim otoriter Soeharto, partai oposisi menghilang walau kerap disuarakan oknum-oknum politisi pemberani di parlemen seperti Sri Bintang Pamungkas dari PPP yang berani menolak laporan pertanggungjawaban Soeharto 1993 dan di-recall dari keanggotaan DPR. Melalui regulasi dan fusi partai, Soeharto menciptakan hegemoni kekuasaan (power hegemony) dari pemimpin otoriter-totaliter menuju diktator-antagonis. Soeharto menggunakan militer sebagai pilar utama kekuasaan sentralistik dengan dua strategi yaitu, pertama, Menciptakan politik yang bebas dari konflik idiologis dan berdasarkan konsensus. Sekarang, PDIP sebagai partai berkuasa tidak seharusnya risih dan alergi keberadaan partai Gerindra dan PKS yang memosisikan diri sebagai partai oposisi pemerintah. Apa yang disampaikan oleh kedua partai tersebut hanya mengganti peran PDIP yang pernah dimainkan dimasa lalu sebagai penyeimbang untuk meluruskan kebijakan yang dinilai keliru pula. Makna Positif Oposisi baik dalam bentuk personal maupun komunal (pressure group) atau dalam bentuk partai politik sebagai kelompok penyeimbang kekuatan (balance of power). Dari pemerintah yang berkuasa, ada kecenderungan bahwa penguasa akan melanggengkan kekuasaannya dan membuat kebijakan sesuka hati bila tidak ada kelompok masyarakat atau partai politik yang mengoreksinya. Dalam konteks negara yang dibangun diatas paradigma kontrak sosial (Social Contract) maka kepala negara dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik harus sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat sebagai mitra kontrak dalam menjalankan pemerintahan. Partai politik merupakan perwujudan aggregasi aspirasi masyarakat berhadapan dengan pemerintah. Indonesia sebagai negara yang menganut Social Contract dalam pelaksanaan pemerintahan hendaknya memosisikan rakyat secara sejajar yang diwujudkan dalam bentuk representasi di parlemen dengan bersama-sama membuat keputusan dalam berbagai urusan kepentingan politik. Tindakan kepala negara atau pemerintahan yang otoriter-represif dalam pengambilan keputusan akan melahirkan kelompok dari masyarakat atau partai politik oposisi menjadi Counter Policy dengan keputusan pemerintah. Inilah yang melahirkan partai oposisi ditengah konfigurasi politik nasional yang dinamis. Sayangnya, oposisi sering dianggap sebagai musuh dan diberi stigma negatif oleh pemerintahan yang otoriter, partai oposisi tidak mendapat ruang gerak yang layak bahkan negara mengharamkan keberadaannya. Hanya pemerintahan diktator yang melarang munculnya partai oposisi yang perannya sangat bermanfaat bagi masyarakat. Peran penting partai oposisi setidaknya ada lima hal yakni pertama, oposisi sebagai check and balance sebagai pemerhati dan pengontrol perilaku dan kinerja negara (pemerintah). Secara budaya, protes rakyat terhadap raja yang dilakukan dengan cara Pepe, berjemur ditengah terik matahari, telah ada ratusan tahun yang lalu dikalangan masyarakat Jawa. Kedua, oposisi berperan sebagai counter player, yang tidak bisa diremehkan atau dilecehkan oleh pemerintah karena oposisi merupakan penyeimbang opini publik yang melakukan kritik secara konsepsional, kuat dalam visi dan strategik untuk memperjuangkan aspirasi konstituennya. Di sinilah kelompok oposisi menurut Herbert Feith harus kuat dan solid. Ketiga, oposisi berperan sebagai sparing partner pemerintah, untuk menentukan kebijakan-kebijakan sosial-politik agar tetap pada rel pemihakan terhadap rakyat. Ini penting agar pemerintah tidak berlaku diskriminatif. Keempat, oposisi berperan sebagai advocatus diaboli-devils advocate yang memainkan peran sebagai setan yang menyelamatkan masyarakat, justru dengan mengganggu terus menerus. Dalam peran tersebut oposisi mengemukakan titik kelemahan dari suatu kebijakan pemerintah sehingga apabila kebijaksanaan itu diterapkan, segala hal yang dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan sudah lebih dulu ditekan seminimal mungkin. Kelima, kehadiran oposisi berkaitan dengan masalah accountability atau pertanggung jawaban akan lebih diperhatikan oleh pemerintah. Tidak semua hal akan diterima begitu saja, seakan-akan dengan sendirinya jelas atau beres dalam pelaksanaannya. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan memperttanggung jawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasarnya, apa pula tujuan dan urgensinya, serta dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan. Dari kelima peran oposisi yang dimainkan secara simultan oleh partai politik akan melahirkan pemerintahan yang partisipatif, terbuka dan akuntabel agar melaksanakan roda pemerintahan yang benar-benar adil menuju masyarakat yang dicita-citakan; masyarakat adil dan makmur tanpa diskriminasi dan perlakuan yang sama didepan hukum.(***) 51. Tantangan Menteri Muda di Kabinet Jokowi -Ma’ruf Penunjukan Mentri muda dalam kabinet pasangan terpilih, Jokowi Ma'ruf Amin merupakan hak prerogatif Presiden yang diatur dalam UUD 1945 pasal 17. Alasan Jokowi makan menunjuk menteri muda, karena menteri yang berusia dapat menjawab perkembangan zaman. Jadi bukan masalah jabatan menteri dan bagi-bagi kekuasaan yang menarik saat melihat isu dan perkembangan pasca keputusan MK dan KPU tentang Capres-Cawapres saat ini. Karena jabatan menteri itu adalah adalah hak prerogatif presiden yang terpilih nantinya sesuai dengan pasal 17 UUD 1945. Ketentuan dalam pengaturan pembentukan, perubahan dan pembubaran kementrian negara diatur dalam UUD karena belajar dari praktik ketatanegaraan yang pernah terjadi pada era sebelumnya, yakni pembubaran depeartemen oleh presiden terpilih. Akibatnya terjadi ketegangan yang berakibat berat, yakni kesulitan menyalurkan PNS pada departemen itu , serta kesulitan mengatur tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam melanjutkan program pembangunan, yang sebelumnya menjadi tugas departemen yang dibubarkan itu. Belajar dari kejadian tersebut, di dalam pembukaan UUD 1945 dimasukan ketentuan bahwa pembentukan, perubahan dan pembubaran kementrian oleh presiden diatur dalam UUD. Hal ini dimaksudkan agar pelaksanaan hal prerogatif Presiden mempunyai aturan yang baku yang disusun DPR bersama Presiden sehingga tidak sesuai kehendak presiden saja. Karena diatur dalam UU, hal itu berarti kepentingan dan aspirasi rakyat juga diwadahi dan menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketentuan ini juga merupakan perjuangan saling mengawasi dan saling mengimbangi antar lembaga negara yaitu Presiden dan DPR. Bentuk pengaturan lebih lanjut dalam UU yang mengatur kementrian negara adalah ditetapkan dalam UU No 39 tahun 2008 tentang kementrian negara. Mentri muda menurut pertimbangan Jokowi lebih mengerti berbagai perkembangan dibanding yang berusia lebih tua. Apalagi perkembangan yang berkaitan dengan bidang teknologi Sekarang ini zamannya sudah zaman milenial. Meskipun demikian, kepada Menteri muda dapat menunjukkan sikap yang santun kepada yang lebih tua. Dan juga perlu diingatkan yang muda juga tidak enggan untuk belajar kepada yang lebih senior. Usia muda juga membuat dia harus lebih banyak lagi belajar dari yang lebih tua. Jadi kalau misalnya tokoh-tokoh muda nanti yang diminta masuk ke kabinet bisa tetap rendah hati dan mau sowan ke yang lebih tua. