Kamis, 29 Oktober 2020

KH Muhammad Hasan

 KH Mohammad Hasan 

Pengasuh Pondok Pesantren Tanbighul Ghofilin, Banjarnegara


 K.H. Mohammad Hasan, yang lahir pada  hari Jumat Kliwon 1 Januari 1932 M. Sedari kecil ia telah dididik dengan pendidikan agama yang ketat oleh kedua orang tuanya. Menginjak dewasa ia kemudian menuntut ilmu ke pondok di Tuban, yakni Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin (Tanggir) Singgahan, setelah berguru kepada K.H. Muslih atau K.H. Soim. Lepas dari Tuban ia kemudian mondok ke Ma’had al-Ihsan Jampes Kediri Jawa Timur yang diasuh KH Ihsan bin Dahlan al Jampesi. Syeikh Ihsan bin Muhammad Dahlan (1901- wafat 15 September 1954) adalah seorang kiai tradisional produktif mengarang kitab seperti kitab Siraj al Thalibin, Tasrih al-Ibarat, Minhajul Imdad, Irsyadu Al-Ikhwan fi Bayani al hukmu al qohwa wad dukhan.
Belum puas menuntut ilmu dari Kediri, KH Mohammad Hasan kemudian melanjutkan ke pondok Soditan, Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah yang diasuh KH Maksum serta Pondok pesantren Mbah Cholil Kabupaten Bangkalan, Madura.    
Tahun 1954, K.H. Mohammad Hasan pulang dari pondok Tuban dan kemudian mendirikan bangunan kecil kira-kira empat kamar, berukuran tujuh kali 12 meter, untuk tempat tinggal anak-anaknya, juga untuk mengaji dan belajar kitab. Ini menarik minat anak-anak di sekitarnya. 
Seiring berkembangnya waktu, karena masyarakat masih minim pengetahuan agama Islam dan Banjarnegara pada waktu itu terkenal sebagai daerah abangan, K.H. Mohammad Hasan mulai memberikan pelajaran dasar keislaman kepada masyarakat. Dari bagaimana cara berwudhu’, shalat, dan sebagainya. 
Di pondok ini juga dilakukan pengobatan gangguan jiwa, karena banyak masyarakat yang mengalami gangguan jiwa. Kebetulan sejak dari pesantren bapak saya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan penyakit gila, dan melalui pengobatan itu banyak yang sembuh.
“Setelah sembuh, pasien ingin berbakti kepada Allah SWT. Mereka telah diingatkan, karena sebelumnya lupa. Lalu muncullah kalimat ‘Tanbighul Ghofilin’, yang artinya mengingatkan orang-orang yang lupa. Kemudian kedua kata ini dijadikan sebagai nama pondok pesantren,” ujar KH Chamzah Hasan, pengasuh pondok pesantren sekarang.
Seiring perkembangan waktu pada saat geger 1965, banyak orang yang berlindung di Pesantren Tanbighul Ghofilin sambil mempelajari ilmu hikmah. Mulailah nama pesantren ini dikenal oleh berbagai kalangan dan santri mulai berduyun-duyun datang. Para santri pria dan wanita ditempatkan di asrama. 
Amalan rutin dari KH Mohammad Hasan adalah selalu shalat berjamaah di masjid yang ada di dalam kompleks pesantren. Selain itu ia juga mendawamkan mandi malam dan berlanjut dengan shalat tahajud.  
Hal yang menarik dari KH Mohammad Hasan adalah dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi seorang penggembala umat. “Pola kepemimpinan ala Rasulullah SAW yang diajarkan adalah menjadi seorang penggembala. Ya bisa ngarit (mencari rumput-red), ya bagaimana memelihara kambing yang banyak, namun tidak pernah nedhak (melanggar). Jadi itu menggambarkan, ketika kita hidup di kehidupan umum tentunya (bukan saya menyamakan manusia dengan kambing, tidak). Maksudnya, ketika bisa mengatur kambing maka kita bisa mengatur manusia. Jadi itu yang sangat luar biasa. Dan membentuk saya, tidak harus bisa mengaji saja. Jadi Abah yang paling luarbiasa itu adalah mendidik saya menjadi anak yang ‘persegi’. Bukan menjadi anak yang ‘mligi’. Mligi itu biasanya hanya mengaji saja. Tapi kalau persegi khan, ngaji bisa , politik bisa, ekonomi jalan artinya ilmu komplit. Semua serba bisa,” kata KH Khayatul Makii, SH putra kedua. 
Dalam hal cita-cita, KH Mohammad Hasan membekali anak-anaknya dengan filsafat ‘Niat ingsun nandur pring. Muga-muga cilik kena kangge suling, gedhe kena gawe lodhong.’ (niat saya menanam bambu. Kecil bisa menjadi suling, kalau sudah besar akan menjadi tempat membawa air). Artinya, bahwa bambu itu ketika dibiarkan maka bambu itu sebatas sebagai gedhek atau bahkan  sebagai alat untuk memasak. Tapi ketika bambu kecil itu dirawat dengan luarbiasa maka akan menghasilkan suara atau nada yang sangat indah. Jadi ketika kecil saja bermanfaat, apalagi kalau besar, tentu lebih bermanfaat.
KH Mohammad Hasan adalah seorang yang arif dan hidup sederhana dalam kesehariannya. Sering bersilaturahmi dan dekat dengan masyarakat serta ulama sekitar. Dalam hal rejeki, KH Mohammad Hasan tidak pernah merasa takut dengan rejeki. “Jangan kalah sama kepompong dan nggaranggati. Kepompong mati meninggalkan rumah dan nggaranggati tetap bisa hidup. Apalagi kita manusia yang diberi akal dan fikiran pasti dijamin rejekinya oleh Allah SWT,” kata KH Mohammad Hasan suatu ketika.     

