Minggu, 10 Januari 2021

Sejarah Lahir NU

 SEJARAH KELAHIRAN NAHDLATUL ULAMA

Oleh: Aji Setiawan                 ajisetiawanst@gmail.com               

 Cipawon 6/1,Bukateja,Purbalingga Jawa Tengah   

A. Latar Belakang Kelahiran Nahdlatul Ulama

Berbagai buku telah membahas latar belakang lahirnya NU. Pada umumnya para penulis Barat maupun Indonesia dalam menulis sejarah NU, diwarnai dominasi kajian modernis. Deliar Noer misalnya, menyebut NU sebagai benteng perlawanan terhadap golongan pembaru Islam. NU adalah perluasan dari Komite Hijaz yang merupakan tandingan Komite Khilafat yang didominasi kaum modernis. Hanya sedikit buku yang mewakili kalangan tradionalis. Meski demikian, tulisan berikut berupaya menampilkan dua kecenderungan kajian mengenai sejarah lahirnya NU.

Semenjak perang Dunia I berakhir, Daulat Turki Usmani guncang, sementara kekuasaan Sultan yang dipandang sebagai Khalifah, termasuk oleh kaum Muslimin Indonesia diperebutkan oleh kaum nasionalis Turki yang dipimpin Mustafa Kemal Pasha. Tahun 1922 Majelis Raya Turki menghapuskan kekuasaan Sultan dengan menjadikan negeri itu sebagai Republik, dan menjadikan Khalifah Abdul Majid tidak memiliki kekuasaan duniawi. Dua tahun kemudian Majelis itu menghapuskan sama sekali khilafat. (Noer: 1996:242.)

Perkembangan ini menimbulkan kebingungan pada dunia Islam pada umumnya, yang mulai berpikir untuk membentuk suatu khilafat baru. Masyarakat Islam Indoensia juga merasa ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah tersebut. Secara kebetulan Mesir ingin mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924. Sabagai sambutan atas acara tersebut, umat Islam Indonesia yang diwakili organisasi Islam membentuk Komite Khilafat di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondoamiseno (Sarekat Islam), dan wakilnya KH A. Wahab Chasbullah. Kongres Al-Islam ketiga pada bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk mengirim delegasi ke Kongres Khilafat di Kairo, Mesir dengan anggota yang terdiri dari Suryopranoto (Sarekat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), serta KH. Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis. (Noer,1996: 242)

Tetapi Kongres Khilafat di Mesir ditunda, karena perhatian umat Islam tertuju kepada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekah tahun 1924. Segera setelah itu pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan praktek-praktek beragama sesuai dengan faham mereka. Tindakan ini mendapat sambutan baik dari Islam modernis di Indonesia dan mendapat penolakan kalangan tradisonalis. (Noer, 1996;242-243).

Suatu undangan dari Raja Ibnu Saud kepada umat Islam Indonesia untuk menghadiri Kongres di Mekah dibahas pada Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan kongres Al-Islam kelima di Bandung (5 Februari 1926). Kedua kongres itu sangat didominasi oleh kalangan Islam modernis. Bahkan sebelum kongres di Bandung itu kalangan modernis sudah mengadakan pertemuan terlebih dahulu (8-10 Januari 1926) yang salah satu keputusannya menetapkan H.O.S. Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan K.H. Mas Mansur dari Muhammadiyah sebagai utusan untuk menghadiri kongres di Mekah. Keputusan ini kemudian diperkuat oleh Kongres di Bandung. K.H.A. Wahab Chasbullah dari kalangan tradisionalis yang “disingkirkan” dalam perhelatan itu, mencoba mengajukan usul-usul atas aspirasi Islam tradisonalis agar Raja Ibnu Saud menghormati tradisi keagamaan seperti membangun kuburan, membaca doa seperti Dalailul Khayrat, ajaran mazab, termasuk tradisi yang menggurat di Mekah dan Madinah. Tetapi usul-usul tersebut nampaknya dikesampingkan oleh kalangan modernis. Akhirnya Kiai Wahab beserta tiga orang pengikutnya meninggalkan kongres dan mengambil inisiatif tersendiri dengan mengadakan rapat-rapat di kalangan ulama senior dari Surabaya. Rapat berikutnya dihadiri sejumlah ulama dari Semarang, Pasuruan, Lasem dan Pati. Mereka sepakat mendirikan Komite Hijaz yang kemudian diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 di Surabaya. (Noer:1996: 243).

Jadi, menurut sebagian pakar seperti Deliar Noer, latar belakang kelahiran NU dilihat secara spesifik dalam konteks kekecewaan Islam tradisionalis yang tersingkir dari Komite Khilafat yang akan mewakili umat Islam Indonesia pada Kongres Islam di Mekah tahun 1926. Namun sebagian pakar lain melihat lebih jauh lagi, bahwa cikal bakal NU sudah ada seiring arus kaum Islam modernis yang dipengaruhi pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh mulai merengsek masuk ke Indonesia yang dimulai dari Sumatra Barat lalu menjalar ke wilayah lain, tak terkecuali pulau Jawa.

Menurut catatan Dr. Andree Feillard, pada awal abad ke-20, dalam kurun waktu sepuluh tahun seorang yang sangat dinamis, yakni Kiai Wahab Chabullah, mengorganisir Islam tradisionalis dengan dukungan Kiai Haji Hasyim Asy’ari, seorang kiai kharismatik dari Jombang. Sejak bermukim di Mekah, Kiai Wahab aktif di Sarekat Islam yang didirikan di Surakarta pada 1912. Wahab juga bekerjasama dengan tokoh nasionalis Soetomo dalam kelompok diskusi Islam Studie Club. (Feillard, 2003:8).

Pada tahun 1916, Kiai Wahab mendirikan sebuah madrasah yang bernama Nahdlatul Wathan dengan gedung yang besar dan bertingkat di Surabaya. Pada tahun-tahun awal. Madrasah ini diasuh oleh para ulama terkenal sperti Kiai Haji Mas Mansur. Gedung sekolah itu lama-lama menjadi tempat pengkaderan para remaja Islam yang kemudian biasa disebut Jamiyyah Nasihin. Cabang-cabang Nahdlatul Wathan berdiri di Semarang, Malang, Sidoarjo, Gresik, Lawang, Pasuruan, dan lain-lain. Kiai Wahab juga mendirikan koperasi pedagang yang bernama Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918. Menjelang tahun 1919 sebuah madrasah baru didirikan di Ampel, Surabaya, dengan nama Taswirul Afkar, yang tujuan utamanya adalah menyediakan tempat bagi anak-anak untuk mengaji dan belajar, lalu ditujukan untuk membela kepentingan Islam (tradisisonal). (Feillard: 9).

Catatan Feillard di atas sedikit mengkoreksi alur wacana penulis Barat maupun modernis yang hanya melihat latar belakang kelahiran NU dalam konteks yang sempit. Meski tidak menafikan persaingan antara Islam modernis dan tradisionalis, pandangan ini memberikan gambaran sejarah dan latar belakang yang lebih panjang tentang kelahiran NU, di mana Kiai Wahab Chasbullah adalah pemain penting dalam sejarah berdirinya NU. Di samping itu hubungan antara kaum tradisionalis dan modernis sebelum tahun 20-an berjalan tanpa benturan.

Persaingan antara kaum tradisionalis dan modernis itu sendiri baru terbuka dan “panas” pada tahun 1920-an ketika Islam modernis semakin terbuka “menyerang” praktek-praktek beragama Islam tradisionalis. Perdebatan dalam forum-forum diskusi termasuk di Sarekat Islam telah menghadapkan Kiai Wahab dengan Syekh Ahmad Surkati, pendiri Al-Irsyad, demikian juga dengan K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Akan tetapi Kiai Hasyim maupun Kiai Wahab tidak sepenuhnya menolak saran kaum modernis terutama mengenai modernisasi sistem pendidikan, walaupun menolak meninggalkan mazhab. Namun upaya mencari titik temu antara Islam modernis dan tradisonalis semakin sulit tatkala Islam modernis semakin vokal dan merengsek masuk Surabaya dengan propagandisnya yang paling keras dan kontroversial, yakni Faqih Hasyim, seorang murid Haji Rasul dari Sumatra Barat. (Feillard, 2003:10)

Kehebohan pertama yang secara langsung “memukul” Islam tradisonalis adalah mundurnya KH Mas Mansur, seorang guru Nahdlatul Wathan, dari sekolah tersebut untuk masuk dan memimpin Muhammadiyah pada tahun 1922. Tapi kalangan tradisionalis tidak patah arang dan tetap berjuang. Pada tahun yang sama mereka meningkatkan kegiatan kemasjidan yang dikoordinir suatu badan yang bernama Ta’mirul Masjid. Dua tahun kemudian diadakan kursus-kursus agama untuk orang dewasa dimana 65 guru muda diberi pengarahan 3 kali seminggu di madrasah Nahdlatul Wathan. Orang-orang muda itu kemudian membentuk organisasi yang bernam Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi ini mempunyai kegiatan membahas masalah agama, dakwah, peningkatan pengetahuan bagi anggotanya dan sebagainya. (Feillard, 10).

Persaingan berubah menjadi perselisihan mencapai titik “panas” ketika Kongres Al-Islam di Cirebon tahun 1922. Perdebatan yang keras terjadi dengan tuduhan syirik dan kafir muncul. Islam modernis menuduh Islam tradisionalis syirik, sedangkan Islam tradisonalis balik menyerang dengan tuduhan kafir. Ketika pertikaian masih berlanjut, Kiai Wahab mengusulkan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk membentuk gerakan yang mewakili kalangan tradisionalis. Usul itu ditolak Kiai Hasyim karena khawatir hal tersebut akan makin memperuncing perselisihan yang mengakibatkan perpecahan umat Islam, dan ulama mengabaikan kewajiban keagamaannya. (Feillard, 2003: 10, Fealy, 2003: 34).