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengisyaratkan pembentukan kementerian baru sesuai dengan kebutuhan dan tantangan zaman. Salah satu upayanya adalah memberi tempat buat anak muda dalam kabinet periode keduanya. Presiden Jokowi blak-blakan soal komposisinya menterinya pada periode kedua sebagai Presiden Indonesia akan banyak akan diisi anak-anak muda, partai politik, kalangan profesional. Adapun kriterianya adalah memiliki kemampuan mengeksekusi program dengan cepat dan tepat, menguasai kemampuan manajerial, dinamis fleksibel dan mengikuti perubahan zaman dan berusia muda. Presiden Joko Widodo mengaku tidak akan membedakan latar belakang profesional atau partai politik dalam menyusun kabinet pemerintah 2019-2024. Sebab, banyak juga kader partai politik yang merupakan profesional di bidangnya. “Kabinet diisi oleh orang ahli di bidangnya. Jangan sampai dibeda-bedakan ini dari profesional dan ini dari (partai) politik, jangan seperti itulah, karena banyak juga politisi yang profesional,” kata Jokowi. Perlu diketahui Koalisi Indonesia Kerja adalah nama koalisi yang mendukung pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin pada Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia tahun 2019. Koalisi ini sendiri secara resmi berdiri bersamaan dengan diserahkannya nama calon Presiden-Wakil Presiden RI Joko Widodo-Ma'ruf Amin ke Komisi Pemilihan Umum pada 10 Agustus 2018. Penamaan koalisi ini merupakan lanjutan dari Koalisi Indonesia Hebat yang pernah digunakan oleh calon presiden petahana Joko Widodo pada kampanye tahun 2014 yang lalu. Koalisi ini terdiri atas 10 partai, antara lain Partai PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai PKB, Partai PPP, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai PSI, Partai Perindo, Partai PKPI, dan PBB. Selain itu, jumlah tim kampanye nasional partai ini berjumlah 150 orang. Adapun koalisi ini memiliki 11 direktorat antara lain perencanaan, konten, komunikasi politik, media dan sosmed, kampanye, pemilih muda, penggalangan dan penjaringan, logistik dan Alat Peraga Kampanye, hukum dan advokasi serta saksi dan relawan. Dinamakan koalisi Indonesia Kerja karena dengan kerja, kerja, dan kerja, Pak Jokowi mengubah paradigma dan orientasi politik selama ini, politik yang hanya mengabdi kepada kekuasaan dan uang saja. Berbeda dengan Koalisi Adil Makmur yang Koalisi Indonesia Adil Makmur adalah koalisi partai politik di Indonesia yang mendukung Prabowo Subianto–Sandiaga Uno dalam Pemilihan Presiden tahun 2019. Koalisi ini terdiri atas 5 partai, antara lain Partai Gerindra,Partai PKS,Partai PAN, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya. Selain itu, jumlah badan pemenangan nasional partai ini berjumlah 800 orang. Koalisi ini resmi dibubarkan pada 28 Juni 2019, pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan pasangan Prabowo–Sandi. Melihat isu-isu terkini yang berkembang dan masih marak di media massa nasional maupun media sosial tentang hasil kompromi politik dan dan rekonsiliasi nasional setelah melihat hasil keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) pada hari Kamis (27/6) dan diperkuat dengan penetapan Komisi Pemilihan Umum pada hari Minggu (30/6) yang memenangkan Pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menggunguli pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Keputusan MK pada 27 Juni 2019 yang diperkuat dengan keputusan KPU telah menetapkan presiden dan wapres yang yang bersifat final dan mengikat serta terbuka untuk semua pihak yang harus ditaati oleh seluruh rakyat Indonesia dan merupakan mahkota demokrasi dari sistem Pemilihan Umum serentak baik Pilpres, DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD pada 27 April yang lalu. Dengan ditetapkannya pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin sebagai presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum, maka tinggal selangkah lagi yakni pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dijadwalkan berlangsung pada 20 Oktober 2019 mendatang. Parpol Koalisi Adil Makmur dinyatakan bubar (28/6) setelah melihat hasil keputusan MK dan mempersilahkan partai koalisi pendukungnya untuk menentukan sikap politik masing-masing partai, apakah nantinya akan berada di jalur oposisi atau masuk ke dalam pemerintah. Bahkan Prabowo sendiri mempersilahkan apabila Koalisi Adil Makmur yang terdiri dari Partai Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat dan Partai Berkarya serta partai pengusung Prabowo yakni Partai Gerindra jika bergabung dengan Pemerintah. Sementara ini partai Gerinda akan tetap berjuang di jalur legislatif. Maka melihat kondisi sekarang ini banyak sekali bargaining posision (tawaran politis) menteri (eksekutif)bagi partai pendukung Prabawo-Sandiaga seperti mengarah kepada Demokrat dan bahkan Partai Gerinda sendiri. Idealnya memang harus ada oposisi di pemerintahan sebagai lembaga kontrol pemerintah. Perbincangan dan opini publik ini tidak menarik karena yang muncul adalah perbincangan jabatan menteri dan bagi-bagi kekuasaan. Sehingga melihat kontelasi politik yang ada sekarang ada upaya rekonsiliasi, Presiden Jokowi yang terpilih kembali untuk lima tahun ke depan, memiliki tugas berat, yakni menciptakan rekonsiliasi dengan para pendukung Prabowo. Kampanye berbulan-bulan telah membuat massa pendukung menjadi sangat militan sehingga muncul perpecahan dalam di antara pendukung kedua capres. Maka tugas pertama Presiden Jokowi adalah berusaha merangkul para pendukung Prabowo. Menurutnya beban untuk menyatukan kembali lebih berada di pihak Joko Widodo sebagai pemenang karena mereka memiliki segalanya. Sekalipun begitu, Jokowi sangat terbuka membuka koalisi dengan pihak Koalisi Adil Makmur. Presiden terpilih Joko Widodo menyebut tengah menunggu restu dari Koalisi Indonesia Kerja (KIK) untuk mengajak Prabowo dan Partai Gerindra masuk dalam barisan koalisi. Namun, pada dasarnya ia membuka peluang bagi rivalnya, Prabowo Subianto untuk bergabung di dalam pemerintahan 2019-2024. Meski begitu, Jokowi memastikan ia membuka kesempatan bagi siapapun untuk masuk ke dalam koalisi untuk membangun Indonesia. Sebelumnya, KPU menetapkan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai pasangan calon terpilih. Penetapan dilakukan usai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan paslon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Jokowi-Ma'ruf dinyatakan