Peran Habib Anis bin Alwi al Habsyi
Peneguh Thariqah Alawiyin di Surakarta Oleh: Aji Setiawan ajisetiawanst@gmail.com Cipawon 6/1, Bukateja Purbalingga-Jawa Tengah 53382
Simpedes BRI 372001029009535 ABSTRAKSI
Peranan Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam dakwah Islam di tengah gempuran pembaharuan Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Permasalahan utama penelitian ini adalah ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi dalam melestarikan ajaran Islam di Surakarta pada tahun 1953 hingga 2006. Pertanyaan pokok studi ini adalah bagaimana ajaran Habib Anis bin Alwi al Habsyi, serta peran dan pengaruhnya terhadap masyarakat luas, khususnya masyarakat Surakarta. Jawaban atas pertanyaan dikaji dari sumber primer dan skunder seperti sumber lisan, surat kabar, dan beberapa referensi yang relevan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kegiatan Habib Anis selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan Maulid Simthud Durar dan haul Habib Ali Al-Habsyi setiap bulan Maulud, juga ada khataman Bukhari pada bulan Rajab, khataman Ar-Ramadhan pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada tengah hari. Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW. Gerakan menghidupkan tradisi salaf dengan kitab-kitab standart seperti Shahih Bukhari, Ihya Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf dll yang berpusat di masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada era 96 an ada forum remaja masjid militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin (pencinta) habaib yang tersebar luas ke seluruh Indonesia berdatangan menjadi koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas tidak saja konteks lokal, nasional namun juga go internasional
Kata Kunci : Habib, Islam Tradisional,
Tradisi Salaf, Maulid, Muhibbin, Pasar Kliwon Solo, Solo Raya
PENDAHULUAN
Habib Anis lahir di Garut Jawa Barat, Indonesia pada tanggal 5 Mei 1928.
Ayah beliau adalah Habib Alwi. Sedangkan ibu beliau adalah Syarifah Khadijah.
Ketika beliau berumur 9 tahun, keluarga beliau pindah ke Solo. Setelah
berpindah-pindah rumah di kota Solo, ayah beliau menetap di kampung Gurawan,
Pasar Kliwon Solo.
Ayah
Habib Anis yakni Habib Alwi bin Ali bin Muhammad bin Husein bin Abdullah bin
Syekh bin Abdullah bin Muhammad bin Husein bin Ahmad Shahib Syi’ib bin Muhammad
Ash-Shoghir bin Alwy bin Abu Bakar Al-Habsy bin Ali-Al-Faqih bin Ahmad bin
Muhammad Assadullah bin Hasan At-Turabi bin Ali bin Muhammad Al-Faqih
Al-Muqadam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali Qasam bin Alwy bin
Muhammad bin Alwy Ba’Alawy bin Ubaidullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi
bin Muhammad An-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin
Ali Zainal Abidin bin Imam Husein As-Sibthi bin Amirul mukminin Ali Abi Thalib
ibin Sayidatina Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Sejak
kecil, Habib Anis dididik oleh ayah sendiri, juga bersekolah di madrasah
Ar-Ribathah, yang juga berada di samping sekolahannya. Pada usia 22 tahun,
beliau menikahi Syarifah Syifa binti Thaha Assagaf, setahun kemudian lahirlah
Habib Ali.
Tepat
pada tahun itu juga, beliau menggantikan peran ayah beliau, Habib Alwi yang
meninggal di Palembang (Bulan Rabi'ul Awal 1373 H / 27 November 1953). Habib
Ali bin Alwi Al Habsyi adik beliau menyebut Habib Anis waktu itu seperti “anak
muda yang berpakaian tua”.
Problem
masalah (problem statement) dari penelitian ini adalah karena menulis orang
yang sudah wafat atau dari sumber primer yang bersangkutan. Namun lewat
kesaksian kerabat, murid dan orang terdekat almarhum, sosok Habib Anis sebagai
tokoh penggerak Sadah Alawiyin, khususnya Solo Raya, problem itu mudah
teratasi. Maka fokus Penelitian ini adalah sebagaimana menulis manakib, mencari
data dari awal lahir, masa muda, awal berkiprah sampai peran-peran strategis
dan akhir hayat dari Habib Anis al Habsyi.
Ada
banyak pertanyaan siapa sesungguhnya Habib Anis al Habsyi, Guru Spiritualnya?
Jaringan relasi keagamaan tingkat lokal, nasional dan internasional yang
dibangun?
MASA
MUDA
Pada
Sewaktu muda, Habib Anis adalah pedagang batik, dan memiliki kios di pasar
Klewer Solo. Kios tersebut ditunggui Habib Ali adik beliau. Namun ketika
kegiatan di masjid Ar-Riyadh semakin banyak, usaha perdagangan batik
dihentikan. Habib Anis duduk tekun sebagai ulama dan Habib Anis adalah Peneguh
Tarekat Alawiyyin di Solo Raya.
Kemunculan
Tharīqah Alawiyyin di dalam dunia Islam, tidak bisa dilepaskan dari kemunculan
terminologi-terminologi tasawuf dan kaum sufi itu sendiri. Jika memakai
tipologi fikih, maka Tharīqah adalah mahzab-mahzab dari ajaran tasawuf yang
merupakan pengejawantahan dari salah satu rukun agama yaitu Ihsan. Dalam
sejarah perkembangan Islam, tasawuf dan tarekat mengalami pasang surut. Sebagai
bagian dari pelaksanaan syariat, sebenarnya tasawuf sudah ada sejak zaman
Rasulullah SAW, dilanjutkan pada masa sahabat, kemudian berkembang sebagai
suatu disiplin ilmu sejak abad ke-2 H, lewat tokoh-tokoh seperti Hasan
al-Bashri, Sofyan al-Tsauri, Junaedi al-Baghdadi, Abu Yazid al-Busthami dan
sebagainya. Meski dalam perjalannya tasawuf juga tak lepas dari kritikan para
ulama ahli fikih, hadist dan sebagainya. Menurut Alwi Shihab, setidaknya
periodisasi pertumbuhan dan perkembangan tasawuf terbagi ke dalam beberapa
tahap: Pertama, tahap Zuhud (Abad ke 1-2 H). Kedua, tahap kodifikasi ilmu
tasawuf dimana istilah tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga
pendidikan yang memberikan pengajaran teori dan praktik sufistik mulai
diperkenalkan (Abad ke 3-4 H). Ketiga, tahap tasawuf falsafi (Abad ke 6 H), dan
keempat tahap moderasi tasawuf akhlak yang pondasinya dimulai dari al-Ghazali
yang dengan rumusan konsep tasawuf moderatnya menjadikan tasawuf dianggap
selaras dengan syariat. Pada tahap inilah kemudian melahirkan tipologi tasawuf
menjadi tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi; Tasawuf Sunni merupakan kepanjangan
aliran tasawuf yang dikembangkan oleh para sufi pada abad ke-3 dan ke-4 H yang
disusul al-Ghazali dan para pengikutnya dari guru-guru tarekat dan berwawasan
moral praktis dan berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun tasawuf falsafi
lebih kepada menggabungkan tasawuf dengan berbagi aliran mistik dari dari
lingkugnan di luar Islam, seperti Hinduisme, kependetaan Kristen ataupun
teosofi dan neo-Platonisme.
Tarekat
atau tharīqah sendiri yang merupakan mazhab-mazhab dalam tasawuf adalah sebuah
metode yang dikembangkan oleh para ulama dalam menempuh jalan spiritualitas
menuju Allah SWT. Kata tarekat dan tharīqah berasal dari Bahasa Arab al-Tharīq
yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Dari pengertian ini
kemudian kata tersebut digunakan dalam konotasi makna cara seseorang melakukan
suatu pekerjaan, baik teruji maupun tercela. Sebagai sebuah metode
spiritualitas, biasanya tarekat memiliki amalam zikir dan wirid yang dilazimkan
serta hubungan khusus antara guru dan murid (Shuhbah) yang kesemuanya merupakan
proses perjalanan untuk melalui tahap-tahap mencapai tujuan. Setiap tarekat
memiliki karakter wirid dan zikirnya masing-masing yang dianggap dapat membantu
seorang salik dalam mengasah daya ruhaninya. Dalam tarekat mu’tabarah (tarekat
yang terverifikasi), biasanya wirid dan zikir ini memiliki jalur transmisi
periwayatan yang terus bersambung kepada tokoh-tokoh sentral di generasi
sebelumnya yang terus bersambung kepada pendiri sebuah taraket. Proses kegiatan
tarekat biasanya dimulai dengan pengambilan baiat atau sumpah (bai'at) dari
seorang murid di hadapan guru setelah sebelumnya melakukan tobat, puasa atau
ritual-ritual lain yang diperintahkan sang guru (mursyid) tersebut. Ritual
baiat seperti ini hampir ditemukan di dalam semua institusi tarekat yang
mu’tabar kecuali Tharīqah ‘Alawiyyah yang tidak mengharuskan adanya mursyid dan
juga baiat.