Perselisihan itu semakin sengit tatkala wakil tradisionalis “disingkirkan” dalam membahas delegasi yang akan mewakili umat Islam di Kongres Islam di Mekah tahun 1926 sebagaimana telah dijelaskan di atas, yang menyebabkan Kiai Wahab dan tiga rekannya walk out. Jadi, Kongres Al-Islam di Bandung adalah puncak kekecewaan Islam tradisionalis yang merasa tidak diperhitungkan sama sekali oleh Islam modernis dalam percaturan religio-politik umat Islam Indonesia pada waktu itu.

Sumber di kalangan NU sendiri menyebutkan bahwa pasca kongres di Bandung, Kiai Wahab berinisiatif dan melobi para ulama lain untuk mengadakan musyawarah dengan ulama-ulama yang sehaluan. Langkah ini memperoleh sambutan dari para ulama terkemuka, termasuk K.H. Hasyim Asy’ari yang sebelumnya enggan memberikan restu. Akhirnya, pada tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan 16 Rajab 1334 H, bertempat di rumah Kiai Wahab, para ulama mengadakan pertemuan. Turut hadir pada pertemuan tersebut, K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Bisri Sansuri (1886-1980) dari Jombang, K.H. Ridlwan Abdullah (1884-1962) dari Surabaya, K.H. Asnawi (1861-1959) dari Kudus, K.H. Ma'sum (1870-1972) dari Lasem, K.H. Nawawi dari Pasuruan, K.H. Nahrowi dari Malang, K.H. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya, dan lain-lain. (LP Maarif, 2004: 8-9; Yayasan Saifuddin Zuhri [YSZ], 1994: 142).

Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan penting. Diantaranya; pertama, meresmikan dan mengukuhkan Komite Hijaz dengan masa kerja sampai delegasi yang akan dikirim menemui Raja Ibnu Saud kembali ke tanah air. Komite ini akan mengirim delegasi sendiri ke Kongres Islam di Mekah yang terdiri dari KH Wahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Ghunaim Al-Mishri. Tugas delegasi adalah menghadap langsung Raja Ibnu Saud untuk menyampaikan tuntutan agar ajaran mazhab empat dihormati dan kebebasan untuk melakukan praktek peribadatan lain. Delegasi ini memang tidak tergabung dalam delegasi umat Islam Indonesia yang diwakili kelompok modernis, tapi langsung menghadap Raja Ibnu Saud. Raja dapat menerima usul tersebut meski untuk yang terakhir tidak ada jawaban jelas. Jawaban tertulis Raja hanya mengatakan akan menjamin dan menghormati ajaran empat mazhab dan faham Ahlusunnah Wal Jamaah. (Lihat LP Maarif, 2004: 9).

Kedua, pertemuan di Surabaya itu sepakat membentuk sebuah jam’iyyah sebagi wadah persatuan para ulama dalam tugasnya memimpin umat menuju terciptanya izzul Islam wal muslimin (kejayaan Islam dan kaum muslimin). Jamiyyah itu diberi Nahdlatoel Oelama (NO) atau Nahdlatul Ulama (dalam Ejaan Yang Disempurnakan). Secara singkat jamiyah ini bertujuan untuk membina terwujudnya masyarakat Islam berdasarkan akidah Ahlusunnah wal Jamaah. (LP Maarif, 9).

Di samping itu, pertemuan di Surabaya itu juga didorong faktor lain. Pertama, berkait erat dengan langkah politik Hindia Belanda yang membatasi umat Islam Indonesia yang berniat melakukan ibadah haji. Kedua, prinsip para ulama yang berpegang pada kaidah “al-muhafadzah ala qadim al-salih wa al-akhdzu bil jadid al-aslah" (menjaga kesinambungan tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). (LP Maarif, 10). Hal itu didasarkan pada pengalaman dakwah Walisongo yang secara “cerdas” dan “kreatif” dapat mengislamkan Nusantara secara cepat tanpa menimbulkan keguncangan dan gejolak bagi masyarakat Indonesia, suatu hal yang membedakan NU dengan gerakan Islam modernis yang terkesan “keras” dan “tidak-kompromi” terhadap tradisi dalam dakwahnya.

Pada awal berdirinya NU belum menetapkan anggaran dasarnya. Baru pada muktamar tahun 1928, NU menetapkan anggaran dasarnya untuk mendapatkan pengakuan resmi dari pemerintah Belanda. NU kemudian menetapkan tujuannya untuk mempromosikan anutan terhadap empat mazhab (Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) dan mewujudkan kemaslahatn umat. Untuk mencapai tujuan itu diadakan usaha-usaha sebagai berikut:

-Mengadakan hubungan di antara ulama-ulama yang bermazhab.

-Mengkaji kitab-kitab klasik untuk diketahui apakah termasuk kitab dari Ahlus Sunah Wal Jamaah atau Ahli Bid’ah yang untuk selanjutnya menjadi bahan pengajaran agama.

-Menyiarkan agama Islam yang didasarkan kepada empat mazhab.

-Memperbanyak pendirian madrasah-madrasah.

-Memperhatikan urusan yang terakit dengan masjid, langgar, dan pondok pesantren, begitu juga hal ihwal fakir miskin dan anak yatim.

-Mendirikan badan-badan untuk urusan pertanian, perniagaan dan perusahaan, yang tidak bertentangan dengan syara`. (Feillard, 12-13)


Jadi, NU menetapkan dirinya sebagai pengawal kesinambungan tradisi dan ajaran empat mazhab dan akidah Ahlusunnah Wal Jamaah, meski kenyataannya hanya mazhab Syafi’i yang dianut oleh kebanyakan umat Islam Indonesia atau Asy’ariyah dalam teologinya. Ini berarti NU ingin mempertahankan otoritas ulama dalam menafsirkan ayat atau hadis dari “kecerobohan” penafsiran kaum muda yang ingin mempertanyakan ajaran-ajaran Islam yang telah dipandang mapan sebagaimana telah ditafsirkan oleh para ulama salaf saleh (salafus shalih). Meski demikian bukan berarti NU alergi terhadap pembaruan atau modernisme. Beberapa pemikiran Islam modernis juga diserap NU, khususnya berkaitan dengan sistem pendidikan dan kurikulum. Secara perlahan-lahan, madrasah-madrasah NU juga mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti sekolah-sekolah kaum Islam modernis, di samping pelajaran agama.

Sebagai organisasi, NU berkembang pesat pada 15 tahun pertama sejak pembentukannya. Data statistik mengenai periode ini menunjukkan pertumbuhan yang sangat jelas. Muktamar pertama NU pada tahun 1926 dihadiri 96 kiai. Muktamar kedua setahun kemudian dihadiri 146 kiai dan 242 peserta biasa. Pada Muktamar tahun 1928, sebanyak 260 kiai hadir dan 35 cabang telah terbetuk. Tahun berikutnya NU telah memiliki 63 cabang dan muktamar keempat mampu menghadirkan 1450 peserta dan peninjau. Pada tahun 1933 anggotanya diperkirakan mencapai 40.000 dan setahun kemudian sumber Belanda menyatakan 400 kiai bergabung dengan NU.

Pada tahun 1935 jumlah anggotanya melonjak mencapai 67.000 orang, yang tersebar di 76 cabang. Pada tahun 1938 NU memilki 99 cabang dan terdaftar 100.000 anggota. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, NU memiliki 120 cabang. (Fealy, 2003: 7).

Mayoritas anggota NU berada di Jawa, khususnya Jawa Timur dan Madura, sepanjang patai utara Jawa Tengah, serta di wilayah Cirebon dan Banten. NU juga mendapat dukungan dari masyarakat tardisionalis di luar Jawa, khususnya masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Para kiai dari Banjar menghadiri muktamar-muktamar NU pada awal berdirinya. Cabang pertama di luar Jawa didirikan pertama kali di Kalimantan Selatan pada tahun 1930.

Masyarakat tradisional lain yang mendukung NU adalah Batak Mandailing di Sumatera Utara, Bugis di Sulawesi Selatan dan Sasak dan Sumbawa di NTB. Cabang-cabang tersebut sebagian besar terbentuk selama kurun tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 1940-an. (Lihat Fealy, 39-40).

Kiai merupakan faktor yang menentukan dalam pertumbuhan yang cepat itu. Setiap kiai yang bergabung mungkin membawa puluhan bahkan ratusan pengikutnya. Pengikutnya bukan hanya santri tapi juga masyarakat sekitar yang mengikuti tokoh kiai tersebut. (Fealy, 2003: 40).

NU tidak hanya mengalami pertumbuhan dalam jumlah anggotanya tapi juga kompleksitas organisasinya. Gagasan untuk mengembangkan pelayanan pendidikan dan perdagangan mendorong dibentuknya dewan-dewan, divisi-devisi, atau departemen-departemen. Desakan untuk merangkul kalangan pemuda dan wanita juga mendorong terbentuknya sayap-sayap organisasi seperti halnya organisasi Islam modernis.