menang Pilpres 2019 dengan perolehan 85.607.362 suara atau 55,50 persen suara sah. Sementara Paslon 02 Prabowo-Sandi dinyatakan memperoleh 68.650.239 suara atau 45,50 persen suara sah. (***) 52. Ampunan Allah SWT Musibah datang silih berganti di berbagai daerah di negeri kita.Masih teringat tsunami Aceh dan gempa bumi Padang. Yang terbaru, belum selesai bencana gempa bumi di Lombok, muncul lagi gempa bumi di Palu, Sulawesi Tengah, yang membawa korban jiwa maupun harta benda yang tak terkira. Tidak ada yang lebih patut untuk dilakukan selain menjadikan semua kejadian alam ini sebagai bahan untuk mengevaluasi diri dalam hubungan dengan Sang Pencipta dan dengan sesama manusia. Bagi mereka yang telah atau sedang mengalami keadaan tersebut, juga bagi siapa saja yang tidak ingin mengalaminya, tak ada jalan lain kecuali segera bertobat, memohon ampunan dan perlindungan kepada Allah SWT karena Dia-lah yang menentukan se gala kejadian dan peristiwa di dunia ini. Tobat, menurut Syekh Nawawi al- Bantani dalam kitab Tanqih al-Qaul al Hadits, adalah berpaling dari sesuatu yang tercela menurut syara' kepada sesuatu yang terpuji karena mengetahui bahwa dosa-dosa dan maksiat adalah sesuatu yang membinasakan dan menjauhkan diri dari Allah dan surga-Nya, sedangkan meninggalkannya akan mendekatkan diri kepada Allah dan surga-Nya. Rasulullah SAW bersabda, Penyesalan adalah tobat, dan orang yang bertobat dari dosa bagaikan orang yang tidak memiliki dosa. (HR ath-Thabarani dan Abu Nu'aim dari Ibnu Sa'id al-Anshari). Hadis lain yang diriwayatkan Baihaqi dan Ibnu Asakir menyebutkan, orang yang memohon ampun dari dosa tetapi tetap saja melakukan perbuatan dosa itu seperti orang yang mengejek tuhannya. Tobat, menurut al-Hasan RA, memiliki empat penyangga. Pertama, memohon ampun dengan lisan. Kedua, menyesal di dalam hati. Ketiga, meninggalkan perbuatan-perbuatan dosa dengan anggota-anggota tubuh.Keempat, bertekad di dalam hati untuk tidak mengulangi. Para ulama juga menjelaskan, tobatnya orang-orang awam adalah bertobat dari dosa-dosa. Tobatnya orang-orang khowash(orang-orang khusus) adalah bertobat dari kelalaian hati. Kemudian, tobatnya khawashul khawash (orang-orang yang sangat khusus) adalah bertobat dari mengingat sesuatu selain Allah SWT. "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang- orang yang menyucikan diri.(QS al- Baqarah: 222). Dalam Alquran surah al-Muzzammil ayat 20, "Dan me mo hon ampunlah kalian kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Rasulullah SAW juga menjelaskan, "Tidak ada sesuatu yang lebih Allah sukai dibandingkan seorang pemuda yang bertobat, dan tidak ada sesuatu yang lebih Allah murkai daripada seorang tua yang masih terus melakukan perbuatan maksiatnya. (HR Abu al-Muzhaffar dari Salman al-Farisi). Karena pentingnya tobat dan memohon ampun, Nabi Muhammad SAW, selain menyuruh umatnya untuk bertobat, juga melakukannya sebagai contoh bagi umatnya. Beliau menyatakan, "Bertobatlah kalian kepada Allah. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Nya setiap hari seratus kali."(HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). Jika Rasulullah saja yang tidak memiliki dosa senantiasa demikian, bagaimana dengan kita yang setiap hari tak pernah luput dari dosa?Berapa kalikah kita harus bertobat setiap hari? Yang jelas, makin banyak beristighfar tentu makin baik. Nabi juga berpesan agar kita tidak putus asa dalam bertobat. Bertobat dan memohon ampun juga memudahkan rezeki, sebagaimana disebutkan dalam hadis, "Banyak memohon ampun dapat menarik (mendatangkan rezeki)." Dalam Alquran, Allah SWT berfirman, "Mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan kepadamu hujan dengan lebat dan memperbanyakkan harta dan anak- anakmu, dan mengadakan untuk mu kebun-kebun dan mengadakan pula di dalamnya untukmu sungai-sungai."(QS Nuh: 10-12). Dengan menundukkan hati, mari kita berdoa kepada Allah SWT, (Allohumma Ya Kafiyal bala ikfinal bala qobla nuzulihii minas samai, ya Allah)."Ya Allah, wahai Zat Yang mampu menolak segala bencana, peliharalah kami dari segala bencana sebelum ia turun dari langit, ya Allah."(***) https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/18/10/11/pgfi8b313-ampunan-allah-swt 53.Menuju Purbalingga Smart City Sebuah kota bisa disebut sebagai kota pintar atau smart city jika sudah mengintegrasikan teknologi dan komunikasi hingga level tertentu dalam proses tata kelola dan operasional sehari hari. Dimana keterlibatan manusia semakin sedikit dan sasaran dan berbagai kemudahan fasilitas publik dapat diakses oleh masyarakat. Jadi kata kunci smart city adalah  efiseinsi, perbaikan pelayanan publik dan kesejahteraan. Sebuah kota disebut smart city bukan semata mata kelengkapan teknologi komunikasi dan informasi yang dimilik, tetapi juga kebijakan kebijakan yang dikeluarakan pemerintah setempat adalah kebijakan yang cerdas dan solutif dari berbagai permasalahan yang ada serta future oriented. Artinya smart city adalah kota yang bisa memberikan solusi bagi warganya. Misalnya pantauan titik macet atau banjir maka kebijakan yang diambil adalah membangun infrastruktur yang dapat mengatasi banjir atau macet dalam jangka panjang bukan sekadar rekayasa lalu lintas untuk menghindari macet atau banjir. Smart city di Purbalingga (kota) bukan pula karena latah, karena  agar kota disebut modern maka kota dilengkapi dengan berbagai teknologi informasi  dan komunikasi tetapi pada hakekatnya smart city merupakan sebuah kebutuhan, karena dengan semakin meningkatnya kemajuan ilmu dan teknologi membuat masyarakat semakin mudah memperoleh informasi dari berbagai sumber dan dapat melihat suatu peristiwa saat itu juga (real time), tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang cepat dan tepat,serta kemudahan dalam memperoleh pelayanan pemerintah (kota). Beberapa kota besar di Indonesia yang sudah menerapkan konsep smart city antara lain Jakarta serta Suarabaya dengan aplikasi QLUE untuk menerima pengaduan masyarakat mengenai masalah sosial, macet, banjir, sampah, kriminalitas dan pelayanan publik, Bandung  dengan aplikasi Hay U untuk perizinan, cictizent complaint dan Silakip untuk monitoring kinerja pemerintah kota, Makassar  dengan aplikasi pantauan kemacetan dan pembayaran parkir online, Surabaya dengan aplikasi traffic light yang diatur dengan CCTV sehingga durasi  lampu lalu lintas mengikuti kepadatan lalu lintas, Semarang aplikasi CCTV publik dan sistem perizinan tanpa datang ke kantor pemerintah, Yogyakarta  dengan Smart Grid untuk memantau sistem kelistrikan kota dan beberapa  kota yang lainnya. Kendala konsep smart city di Purbalingga antara lain infrastruktur penunjang yang belum memadai,struktur dan budaya birokrasi yang belum sepenuhnya familiar dengan teknologi informasi dan komunikasi serta masyarakat belum memanfaatkan