Akibat
lebih berorientasi kepada tujuan-tujuan spiritual, tarekat juga seringkali
menjadi kambing hitam dari kemunduran dialektika sosial di kalangan umat Islam.
Para pengamal sufi, seringkali lebih asik bercengkrama dengan amalan-amalan
seperti sujud, zikir, hidup di kesunyian dan jauh dari hingar bingar
matrealistik sehingga tidak jarang malah meniadakan dialektika serta peran
sosial di sekitarnya. Tentu kita pahami bahwa adanya distorsi dalam pelaksanaan
tarekat ini bukanlah hakikat dari ajaran tarekat, sebab ajaran tarekat
merupakan ajaran spiritualitas yang menempatkan moralitas, etika, sopan santun
pada posisi yang utama, sehingga sangat tidak masuk akal jika seseorang yang
mengaku sebagai pengamal tarekat malah meniadakan peran sosialnya di
tengah-tengah masyarakat sebab substansi dari moralitas terletak pada
keberhadirannya di ruang sosial.
Seorang
muslim wajib menempuh jalan spiritualitas, namun bukan berarti dia harus masuk
ke dalam sebuah institusi tarekat. Tarekat hanyalah sebuah metode dalam
bertasawuf, itu berarti bahwa seseorang bisa saja sudah dikatakan mengamalkan
tasawuf walaupun tanpa mengamalkan tarekat tertentu. Dari hal inilah kemudian
para sarjana ada yang membedakan antara istilah tharīqah dan tarekat; Tharīqah
merupakan metode spiritualitas, tarekat lebih kepada pelembagaan secara rigid
dari metode itu sendiri.
Dalam
penelitian ini, secara operasional, penulis merasa perlu membedakan antara
istilah tarekat dan tharīqah saat menjelaskan ‘Alawiyyah.
Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan karakter antara Tharīqah ‘Alawiyyah
yang berbeda dengan tarekat kebanyakan. Beberapa karakter yang menonjol dari
tharīqah ini adalah: Pertama, tharīqah ini tidak mengharuskan talqin atau baiat
bagi murid baru, sehingga siapa pun dapat langsung mengamalkan tarekat ini
tanpa harus berguru kepada mursyid. Kedua, selain berintikan keharusan
menghiasi diri dengan akhlak mulia, tarekat ini menekankan amalan yang
tergolong cukup ringan, yakni berupa himpunan wirid dan dzikir yang dikenal
dengan wirdu al-Latfhīf dan Ratib al-Haddad.
Ada
yang berpendapat bahwa sementara tarekat lain biasanya cendrung melibatkan
riyādhah-riyādhah (latihan-latihan) fisik dan kezuhudan yang ketat, Tharīqah
‘Alawiyyah hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak.
Ketiga,
posisinya yang unik berhadapan dengan kontroversi tasawuf falsafi, yakni
menjaga jarak dan tidak mau berurusan dengannya seraya menjaga sikap simpati
terhadapnya.
Kebanyakan
para Habaib ini , termasuk Habib Anis bin Alwi al Habsyi menempuh jalan
Thariqah Alawiyyah. Thariqah As-Sadah Al-Ba’Alawi) adalah suatu tarekat sufi
Islam Sunni yang terkenal, yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Ali Ba’alawi,
bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam (lahir di Tarim, Yaman, 574 H/ 1178 M, dan wafat
653 H/1256 M). Tarekat ini kemudian semakin berkembang dengan pesat di tangan Imam
Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Penyebarannya yang terbesar adalah di Yaman,
selain itu juga tersebar di Indonesia, Malaysia, Singapura, Kenya, Tanzania,
India, Pakistan, Hijaz, dan Uni Emirat Arab yang merupakan pula wilayah
diaspora bangsa Arab Hadramaut. Thariqah ini sendiri diasas oleh Al Faqih Al
Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawi (574 H/1178M- 653 H/1255 M Tarim-Yaman). Ada
dua jalur keilmuan dan thariqah yang diambilnya.
Pertama
ia mengambilnya dari jejak leluhurnya yakni lewat ayah, kakek dan terus
bersambung sampai Rasulullah SAW. Jalur yang kedua ia mengambil dari ulama
sufi, yakni Syaikh Abu Madyan Syu’aib dimana sanad mata rantai keilmuannya juga
akhirnya sambung sinambung sampai Rasulullah SAW (mu'tabar). Di Kemudian hari,
keluarga Ba’alawi ini sebagian ada masuk ke wilayah Nusantara seiring gelombang
penyebaran Islam ke bumi Nusantara. Apalagi saat itu, Nusantara menjadi objek
kunjungan dagang, melalui Bandar Malaka. MENELISIK LELUHUR HABIB ANIS Habib
Anis bin Alwi al Habsyi terhitung masih cucu dari Habib Ali bin Muhammad Husain
al Habsyi (Shohibul Maulid Simthud Durar). Habib Anis berguru kepada Habib Alwi
bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayanda). Kisah Habib Alwi bin Ali bin
Muhammad Husain al Habsyi sampai ke Indonesia Adalah bermula lepas ditinggal
Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi (Shahibul Maulid Simthud Durar), atas
saran Syarifah Khadijah (kakak perempuannya) Habib Alwi disarankan untuk
berwisata hati ke Jawa, menemui kakaknya yang lain yakni Habib Ahmad bin Ali
Al-Habsyi di Betawi.
Habib
Alwi pergi ke Jawa dari Yaman, ditemani Salmin Douman, santri senior Habib Ali
Al-Habsyi, sekaligus sebagai pengawal. Beliau meninggalkan istri yang masih
mengandung di Seiyun, yang tak lama kemudian melahirkan, dan anaknya diberi
nama Ahmad bin Alwi Al-Habsyi. Kabar kedatangan Habib Alwi telah menyebar di
Jawa, karena itulah banyak murid ayahnya ( Habib Ali Al-Habsyi ) di Jawa
menyambutnya, dan menanti kedatangannya di kota masing-masing.
Pertama
kali Habib Alwi tinggal di Betawi beberapa saat. Kemudian beliau ke Garut, Jawa
Barat, menikah lagi. Dari wanita ini lahir Habib Anis dan dua adik perempuan.
Lalu, beliau pindah ke Semarang, Jawa Tengah. Disana beliau menikah lagi,
dianugerahi banyak anak, dan yang sekarang masih hidup adalah Habib Abdullah
dan Fathimah.
Selanjutnya
beliau pindah lagi ke Jatiwangi, Jawa Barat, dan menikah lagi dengan wanita
setempat. Dari perkawinan itu, beliau memilki enam anak, tiga lelaki dan tiga
perempuan. Di antaranya adalah Habib Ali bin Alwi Al-Habsyi serta Habib Fadhil
bin Alwi yang meninggal pada akhir Agustus 2006.
Akhirnya,
Habib Alwi pindah ke Solo, Jawa Tengah. Pertama kali, Habib Alwi sekeluarga
tinggal di Kampung Gading, di tempat seorang raden dari Kasunan Surakarta.
Kemudian beliau mendapatkan tanah wakaf dari Habib Muhammad Al-Aydrus ( kakek
Habib Musthafa bin Abdullah Al-Aydrus, Pemimpin Majlis Dzikir Ratib Syamsi
Syumus ), seorang juragan tenun dari kota Solo, di Kampung Gurawan.