Kiprah NU yang paling menonjol adalah di bidang pendidikan. Jumlah madrasah meningkat pesat selama kurun waktu akhir 1920-an hingga awal 1930-an. Banyak cabang besar NU yang mendirikan madrasah dan menambah jumlah pesantren. Metode pengajaran dan kurikulumnya cukup beragam, tetapi sebagian besar menerapkan kombinasi pelajaran agama dan umum yang dirancang sebagi tambahan terhadap metode tradisonal “bandongan” di pesantren. Untuk mengkoordinasikan kegiatan pendidikan yang berafiliasi ke NU, dibentuk Lembaga Pendidikan Maarif pada tahun 1938. (Fealy, 2003: 41).

Di bidang ekonomi, NU telah melaksanakan berbagai gagasan dengan tingkat keberhasilan yang beragam. Di Surabaya beberapa tokoh NU, mengikuti langkah Nahdlatut Tujjar, pada tahun 1929 dibentuk sebuah koperasi kaum muslimin. Pada tahun 1937 NU mendirikan sebuah koperasi yang lebih luas yang dinamakan Syirkah Muawanah yang terutama memperdagangkan hasil pertanian, batik, hasil laut, rokok, dan sabun.

Syirkah ini berkembang menjadi jaringan bisnis yang efektif dan bermanfaat sebagai sumber pendanaan organisasi. PB NU juga membentuk Badan Urusan Perusahaan dan Perniagaan untuk mengelola barang-barang yang diberi simbol NU. Kegiatan ekonomi lainnya adalah pengelolaan harta wakaf. Pada tahun 1930 didirikan Lajnah Waqfiyah (Badan Wakaf) yang tujuh tahun kemudian berubah menjadi Waqfiyah Nahdlatul Ulama. (Fealy, 2003:42).

Pembentukan divisi pemuda dan wanita dalam NU juga penting artinya, walaupun pada awalnya menimbulkan kontroversi. Kedua divisi itu akhirnya berhasil dibentuk setelah terlebih dahulu mengalami hambatan dari para kiai senior yang mengkhawatirkan konskewensi dari pembentukan divisi tersebut. Kelompok pemuda tradisonal sudah ada sejak pertengahan tahun 1920-an. Yang terbesar adalah Syubbanul Wathan dan Da’watus Subban.

Pada tahun 1931 kedua kelompok ini membentuk Persatuan Pemuda NU. Organisasi ini gagal diakui PB NU, akrena banyak ulama senior kurang setuju terhadap ketidaksabaran kelompok muda ini untuk melakukan reformasi organisasi dan gaya berpakaian mereka yang kebarat-baratan, seperti memakai celana panjang dan dasi.

Pada tahun 1934 organisasi ini kembali berusaha mendapat pengakuan dengan nama baru Ansor dan mendudukkan kiai muda seperti K.H.A. Wahid Hasyim (1914-1953), K.H. Abdullah Ubaid dan K.H. Mahfud Sidiq (1906-1944) yang mempunyai hubungan baik dengan PBNU. Dengan dukungan Kiai Wahab, akhirnya pada Muktmar tahun 1934, Ansor mendapat persetujuan menjadi salah satu sayap pemuda NU. (Fealy, 2003:44).

Peranan wanita dalam organisasi lebih problematik. Selama dua belas tahun pertama, keanggotaan NU hanya terbuka bagi laki-laki. Sejak awal 1930-an, PBNU didesak untuk menerima anggota wanita dan mengizinkan mereka membentuk cabang tersendiri. Alasan para tokoh wanita yang kebanyakan juga dari keluarga kiai itu menyatakan bahwa wanita telah ikut berperan dalam kegiatan NU meski di balik layar. Oleh karena itu mereka juga berhak berpartisipasi secara formal. Mereka bahkan “mengancam” akan bergabung dengan organisai wanita Aisiyah milik Muhammadiyah, jika PBNU tidak bersedia menerima mereka. (Fealy, 44-45).

Dalam muktamar 1938 akhirnya wanita dipebolehkan menjadi anggota, tetapi tidak boleh menduduki jabatan pimpinan. Pada tahun 40-an diusulkan cabang wanita diberi otonomi dalam NU. Baru pada pada Muktamar 1946 usulan tersebut diterima dengan nama Muslimat Nahdlatul Ulama. Muslimat segera menjadi salah satu badan NU yang sangat aktif dan terorganisir dengan baik. Pada tahun 1950 sebuah organisasi pemudi tersendiri bernama Fatayat NU, didirikan di bawah pengawasan Muslimat. (Fealy, 46).

NU juga aktif di bidang penerbitan. Ada beberapa terbitan sebelum perang Dunia II seperti Swara Nahdlotoel Oelama, dan Berita Nahdlotoel Oelama yang terbit di Surabaya. Terbitan lain adalah buletin Lajnah Ijtima Nahdlotoel Oelama (LINO). (Fealy, 2003: 46).

Perkembangan tersebut terjadi hingga sekarang dengan dibentuknya berbagai macam lembaga semi otonom maupun otonom.


B. Pendiri Nahdlatul Ulama

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa pilar utama pendiri NU adalah K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Wahab Chasbullah. K.H. Hasyim Asy'ari adalah sumber legitimasi dalam pendirian organisasi ini dan sekaligus Rais Akbar yang pertama, sementara Kiai Wahab adalah inspirator, motor penggerak dan fasilitor pendirian organisasi ini. Dua pilar itu menjadi semakin kokoh tatkala para kiai lain yang ternama ikut bergabung untuk bertemu di rumah Kiai Wahab di Kertopaten, Surabaya, pada 31 Januari 1926 dan bersepakat mendirikan jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU). Para kiai dimaksud adalah K.H. Hasyim Asy’ari dan Kiai Bisri Sansuri (1886-1980) dari Jombang, Kiai Ridlwan Abdullah (1884-1962) dari Semarang, Kiai Asnawi (1861-1959) dari Kudus, Kiai Ma'sum (1870-1972) dari Lasem, Kiai Nawawi dari Pasuruan, Kiai Nahrowi dari Malang, Kiai Alwi Abdul Aziz dari Surabaya, dan lain-lain.

K.H. Hasyim Asy'ari (1871-1947) lahir di desa Nggedang, Jombang pada hari Selasa, 24 Zulqa'dah 1287 H atau 14 Februari 1871 di lingkungan pesantren Kiai Utsman. Kiai Utsman sendiri berasal dari Jepara, Jawa Tengah. Beliau mendapat pendidikan langsung dari keluarga sampai dengan umur sekitar 14 tahunan. Hasyim kecil banyak mendapat pendidikan dari oranag tuanya, Kiai Asy'ari.

Silsilah keturunan beliau berasal dari Raja Brawijaya VI yang juga dikenal dengan nama Lembu Peteng. Salah seorang keturunan Lembu Peteng yang dikenal dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebat adalah salah satu kakeknya. (Tingkir adalah nama daerah di wilayah Salatiga). Jaka Tingkir yang kemudian menjadi Raja Pajang yang bergelar Adiwijaya menurunkan seorang putra, Pangeran Benowo. Pangeran Benowo mempunyai seorang anak bernama Muhammad alias Pangeran Sambo.

Dari Pengeran Sambo inilah kemudian menurunkan Kiai Sikhah di Nggedang, Jombang. Kiai Sikhah adalah cicit Pangeran Sambo. Putri Kiai Sikhah, Layyinah, dinikahkan dengan salah seorang santrinya, Utsman, asal Jepara. Pasangan Utsman dan Layyinah ini mempunyai putri yang bernam Halimah alias Winih. Halimah dinikahkan dengan dengan Asy’ari salah seorang santri Kiai Utsman. (YSZ, 1994: 57-58, Ensiklopedi Islam, 1993, 101).

Pada umur 13 tahun, beliau masuk Pesantren Wonokoyo, Probolinggo, kemudian pindah ke ke Langitan, Tuban, lalu Trenggilis, Semarang. Dua tahun kemudian ia berangkat ke Bangkalan, Madura. Belum puas menuntut ilmu pada tahun 1891-1892, ia belajar ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo, dan memperoleh kepuasan ilmiah di sana.

Pesantren ini dipimpin Kiai Ya'qub, seorang tokoh yang dikenal memiliki pandangan luas ahli dalam ilmu agama. Di mata Kiai Ya'qub, Hasyim adalah adalah santri yang cerdas dan potensial. Tidak lama kemudian pada tahun 1892 Hasyim dinikahkan dengan putri Kiai Ya'qub, Chadijah. Saat itu Hasyim baru berumur 21 tahun. (Ysz, 1994:58-59; Ensiklopedi Islam, 2003: 102).

Tidak lama setelah perkawinannya, Hasyim pergi ke Mekah bersama istri dan mertuanya untuk menunaikan ibadah haji dan sekalgus memperdalam ilmu. Di Mekah istrinya melahirkan seorang putra, Abdullah. Tidak lama kemudain istri dan putranya wafat di sana. Akhirnya ia kembali ke Indonesia setahun kemudian. Tidak lama di Tanah Air, ia kembali ke Mekah bersama adiknya Anis. Sejak itu ia menetap di Mekah dan berguru kepada Syekh Mahfud At-Tarmasy (asal Termas), kemudian Syekh Ahmad Chatib Al-Mingkabaui. Di antara murid Syekh Khatib selain Hasyim adalah Wahab Chasbulah, Bisri Sansuri, dan Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah). (Ysz, 1994:59-60)

Beberapa saat sekembalinya dari Mekah, Hasyim mendirikan pesantren Tebu Ireng, Jombang pada tahaun 1899 M/1317 H. Sejak itulah Kiai Hasyim menjadi tokoh yang dikenal dan dihormati masyarakat . (YSZ: 60-61).