Sang kyai ini ternyata mengarang sebuah kitab kumpulan doa untuk penyembuhan dan menolong orang lain. Kitab kumpulan doa ini tersimpan hanya untuk keluarga dan tersimpan rapi oleh KH Khayatul Maki. Kitab kumpulan doa ini terbilang unik, sebab hanya diberikan saat umroh terakhir KH Mohammad Hasan di Mekkah. Saat di Masjidil Haram, ia memanggil semua putranya dan memberikan kitab ini kepada Gus Hayat untuk diamalkan, seolah ini menandakan pesan bahwa KH Mohammad Hasan akan segera berpulang. Tepat, tidak berapa lama pulang dari Mekkah, ia jatuh sakit.  
KH Mohammad Hasan wafat pada hari Selasa Legi 25 Desember 2007 (15 Dzulhijjah 1428 H) pada usia 75 tahun dan di makamkan di dalam kompleks Pondok Pesantren Tanbighul Ghofilien, Mantrianom, Kecamatan Bawang Banjarnegara Jawa Tengah. Ia meninggalkan tujuh putra-putri, yakni Siti Chamdah, K.H. Mohammad Chamzah Hasan, K.H. Khayatul Maki, Siti Inayah, Gus Hakim An-Naishaburi, Lc., Mustangin, dan Zulaikha. 