Wakaf
itu dengan ketentuan : didirikan masjid, rumah, dan halaman di antara masjid
dan rumah. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1354 H / 1934 M. Habib Ja'far
Syaikhan Assegaf mencatat tahun selesainya pembangunan Masjid Riyadh itu dengan
sebuah ayat 14 surah Shaf ( 61 ) di dalam al-Qur'an, yang huruf-hurufnya berjumlah
1354. ayat tersebut, menurut Habib Ja'far yang meninggal di Pasuruan 1374 H /
1954 M ini, sebagai pertanda bahwa Habib Alwi akan terkenal dan menjadi
khalifah pengganti ayahnya, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi.
Sementara
rumah di Gurawan No.6 itu lebih dahulu berdiri dan halaman yang ada kini
disambung dengan masjid dan rumah menjadi ruang Zawiyah ( pesantren ) dan
sering digunakan untuk kegiatan haul, Maulid, dan berbagai kegiatan keagamaan
lainnya. Struktur ruang Zawiyah ini seperti Raudhah, taman surga di dunia,
yaitu ruang antara kamar Nabi SAW dan masjid Nabawi. Sekarang bangunan
bertambah dengan bangunan empat lantai yang menghadap ke Jln. Kapten Mulyadi
228, yang oleh sementara kalangan disebut Gedung Al-Habsyi.
Tentang
rumah Habib Alwi di Solo, Syekh Umar bin Ahmad Baraja', seorang giru di Gresik,
pernah berujar, rumahnya di Solo seakan Ka'bah, yang dikinjungi banyak orang
dari berbagai daerah. Ucapan ulama ini benar. Sekarang, setiap hari rumah dan
masjidnya dikunjungi para habib dan muhibbin dari berbagai kota untuk tabarukan
atau mengaji.
Habib
Alwi telah memantapkan kemaqamannya di Solo. Masjid Riyadh dan Zawiyahnya
semakin ramai dikunjungi orang. Beliau tidak saja mengajar dan menyelemggarakan
kegiatan keagamaan sebagaimana dulu ayahnya di Seiyun, Hadramaut. Namun beliau
juga memberikan terapi jiwa kepada orang-orang yang hatinya mendapat penyakit.
Ketika
di Surabaya, bertempat di rumah Salim bin Ubaid, diceritakan Habib Alwi
didatangi seseorang dari keluarga Chaneman, yang mengeluhkan keadaan penyakit
ayahnya dan minta doa' dari Habib Alwi. Beliau mendoa'kan dan menganjurkannya
untuk memakai cincin yang terbuat dari tanduk kanan kerbau yang berkulit merah.
"Insya Allah. Penyakitmu akan sembuh." Katanya waktu itu.
Tahun
1952, Habib Alwi melawat ke kota-kota di Jawa Timur. Kunjungannya disertai
Sayyid Muhammad bin Abdullah Al-Aydrus, Habib Abdul Qadir bin Umar Mulchela (
ayah Habib Husein Mulachela ), Syekh Hadi bin Muhammad Makarim, Ahmad bin Abdul
Deqil dan Habib Abdul Qadir bin Husein Assegaf ( ayah Habib Taufiq Assegaf,
Pasuruan ), yang kemudian mencatatnya dalam sebuah buku yang diterjemahkan
Habib Novel bin Muhammad Al-Aydrus berjudul Menjemput Amanah.
Perjalanan
rombongan Habib Alwi ke Jawa Timur itu berangkat tahun 1952. tujuan utama
perjalanan tersebut adalah mengunjungi Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf (
1285-1376 H / 1865-1956 M ) di Gresik. Namun beliau juga bertemu Habib Husein
bin Muhammad Al-Haddad ( 1303-1376 H / 1883-1956 M ) di Jombang, Habib Ja'far
bin Syeikhan ( 1289-1374 H / 1878-1954 M ) di Pasuruan dan ulama lainnya.
Setahun
setelah kepergiannya ke Jawa Timur, pada tahun 1953 Habib Alwi pergi ke kota
Palembang untuk menghadiri pernikahan kerabatnya. Namun, di kota itu, beliau
menderita sakit beberapa saat. Seperti tahu bahwa saat kematiannya semakin
dekat, beliau memanggil Habib Anis, anak lelaki tertua yang berada di Solo.
Dalam pertemuan itu beliau menyerahkan jubahnya dan berwasiat untuk meneruskan
kepemimpinannya di Masjid dan Zawiyah Riyadh di Solo. Habib Anis, yang kala itu
berusia 23 tahun, dan baru berputra satu orang, yaitu Habib Husein, harus
mengikuti amanah ayahnya.
Akhirnya
Habib Alwi meninggal pada bulan Rabi'ul Awal 1373 H / 27 November 1953. pihak
keluarga membuka tas-tas yang dibawa oleh Habib Alwi ketika berangkat ke
Palembang. Ternyata satu koper ketika dibuka berisi peralatan merawat mayat,
seperti kain mori, wangi-wangian dan lainnya. Agaknya Habib Alwi telah diberi
tanda oleh Allah SWT bahwa akhir hidupnya sudah semakin dekat.
Namun
ada masalah dengan soal pemakaman, Habib Alwi berwasiat supaya dimakamkan di
sebelah selatan Masjid Riyadh Solo.sedang waktu itu tidak ada penerbangan
komersil dari Palembang ke Solo. Karena itulah, pihak keluarga menghubungi AURI
untuk memberikan fasilitas penerbangan pesawat buat membawa jenazah Habib Alwi
ke Solo. Ternyata banyak murid Habib Alwi yang bertugas di Angkatan Udara,
sehingga beliau mendapatkan fasilitas angkutan udara. Karena itu jenazah
disholatkan di tiga tempat : Palembang, Jakarta dan Solo. (Al-Kisah No.23 /
Tahun IV / 6-19 November 2006).
Lepas
kemangkatan Habib Alwi, Habib Anis melanjutkan estafeta dakwah di Kota Solo. Di
kalangan Habaib selain dipercaya memperoleh sanad kelimuan dan thariqah melalui
jalur nasab (keturunan), atau marga. Mereka juga berburu sanad (mata rantai
keilmuan) ke ulama (sanad 'ilm) dan habaib yang lebih senior dan berbobot baik
di dalam negeri maupun luar negeri. Pentingnya mata rantai keilmuan (sanad
'ilm) sebagai mana ajaran tarekat As-Sadah Al-Ba’Alawi bila ditinjau
berdasarkan mazhab fikihnya adalah bermazhab As-Syafi’iyah. Sedangkan bila
ditinjau dari mazhab akidahnya, maka bermazhab As-Sunni Al-Asy’ariyyah.
Pengajaran
keilmuan berdasarkan aturan tarekat (manhaj) As-Sadah Al-Ba’alawi ialah mengajarkan
berbagai ilmu-ilmu keislaman, yang kini telah berkembang sepanjang sejarahnya
dan menjadi bebagai cabang ilmu keislaman. Berbagai ma’had dan rubath tarekat
ini, setelah tahun-tahun menjalankan pengajarannya secara terus-menerus sampai
dengan hari ini, telah membuat cara-cara yang sistematis dalam memberikan
pengajaran ilmu-ilmu tersebut, yang selain itu juga mengajarkan mengenai
pentingnya pendidikan melalui suri tauladan (tarbiyyah fi tazkiyah).
Tarekat
Alawiyyah adalah suatu tarekat yang ditempuh oleh para salafus sholeh. Dalam
tarekat ini, mereka mengajarkan Al-Kitab Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada
masyarakat, dan sekaligus memberikan suri tauladan dalam pengamalan ilmu dengan
keluhuran akhlak dan kesungguhan hati dalam menjalankan syariah Rasullullah
SAW.
Mereka
menerangkan dengan terinci, bahwa tarekat As-Saadah Bani Alawy ini diwariskan
secara turun temurun oleh leluhur (salaf) mereka : dari kakek kepada kepada
ayah, kemudian kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Demikian seterusnya mereka
menyampaikan tarekat ini kepada anak cucu mereka sampai saat ini. Oleh
karenanya, tarekat ini dikenal sebagai tarekat yang langgeng sebab
penyampaiannya dilakukan secara ikhlas dan dari hati ke hati.