Pada masa penjajahan Belanda, Kiai Hasyim dikenal kurang manis terhadap Belanda. Beliau pernah menolak bintang jasa yang terbuat dari emas dari Belanda pada tahun 1937. Beliau juga pernah memfatwakan haram beribadah haji dengan menggunakan kapal Belanda pada masa Revolusi. Pada masa pendudukan Jepang beliau dijebloskan ke penjara selama berbulan-bulan, lalu diasingkan ke Mojokerto. (Ensiklopedi Islam, 1993:102, YSZ, 1994:)

Pada tahun 1926, bersama Kiai Wahab dan kia-kiai lainya mendirikan NU sebagai wadah aspirasi kalangan Islam tradisonalis yang aspirasinya dipinggirkan oleh Islam modernis pada Kongres Al-Islam di Bandung tahun 1926. Pada tahun 1945 beliau pernah mengelaurkan Resolusi Jihad untuk melawan tentara sekutu (NICA) yang ingin mendarat di Surabaya, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran 10 November dan diabadikan sebagai Hari Pahlawan bagi bangsa Indonesia. Beliau pula yang pertama merumuskan doktrin ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah yang kemudain diadopsi dalam anggaran dasar NU.

Beliau memiliki putra-putri diantaranya, Abdul Wahid Hasyim (pernah menjabat Menteri Agama) dan Yusuf Hasyim. Beliau meninggal pada tahun 1947 dan dimakamkan di Jombang. Satu-satunya karya beliau adalah Al-Durar al-Muntasirah fi Masail Tis'a Asyarah, sebuah kitab yang berisi bimbingan praktis agar umat Islam berhati-hati memasuki dunia tarekat.

Tokoh utama lain pendiri NU adalah K.H. Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971). Beliau lahir pada bulan Maret 1888 di Tambak Beras Jombang. Beliau dikenal sebagai kiai yang cerdas, dinamis, intelek, sekaligus pejuang yang ikut bertempur melawan Belanda dan Jepang. Ia adalah putra pasangan Kiai Chasbullah dan Nyai Lathifah. Keluarga Hasbullah adalah pengasuh Pesantren Tambak Beras dan masih punya hubungan kekerabatan dengan K.H. Hasyim Asy'ari. (YSZ, 1994:135).

Sepeninggal istri pertamanya saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921, Kiai Wahab menikah lagi dengan Alawiyah putri Kiai Alwi. Istri kedua inipun meninggal setelah dikaruniai seorang anak. Sesudah itu, Kiai Wahab pernah menikah tiga kali namun tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai putra. Kemudian ia menikah dengan Asnah, putri Kiai Said dari Surabaya dan dikaruniai 4 orang anak, salah satunyai K.H.A. Wahib Wahab (Mantan Menteri Agama RI). Setelah Asnah meninggal, Kiai Wahab menikah kembali dengan Fathimah, tapi tidak dikaruniai putra. Tapi, Fathimah membawa seorang anak yang bernama K.H. Ahmad Syaichu. Setelah itu beilau menikah kembalai dengan Masmah dan memperoleh seorang anak.

Kemudian ia menikah dengan Ashlikah, putri Kiai Abdul Madjid dari Bangil dan memperoleh 4 orang anak. Terakhir, Kiai Wahab memperistri Sa'diyah (kakak Ashlikhah) setelah Ashlikah meninggal, dan mempunyai 5 anak, sampai akhir hayatnya pada tahun 1971. (YSZ, 1994:135-136).

Bekal pendidikan Kiai Wahab sejak kecil diberikan sendiri oleh ayahnya. Baru setelah dewasa ia berkelana dari pesantren ke pesantren. Di antaranya Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Mojosari, Pesantren Cepoko Nganjuk, Pesantren Tawangsari Surabaya, Pesantren Kademangan Bangkalan dan langsung berguru kepada Kiai Cholil, kiai kharismatis yang juga guru K.H. Hasyim Asy'ari.

Pada usia 27 tahun ia meneruskan berguru ke Mekah kepada Kiai Mahfudz Al-Tarmasy, Syaikh Achmad Khatib, Kiai Bakir Yogyakarta, Kiai Asy;ari Bawean, Syaikh Said Al-Yamani, Syekh Umar Bajjened, dan lain-lain. (ibid: 136-137).

Seperti disinggung di atas sejak pulang dari Mekah bersama Kiai Mas Mansur, Kiai Wahab membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar di Surabaya pada tahun 1914. Pada tahun 1916 mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan, juga bersama Kiai Mas Mansur. Pendirian madrasah ini mendapat dukungan dari ulama-ulama lain. Di kalangan pemuda dibentuk Syubbanul Wathan, yang di dalamnya terdapat tokoh muda seperti Abdullah Ubaid. Ia juga berhubungan dengan tokoh-tokoh nasional lain seperti Soetomo dalam Islam Studie Club yang didirikannya bersama kaum terpelajar lain. (Ibid.138-139).

Peran paling besar Kiai Wahab adalah saat menjelang pendirian NU pada tanggal 31 Januari 1926. Ia mengajak musyawarah di rumahnya ulama-ulama senior dan tokoh-tokoh Komite Hijaz seperti Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Bisri Sansuri dari Jombang, Kiai Ridlwan dari Semarang, Kiai Asnawi dari Kudus, Kiai Nawawi dari Pasuruan, Kiai Nahrowi Malang, Kiai Alwi Abdul Aziz Surabaya, dan lain. Pertemuan itu kemudian menorehkan sejarah kelahiran Jamiyyah Nahdlatul Ulama yang mempertahankan akidah Ahlussunah Wal Jamaah dan Mazhab Empat. (Ibid., 140).

Nama NU sendiri diusulkan Kiai Alwi Abdul Aziz dari Surabaya. Sementara pencipta lambang adalah Kiai Ridlwan dari Surabaya. Kiai Wahab sendiri tidak bersedia menjadi Rais Akbar dan merasa cukup menjadi Katib Am (Sekjen) dalam organisasi ini. Jabatan tertinggi diserahkan kepada tokoh kharismatik dari Jombang, Kiai Haji Hasyim Asy'ari.

Selanjutnya kiprah perjuangan Kiai Wahab banyak sekali mewarnai perjalanan NU dari masa ke masa. Momen-momen penting dalam NU dalam percaturan politik nasional sangat diwarnai peran kiai ini. Beliau juga dikenal sebagi perintis tradisi intelektual NU dan pernah menerbitkan majalah tengah bulanan Suara Nahdlatul Ulama yang dipimpinanya sendiri.

Demikian tulisan ini membatasi hanya pada dua tokoh utama pendiri NU, meski masih banyak tokoh lain yang turut berandil besar terhadap pendirian NU. Kedua tokoh inilah yang memiliki peran cukup menonjol dan populer di kalangan Nahdliyin dan NU.


C. Bentuk dan Sistem Keorganisasian Nahdlatul Ulama

I. Bentuk dan Tujuan Organisasi Nahdlatul Ulama

1. Nama dan Lambang Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama adalah organisasi soaisl keagamaan (jamiyyah diniyah Islamiyah) yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah. Organmisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926, atau 16 Rajab 1334 Hijriyah, oleh ulama yang berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jamaah sebagai wadah untuk mempersatukan diri dan langkah dan di dalam tugas memelihara, melestarikan, mengembangkan, dan mengembangkan agama Islam ala ahadil mazahabil arbaah (berdasarkan salah satu mazhab dari empat mazhab yang ada) dalam rangka mewujudkan Islam sebagai rahmat sekalian alam.


Lambang Nahdlatul Ulama berupa:

Gambar bola dunia atau bumi yang mengingatkan bahwa manusia itu berasal dari tanah dan kembali ke tanah; akhirnya dikeluarkan lagi dari tanah pada yaumil ba’ats (hari kiamat) [QS. At- Taubah:5]

Dilingkari tali tersimpul yang melambangkan ukhuwwah atau persatuan. [Q.S. Ali Imran: 103] dan ikatannya melambangkan hablun minallah wa hablum minan nas [Q.S. Ali Imran: 112].

Dikelilingi sembilan bintang, lima bintang terletak di atas garis khatulistiwa yang terbesar terletak di tengan atas, sedangkan empat bintang terletal melingkar di bawah garis khatulistiwa. Bintang besar melambangkan Nabi Muhammad, empat bintang di atas melambangkan empat sahabat dan empat bintang di bawah melambangkan empat mazhab. Di samping itu juga melambangkan Walisongo. Jadi Nabi, sahabat, imam mazhab, serta para Walisongo yang akan memberikan sinar dan petunjuk ke jalan yang benar.

Tulisan Nahdlatul Ulama dalam huruf Arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia atau sebelah kiri.

Semua jenis lambang tersebut dilatarbelakangi warna putih di atas warna hijau. Warna putih melambangkan kesucian sementara warna hijau melambangkan kesuburan.

Lambang ini diciptakan oleh K.H. Ridlwan Abdullah dari Surabaya, setelah melakukan salat istikharah dan bermimpi melihat gambar di langit yang bersih dan jernih. Maka setelah ia bangun dibuatlah sketsa yang mirip dengan mimpinya dan jadilah lambang NU. Lambang ini ditetapkan pada Muktamar NU ke-2 di Surabaya.


2.Tujuan dan usaha

Nahdlatul Ulama didirikan dengan tujuan untuk berlakunya ajaran Islam menurut paham Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menganut salah satu empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali) di dalam wadah negar Kesatuan Repblik Indoensia:

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka Nahdlatul Ulama melakukan usaha-usaha sebagai berikut:

Mengusahan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal Jamaah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah Islamiyah dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwah Islamiyah.