teknologi digital ini secara maksimal karena perangkat yang ada oleh sebagian  masyarakat penggunaaanya masih sebatas sebagai alat komunikasi dan media sosial. Adapun yang menjadi modal dasar terbentuknya Purbalingga Smart City adalah komitmen yang kuat dari Pemerintah daerah untuk mewujudkan smart city hal ini tertuang dalam anggaran yang disediakan untuk mendukung infrastruktur secara bertahap, dukungan berbagai instansi yang sudah memulai rintisan menuju smart city, modal dasar lain yang tak kalah pentingnya adalah hampir semua penduduk dewasa di Kota Purbalingga memiliki perangkat untuk mengakses internet, bahkan mungkin jumlah perangkatnya melebihi jumlah penduduk dewasa yang ada karena tidak sedikit mereka memiliki perangakat lebih dari 1 buah, modal dasar yang lain adalah antusias masyarakat terhadap teknologi informasi terbaru, artinya Purbalingga punya modal dasar untuk menuju smart city adalah smart people yang sangat mendukung terwujudnya smart city. Untuk akselerasi terwujudnya Smart City diperlukan  Central Command sebagai pusat komando dan pusat data (Big Bank), Standard Operational Procedure (SOP) dan juga tenaga khusus untuk mengelola aplikasi rintisan Smart City dan petugas dengan tugas khusus mengelola aplikasi yang aktif memberikan informasi terbaru dan melayani masyarakat terutama untuk instansi yang berkaitan langsung dengan pelayanaan publik meskipun tidak semua saran masukan kritikan yang  masuk lewat aplikasi rintisan smart city dapat direspon langsung dan mendapat solusi tepat terhadap berbagai permasalahan yang ada namun minimal masyarakat bisa terlayani dengan cepat. Rintisan lain yang dapat diupayakan menuju Purbalingga Smart City misalnya adalah E-Kamling yaitu kebijakan  keharusan  pemasangan kamera pemantau di lingkungan perumahan dan lingkungan masyarakat yang terintegrasi dengan aplikasi yang dimiliki pemerintah daerah dan aparat keamanan sehingga bisa bisa diambil tindakan cepat dan tepat terhadap suatu peristiwa. E-Quick Respon untuk melayani aduan masyarakat. E-PJU untuk memantau titik lampu PJU yang mati dan bisa menyala redup atau mati mengikuti kecerahan cuaca disamping penggunaan lampu hemat energi. Membangun smart city memang tidak semudah membalikan tangan namun dengan rintisan yang telah ada, modal dasar yang dimiliki, kebijakan yang sudah ada rasanya tinggal selangkah lagi Purbalingga menuju smart city. Smart City menjadi kajian yang menarik dalam beberapa tahun terakhir ini. Tidak hanya soal implementasi kebijakan smart city saja, namun berbagai aplikasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang dibutuhkan dan digunakan personal, bisnis, komunitas dan pemerintahan. Ada tiga syarat suatu kota jika ingin menjadi smart city, yaitu infrastruktur yang memadai; ruang fiskal yang luas dan proses bisnis yang berjalan. Ketiga faktor tersebut harus berjalan beriringan  dan berkesinambungan. Di samping itu, kegunaan segala sesuatu menjadi lebih sederhana, lebih mudah, dan tentu saja membuat semua data lebih transparan. Pemerintah daerah Purbalingga Jawa Tengah perlu menyediakan respons tanggap atas kondisi, permasalahan dan kebutuhan di wilayah bersangkutan. Pemerintah merespons secara efisien terhadap kebutuhan warganya dengan smart city. Sehingga, Purbalingga dalam menuju kota smart city perlu menyediakan model implementasi pengembangan e-government. Dengan terapkan smart city yang menekankan identitas kota yang akan dikembangkan, dan Purbalingga adalah daerah yang terkenal dengan produk pertanian dan agrobisnis yang berkembang. https://nusantaranews.co/menuju-purbalingga-smart-city/ CATATAN PENUTUP Meneladani Sang Insanul Kamil Insanul kamil atau akhlaq paripurna atau budi pekerti mulia sebagaimana dicontohkan dan digambarkan dalam perilaku Rasulullah SAW. Sungguh pada diri Rasulullah SAW terdapat perilaku dan suri tauladan yang mulia dan terpuji. Islam diakui sebagai agama yang istimewa karena hal ini oleh Allah sendiri telah dinyatakan sebagai agama paripurna dan membentuk insane-insan yang mulia. Inilah dinnul Islam yang lurus , agung , sempurna, abadi dan universal. Tentu saja agama yang sempurna ini hanya mampu dibawa oleh seorang utusan yang mulia dan sempurna pula. Utusan yang mengemban agama Tuhan yang terakhir ini adalah nabi terakhir, Sayidunna Muhammad SAW. Kekaguman kepada Rasulullah SAW tidak hanya diakui oleh orang Islam sendiri, namun dunia Barat juga mengakuinya, sebagaimana mereka tulis dalam buku-buku mereka. Adalah sarjana Barat Michael H Hart salah satu ilmuwan barat yang mengakui dan mengagumi Rasulullah SAW, ia tulis dalam bukunya “The 100 a Ranking of The Most Influential Person in History,” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,”Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah,” dia menempatkan nama Nabi Muhammad SAW pada rangking pertama. Dia menjatuhkan pilihan kepada Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama sebagai tokoh paling berpengaruh tentu mengejutkan para pembacanya dan menjadi tanda Tanya sebagian yang lain. “Tapi saya berpegang pada keyakinan saya , dia (Nabi Muhammad SAW-red) satu-satunya manusia dalam sejarah yang meraih sukses luar biasa , baik ditilik dari sisi agama ataupun lingkup duniawi,” demikian alasan Michael H Hart sang penulis buku. Sedemikian tinggi kedudukan agung Rasulullah SAW sehingga orang non muslim seperti Michael H Hart pun sebagai sejarahwan besar kontemporer mengakui dan kita atas umat Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk mengikuti dan menjadikannya suri tauladan , karena inilah makna dari beriman kepada Nabi Muhammad SAW termasuk mengamalkan al Qur’an dan al Hadist menjadi bagian pokok dari tanggung jawab untuk mencontoh dan mengikuti ajaran beliau. Adalah Sunnah-sunnah beliau yang dahulu kita tinggalkan, mulailah kita hidupkan kembali termasuk upaya untuk mengikuti beliau. Kewajiban kita adalah mendahulukan sunnah-sunnah beliau di atas nalar pemikiran. Jangan sampai mempertentangkan dengan Allah SWT sebab tidak mungkin beliau menyimpang dari pada ajaran syariat Allah SWT. Selain itu beliau adalah Nabi terakhir sebagai utusan Allah kepada ummat manusia sepanjang masa. Jika pada zaman ini ada yang mempertentangkan Sunnah insan kamil ini dengan Allah SWT atau dengan al Qur’an maka sudah barang tentu orang tersebut telah terseret dalam kesesatan aqidah. Sebab tidak mungkin dan mustahil seorang utusan seperti beliau bertentangkan dengan Allah dan tidak mungkin pula syariat yang dibawanya menyimpang dari tuntunan Illahy. Setiap kata yang terucap dari lisannya, perbuatan dan perangainya berada dalam bingkai syari’at dan tentunya itu semua datang dari Allah SWT yang telah mengutus beliau sebagai Nabi. Hal ini senada dengan penjelasan Allah dalam Al Qur’an, ”Dan tidaklah Dia (Nabi Muhammad SAW) berbicara dengan hawa nafsu (keinginan dirinya semata), ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diturunkan (kepadanya).” (QS An-Najm; 3-14). Maka semua akhlaq Rasulullah adalah yang terbaik, perkataannya adalah paling utama. Dengan mengikuti jejak Sang Insan Kamil ini dapat dipastikan kita akan mendapat kebahagiaan dunia akherat. Ayat Al Qu’ran paling sarat memuji Nabi Muhammad SAW adalah ayat berbunyi wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim, yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad ) memiliki akhlak yang sangat agung. Kata khuluq berarti akhlak secara linguistik mempunyai akar kata yang sama dengan khalq yang berarti ciptaan. Bedanya kalau kalau khalq lebih bermakna ciptaan Allah yang bersifat lahiriah dan fisikal, maka khuluq adalah ciptaan Allah yang bersifat batiniah. Seorang sahabat pernah mengenang Nabi Muhammad SAW yang mulia dengan kalimat kana rasulullah ahsanan nasi khalqan wa khuluqan, bahwa Rasulullah SAW adalah manusia yang terbaik secara khalq dan khuluq. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW adalah manusia sempurna dalam segala aspek, baik lahiriah maupun batiniah. Kesempurnaan lahiriah beliau sering kita dengar dari riwayat para sahabat yang melaporkan tentang sifat-sifat beliau. Hindun bin Abi Halah misalnya mendeskripsikan sifat-sifat lahiriah beliau bahwa Nabi Muhammad SAW adalah seorang manusia yang sangat anggun, yang wajahnya bercahaya bagaikan bulan purnama di saat sempurnanya. Badannya tinggi sedang.  Postur tubuh Nabi tegap. Rambutnya ikal dan panjang tidak melebihi daun telinganya. Warna kulitnya terang. Dahinya luas. Alisnya memanjang halus, bersambung dan indah. Sepotong urat halus membelah kedua alisnya yang akan timbul saat marahnya. Hidungnya mancung sedikit membengkok, yang bagian atasnya berkilau cahaya. Janggutnya lebat, pipinya halus. Matanya hitam. Mulutnya sedang. Giginya putih tersusun rapi. Dadanya bidang dan berbulu ringan. Lehernya putih, bersih dan kemerah-merahan. Perutnya rata dengan dadanya. Bila berjalan, jalannya cepat laksana orang yang turun dari atas. Bila menoleh, seluruh tubuhnya menoleh. Pandangannya lebih banyak ke arah bumi ketimbang langit, sering merenung. Beliau mengiringi sahabat-sahabatnya di saat berjalan, dan beliau jugalah yang memulai salam. Deskripsi para sahabat Nabi tentang sifat-sifat manuisa agung seperti ini sangat banyak. Namun ada yang fokus dari al-Qur’an tentang gambaran sifat Nabi Muhammad SAW. Lalu apa yang menjadi fokus pandangan al-Qur’an terhadap Nabi? Jawabnya adalah khuluq-nya alias akhlaqnya. Apa arti akhlak?  Kata Imam al-Ghazali, akhlak adalah wajah batiniah manusia. Ia bisa indah dan juga bisa buruk. Akhlak yang indah disebut al khuluq al hasan; sementara akhlak yang buruk disebut al khuluq as-sayyi. Akhlak yang baik adalah akhlak yang mampu meletakan secara proporsional fakultas-fakultas yang ada di dalam jiwa manusia. Ia mampu meletakkan dan menggunakan secara adil fakultas-fakultas yang ada dalam dirinya: ‘aqliyah (rasio), ghadabiyah (emosi), syahwaniyyah (syahwat) dan wahmiyah (imajinasi).  Manusia yang berakhlak baik adalah yang tidak melampui batas dalam menggunakan empat fakultas di atas dan tidak mengabaikannya secara total. Ia akan sangat adil dan proposional di dalam menggunakan fakultas yang ada dalam dirinya. Orang yang menyandang khuluq al-hasan adalah orang yang mampu meletakan secara proposional dalam membagi secara adil mana hak dunia dan hak akhiratnya. Orang yang menyandang sifat ini akan memantulkan suatu bentuk sangat indah lahiriah di dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Akhlak seperti inilah yang ditunjukan Rasulullah SAW kepada umatnya. Akhlak Nabi Muhammad SAW adalah cerminan al Qur’an. Bahkan beliau sendiri adalah Al Qur’an hidup yang hadir di tengah-tengah umat manusia. Membaca dan menghayati akhlak beliau berarti membaca dan menghayati isi kandungan Al Qur’an. Itulah kenapa Siti Aisyah berkata akhlaq Nabi adalah al-Qur’an. Kecintaan kita tulus benar adanya, setiap langkah Nabi SAW pasti kita ikuti dan diamalkan, itulah definisi cinta .”Jika cintamu sungguh-sungguh pasti kamu menaatinya, sesungguhnya orang yang cinta pasti taat pada orang yang dicintainya.” Ekspresi gembira, bersukaria, memperbanyak shalawat dan puji-pujian atas beliau, membaca sejarah , menghormati sahabat dan keturunan beliau serta menziarahi makam beliau di Masjid Nabawi adalah wujud cinta kepada beliau Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belasan orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka. Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi). Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin) Kebetulan saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa. Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu. Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku Quraisy. Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga. Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat. Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW. Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist. Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas. Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut. Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu di Madinah tak kuasa menahan rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki kota Madinah dengan selamat. Seketika wajah kota Madinah berubah total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung, sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW. Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma. Anak-anak dan para perempuan yang sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa risalah Islam pari purna yakni Nabi SAW: “Thala’al badru ‘alaina Min tsaniyatil wada’ Wajabsy syukru ‘alaina Mada’a lillahi da’…. (Telah terbit purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya penyeru ke jalan Allah….) Banyak gubahan syair saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan…. Yaa Nabiy salaam ‘alaika Yaa rosuul salaam ‘alaika Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu Yaa habiib salaam ‘alaika Sholawaatullaah ‘alaika Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu. Abrozallaahul musyaffa’ Shoohibul qodril muroffa’ Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan Famalaan~nuurun~nawaahii ‘Amma kullal kauni ajma’ Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta Nukkisat ashnaamu syirkin Wa binaas-syirki tashodda’ Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh Wa danaa waqtul hidaayah Wa himaal kufri taza’za’ Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk, Marhaban ahlan wa sahlan Bika yĆ¢ dzal qodril arfa’ Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai Sang pemilik derajat yg mulia. Ya imaamahlir risaalah Man bihil aafaatu