Dari
situlah dapat diketahui, bahwasanya tarekat ini berjalan di atas rel Al-Kitab
dan As-Sunnah yang diridhoi Allah dan Rasul-Nya. Jelasnya, Tarekat Alawiyyah
ini menitik-beratkan pada keseimbangan antara ibadah mahdhah, yaitu muamalah
dengan Khaliq, dengan ibadah ghoiru mahdhah, yakni muamalah dengan sesama manusia
yang dikuatkan dengan adanya majlis-majlis ta’lim yang mengajarkan ilmu dan
adab serta majlis-majlis dzikir dan adab. Dengan kata lain, tarekat ini
mencakup hubungan vertikal (hubungan makhluk dengan Khaliqnya) dan hubungan
horizontal (antara sesama manusia).
Selain
itu, tarekat ini mengajarkan kepada kita untuk bermujahadah
(bersungguh-sungguh) dalam menuntut ilmu guna menegakkan agama Allah (Al-Islam)
di muka bumi. Sebagaimana diceritakan, bahwa sebagian dari As-Sadah Bani Alawy
pergi ke tempat-tempat yang jauh untuk belajar ilmu dan akhlak dari para ulama,
sehingga tidak sedikit dari mereka yang menjadi ulama besar dan panutan umat di
zamannya. Banyak pula dari mereka yang mengorbankan jiwa dan raga untuk
berdakwah di jalan Allah, mengajarkan ilmu syariat dan bidang ilmu agama
lainnya dengan penuh kesabaran, baik di kota maupun di pelosok pedesaan. Berkat
berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, disertai kesungguhan dan keluhuran
akhlak dari para pendiri dan penerusnya, tarekat ini mampu mengatasi tantangan
zaman dan tetap eksis sampai saat ini.
Demikian
itulah jalan lurus (shirôthol mustaqim) yang lebih tipis dari sehelai rambut.
Ilmu itu tidak cukup disampaikan secara umum, bahkan setiap bagian darinya
perlu didefinisikan secara khusus. Demikian itulah ilmu tasawuf, ilmu yang oleh
kaum sufi digunakan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala. Dhohir jalan kaum sufi
adalah ilmu dan amal, sedangkan batinnya adalah kesungguhan (sidq) dalam
bertawajjuh kepada Allah Ta’ala dengan mengamalkan segala sesuatu yang diridhoi-Nya
dengan cara yang diridhoi-Nya. Jalan ini menghimpun semua akhlak luhur dan
mulia, mencegah dari semua sifat hina dan tercela. Puncaknya memperoleh
kedekatan dengan Allah dan fath. Jalan ini (mengajarkan seseorang) untuk
bersifat (dengan sifat-sifat mulia) dan beramal saleh, serta mewujudkan tahqiq,
asrôr, maqômât dan ahwâl. Jalan ini diterima oleh orang-orang yang saleh dari
kaum sholihin dengan pengamalan, dzauq dan perbuatan, sesuai fath, kemurahan
dan karunia yang diberikan Allah SWT.
Membahas
serta menganalisa Tharīqah ‘Alawiyyah ini khususnya menentukan masyarakat
Surakarta sebagai wilayah kajian tesis ini adalah karena masyarakat muslim Solo
Raya memiliki kesejarahan yang identik dengan komunitas ‘Alawiyyīn. Hal itu
dapat dibuktikan dengan begitu besarnya pengaruh pemikiran Abdullah al-Haddad
dalam banyak kehidupan masyarakat Islam baik dari sisi akidah, dakwah dan
tasawuf dengan Tharīqah ‘Alawiyyah -nya. Hal ini terlihat dari adanya
amalan-amalan yang dipraktikkan oleh kalangan yang berafiliasi kepada para
Habāib, baik secara individu, maupun berjamaah. Pun pengaruh Tharīqah
‘Alawiyyah ini terlihat dari majelis-majelis taklim yang saat ini berkembang di
Solo Raya yang kesemuanya merupakan kepanjangan dari majelis taklim pertama di
Surakarta yaitu Majelis Taklim Habib Alwi bin AlI bin Muhammad Husein al-Habsyi
yang merupakan tokoh ulama Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta.
Setelah
terjadinya gelombang pelajar Indonesia yang melanjutkan belajar agama di Tarim,
Yaman seperti di Darul Mushtofa dibawah asuhan Habib Umar bin Hafidz dan Rubat
dibawah asuhan Habib Salim Syatiri pada kisaran awal tahun 90-an, menjadikan
proses identifikasi Tharīqah ‘Alawiyyah kembali menguat. Hadirnya
majelis-majelis taklim di Surakarta dan sekitarnya yang diasuh oleh para Habāib
yang notabene merupakan pengamal Tharīqah ‘Alawiyyah yang juga merupakan
lulusan dari Yaman, lebih menguatkan proses transmisi jaringan keulamaan
Tharīqah ‘Alawiyyah di Surakarta dan Indonesia. Pada tahun 1993, atas
preferensi Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jeddah), Habib Anis menjalin
relasi jaringan dakwah dan pendidikan dengan Habib Umar bin Muhammad Al Hafidz
(Yaman). Banyak sekali murid dan muhibbin tidak saja dari Majlis Solo Raya,
namun juga hampir seluruh Indonesia. Dengan adanya gelombang pelajar yang
massif ke Hadramaut tersebut, majelis-majelis Habāib di sekitar Solo Raya yang
juga mengamalkan Tharīqah ‘Alawiyyah sudah banyak bermunculan, seperti Majlis
Taklim al Hidayah, pimpinan Habib Alwi bin Ali al Habsyi (Habib Alwi Kuadrat),
Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, Habib Soleh al Jufry (Karang Pandan,
Karanganyar), Habib Syech Assegaf ( Ahbabul Musthofa) dll.
Dalam
masyarakat Solo, Habib Anis dikenal bergaul lintas sektoral dan lintas agama.
Dan beliau netral dalam dunia politik.
Dalam
sehari-hari Habib Anis sangat santun dan berbicara dengan bahasa Jawa halus
kepada orang Jawa, berbicara bahasa Sunda tinggi dengan orang sunda, berbahasa
Indonesia baik dengan orang luar Jawa dan Sunda, serta berbahasa arab Hadrami
kepada sesama Habib.
Penampilan
beliau rapi, senyumnya manis menawan, karena beliau memang sumeh (murah senyum)
dan memiliki tahi lalat di dagu kanannya. Beberapa kalangan menyebutnya The
Smilling Habib. Berdakwah dengan akhlak baik berpakaian, berkata-kata mapun
berperilaku sehari-hari adalah gambaran bagaimana meniru Rasulullah SAW.
Habib
Anis sangat menghormati tamu, bahkan tamu tersebut merupakan doping semangat
hidup beliau. Beliau tidak membeda-bedakan apahkah tamu tersebut berpangakat
atau tidak, semua dijamunya dengan layak. Semua diperlakukan dengan hormat.
TEGUH
PADA TRADISI
Ajaran
pokok yang digerakan oleh Habib Anis adalah ajaran gerakan ulama yang berusaha
menjaga, memperbaiki, memberikan pelayanan kepada umat. Gerakan tersebut dengan
menyebut sebagai gerakan memperkuat dan melindungi akidah warga alawiyin dengan
cara dan praktik Ahlussunah wal Jama’ah.
Cara
berpikirnya adalah dinamisasi agar gerakan alawiyin tidak jumud, statis pada
teks-teks saja, tidak statis pada ibarat-ibarat saja, tapi berpikir dinamis dan
kontekstual, tapi tidak liberal. Gerakan yang kedua adalah amaliyah, yaitu
menghidupkan amaliyah-amaliyah thoriqoh alawiyin. Amaliyah tersebut adalah
praktik yang bersumber dari ajaran Ahlussunah wal Jama’ah.
Apa
yang dilakukan Habib Anis al Habsyi adalah melestarikan ajaran leuhur alawiyin
yang sarat dengan muatan faham Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Istilah Aswaja
(Ahlussunnah Waljama’ah – ahl as-sunnah wa al-jama’ah) bagi umat Islam pada
umumnya dan terutama di Indonesia khususnya, bukanlah istilah baru. Sekalipun
demikian, tidak jarang istilah ini dipahami secara berbeda, bahkan menimbulkan
kekeliruan yang cukup fatal. Di sini, paling kurang istilah Aswaja dipahami
pada dua pemahaman (verstehen).