Di Bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengusahakan terwujudnya penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang sesuai dengan ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah untuk membina manusia muslim yang bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil serta berguna bagi agama bangsa dan negara.

Di bidang sosial, mengusahakan terwujudnya kesejahteraan rakyat terhadap anak yatim, fakir miskin, serta anggota masyarakat menderita lainnya.

Di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembanguan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mengutamaakn tumbuh berkembangya ekonomi kerakyatan.

Mengembangkan usaha-uasaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak atau maslahatul ‘ammah guna terwujudnya khayra ummah (umat terbaik).

Semua usaha dan kegiatan yang diperjuangkan NU bukan semata-mata untuk kepentingan warga NU saja, tetapi juga untuk kepentingan pembangunan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Usaha-usaha tersebut dijabarkan pada program kebijaksanaan NU yang menjadi acuan dan rujukan bagi seluruh perangkat dan tingkatan organisasi dalam menyusun program dengan berpedoman pada visi NU, yaitu tatanan masyarakat yang berkeadilan dan demokratis atas dasar ajaran Islam Ahlussunah wal jama’ah.

Sementara misi jam’iyah adalah; Pertama, mengupayakan sistem perundang-undangan dan mempengaruhi kebijakan yang menjamin terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan demokratis. Dan kedua, melakukan pemberdayaan pada masyarakat.                                                                

 D. Syakhsiyah Nahdliyah Dalam Bingkai NKRI

“Cara beragama kami adalah berpegang teguh pada Kitab Tuhan kami Yang Maha Agung, Sunnah Nabi SAW, serta apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kepada semuanya itu kami bersandar; dengan apa yang diucapkan oleh Abû ’Abd Allâh Ahmad Ibn Muhammad Ibn Hanbal kami berbicara, dan kami menjauhi orang-orang yang menentangnya. Sesungguhnya dia adalah pemimpin yang mulia yang dengannya Allah membangun kebenaran dan melenyapkan kesesatan...”

[Al-Asya’ri, 1401 H/1981 M: 17]


Dr. Jalal Muhammad Musa dalam buku Nasy-ah Al-Asy’âriyyah wa Tathawwurihâ mengungkapkan bahwa, istilah Ahlussunnah Waljama’ah mengandung dua pengertian; âm dan khâsh. Makna âm-nya adalah sebagai pembanding kaum Syi’ah. Dalam konteks ini, Muktazilah dan kelompok lainnya masih mengakui keabsahan hadis –terlepas dari bagaimana mereka memposisikannya sebagai sumber ajaran Islam—, masuk dalam kategori ini. Sedangkan makna khâsh-nya sebagai sebutan bagi para pengikut Asy’ariah dan Maturidiah dalam pemikiran kalam. (Chatibul Umam, dkk, 1998:9)

Dalam konteks ke-NU-an, paham Ahlussunnah Waljama’ah mencakup aspek akidah (teologi), syari’ah, dan akhlak (dibahas secara rinci dalam poin C bab ini). Paham Ahlussunnah Waljama’ah bagi NU, merupakan integralisasi ajaran yang mencakup seluruh aspek-aspek keagamaan yang didasarkan pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariah dan Maturidiah dalam hal akidah, empat imam mazhab besar dalam fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), dan Abul Qasim Al-Junaidi Al-Baghdadi dan Al-Ghazali serta para imam lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam dalam hal tasawuf.  

 Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.

Para ulama pesantren pendiri NU mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar.

NU berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat.

NU memandang bahwa klaim dan monopoli atas kebenaran merupakan sikap yang tidak etis. Sikap itu merupakan potensi konflik yang dapat memecah belah masyarakat. Karena itu NU berpendirian bahwa setiap orang atau kelompok hendaknya menerima kebenaran dan kebaikan pihak lain yang berbeda dengan tetap mengacu kepada nilai intelektual, moral keagamaan, dan kemanusiaan.

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, NU telah bertekad untuk terikat dengan kesepakatan-kesepakatan nasional yang mengatur kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mewujudkannya dalam realitas. Meskipun demikian NU berpandangan bahwa prinsip berbangsa dan bernegara harus tetap menghargai dan menghormati keyakinan dan keberagamaan masyarakat. Kiprah dan dinamika NU adalah keislaman, keindonesiaan, kemanusiaan dan rahmatan lil ‘alamin. Karena itu NU meneguhkan kultur, struktur, sistem dan mekanisme lembaganya sebagai organisasi agama dan sosial yang bercirikan Ahlussunnah Waljamaah.

NU bukanlah organisasi politik dan secara organisatoris tidak terikat dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. NU adalah organisasi sosial keagamaan yang independen dan mempunyai kebebasan dalam menentukan sikap dan langkahnya. NU menjunjung tinggi demokrasi, konstitusi, dan hukum. NU juga menghargai keterbukaan, kooperatif, dialogis dan moderat. Karena itu NU menentang segala bentuk diskriminasi, radikalisme, anarkisme, dan terorisme.

Spesifikasi NU yang membedakan dengan organisasi lainnya adalah agenda mengusung Ahlussunnah Waljamaah. Dalam tataran aplikatif, faham Ahlussunnah Waljamaah dijabarkan dalam naskah Khittah NU yang merupakan landasan berpikir, bersikap, dan bertindak sesuai acuan Ahlussunnah Waljamaah.

Dengan sadar mengambil posisi aktif, menyatukan diri di dalam perjuangan nasional bangsa Indonesia.Menjadi warga negara RI yang menjunjung tinggi Pancasila/UUD 1945.Memegang teguh ukhuwah dan tasamuh.Mendidik untuk menjadi warga negara yang sadar akan hak/kewajibannya.Tidak terikat secara organisatoris dengan organisasi politik atau organisasi kemasyarakatan manapun.Warga NU adalah warga negara yang mempunyai hak-hak politik.

Warga NU menggunakan hak politiknya secara bertanggung jawab, menumbuhkan sikap demokratis, konstitusional, taat hukum dan mengembangkan mekanisme musyawarah. 

Khittah NU merupakan landasan dan patokan-patokan dasar.Dengan seizin Allah keberhasilan perwujudan Khittah ini tergantung kepada kegiatan para pemimpin dan warga NU.Jamiyah NU akan mencapai cita-citanya dengan melaksanakan Khittah ini.


Hal inilah yang menyebabkan NU menjadi representasi umat Islam dunia. NU telah dilihat sebagai warna lain Islam di belahan dunia, di samping Universitas Al-Azhar Mesir, Rabithah Alam Islami, dan Muktamar Alam Islami. Tidak berlebihan jika NU memiliki dinamika dan orientasi yang senantiasa berusaha membangun keteladanan dalam bersikap dan berperilaku, baik di tingkat masyarakat, bangsa, dan negara.                                   

  E. Peran NU dalam Persiapan dan Pasca                

 Kemerdekaan NKRI                                                                                        

 Peran dan kontribusi Nahdatul Ulama (NU) sangat besar dalam sejarah perjuangan bangsa, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan, terutama dalam pemberdayaan masyarakat.   NU juga mempunyai kedekatan hubungan dengan Presiden RI yang pertama, Soekarno. Pada Muktamar Alim Ulama se- Indonesia tahun 1953 di Cipanas, diputuskan untuk memberi gelar kepada Soekarno sebagai Waliyul Amri Dharuriy bis-Syawkah (Pemimpin Pemerintahan yang berkuasa dan wajib ditaati).   Bila dipandang dari sudut nasionalisme, NU dan Soekarno selalu menempatkan kepentingan nasional, kepentingan bangsa di atas kepentingan orang-perorang, kelompok atau golongan. Dukungan NU kepada Bung Karno juga dicatat dalam sejarah dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 di bawah komando KH. Hasyim Asy`ari yang mewajibkan segenap umat Islam, khususnya warga NU untuk berperang melawan sekutu. 


Keterlibatan NU untuk memperjuangkan berdirinya Republik berkobar ketika Jepang datang menggantikan penjajah Belanda pada tahun 1942.


Penguasa Jepang sejak awal lebih condong bekerjasama dengan para pemimpin Islam, ketimbang pemimpin tradisional atau pemimpin nasionalis. Kecondongan ini terjadi karena Jepang menganggap para kyai yang memimpin pesantren merupakan pendidikan masyarakat pedesaan, sehingga dapat dijadikan alat propaganda yang efektif. Sebagai imbalannya para pemimpin Islam diberi kemudahan dalam urusan keagamaan. Kecondongan Jepang yang seperti itu tidak diabaikan oleh NU.


Alasannya bukan karena mau dijadikan sebagai propagandis melainkan untuk memanfaatkan kesempatan untuk mensosialisasikan keinginan untuk merdeka. Ketika Jepang membentuk kantor urusan agama (shumubu) yang membentuk jaringan langsung para kyai pedesaan dan memberi pelatihan terhadap para kyai dengan mengajarkan sejarah, kewarganegaraan, olah raga senam dan bahasa Jepang, bukan malah membawa kyai tunduk pada Jepang tetapi sebaliknya, terjadi politisasi di kalangan kyai.