tudfa’ Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan, MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY MARHABAN JADDAL HUSAINI MARHABAN MARHABAN Anta fiil hasyri malaadzun Laka kullul kholqi tafza’ Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat, padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw) Wa yunaaduuna taroo maa Qod dahaa min hawlin afdho’ Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan, THOLA’AL BADRU ‘ALAINAA MIN TSANIYYATIL WADAA’ WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA MAA DA’AA LILLAAHI DAA’ Falahaa anta Fatasjud Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’ Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at” Fa’alaikalloohu shollaa Maa badaannuuru wa sya’sya’ Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang… Wa bika~rrohmaanu nas-al Wa ilaahul ‘arsyi yasma’ Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami, Ya ‘adhiimal manni yaa Robb Syamlanaa bil musthofaa~jma’ Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb, kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw) SHOLLALLAAHU ‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN) SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN) Wa bihi Fandhur ilainaa Wa’thinaa bih kulla mathma’ Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan, wakfinaa kullal balaayaa Wadfa’il aafaati warfa’ Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya… Wasqinaa yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh) Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh) dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu… ROBBI FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh) BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh) Wakhtimil ‘umro bihusnaa (Ya Alloh) Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh) dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu.. SHOLLALLAH ‘ALA MUHAMMAD SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM Wa shollatullohi Taghsyaa Man lahul husnu tajamma’ dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan, Ahmadat thohro wa Aalih Wash shohaabah massanaasya’ Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang. Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut beliau tersebut. Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk, warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas. Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi sunnah—lantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW menyetujui perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam menyambutnya. Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu.” Rasulullah SAW kemudian menjawab,”Jika engkau telah bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.” Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW cukup lama. Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati lantunan senandung syair dan iringan rebana. Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas. Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah SAW lu, beliau pun berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu. Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar, wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya.” (HR Tirmidzi). Dengan demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya. Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyarakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis. Kedamaian dan kemakmuran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhammad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia. Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society). Misi Islam, kemudian ditutup pada peristiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW niatnya untuk melaksanakan haji pada tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke Madinah hendak mengikuti beliau. Empat hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah (Haji Qiran). Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam perjalanan Haji Wada’ pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada ummat. “Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah kepada Allah dan hati-hati terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah. Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian , sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya. Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah. Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk sorga. Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian pertanyakan? Mereka menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh melaksanakan kewajiban dan nasehat.” Lalu bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah, persaksikanlah!” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaaf. Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih. Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama’ secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jama’ah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi untuk melaksanakan jama’ah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam. Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah, beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya, kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing. Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT. Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil, sambil bertakbir pada setiap kali melempar. Selanjutnya, beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100 ekor. Di situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masing-masing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut kuahnya. Pada waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara nyaring, yang isinya banyak mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian, banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara lain: “Kalian pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia akan menanyakan amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan dan dia pun ridha kepadanya.” Pada hari Tasyriq, beliau di Mina untuk melaksanakan ibadah haji lainnya sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan pengaruhnya. Pada hari tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya. Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh –sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum. Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW. Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum. Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut. Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638). Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam. Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.” Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka. Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.” Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali. Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640). Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547) Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari. Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada’ tersebut? Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah). Dari teks khutbah haji wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara. Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut. Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia Ini sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” Cinta Rasul SAW Salah satu hadits yang terkenal mengungkapkan betapa penting kecintaan kaum muslimin pada Rasulullah SAW. Sabda beliau, “Tidak sempurna iman seorang di antara kamu sebelum ia lebih mencintai aku daripada mencintai ibu-bapaknya, anaknya, dan semua manusia” (HR Bukhari). Memang, mencintai Rasulullah SAW merupakan salah satu bukti keimanan seorang muslim. Sebaliknya, iman pulalah yang membuat para sahabat sangat setia mendampingi beliau, baik dalam susah maupun senang, dalam damai maupun perang. Kecintaan itu bukan hanya di lidah, melainkan terwujud dengan perbuatan nyata. Betapa cinta sahabat kepada Rasulullah SAW, tergambar ketika Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ash-Shiddiq beristirahat di Gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah secara sembunyi-sembunyi. Kala itu Rasulullah SAW tertidur berbantalkan paha Abu Bakar. Tiba-tiba Abu Bakar merasa kesakitan karena kakinya digigit kalajengking. Tapi, dia berusaha sekiat tenaga menahan sakit, hingga mencucurkan air mata, jangan sampai pahanya bergerak—khawatir Rasulullah SAW terbangun. Salah seorang sahabat, Zaid bin Datsima, tak gentar menghadapi ancaman kaum kafir karena begitu luar biasa kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Ketika itu, ia sempat disandera oleh kaum musyrik Makkah dan akan dibunuh. ”Hari ini, tidakkah engkau berharap Muhammad akan bersama dengan kita sehingga kami dapat memotong kepalanya, dan engkau dapat kembali kepada keluargamu?” kata Abu Sufyan kepadanya. “Demi Allah, aku tidak berharap sekarang ini Muhammad berada di sini, di mana satu duri pun dapat menyakitinya – jika hal itu menjadi syarat agar aku dapat kembali ke keluargaku,” jawab Zaid tegas. “Wah, aku belum pernah melihat seorang pun yang begitu sayang kepada orang lain seperti para sahabat Muhammad menyayangi Muhammad,” sahut Abu Sofyan. Kisah kecintaan sahabat kepada Rasulullah SAW banyak diungkapkan dalam sejarah. Salah satunya ditunjukan oleh Umar bin Khatthab. ”Ya, Rasulullah. Aku mencintaimu lebih dari segalanya, kecuali jiwaku,” kata Umar. Mendengar itu, Rasulullah SAW menjawab, ”Tak seorang pun di antara kalian beriman, sampai aku lebih mereka cintai daripada jiwamu.” ”Demi Dzat yang menurunkan kitab suci Al-Quran kepadamu, aku mencintaimu melebihi kecintaanku kepada jiwaku sendiri,” sahut Umar spontan. Maka Rasulullah SAW pun menukas, ”Wahai Umar, kini kamu telah mendapatkan iman itu” (HR Bukhari). Hari Kiamat Penghormatan dan pemuliaan terhadap Rasulullah SAW memang merupakan perintah Allah SWT. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami mengutus engkau sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan-Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (QS Al Fath : 8-9). Sebuah ayat menekankan pentingnya kecintaan terhadap Allah SWT dan Rasulullah SAW, ”Katakanlah (wahai Muhammad), jika ayah-ayahmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu, perdagangan yang kamu kekhawatirkan kerugiannya, dan rumah yang kamu senangi, lebih kalian cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya, dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang-orang fasik” (QS At-Taubah: 24). Kecintaan kaum muslimin kepada Rasulullah SAW juga merupakan faktor penting bagi keselamatannya di hari kiamat kelak. Hal itu terungkap ketika suatu hari seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW, ”Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka jawab Rasulullah SAW, ”Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?” Jawab sahabat itu, “Saya tidak mempersiapkannya dengan banyak shalat, puasa, dan sedekah, tapi dengan mencintaimu dalam hati.” Lalu, sabda Rasulullah SAW, ”Insya Allah, engkau akan bersama orang yang engkau cintai itu.” Menurut Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Shafwan, dan Abu Dzar, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai seseorang yang dengan tulus mencintainya, ”Seseorang akan berada di Yaumil Mahsyar bersama orang yang dicintainya.” Mendengar itu, para sahabat sangat berbahagia karena mereka sangat mencintai beliau. Suatu hari seorang sahabat hadir dalam suatu majelis bersama Rasulullah SAW, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, aku saya mencintaimu lebih dari mencintai nyawa, harta dan keluargaku. Jika berada di rumah, aku selalu memikirkanmu. Aku selalu tak bersabar untuk dapat berjumpa denganmu. Bagaimana jadinya jika aku tidak menjumpaimu lagi, karena engkau pasti akan wafat, demikian juga aku. Kemudian engkau akan mencapai derajat Anbiya, sedangkan aku tidak?” Mendengar itu Rasulullah terdiam. Tak lama kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan wahyu, ”Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Mereka adalah sebaik-baik sahabat, dan itulah karunia Allah Yang Maha Mengetahui” (QS An-Nisa : 69-70).  Kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW inilah pula yang menggerakkan mereka menyebarkan berdakwah ke seluruh penjuru dunia. Kecintaan luar biasa kepada Rasulullah SAW itu tergambar pada diri seorang perempuan—beberapa saat usai Perang Uhud. Dia baru saja kehilangan ayah, kakak laki-laki dan suaminya yang gugur sebagai syuhada. Ia bukannya meratapi mereka, tapi menanyakan nasib Rasulullah SAW, ”Apa yang terjadi pada diri Rasulullah, semoga Allah memberkati dan melimpahkan kedamaian kepadanya.” ”Nabi baik-baik saja sebagaimana engkau mengharapkannya,” jawab para sahabat. Lalu kata perempuan itu lagi, “Tunjukanlah dia kepadaku hingga aku dapat memandangnya.” Kemudian para sahabat menunjukan posisi Rasulullah SAW. “Sungguh, kini semua deritaku tak ada artinya. Sebab, engkau selamat,” kata perempuan itu kepada Rasulullah SAW. ”Mereka yang mencintaiku dengan sangat mendalam adalah orang-orang yang menjemputku. Sebagian dari mereka bersedia mengorbankan keluarga dan kekayaannya untuk berjumpa denganku,” sabda Rasulullah SAW sebagaimana diceritakan oleh Abu Hurairah (HR Muslim, Bukhari, Abu Dzar). Betapa kecintaan sahabat Bilal kepada Rasulullah SAW, terungkap menjelang ia meninggal. Bilal melarang isterinya bersedih hati, sebab, katanya, “Justru ini adalah kesempatan yang menyenangkan, karena besok aku akan berjumpa dengan Rasulullah SAW dan para sahabatnya.” Wafatnya Rasulullah SAW merupakan kesedihan luar biasa bagi para sahabat dan pencintanya. Dikisahkan, ada seorang perempuan yang menangis di makam Rasulullah SAW sampai ia meninggal. Demikianlah gambaran betapa luar biasa kecintaan para sahabat kepada Rasulullah SAW. Untuk mengungkapkan rasa cinta itu, sewajarnyalah jika kaum muslimin meneladani akhlaq beliau, menerapkan sunnahnya, mengikuti kata-kata dan seluruh perbuatannya, menaati perintah dan menjauhi larangannya. Itulah cinta sejati, sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah Ali Imran ayat 31: “Katakanlah (wahai Muhammad), jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” (*****) DAFTAR PUSTAKA 1.