Pertama,
dalam kaca mata sejarah Islam, istilah ini merujuk pada munculnya wacana
tandingan (counter-discours) terhadap membiaknya paham Muktazilah· di dunia
Islam, terutama pada masa Abbasiyah. Pada akhir abad ke-3 Hijriyah, hampir
bersamaan dengan masa berkuasanya Khalifah Al-Mutawakkil, muncul dua orang tokoh
yang menonjol waktu itu, yaitu Abû Hasan al-‘Asy’âri (260 H – + 330 H) di
Bashrah dan Abû Manshûr al-Maturidi di Samarkand. Meskipun pada taraf tertentu
pemikiran kedua tokoh ini sedikit ditemukan perbedaan, namun mereka secara
bersama-sama bersatu dalam membendung kuatnya gejala hegemoni paham Muktazilah
yang dilancarkan para tokoh Mu’tazilah dan pengikutnya (Prof. DR. Muhammad Abu
Zahrah, 1996: 189).
Dari
kedua pemikir-ulama ini, selanjutnya lahir kecenderungan baru yang banyak
mewarnai pemikiran umat Islam waktu itu. Bahkan, hal ini menjadi maistream
(arus utama) pemikiran-keagamaan di dunia Islam yang kemudian mengkristal
menjadi sebuah gelombang pemikiran-keagamaan—sering dinisbatkan pada sebutan
ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, yang kemudian populer disebut Aswaja.
Pada
dasarnya kerangka pemikiran diturunkan dari (beberapa) konsep/teori yang
relevan dengan masalah yang diteliti, sehingga bisa memunculkan asumsi-asumsi
dan/atau proposisi, yang dapat ditampilkan dalam bentuk bagan alur pemikiran,
yang kemudian kalau mungkin dapat dirumuskan ke dalam hipotesis operasional
atau hipotesis yang dapat diuji.
Istilah
Aswaja populer di kalangan umat Islam, terutama didasarkan pada sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah
yang menegaskan bahwa umat Yahudi akan terpecah menjadi 71 golongan, umat
Nashrani akan terpecah menjadi 72 golongan dan umat Islam akan terpecah menjadi
73 golongan. Semua golongan tersebut masuk ke dalam neraka, kecuali satu
golongan, yaitu orang-orang yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya”.
Dalam pandangan As-Syihâb Al-Khafâjî dalam Nasâm ar-Riyâdh, bahwa satu golongan
yang dimaksud (tidak masuk neraka) adalah golongan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
Pendapat ini dipertegas oleh Al-Hâsyiah Asy-Syanwâni, bahwa yang dimaksud
dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah adalah pengikut Imam kelompok Abûl Hasan
Asy’ari dan para ulama madhab (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Maliki dan Imam
Hanbali). (Syekh Hasyim Asy’ari, Risâlah Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 1418:
23).
Dengan
demikian, istilah Aswaja dimaknai sebagai suatu konstruksi pemikiran
(pemahaman) dan sekaligus praktek keagamaan (Islam) yang didasarkan pada
tradisi (sunnah) Rasulullah, para sahabatnya dan para ulama mazhab, sekalipun
yang terakhir ini lebih bersifat sekunder. Dengan lain kata, yang dimaksud
dengan Aswaja tidak selalu identik dengan suatu mainstream aliran pemahaman
tertentu dalam tradisi pemikiran Islam. Tak pelak, gerakan menghidupkan tradisi
salaf dengan kitab-kitab standart seperti Al Qur'an, Shahih Bukhari, Ihya
Ulumiddin, Nashoih Diniýah, Kalam Salaf, Majlis Maulid, Majlis Tahlil dan
Yasinan dll yang berpusat di Masjid Riyadh bersambut luas tidak hanya jamaah
masjid, namun klan (fam) serta jaringan ulama akhirnya berkembang. Lewat
keistiqomahan Habib Anis, jaringan ulama lokal Solo Raya terbentuk, bahkan pada
era 96 an ada Forum Remaja Masjid Militan (Forsmil) yang bergerak dari kalangan
remaja masjid. Adanya kontinuitas, istoqomah gerakan yang kukuh dengan tradisi
salaf serta penguatan jaringan, tidak hanya lokal (Solo Raya), namun muhibbin
(pencinta) habaib yang tersebar luas seluruh Indonesia berdatangan menjadi
koneksitas lokal dan menasional, bahkan menyebar luas sejak Habib Anis bertemu
Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf (Jedah) dimana, Habib Anis mendapat
referensi agar mendatangkan Habib Umar al Hafidz pada 1992 dan Habib Zain
Ibrahim bin Smith (Madinah) serta juga alumni Mahad Maliki (Mekkah) dll.
Galibnya Rubath Ar Riyadh Surakarta mempertemukan banyak fam (keluarga), ulama,
pondok pesantren, muhibbin dari berbagai pelosok. Melalui jejaring ulama
kaliber internasional ini memperkuat benteng akidah Ahlusunnah wal Jamaah di
Solo Raya semakin kuat. Terutama sekali dalam mengkader ulama baik kalangan
habaib maupun muhibbin (ada banyak murid Habib Anis) yang setelah belajar
demgan Habib Anis kemudian dikirim ke Yaman atau Timur Tengah.
BERDAKWAH
DENGAN AKHLAK
Menguraikan
paradigma/pendekatan/metode yang dipergunakan dalam penelitian. Uraian
mencakup, tetapi tidak terbatas pada lingkup masjid saja. Habib Anis juga
peduli dengan sekitar masjid. Bahkan untuk menopang ekonomi, berdagang batik
dan membuka toko.
Seorang
tukang becak (Pak Zen) 83 tahun yang sering mangkal di Masjid Ar-Riyadh
mengatakan, Habib Anis itu ulama yang loman (pemurah, suka memberi). Ibu Nur
Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis
itu bagi saya orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus. Dan tidak peranah
menyakiti hati orang lain apalagi membuatnya marah”.
Saat
‘Idul Adha Habib Anis membagi-bagikan daging korban secara merata melalui RT
sekitar Masjid Ar-Riyadh dan tidak membedakan Muslim atau non Muslim. Kalau
dagingnya sisa, baru diberikan ke daerah lainnya.
Jika
ada tetangga beliau atau handai taulan yang meninggal atau sakit, Habib Anis
tetap berusaha menyempatkan diri berkunjung atau bersilautrahmi. Tukang becak
yang mangkal di depan Masjid Wiropaten tempat Habib Anis melaksanakan shalat
Jum’at selalu mendapatkan uang sedekah dari beliau. Menjelang hari raya Idul
Fitri Habib Anis juga sering memberikan sarung secara cuma-cuma kepada para
tetangga, muslim maupun non muslim. “Beri mereka sarung meskipun saat ini
mereka belum masuk Islam. Insya Allah suatu saat nanti dia akan teringat dan
masuk islam.” Demikian salah satu ucapan Habib Anis yang ditirukan Habib Hasan
salah seorang puteranya.
Habib
Anis sewaktu hayatnya sentiasa mengabdikan dirinya untuk berdakwah menyebarkan
ilmu dan menyeru umat kepada mencintai Junjungan Nabi SAW. Beliau menjalankan
dakwahnya berdasarkan kepada ilmu dan amal taqwa, dengan menganjurkan dan
mengadakan majlis-majlis ta’lim dan juga majlis-majlis Maulid, dalam rangka menumbuhkan
mahabbah umat kepada Junjungan Nabi SAW. Selain berdakwah keliling kota,
sehingga muridnya menjangkau puluhan ribu orang di merata-rata tempat. beliau
memusatkan kegiatan dakwah dan ta’limnya di masjid yang didirikan oleh Habib
Alwi bin Ali al-Habsyi, yang dikenali sebagai Masjid ar-Riyadh, Gurawan, Pasar
Kliwon, Solo (Surakarta), Jawa Tengah.
Dalam
majlis-majlis ilmu yang lebih dikenali sebagai rohah, dibacakan kitab-kitab
ulama salafus sholeh terdahulu termasuklah kitab-kitab hadits seperti “Jami`ush
Shohih” karya Imam al-Bukhari, bahkan pengajian kitab Imam al-Bukhari dijadikan
sebagai wiridan di mana setiap tahun dalam bulan Rajab di adakan Khotmul
Bukhari, yaitu khataman pengajian kitab "Jami` ash-Shohih” tersebut.