Siasat yang dibuat NU tersebut tercium oleh Jepang. K.H. Hasyim Asyari ditangkap dengan alasan yang tidak jelas. Terjadi kegoncangan di tubuh organisasi NU. Kegoncangan bertambah hebat ketika K.H. Mahfudz Shiddiq ikut ditangkap dengan tuduhan melakukan gerakan anti Jepang. Penangkapan itu terus terjadi pada ulama-ulama lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat dengan tuduhan yang sama yakni gerakan anti Jepang. K.H. Wahab Hasbullah mengeliminir kegoncangan yang terjadi dalam NU dengan melakukan lobi ke beberapa pejabat Jepang, seperti Saiko Siki Kan (Panglima tertingi bala tentara Jepang di Jakarta), Gunseikan (Kepala Pemerintahan militer Jepang di Jakarta) dan Shuutyokan (Residen Jepang di Surabaya). Usaha keras K.H. Wahab untuk membebaskan K.H. Hasyim, K.H. Mahfudz Shiddiq dan beberapa kiai lainnya membuahkan hasil dibebaskannya kiai-kiai itu. Usaha untuk pembebasan ini memakan waktu sampai enam bulan.


Untuk memperkuat kekuatan militernya, Jepang membentuk kekuatan sukarela Indonesia yakni Peta yang diikuti banyak orang Indonesia dari berbagai kalangan tak terkecuali umat Islam dan para kiai. Kenapa orang Indonesia mau menjadi Peta, padahal mereka tahu pembentukan Peta dimaksudkan untuk membantu tentara Jepang menghadapi Sekutu yang akan datang ke Jawa? Masuknya banyak orang Indonesia ke Peta lebih karena untuk mengetahui seluk-beluk kemiliteran dan mengangankan mendapat peranan politik yang lebih besar di masa yang akan datang, bukan karena semata ingin membantu Jepang.


Selain itu, pemerintah Jepang akan membubarkan organisasi sosial-politik-keagamaan yang tidak mau diajak bekerjasama, sebaliknya yang masih mau diajak kerjasama akan dikooptasi. MIAI dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1943 dan diganti dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang menyatakan siap membantu kepentingan Jepang. Hanya NU dan Muhammadiyah yang diperbolehkan secara sah oleh Jepang untuk menjadi anggota Masyumi.


Pada tahun 1944, NU pertama kalinya masuk ke dalam struktur pemerintahan dengan diangkatnya K.H. Hasyim Asyari sebagai Ketua Shumubu (Kantor Urusan Agama). Pada tahun itu juga K.H. Wahid Hasyim berhasil melobi Jepang untuk memberikan pelatihan militer khusus kepada para santri dan mengizinkan mereka membentuk barisan pertahanan rakyat tersendiri yakni Hizbullah dan Sabillilah. Sejak saat itu ormas Islam memiliki pasukan tersendiri. Kaum nasionalis yang netral agama menguasai tentara nasional (Peta) yang dibentuk Jepang.


Baik Peta, Hisbullah ataupun Sabilillah yang diharapkan Jepang bisa membantu Perang Asia Timur Raya, ternyata yang terjadi malah kebalikan, kemampuan ketika komponen ini dipergunakan untuk memukul Jepang. Pada tanggal 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuaki Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia. Janji itu dilontarkan karena di beberapa medan pertempuran, Jepang mengalami kekalahan terhadap Sekutu. Janji itu kemudian direspons secara positif oleh Pimpinan Kongres Umat Islam se-Dunia, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dari Palestina mengirimkan surat kepada pemerintahan Jepang melalui Duta Besar berkuasa penuh pemerintah Jepang untuk Jerman. Surat itu juga ditembuskan kepada K.H. Hasyim Asy’ari (Rais Am Masyumi). Dengan cepat K.H. Hasyim menyelenggarakan rapat khusus Masyumi pada tanggal 12 Oktober 1944, yang menghasilkan resolusi ditujukan kepada pemerintah Jepang.


Resolusi tersebut berisi; pertama, mempersiapkan umat Islam Indonesia agar mampu dan siap menerima kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Kedua, mengaktifkan kekuatan umat Islam Indonesia untuk memastikan terlaksananya kemenangan final dan mengatasi setiap rintangan dan serangan musuh yang mungkin berusaha menghalangi kemajuan kemerdekaan Indonesia dan agama Islam. Ketiga, bertempur dengan sekuat tenaga bersama Jepang Raya di jalan Allah untuk mengalahkan musuh. Keempat, menyebarkan resolusi ini kepada seluruh tentara Jepang dan kepada segenap bangsa Indonesia. (Choirul Anam, 1999: 126). Berbagai fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang dimanfaatkan umat Islam untuk menyadarkan masyarakat akan hak-hak politiknya di masa depan.


Jauh hari sebelum persiapan kemerdekaan dilakukan, NU pada Muktamarnya ke-15 yang diselenggarakan bulan Juni 1942 (muktamar terakhir masa kolonial Belanda) diadakan rapat tertutup yang dihadiri oleh 11 orang ulama yang dipimpin oleh K.H. Mahfudz Shiddiq untuk membicarakan calon yang pantas untuk dijadikan presiden pertama Indonesia. Sebelas tokoh NU menentukan pilihan dua nama yang disebut, yakni Soekarno dan Mohammad Hatta. Para ulama memilih Soekarno banding Hatta dengan perbandingan suara 10:1.


Pembicaraan mengenai calon pemimpin pertama Indonesia itu dilakukan pada saat Indonesia belum bisa memastikan kapan akan merdeka. NU melakukan pembicaraan dini mengenai pemimpin bangsa Indonesia dikarenakan NU menganggap pemimpin itu sangat penting. Ada ajaran (Islam) yang menyebutkan bahwa pemimpin yang lalim masih lebih baik ketimbang tidak ada pemimpin.


Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Dalam badan itu juga tercantum nama K.H. Wahid Hasyim sebagai anggota. BPUPKI selain menyusun Undang-Undang Dasar (UUD) juga muncul pembicaraan mengenai bentuk negara. Polarisasi pendapat di dalam BPUPKI mengenai bentuk negara; satu pihak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, pihak lainnya menginginkan Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan negara dan agama. Di BPUPKI inilah Soekarno meletakkan dasar-dasar bakal negara Indonesia.


Sebagian umat Islam menginginkan dibentuknya Negara Islam sehingga memungkinkan dilaksanakannya syariat Islam secara penuh. Menurut Soekarno ada dua pilihan tentang bentuk negara Indonesia yakni persatuan staat-agama tetapi sonder (tanpa) demokrasi atau demokrasi tetapi staat dipisahkan dari agama.


Soekarno condong memilih pilihan yang kedua. Menurutnya, negara demokrasi dengan memisahkan agama dari negara tidak mengabaikan (nilai-nilai) agama. (Nilai-nilai) agama bisa dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku dengan usaha mengontrol parlemen, sehingga undang-undang yang dihasilkan parlemen sesuai dengan Islam. Pemikiran Soekarno ini substansialistik yang menginginkan dilaksanakannya ajaran Islam, tetapi tidak setuju terhadap formalisasi ajaran Islam.


Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengusulkan agar negara Indonesia didasarkan pada Pancasila atau lima dasar, yakni; 1) kebangsaan; 2) Internasionalisme, perikemanusiaan; 3) Permusyawaratan, perwakilan, mufakat; 4) Kesejahteraan; 5) Ketuhanan.


Polarisasi di BPUPKI tidak berhenti begitu saja. Perdebatan sengit tentang sila Ketuhanan yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan syariat agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang diajukan dalam Piagam Jakarta. Tujuh kata terakhir mendapat tentangan keras dari kelompok nasionalis-sekuler-kristen. Perdebatan ini menurun ketika para pemimpin nasionalis-muslim seperti Wahid Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuannya dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, sepakat untuk mencabut tujuh kalimat dalam Piagam Jakarta yang menjadi titik sengketa dengan kelompok nasionalis-sekuler-kristen.


Piagam Jakarta adalah hasil rumusan dari tim sembilan anggota PPKI (di dalamnya KH. Wahid Hasyim) yang bertugas merumuskan tentang dasar negara. Sikap ketiga pemimpin nasionalais-muslim tersebut merupakan kelanjutan dari diskusi antara KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur (NU) dan Kahar Muzakir (PII) dengan Soekarno pada akhir Mei 1945.


Pasca Proklamasi


Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata perjuangan masih terus berlanjut. Kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara diliputi ketegangan setelah kekalahan Jepang.      

  F. Seabad NU Mewujudkan Mabadi’ Khaira Ummah                                                

 Hampir satu abad lamanya Nahdlatul Ulama eksis di bumi Indonesia. Faktor utama yang memperkuat basis legitimasi NU di tengah masyarakat adalah komitmennya pada nilai-nilai luhur, konsisten mengusung agenda perubahan dan keberpihakannya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Agenda-agenda besar NU tentunya menyentuh seluruh level masyarakat sehingga keberadaannya mampu mewakili kepentingan sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.

Para ulama pesantren pendiri NU mempunyai visi dan misi serta strategi gerakan kultural: menjaga, melestarikan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Waljamaah di tengah-tengah kondisi dan dinamika kehidupan. Prinsip dasar, kaidah, tradisi dan metode keilmuan Islam Ahlussunnah Waljamaah ini telah memperteguh kaum Nahdliyin dalam berpikir, bersikap dan bertindak, baik dalam relasi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia maupun manusia dengan alam semesta. Hubungan tersebut dibangun dalam suatu sistem kehidupan yang menjamin tegaknya moralitas keagamaan dan martabat kemanusiaan serta tegaknya jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar.