“Hamzah Fansuri Penyair Aceh”, Prof. A. Hasymi 2. http://www.muslimedianews.com/2015/03/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia.html 3.Ajid Thohir. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-Akar Sejarah, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindon Persada 4.Ahmad Mansyur Suryanegara. 2010. Api Sejarah, Bandung: Salamadani Pustaka Semesta. 5.Azyumardi Azra. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Islam di Indonesia, Bandung: Mizan. 6.Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia. 7.Moh. Nurhakim. 2004. Sejarah dan Peradaban Islam, Malang: UMM Press. 8.Zakaria, Rafiq. 1989. The Struggle Within Islam, Australia: Penguins Books. 9.Arsip Ag. 13240, No. 18/8 – 24363/03 (ANRI, Jakarta) 10.Arsip Ag 13240 No. 6/3-6679/05 (ANRI, Jakarta). 11.Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Lampiran besluit No. 31, Tanggal 24 Oktober 1906. 12.Arsip Ag 26409106 (ANRI, Jakarta), keputusan Gubernur Jenderal Hindia belanda, Bogor, Tanggal 24 Oktober 1906. 13.Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), No. 10371/80 , Surat Residen Batavia 21 Juni 1906, No. 6767/5. 14.Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta) No. 266.15771/08. 15.Arsip Ag 15771/08 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 29 Juni 1908. 16.Arsip Ag 13240 (ANRI, Jakarta), Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bogor, 3 Oktober 1910 (No. 36). 17.Ali Ahmad al-Seqqaf, Lintasan Sejarah Berdirinya Jamiat Kheir, hal. 2. 18.Oetoesan Hindia, 1-37 (16-12-1917) 19.Anshari, Endang Syaifuddin. 1988. Pak Natsir 80 Tahun. Jakarta: Media Dakwah 20.Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Gita Pustaka 2005. 21.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. 22.Benda, J. 1980. Bulan Sabit dan Matahari. Jakarta: Pustaka Jaya 23.Busyairi, Badruzzaman. 1995. Catatan Perjuangan H.M. Yunan Nasution. Jakarta: Pustaka Panji Mas 24.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Pedoman Petunjuk Penilaian. Jakarta: Depdikbud 25.Gulo,W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo 26.Hadi, Sutrisno. 1998. Metode Research. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada 27.Karim, Rusli. 1985. Perjalanan Partai Politik di Indonesia Politik Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: CV Rajawali 28.Maarif, Ahmad Syafii. 1985. Islam dan Kenegaraan. Jakarta: LP3ES 29.Mudjiono dan Dimyati, 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Depdikbud 30.Majalah. Ishlah. No. / 64 tahun / IV 1996 31.Nasir, Muhammad. 2003. Metode Diktatik. Jakarta: Bina Aksara 32.Noer, Deliar. 1987. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: LP3ES 33.Poerwadarmita. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka 34.Riclefs. 1995. Sejarah Indonesia Modern Yogyakarta: Universitas Gajah Mada 35.Srawiji, Bambang. 2006. Kamus Pelajar Bahasa Indonesia. Jakarta: Ganeca exact 36.Suryabrata, Sumadi. 1983. Metode Penelitian. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada 37.Widyosismoyo, Supartono. 1991. Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. Jakarta. Intan 38.Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72. 39.Buku Berangkat Dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri, PT Gunung Agung, 1987) 40.KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS). Pernah dimuat Suara Merdeka, 19 Juni 1992. 41.Amelz, H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Bulan Bintang, 1952. 42.Brackman, Arnold. Indonesian Communism, (New York: Preager, 1963. 43.Dengel, Holk. Darul Islam dan Kartosuwiryo: Sebuah Angan-Angan yang Gagal, Jakarta: Sinar Harapan, 1997. 44.Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, Yogyakarta: LkiS, 1998. 45.Legge, J.D. Sukarno, Biografi Politik, Jakarta: Sinar Harapan, 2000. 46.Geertz, Clifford. Santri, Abangan dan Priyayi, Jakarta: PT Gramedia, 1982. 47.Ingleson, John. Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-1934, Jakarta: LP3ES, 1988 48.Mc.Vey, Ruth. The Rise of Indonesian Communism, Ithaca.NY: Cornell University Press, 1965. 49.Shiraishi, Takashi. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta: Grafiti Press, 1997. 50.Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani Press, 2000. 51.Deliar Noer, 1996, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES 52.Sartono Kartodirjo, dkk, 1975, Sejarah Nasional Indonesia, jilid V, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 53.M.C.Richlefs, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi 54.Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatiri, Sirah al-Salaf Min Bani Alawi al-Husainiyyin 55. Syarah Ainiyah, Lentera 56.S. Umar Muhdor Syahab, Tuntutan Tanggung Jawab Ahlul Bait dan Kafa’ahnya, Jakarta: Yayasan Nusantara, 1999 57.Dr. Said Ramadhan Bouti dalam “al Ruhaniyat al ijtima’iyah”, al Markaz al Islami 58.M. Hermawan Eriadi 2006, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI dalam Artikelnya yang berjudul Kiprah dan Jejak Politik Masyumi 59.Majalah alKisah, No 4/IV/2006, rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72 60.Koran Republika 61.Koran Suara Merdeka 62.Koran Pontianak Post 63.LPM Himmah UII Yogyakarta 64.Portal Online www.nusantaranews.co 65.Portal Online www.nu.or.id BIOGRAFI PENULIS Aji Setiawan,ST lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia. Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto. Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002). Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, Anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014. Memutuskan diri menjadi kontributor banyak media dari tahun 2009. Mulai dari Majalah alKisah, Majalah Risalah NU, Tabloid Media Ummat (www.mediaummat.co.id), Majalah Sufi (www.sufinews.co.id), NU Online http://www.nu.or.id , Berita9Online www.berita9online.com, mediasantri (www.santrinews.com), islampos (www.islampos.com), Suraupos (www.suraupos.com), muslimmedia (www.muslimmedia.or.id), Islam Garis Lurus (www.garislurusnu.com), majalah tabloid online Islam, dan lain-lain. Tel NO: 081229667400 E-mail: ajisetiawanst@gmail.com aji_setiawan2000@yahoo.com Honor ditransfer ke Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535