Setiap malam Jumat pula diadakan majlis Maulid dengan pembacaan kitab Maulid
“Simthud Durar” karya Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi. Manakala setiap malam
Jum'at Legi diadakan satu majlis taklim dan mawlid dalam skala besar dengan
dihadiri ramai masyarakat awam dari pelbagai tempat yang terkenal dengan
Pengajian Legian, di mana Maulid diperdengarkan dan tausyiah-tausyiah
disampaikan kepada umat.
Peringatan
Maulid tahunan di bulan Rabi`ul Awwal dan Haul Imam Ali al-Habsyi disambut
secara besar-besaran yang dihadiri puluhan ribu umat dan dipenuhi berbagai
acara ilmu dan amal taqwa. Sesungguhnya majlis para habaib tidak pernah sunyi
dari ilmu dan tadzkirah yang membawa umat kepada ingatkan Allah, ingatkan
Rasulullah dan ingatkan akhirat, yang disampaikan dengan penuh ramah – tamah
dan bukannya marah-marah. Habib Anis terkenal bukan sahaja kerana ilmu dan
amalnya, tetapi juga kerana akhlaknya yang tinggi, lemah lembut dan mulia. Air
mukanya jernih, wajahnya berseri-seri dan sentiasa kelihatan ceria. Kebanyakan
yang menghadiri majlis-majlis beliau adalah kalangan massa yang dhoif, dan
kepada mereka-mereka ini Habib Anis memberikan perhatian yang khusus dan
istimewa. Menurut Habib Muhammad bin Husein, semasa hidupnya, Habib Anis
mengabdikan untuk berdakwah dan bergelut dalam majelis ilmu. “Beliau punya
pengajian setiap harinya saat ba'da dzuhur, kecuali Jumat dan Ahad, di kediaman
beliau. Pernah, ketika istri beliau meninggal masyarakat datang untuk
bertakziyah. Namun begitu tiba waktunya pengajian, langsung beliau membuka
kitabnya dan mulai membaca serta mengajar. Didalam rumah jenazah istrinya
sedang dimandikan tapi beliau tetap istiqomah mengajar dan membimbing ummat,”
terang Habib Muhammad bin Husein.
Untuk
mengungkap pribadi sosok Habib Anis, Habib Anis sendiri pernah menyampaikan
bahwa ada empat hal yang penting: “Pertama, kalau engkau ingin mengetahui
diriku, lihatlah rumahku dan masjidku. Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi
kepada Allah. Kedua, Zawiyah, di situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai
akhlak Nabi Muhammad SAW. Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan,
tempat untuk menuntut ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada
pertokoan, karena setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk
mengembangkan dakwah Nabi Muhammad SAW.
JEJARING
KEILMUAN DAN THORIQOH ALAWIYIN Habib Anis bin Alwi bin Ali Al Habsyi adalah
salah satu pelestari dan penjaga ajaran salafus sholih, baik secara keilmuan
maupun thariqah Alawiyin pada zamannya (1953-2006) sejak ia ditinggal sang
Ayah, yakni Habib Alwi bin Ali Al Habsyi. Habib Anis merintis kemaqamannya
sendiri dengan kesabaran dan istiqamah, sehingga besar sampai sekarang. Ada
yang sering keliru memaknai Haul Solo, atau Haul Shahibul Maulid Simthud Durar,
yakni Haul dan Maulid Habib Ali bin Muhammad Husein Al Habsyi pada setiap
minggu ketiga bulan Rabiul Awwal. Sekalipun yang di peringati Haul dan Maulid
tidak hanya digelar di Seiwun (Hadramaut). Haul dan Maulid Solo adalah puncak
kemeriahan dari semua aktivitas kegiatan keagamaan Masjid Riyadh. Menjadi magnet
ratusan ribu muhibbin dari berbagai belahan dunia. Awal sejarah maulid Simthud
Durar masuk ke Indonesia sendiri sebenarnya justru digelar di Jatiwangi,
kemudian di Bogor dan baru di Jakarta. Selepas itu menyebar ke Pasuruan,
Gresik, Surabaya, Bali, Kalimantan dan seluruh pelosok Nusantara. Seiring makin
digemarinya Maulid Simthud Durar secara luas. Haul dan maulid Solo digelar oleh
Habib Alwi sejak tinggal di Solo dan bersambung ke Shohibul Maulid, Habib Anis
al Habsyi yakni Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi.
Habib
Ali bin Muhammad bin Husein al Habsyi itu seorang keturunan Rasulullah SAW yang
dilahirkan pada 24 Syawal 1259 H atau 1839 M di desa Qosam, Hadramaut.
Beliau
seorang anak dari pernikahan al Imam al Arif Billah Habib Muhammad bin Husein
AHabsyi dan Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad Al Hadi Al Jufri. Beliau
diberi nama Ali oleh Al Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir karena
dikaitkan dengan Sayyidina Ali Khali Qasam, untuk mengambil berkah darinya.
Ketika berusia 7 tahun ia ditinggal oleh ayahnya untuk hijrah ke Mekkah Al
Allamah Sayyid Abdullah bin Husein bin Thahir dan habib Ali pun diasuh oleh
ibunya yang tetap tinggal di Qasam.
Saat
Habib Ali al Habsyi mulai dewasa, dan sudah menguasai berbagai disiplin ilmu,
guru-guru beliau mengizinkan untuk menyampaikan dan menyebarluaskan ilmu yang
dimilikinya. Beliau mulai menjadi pendakwah dan mengisi pengajian di depan
umum, sehingga dengan cepat Habib Ali menjadi pusat perhatian dan dikagumi
orang-orang, serta memperoleh tempat terhormat di hati setiap orang. Kepadanya
diserahkan kepimpinan tiap majelis ilmu, lembaga pendidikan, serta
pertemuan-pertemuan besar yang digelar pada masa itu.
1.
Simthud Durar Kitab Maulid Melegenda Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi
mengarang kitab yang menceritakan bagaimana perjalanan hidup nabi yang di kenal
dengan nama Simthud Durar. Kitab ini ditulis setelah kitab-kitab maulid yang
telah terkenal sebelumya seperti Barzanji, ad-Dibai, Burdah al Madih dan kitab
maulid lainnya. Habib Ali menulis kitab ini sebagai perwujudan dari cintanya
beliau kepada Rasulullah SAW dan juga kitab ini ditulis ketika umur beliau
menginjak 68 tahun.
Kitab
Maulid Simthud Durar ini pertama kali dibacakan di rumah Habib Ali sendiri,
saat Habib Ali bin Muhammad Husain al Habsyi berumur 68 tahun, tepatnya 26
Shofar 1327 H/18 Maret 1909 M). Kemudian pada 12 Rabiul Awwal beliau membacakan
maulid Simthud Durar di rumah Habib Umar bin Hamid murid beliau. Kemudian pada
tahun 1330 H (1912 M). Kitab ini sudah bahas secara khusus oleh Dr. Ma'san
Hamid,"Tradisi Pembaruan Simthud Dhurar Dalam Masyarakat Keturunan Arab di
Kawasan Ampel, Surabaya, 2006 (Majalah Mafahim, 2007). Selain itu, Kitab Maulid
Simthud Durar atau Simthud Durar fi Akhbar Maulid Khayril Basyar waa Ma Lahu min
Ahlaq wa Aushaf wa Siyar (Untaian Mutiara Kisah Kelahiran Manusia Utama,
Akhlaq,Sifat dan Riwayat Hidupnya) menurut Prof Dr. Muhammad Baharun, MA
menilai kandungan Simthud Durar lebih detil dibanding kitab lainnya terutama
dalam melakukan deskripsi. Banyaknya nazham-nazham di dalamnya memungkinkan
orang berkreasi nada dengan rebananya. Sementara menurut Musthafa Helmi , karya
Maulid ini lebih ringkas di banding ad Dibai atau al-Barzanji, karena
mengkhususkan pada kisah maulid dan sedikit kehidupan dan akhlaq Rasulullah
hingga hijrah. Karena ringkasnya itu banyak yang hafal kitab ini. Sementara itu
menurut Habib Abdur Rahman Bassurah, Wakil Rabithah Alawiyyah, Jakarta, Maulid
Simthud Durar karena mudah dihafal dengan nazham yang unik dari al Quran,
mengandung madad (keagungan) dan sirr (rahasia) pada sebagian kalangan juga
untuk memudahkan dan menghafalkan al Quran. Di samping kitab Maulid Simthud
Durar, banyak juga karya Habib Ali lainnya yang menyebar terutama nazhamnya.