NU berpindirian bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin, memiliki makna dan fungsi universal, suci, fitri, hanif serta dapat diterima dan diamalkan oleh seluruh umat manusia. Ragam ras, budaya, agama, aliran dan lainnya dipahami Islam sebagai sunnatullah. Pluralitas adalah rahmatullah bahkan amanah ilahiyah dan kemanusiaan yang harus dimaknai dan disikapi dengan saling mengenal, memahami, membuka diri, merangkul dan mendialogkan secara kreatif untuk menjalin kebersamaan dan kerjasama atas dasar saling menghormati. NU berpendirian bahwa realitas kehidupan harus dilihat secara substantif, fungsional, terbuka, dan bersahabat.                                              Sejak berdiri pada 1926, NU menempatkan kepentingan masyarakat Islam sebagai orientasi besar gerakannya. Cita-cita tersebut secara sistematik terformulasikan dalam mabadi’ khaira ummah. Secara etimologi, mabadi’ khaira ummah terdiri dari tiga kata bahasa Arab. Pertama, mabadi’ yang artinya landasan, dasar, dan prinsip. Kedua, khaira yang artinya terbaik, ideal. Ketiga, ummah yang artinya masyarakat, dan rakyat. Sedangkan secara epistemologi, mabadi’ khaira ummah adalah prinsip-prinsip yang digunakan untuk mengupayakan terbentuknya tatanan kehidupan masyarakat yang ideal dan terbaik, yaitu masyarakat yang mampu melaksanakan tugas-tugas amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman, “jadilah engkau sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia mengajak kebaikan dan mencegah keburukan. Dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110) [PP LTN NU, 1992: 77]

Ide NU untuk mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik (khaira ummah) sebenarnya telah diupayakan sejak tahun 1935. Pada saat itu para tokoh NU berpendapat bahwa proses pembentukan masyarakat yang ideal dan terbaik dapat dimulai dengan menanamkan nilai-nilai al-shidq (kejujuran), al-wafa’ bi al-‘ahd (komitmen) dan al-ta’awun (komunikatif dan solutif). Tiga prinsip dasar itu kemudian disebut mabadi’ khaira ummah dan menjadi program kerja organisasi.

Perkembangan zaman yang cukup pesat memaksa para ulama untuk melakukan evaluasi kerja. Pada Munas Alim Ulama di Bandar Lampung tanggal 21—25 Januari 1992, para ulama menyepakati untuk melakukan penyempurnaan terhadap tiga butir mabadi’ khaira ummah dengan menambah prinsip al-istiqamah (kontinuitas/konsistensi) dan al-‘adalah (tegas menegakkan keadilan). NU berkeyakinan bahwa lima prinsip tersebut merupakan langkah alternatif dan prospektif bagi upaya mewujudkan masyarakat ideal dan terbaik di Indonesia.

Prinsip pertama dari mabadi’ khaira ummah adalah al-shidq artinya jujur. Prinsip ini mengandung pengertian kejujuran/kebenaran, kesungguhan, dan keterbukaan. Kejujuran/kebenaran adalah kesesuaian antara pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Sehingga dalam diri manusia terdapat korelasi antara ide, konseptualisasi, dan implementasi. Prinsip kejujuran secara otomatis akan mengikis sikap inkonsistensi, oportunitas, distorsitas dan manipulasi. Setiap orang dituntut untuk jujur kepada diri sendiri, kepada sesama, dan kepada Allah.

Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. al-Taubah: 119). Allah juga berfirman: “Mereka itulah orang yang bersungguh-sungguh dan mereka itulah orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177).

Al-shidq juga mengandung pemahaman transparansi, yaitu terbuka kepada orang lain kecuali dalam persoalan krusial yang menuntut untuk dirahasiakan demi kebaikan bersama. Keterbukaan ini dapat menjaga kohesivitas kelompok sekaligus menjamin berjalannya fungsi kontrol. Sedangkan al-shidq dalam arti kesungguhan mendorong manusia agar serius, profesional dan bertanggung jawab dalam melaksanakan berbagai upaya dan tugas.

Kedua, al-amanah wa al-wafa bil-‘ahdi. Prinsip ini berasal dari dua kata, yaitu al-amanah yang artinya beban yang harus dilaksanakan. Sedangkan alwafa’ bi al-‘ahdi berarti pemenuhan atas komitmen. Al-amanah mempunyai kandungan arti lebih luas, karena menyangkut pemenuhan semua beban, baik tugas yang terkait dengan perjanjian maupun tidak. Sedangkan al-wafa’ bi al-‘ahdi hanya pemenuhan tugas yang terkait dengan perjanjian. Secara keseluruhan prinsip ini mengandung pengertian dapat dipercaya, setia, dan pemenuhan komitmen. Maka manusia dituntut untuk berupaya menjadi pribadi yang dapat dipercaya dengan cara menepati semua komitmen yang telah dibuatnya, baik yang berkaitan dengan agama maupun sosial. Manusia juga dituntut untuk menjadi pribadi yang setia, patuh dan taat kepada Allah dan penguasa. Artinya, seseorang harus melakukan pemihakan terhadap Allah, Rasulullah dan penguasa yang baik dan adil.

Kepercayaan membutuhkan konsistensi tanggung jawab. Sedangkan tepat janji merupakan komitmen atas kesepakatan dan kesungguhan melaksanakannya, baik komitmen yang bersifat pribadi dan sosial maupun agama. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu sekalian untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. al-Nisa’: 58)

Ketiga, al-‘adalah yang artinya keadilan. Prinsip keadilan mengandung pengertian obyektif, proporsional, dan taat asas. Prinsip keadilan ini mendorong setiap manusia untuk berpegang kepada kebenaran obyektif dan bertindak proporsional. Bersikap adil secara otomatis mencita-citakan kebaikan di muka bumi. Sebab hanya dengan keadilan akan terwujud sebuah obyektifitas, proporsionalitas, dan supremasi hukum. Prinsip al-‘adalah juga memberikan implikasi terwujudnya komitmen terhadap penegakan supremasi hukum dan kebijakan yang mengacu kepada rasionalitas Karena itu prinsip keadilan dan kebaikan merupakan dua sisi mata uang yang harus diperjuangkan bersama-sama. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil dan kebaikan.” (QS. al-Nahl: 90). Kehilangan sikap adil akan melahirkan distorsitas dan egoisitas yang mampu mendatangkan kekacauan dan perselisihan.

Keempat, al-ta’awwun yang artinya tolong menolong (mutual help). Prinsip ini mengandung pengertian tolong menolong, setia kawan, dan gotong royong dalam mewujudkan kebaikan dan ketakwaan. (Imam Mawardi mengaitkan pengertian al-birr (kebaikan) dengan kerelaan manusia, sedangkan al-taqwa (ketakwaan) dengan kerelaan Allah. Lihat Keputusan Munas Alim Ulama, op. cit. hal. 92.)

Maksudnya, manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.

Prinsip al-ta’awwun menjunjung tinggi sikap solidaritas sesama manusia dan berinteraksi bahu-membahu dalam hal kebaikan, baik bersifat material maupun spiritual. Sebaliknya al-ta’awwun bukanlah prinsip dasar untuk menopang tindakan destruktif yang dapat memperburuk kondisi sosial budaya masyarakat. Allah berfirman, “Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong kamu dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah:2). Maka al-ta’awwun akan mampu mewujudkan sinergitas antarmanusia untuk berusaha bersikap kreatif agar dapat memiliki sesuatu yang dapat disumbangkan kepada orang lain dan kepada kepentingan bersama.

Mengembangkan sikap al-ta’awwun secara otomatis juga mengupayakan konsolidasi.

Kelima, al-istiqamah yang artinya kesinambungan, keberlanjutan, dan kontinuitas. Prinsip ini mendorong manusia untuk kukuh dalam memegang ketentuan Allah, Rasul-Nya, para salaf al-salih dan aturan yang telah disepakati bersama. Al-istiqamah mengandung sikap kontinuitas dan percaya atas adanya proses. Prinsip al-istiqamah juga mengandung pengertian kesinambungan dan keterkaitan antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain dan antara periode satu dengan periode yang lain sehingga semuanya merupakan satu kesatuan yang saling menopang dan terkait. Di samping itu prinsip al-istiqamah mengandung spririt kontinuitas, progresifitas dan anti kejumudan. Sehingga al-istiqamah dapat menjamin kontinuitas sebuah proses sampai pada titik kemajuan peradaban manusia.

Lima prinsip mabadi’ khaira ummah di atas merupakan metodologi khas ulama pesantren. Hal ini tentu bagian dari watak otentik NU yang selalu dipandang mempunyai irama dan tempo perubahan sendiri.

Mabadi khaira ummah merupakan jalan panjang bagi terwujudnya obsesi warga Nahdliyyin untuk menjadi umat terbaik (khaira ummah) yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga Nahdliyyin dapat mewarnai dan menjadi acuan seluruh masyarakat bagi terbentuknya tatanan khaira ummah, atau dalam konteks kekinian dikenal dengan istilah masyarakat madani. (PP LP Ma’arif NU, 2004: 66)

Dalam tataran implementasi, mabadi’ khaira ummah sangat berkaitan dengan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana dimaklumi, istilah amar ma’ruf nahi munkar pertama kali diperkenalkan Al-Quran dalam surah Al-A’raf ayat 157. “Memerintahkan mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang jelek-jelek.”

Artinya, konsep amar ma’ruf nahi munkar merupakan instrumen gerakan NU sekaligus barometer keberhasilan mabadi’ khaira ummah sebagai sebuah karakter kaum Nahdliyin. Sehingga terbentuknya masyarakat madani (khaira ummah) sangat dipengaruhi oleh sejauh mana kaum Nahdliyin mampu mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar. Maka komunitas yang termasuk dalam klasifikasi khaira ummah adalah kelompok yang mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar di samping juga sifat-sifat yang lain.