Namun
secara langsung, Habib Ali bin Muhammad Husain Al-Habsyi mengungkap niatnya
yang lurus dan meyakini hadirnya Rasulullah SAW di tempat yang dibacakan maulid
ini. Beliau mengatakan: “Maulid Simthud Durar yang saya susun ini atas dasar
niat yang benar, media yang baru, dan tidak diragukan kembali bahwa sungguh ruh
Rasulullah akan hadir saat membacanya". Selain kitab Maulid, Habib Ali bin
Muhammad Husain al Habsyi lainnya adalah kitab kumpulan amalan yang berisi
wirid, hizb, ratib dan lain-lain, sebagian besar berasal dari al Quran, hadis
dan amalan para ulama terkemuka. Demikian juga dengan putra beliau yakni Habib
Alwi bin Ali al Habsyi, kitabnya berupa kalam salaf dan catatan perjalanan
(Rihlah) semua tercatat memungkinkan pada generasi penerus untuk melestarikan
tradisi salaf yang masih otentik. Selain kegiatan di Masjid seperti pembacaan
Maulid Simthud-Durar dan Haul Habib Ali bin Muhammad Husein al-Habsyi setiap
bulan Maulud, juga ada Khataman Bukhari pada bulan Rajab, Khataman Ar-Ramadhan
pada bulan Ramadhan. Sedangkan sehari-hari beliau mengajar di Zawiyah pada
tengah hari.
2.
Empat wasiat Habib Anis Wasiat Habib Anis adalah empat hal yang penting:
“Pertama, kalau engkau ingin mengetahui diriku, lihatlah rumahku dan masjidku.
Masjid ini tempat aku beribadah mengabdi kepada Allah. Kedua, Zawiyah. Di
situlah aku menggembleng akhlak jama’ah sesuai akhlak Nabi Muhammad SAW.
Ketiga, kusediakan buku-buku lengkap di perpustakaan, tempat untuk menuntut
ilmu. Dan keempat, aku bangun bangunan megah. Di situ ada pertokoan, karena
setiap muslim hendaknya bekerja. Hendaklah ia berusaha untuk mengembangkan
dakwah Nabi Muhammad SAW.
Meskipun
tidak pernah masuk dalam struktur NU di Solo, namun peranan Habib Anis atas
kemajuan NU di wilayah Solo Raya sangatlah besar. Beberapa muridnya bahkan kini
menjadi Rais Syuriyah KH A. Baidlowi dan KH Abdul Aziz (Wonogiri), Habib Syekh
bin Abdul Qodir Assegaf (Mustasyar PWNU Jawa Tengah 2014-2019. Sekarang A'wan
Syuriah PBNU 2022-2027), Habib Alwi bin Ali al Habsyi (MT al Hidayah), Habib
Novel bin Muhammad Alaydrus, Habib Soleh al Jufri (Karangpandan, Karanganyar)
dll.
3.
Jaringan ulama dan Habib Sebagai penerus kekhalifahan (imam) di Masjid Riyadh,
Habib Anis meneruskan beerbagai kegiatan yang telah dirintis oleh para
pendahulunya. Kegiatan seperti Haul Habib Ali Al-Habsyi, yang awalnya digelar
oleh Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Husein al Habsyi (ayah Habib Anis) dan
kebanyakan tamunya datang dari Pasuruan (Jawa Timur). Selain maulid, acara
Khatmul Bukhari, dan Maulid yang terselenggara setiap malam Jumat selalu
dihadiri oleh ratusan bahkan puluhan ribu jamaah dari berbagai daerah. Para
ulama terkemuka, seperti TG Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul), Habib Salim bin
Ahmad Jindan, KH Abdul Hamid (Pasuruan), Abuya Dimyati, Kiai Siraj, Habib
Thohir Abdullah al Kaff (Tegal) dan lainnya, bahkan pernah hadir di Masjid
Riyadh untuk mengikuti majelis ilmu yang dipimpin Habib Anis. Relasi ulama
kaliber lnternasional yang dibangun Habib Anis semasa hidup seperti Habib Abdul
Qadir Ahmad Assegaf (Jedah), Habib Zein bin Smith (Madinah), Habib Umar al
Hafidz (Darul Musthofa, Tarim Yaman) dll.
Sebagai
seorang ulama, Habib Anis juga pernah berkeinginan untuk menulis kitab. Namun,
hingga akhir hayat beliau belum berkesempatan untuk merealisasikannya. “Belum
sempat menulis kitab, hanya berencana. tapi kedahuluan dijemput oleh Allah,”
tutur Habib Muhammad.
PENUTUP
Dua minggu pasca-Lebaran tahun 2006, tepatnya 14 Syawwal 1427 H bersamaan 6
November 2006, Habib Anis Al-Habsyi wafat (68 Tahun). Sontak, kabar tersebut
membuat para murid dan pecinta beliau yang tersebar di penjuru dunia, bergegas
untuk ikut memberikan penghormatan terakhir kepada sang guru. Kota Solo di hari
wafat Habib Anis diserbu puluhan ribu pentakziah. Meskipun Habib Anis bin Alwi
bin Ali al Habsyi telah meninggalkan kita, namun kenangan dan penghormatan
kepada beliau terus saja mengalir disampaikan oleh para habib atau para
muhibbin. Habib Husein Mulachela keponakan Habib Anis mengatakan, pada saat
meninggalnya Habib Anis dia dan isterinya tidak mendapatkan tiket pesawat, dan
baru keesok harinya datang ke Solo melalui bandara Adi Sumarmo Yogyakarta.
Selama semalam menunggu, mereka seperti mencium bau minyak wangi Habib Anis di
kamarnya. “Aroma itu saya kenal betul karena Habib Anis membuat minyak wangi
sendiri, sehingga aromanya khas.”
Dalam
salah satu tausiyah, Habib Jindan bin Novel bin Salim bin Ahmad Jindan
mengatakan, “Seperti saat ini kita sedang mengenang seorang manusia yang sangat
dimuliakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Kita juga mengenang orang shalih yang
telah meningalkan kita pada tanggal 6 Nopember 2006 yaitu guru kita Habib Anis
bin Alwi bin Ali Al-Habsyi."
Ketika
kita hadir pada saat pemakaman Habib Anis, jenazah yang diangkat tampak seperti
pengantin yang sedang diarak ke pelaminannya yang baru. Bagi Habib Anis, kita
melihat semasa hidup berjuang untuk berdakwah di masjid Ar-Riyadh dan kini
setelah meninggal menempati Riyadhul Janah, taman-taman surga. Ketika takziyah
pada pemakaman Habib Anis kita seolah-olah mengarak pengantin menuju Riyadhul
Jannah, taman-taman surga Allah. Inilah tempat yang dijanjikan Allah kepada
orang-orang yang beriman, bertaqwa dan shalih. Kita sekarang seperti para
sahabat Habib Ali Al-Habsyi, penggubah maulid Simthud-Durar yang mengatakan
bahwa, keteka mereka hidup di dunia, mereka seolah-olah tidak merasakan hidup
di dunia tetapi hidup di surga. Sebab setiap hari diceritakan tentang akhirat,
tentang ketentraman bathin di surga. Dan mereka baru menyadari baha mereka
hidup di dunia yang penuh cobaan.
Kita
selama ini hidup bersama Habib Anis, bertemu dalam majlis maulid, berjumpa
dalam kesempatan rauhah dan berbagai kesempatan lainnya. Dalam berbagai
kesempatan itu kita mendengar penuturan yang lembut dan menentramkan, sehingga
sepertinya kita di surga. Dan kita merasakan bahwa kita hidup di dunia yang
fana ketika menyaksikan bahwa beliau meninggal dunia. Namun begitu, kenangan
beliau tetap terbayang di mata kita, kecintaan beliau tetap menyelimuti kita.
Habib
Abdul Qadir bin Ahmad Assagaf yang berada di Jeddah bercerita, “Ayahku Habib
Ahmad bin Abdur Rahman berkata kepadaku, ‘ya…Abdul Qadir engkau lihat aku,
ketahuilah jangan engkau menyimpang dari jalan orang tuamu’”. Ketika Habib
Ahmad bin Abdurrahman meninggal dunia, Habib Abdul Kadir tetap menempuh jalan
orang tuanya dan dia tidak menyimpang sedikitpun jalan yang telah ditempuh oleh
Habib Ahmad bin Abdur Rahman.
Begitu
juga Almarhum Habib Anis, tidak sedikitpun menyimpang dari yang ditempuh oleh
ayah beliau, Habib Alwi. Hal serupa terjadi pada Habib Alwi , yang tetap
menapaki jalan yang ditempuh oleh ayah beliau Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi
Dan Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi sama juga menempu jalan orang
tua, guru dan teladan beliau hingga sampai Nabi Muhammad SAW”……
Sedangkan
Habib Novel bin Muhammad Alaydrus, murid senior sekaligus cucu menantu Habib
Anis mengatakan, maqam tinggi yang dimiliki Habib Anis didapatkan bukan karena
berandai-andai atau duduk – duduk saja. Semua itu beliau peroleh setelah
bertahun-tahun menanamkan cinta kepada Allah SWT, para shalihin dan kepada kaum
muslimin umumnya. Semoga beliau dalam kuburnya melihat kehadiran kita di majlis
ini, bahwa kita sebagai anak didiknya meneruskan perjuangan dakwahnya. Dalam
Al-Qur’an disebutkan, ‘Dan sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam hati mereka rasa kasih
sayang’. Artinya kepada orang-orang yang beriman dan beramal salih Allah
menanamkan kepada makhluk-makhluk rasa kasih sayang kepadanya, cinta kepadanya,
sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW dalam hadits yang diriwayatkan Imam
Bukhari, “Jika Allah mencintai hambanya maka Allah akan memanggil Jibril,
menyampaikan bahwa Allah mencintai si Fulan. Mulai saat itu Jibril akan
mencintai Fulan, sampai kapanpun. Jibril kemudian memanggil ahli langit untuk
menyaksikan bahwa Allah mencintai Fulan. Maka ia memerintahkan mereka semua
utuk mencintai Fulan. Dengan begitu para penghuni langit mencintai Fulan.
Setelah itu Allah letakkan di atas bumi ini rasa cinta untuk menerima orang
yang dicintai Allah tersebut, dapat dekat dengan orang itu.” Dan insya Allah
Habib Anis termasuk diantara orang-orang tersebut.”
Kemurahan
hatinya kepada golongan ini sukar ditandingi menjadikan beliau dihormati dan
disegani ramai. Sungguh tangan beliau senantiasa di atas dengan memberi, tidak
sekali-kali beliau jadikan tangannya di bawah meminta-minta. Inilah antara
ketinggian akhlak Habib Anis al-Habsyi. Habib Anis di makamkan di Qurbah
Gurawan, Pasar Kliwon tepat berada di tengah tiga makam para keturunan Habib Ali,
yakni makam Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi, dan diapit dua makam lainnya; Habib
Anis bin Alwi al-Habsyi dan Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi. Dari perkawinan
dengan Syarifah Syifa Assagaf, Habib Anis dikaruniai enam putera yaitu Habib
Ali, Habib Husein, Habib Ahmad, Habib Alwi, Habib Hasan, dan Habib Abdullah.
Semua putera beliau tinggal di sekitar Gurawan, Pasar Kliwon, Surakarta.
Nama
pertama yang disebut merupakan putera kandung Habib Ali. Habib Alwi hijrah ke
Indonesia untuk berdakwah, dan pada akhirnya pada tahun 1355 H ia mendirikan
sebuah masjid di Surakarta. Masjid tersebut diberi nama sama dengan masjid yang
didirikan oleh ayahnya di Hadhramaut, yakni Masjid Riyadh.
Sedangkan
dua nama berikutnya, merupakan putera Habib Alwi atau cucu dari Habib Ali
Al-Habsyi. Habib Ahmad lahir ketika ayahnya masih di Hadramaut, lain halnya
dengan adiknya, Habib Anis yang lahir di Indonesia. Keduanya meneruskan
perjuangan para leluhurnya, sebagai dai. Artinya transmisi baik secara nasab,
keilmuan, thariqah serta akhlaq ajaran Nabi Muhammad SAW telah paripurna
diemban oleh Habib Anis secara utuh, dimana estafeta khalifah Alawiyyin, dengan
menduplikasi ajaran salaf baik sang ayah (Habib Alwi), kakek (Habib Ali bin
Muhammad Husain al Habsyi) serta ajaran salafuna sholihun yang mu'tabar dan
teguh memegang tradisi Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Selain
pada acara haul, ketiga makam tersebut setiap harinya hampir tidak pernah sepi
dari peziarah. Bahkan, terkadang datang rombongan bus dari luar daerah. Hal
yang tidak jauh berbeda dengan makam para Walisongo.(***)
REFERENSI:
1. Aji Setiawan, Buku Biografi Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Husain al Habsyi, wikipedia.id, 7 Februari 2022
2. Ajie Najmudin, Kamis, 27 Mei 2021
Empat Konsep Dakwah Habib Anis. www.nu.or.id
3. Manakib Salaf, Al-Kisah No.23/Tahun IV/ 6-19 November 2006
4. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006
5. Empat
Konsep Dakwah Habib Anis Solo, Tim Suara Merdeka, Kamis, 18 November 2021
5.Irma Ayu Karrija Dewi, Dr. Sri Margana, M.Phil. Habib Anis bin Alwi al Habsyi dan Masyarakat Islam di Surakarta Tahun 1953-2006.Tesis , S2 Ilmu Sejarah, Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
6. Habib Jindan bin Novel Salim Jindan, Qul Hadihi Sabily, al Fachriyah 2007.
7. Ajie Najmuddin, “Tiga Makam Keturunan Pengarang Simtuddurar”, dalam NU Online, www.nu.or.id, diakses tanggal 7 Mei 2017, www.nu.or.id
8. DR. Ma'san Hamid,"Tradisi Pembaruan Simthud Dhurar Dalam Masyarakat Keturunan Arab di Kawasan Ampel, Surabaya, 2006.
9. Majalah Risalah, Edisi 69, Tahun X 1438 H/Februari 2007.
10. Habib Husein Anis al
Habsyi, Biografi Habib Anis Al Habsyi,Muallif Simtud Durar, Solo: Pustaka
Zawiyah, 2007.
11.
KH Jamaludin Achmad, Napak Tilas Aulia’, Jombang: Pustaka Al-Muhibbin PP.Tambak
Beras, 2008.
12.
Majalah Al-Kisah, No.09/Tahun V/23 April 2007. 13. Eickelman, D.F. dan James
Piscatory (ed), Muslim Travellers: Pilgrimage, Migration, and Religious
Imagination, London:Routledge, 1990.n
14.
Jonge, Huub de, “Pilgrimages and Local Islam on Java”, dalam Studia Islamika,
Vol. 5, No. 2, 1998:1-25.
15. Majalah Al-Kisah No.23 / Tahun IV / 6-19 November 2006
16. Novel Muhammad Alaydrus, Mana Dalilnya I, Seputar Ziarah Kubur, Tawassul, Tahlil, Taman Titian Ilmu, 2006
17. Muhajir Madad Salim, “Dua Menara al-Habsyi Solo”, dalam
Ensiklopedi Dunia Pesantren dan Literatur Klasik Ulama Nusantara,
www.pesantrenmedia.htm, diakses pada 7 Mei 2017.
18.
Rosyid, Nur, “Shalawatan With Habib: A New Transformation of the Relation among
the NU Moslem Audience in Indonesia”, dalam Jantra Vol. VII, No. 2, Desember
2012:135-144.
19.
Sholihah, Nurus, “ Tradisi Haul Habib Ali al-Habsyi Masyarakat Muslim Muhibbin
di Pasar Kliwon Surakarta Tahun 1980-2006”, Skripsi, Ilmu Sejarah, Fakultas
Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009:9-10.
20. Pedoman Kegiatan Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, UII Yogyakarta, 2001.
21. Zainul Milal Bizawie, Buku Jejaring Ulama Diponegoro, Compass, 2019. Edited
AST/KKP
ajisetiawanst@gmail.com