Sebaliknya upaya amar ma’ruf nahi munkar secara benar akan dapat mewujudkan masyarakat madani. (Majalah Aula, 1992: 93)

Aktualisasi doktrin di atas tentu memerlukan pemahaman dan perhitungan yang cermat, mengingat doktrin tersebut sangat berkaitan dengan realitas sosial. Karena itu ulama NU memahami bahwa amar ma’ruf (mendorong berperilaku positif) adalah memberi upaya memberikan motivasi kepada masyarakat agar berbuat baik dan bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik dari sisi fisik maupaun metafisik. Maksudnya, setiap umat Islam mempunyai kewajiban moral untuk melakukan aktivitas yang dapat memberikan implikasi positif bagi manusia di sekitarnya. Segala aktivitas individu diupayakan mempunyai basis sosial yang cukup tinggi. Sehingga kemajuan yang diraih oleh seseorang secara otomatis memberikan dampak kemajuan terhadap orang lain. Maka dari interaksi antarindividu (ukhuwwah islamiyyah) akan tercipta interaksi sosial (ukhuwwah insaniyyah) dalam bingkai menuju cita-cita masyarakat madani (ukhuwwah wathaniyyah).

Sedangkan nahi munkar adalah menolak dan mencegah segala yang dapat merugikan, merusak dan merendahkan nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan. Pada tataran implementataif, nahi munkar sangat ditentukan oleh sejauh mana keberhasilan upaya amar ma’ruf. Sebab keseimbangan peran keduanya dalam upaya pembentukan khaira ummah sangat menentukan corak implementasi pada tataran teknis. Keduanya harus mengacu kepada upaya kemakmuran dan keadilan dengan pola persuasif dan pendekatan budaya lokal. Maka NU berpendapat bahwa implementasi amar ma’ruf (mendorong untuk berbuat baik) harus lebih diutamakan sampai terciptanya tatanan kehidupan manusia yang beradab.

Langkah berikutnya adalah nahi munkar (melarang berbuat kemungkaran). NU juga meyakini bahwa upaya pembentukan khaira ummah tetap mengacu kepada kaidah, man kana amruhu ma’rufan, fal-yakun bil-ma’ruf, (siapa yang memerintah kebaikan, haruslah dengan cara yang baik pula).(***) Penulis adalah mantan Sekretaris Umum PMII KH Wachid Hasyim UII Yogyakarta.                                                                   

 Honor ditransfer ke Simpedes Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535.                         Daftar Pustaka:                                      

 1.Aji Setiawan , rubrik Sejarah; Harlah NU: Menghadang Langkah Wahabi, hal 68-72.Lihat alKisah, No 4/IV/2006.         

2. Aji Setiawan, Peran dan kontribusi Nahdatul Ulama (NU) .Cilacap info. Aug 15, 2020.                                                        

 3. Aji Setiawan, Peran NU dalam Sebelum dan Pasca  Kemerdekan RI : Laduni; Aug 14, 2020.                                  

 4. Aji Setiawan, Mabadi Khairu Ummah NU: Jaringan Santri. 8 Oktober 2020.        

 5. Aji Setiawan.Babak Kelahiran NU: Jaringan Santri, 3 Januari 2021.            

 6. Aji Setiawan. Sikap NU Terhadap Pancasila Sepanjang Sejarah NKRI . Cilacap info.Aug 21, 2020.                           

 7. Syakhsiyah NU Dalam Bingkai NKRI. Laduni. Sep 5, 2020.

Senin, 04 Januari 2021

Semarak Harlah PPP Ke 48

 Semarak Harlah PPP ke-48 Di Jawa Tengah.                                   Semarang- Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Semarang-Persatuan Pembangunan (PPP) Jateng dalam memperingati harlah PPP ke-48 berlangsung semarak. Selain memasang baliho, spanduk. bendera di seluruh Jawa Tengah. DPW PPP berziarah ke makam tokoh PPP Jawa Tengah seperti H. Karmani,SH dan Drs. H Hisyam Ali, Ahad(3/4). Kegiatan ziarah ke makam tokoh-tokoh PPP juga dilaksanakan oleh DPC PPP yang ada di Jawa Tengah. Pada hari Senin (4/1) DPW juga menggelar istighotsah kubro dalam rangka memperingati hari lahir (harlah) ke-48 di  kantor DPW PPP Jateng, Jalan, Karanganyar Semarang.


Partai hasil fusi empat parpol Islam (NU, Parmusi, Perti dan SI) yang lahir pada tanggal 5 Januari  1973 hingga saat ini yang telah menjadi PPP sudah berusia 48 tahun.


Ketua DPW PPP Jateng H, Masruhan Syamsuri mengatakan," Istighotsah di  kantor DPW PPP Jateng itu, juga diikuti secara virtual dengan zoom meting secara bersamaan dengan 35 DPC PPP se -Jateng," kata Masrukhan.   Selain istigotsah juga akan ada penerbitan buku PPP oleh DPW PPP Jawa Tengah.


DPC PPP Purbalingga DPC PPP Purbalingga peringati Harlah PPP ke 48 Dengan hikmat. Sedari Ahad, turut berziarah dengan Tokoh PPP Jawa Tengah. Berziarah kubur ke H. Karmani,SH dan H. Hisyam Ali (Mantan ketua DPW PPP Jawa Tengah). Hari Senin(4/1) ikut secara virtual Khotmil Qur'an di DPP PPP dan rangkaian kegiatan istigosah yang digelar DPW PPP Jawa Tengah. "Harlah PPP tepat hari ini, Selasa (5/1) kita menyimak pidato Harlah ke-48 oleh Ketum DPP PPP sekaligus menyaksikan secara pengumuman pengurus DPP oleh Dr.Suharso Monoarfa secara virtual," kata Aji Setiawan,ST , Wakil Sekretaris DPC PPP Purbalingga.  

Dalam rangka kegiatan HARLAH PPP ke 48 Tingkat DPC PPP Purbalingga juga mengadakan  Safari Ziaroh ke para Masyayih dan Tokoh PPP Kab. Purbalingga.

"Adapun waktu Sabtu(9/1) dan Ada juga usulan pada Senin(11/1) 2021 pukul 07.30. Sedangkan  rute  kami informasikan lebih lanjut," kata Hj Nurul Hidayah SH ,MSi.            Selain itu juga akan diadakan santunan Anak Yatim. Kendalanya memang masa pandemi, semua harus mematuhi Prokes. "Hari-hari belakangan ini, masih ada pembatasan pertemuan. Kayaknya ngumpulin lebih dari 50 orang ndak berani.Padahal yang bersedia hadir dan menyemarakan suasana sudah lebih dari 30 pengurus," lanjut Hj Nurul Hidayah, Ketua DPC PPP Purbalingga.

Di harlah ke 48 ini DPC PPP Purbalingga memohon doa dan selalu minta dukungan dari segenap pengurus.

"Semoga kita selalu sehat dan penuh keberkahan dan keselamatan untuk terus berjuang bersama PPP," pungkas Hj Nurul Hidayah.(***) Aji


Minggu, 03 Januari 2021

Islam Nusantara

 THE INTERNATIONAL JOURNAL OF PEGON::

ISLAM NUSANTARA CIVILIZATION

Menelisik Kajian Islam dan Jejaring Ulama Nusantara

MENELISIK KAJIAN ISLAM DAN

JEJARING ULAMA NUSANTARA

Aji Setiawan, ST

Cipawon, 6/1, Bukateja, Central Java Purbalingga

ajisetiawanst@gmail.com

أبستراك

أڬاها إسالم تيداك ديالُيركاى دي إيٌدًّيسييا, ًاهْى جْسترّ ًيڬارا إيٌيالٍ ياڠ 

هيويليكي ڤيٌدّدّك هسلين ديڠاى جوالٍ تيربيسار دي دًّييا. باڬايواًاكاٍ چارا 

أڬاها إيٌي هاسْك داى بيركيوباًڬ دي أًتارا سْكْ داى بْدايا ياڠ بيراڬام دي 

ًْساًتارا؟ ڤارا ڤيداڬاڠ عراب ياڠ بيراسال داي سيويٌاًجْڠ عرابيا كي ڤيسيسير 

أّتارا سْهاتيرا )أچيَ( ڤادا أباد كي-٧ هاسيِي إيتْ سيإليي بيرداڬاڠ هيريكا 

جْڬا هيٌجادي ڤيۑيبار أڬاها إسالم داى هيالكْكاى ڤيركاّيٌاى ديڠاى ّاًيتا 

سيتيوڤات. سيكاليڤْى ڤيٌدّدّك ڤريبْهي بيلْم باۑاك ياڠ هيويلْك أڬاها إسالم, 

تاڤي كْهًْيتاس هسلين ڤيرتاها تيالٍ تيربيٌتْك ياڠ تيرديري داري أّراڠ-أّراڠ 

عراب ڤيٌداتاڠ داى ڤيٌدّدّك لْكال.سيڤيرتي ياڠ ديداڤاتكاى ڤارا ڤيڠيالًا چيٌا دي 

ڤيسيسير أّتارا سْهاتيرا )أچيَ( داى كْهًْيتاس إسالم دي ّيالياٍ سريْيجايا.

كاتا كونچي: إسالم تراديسييًْال, عالهأ ًْساًتارا, ساًتري جاريڠاى علوأ