Aji  Setiawan, Purbalingga

Jumat, 02 Oktober 2020

Ziarah

Wisata Ziarah Makam Sayid Mansyur Purbalingga Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah berada di antara cekungan-cekungan dari beberapa rangkaian pegunungan yang ada di sekitarnya. Di sebelah Utara merupakan rangkaian pegunungan dari Gunung Slamet dan dataran tinggi Dieng, sedangkan bagian Selatan merupakan Depresi Serayu yang dialiri oleh dua sungai besar yaitu kali dan anak sungainya yaitu kali Pekacangan. Dari kali Pekacangan ini bertemu anak sungai Klawing dan akhirnya bermuara menjadi satu menjadi sungai Serayu. Saat ini potensi batu akik sungai Klawing sedang booming, setelah pesona batu pancawarna dan nagasui menjadi juara internasional di majalah Gramstone. Selain potensi batu pancawarna Klawing, ada juga potensi batu akik bahkan batu warna yang ada di Kec Karanganyar, Mrebet, Karangmoncol dan Rembang serta sepanjang sungai Pekacangan. Ada beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal sampai ke daerah di luar kabupaten Purbalingga, dan juga digemari oleh kebanyakan orang. Kabupaten Purbalingga sendiri merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah dengan ibu kotanya yaitu Purbalingga. Kabupaten Purbalingga berbatasan dengan Kabupaten Pemalang di sebelah Utara, berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara di sebelah Timur dan Selatan, serta berbatasan dengan Kabupaten Banyumas di sebelah Barat dan Selatan. Secara geografi, Kabupaten Purbalingga terbentang pada altitude + 40 sampai 1.500 meter diatas permukaan laut. Ibu kota Kabupaten Purbalingga yakni Purbalingga yang berada di sekitar 21 km sebelah Timur Laut Purwokerto. Di Kabupaten Purbalingga ada terdapat banyak industri, seperti industri bulu mata dan wig serta industri knalpot sebagai alternatif suku cadang murah. Selain terdapat banyak industri, ada pula beberapa tempat wisata di Purbalingga yang terkenal sampai keluar daerah Purbalingga semacam Objek Wisata Owabong (Bojongsari), Gua Lawa (Karangreja), Monumen Jendral Sudirman (Rembang), Wisata Air Congot (Kemangkon) dan lain-lain. Salah satu Objek wisata ziarah yang diminati oleh penduduk sekitar Purbalingga adalah objek wisata makam Syekh Mansyur. Sekitar seribuan Jamaah Majlis Dzikir Nurul Hakim memadati areal kompleks Makam Syech Sayid Ahmad Al Mansyur di dusun Karangnangka Desa Sumampir Kec Rembang. Mereka datang untuk bersilaturahmi, berziarah dan halal bi halal bersama pimpinan Majlis Dzikir Nurul Hakim , yakni Raden Sayid Amir Hakim. Acara Haul tahunan di komplek Makam Syekh Sayid Ahmad Al Mansyur ini berlangsung setiap bulan Sya’wal, dimana anggota jamaah istighosah berkumpul bersama dari berbagai daerah. Acara rutin selapan ada malam Kamis Kliwon, dengan mengundang ceramah dari ulama setempat. Untuk menuju komplek makam wisata ziarah ulama Persia ini,dapat ditempuh baik dengan kendaran pribadi maupun angkutan umum. Kawasan wisata ziarah spiritual ini berdekatan dengan wisata ziarah Syekh Jambu Karang, yang berada di Desa Penusupan kec Karangmoncol dan wisata pendidikan Monumen Jendral Sudirman yang berada di desa Bantarbarang, kec Rembang Kab Purbalingga. Agar sampai di kompleks makam, jalur yang paling mudah ditempuh oleh peziarah adalah dari arah terminal Bobotsari menuju ke arah timur kec Rembang Purbalingga. Dari Bobotsari ke Desa Sumampir , peziarah akan diajak melintasi jalan tembus yang berliku sepanjang 20 kilometer. Sampai pertigaan Sumampir atau kompleks Pasar Sumampir, belok kiri ke arah utara sekitar 5 kilometer menuju grubul Karangnangka. Kendaraan anda harus fit betul, jalan menanjak dan menurun curam beraspal namun masih berkabut oleh embun pegunungan yang meyegarkan tubuh. Areal Parkir paling mudah di sekitar masjid Abdurrahman, dusun Karangnangka, Desa Sumampir. Peziarah kemudian berjalan kaki menyusuri bukit areal pekuburan sepanjang satu kilometer yang sudah dikrosok. Awalnya kompleks makam ini merupakan tanah pekuburan biasa, setelah pemilik tanah merelakan untuk dijadikan areal ziarah, mulailah di bangun tempat yang representatif untuk berziarah. Jalan menuju kompleks makam sudah berbatu dan tidak licin pada waktu musim hujan, bahkan jalan berundak menuju kompleks makam sudah dicor beton sehingga memudahkan peziarah untuk mencapai kompleks makam. Kini Gapura Makam juga sudah dibangun menyambut setiap penziarah yang datang. Panorama yang indah di berlahan utara bukit, menambah refreshing bagi peziarah sembari menikmati suasana alam dan udara yang mampu menyegarkan tubuh.Di area makam, tumbuhan pohon cengkih dan kapulaga diselingi desir hawa sejuk pegunungan menyambut peziarah. Lelah tiada terasa sampai di kompleks makam. Sambil berziarah, pengunjung diajak menapak tilasi dakwah dari Syech Sayid Ahmad Al Mansyur sejaman Syech Abdul Qadir Jaelani, dimana Syekh Mansyur adalah murid Syech Abdul Qadir Jaelani, jauh sebelum masa dakwah Walisongo. Syekh Mansyur diperkirakan masuk ke Tanah Jawa dari Persia, menuju Gujarat dan sempat singgah melalui Bandar Malaka (Aceh). Sampai di Tanah Jawa, Syekh Mansyur berdakwah kemudian menemukan tempat yang strategis dan berdakwah dengan masyarakat setempat. Selain menyebarkan Islam,Syekh Mansyur juga seorang pedagang keliling. Namun dakwah Islam ini terputus sejaman dengan Wali I yang datang ke Tanah Jawa (sebelum Wali Songo) atau sekitar abad 10 H sebagaimana dengan Syekh Subadar (Magelang), Syekh Jumadil Kubro (Jogja), Syekh Bela Belu (Bantul), Syekh Iskandar (Kediri), Syekh Maulana Malik Ibrahim (Gresik) dan lain-lain. Karena awal kedatangan Agama Islam ke Nusantara banyak sekali versinya. Sementara Wali Songo sendiri baru masuk ke Tanah Jawa pada abad 11 dan 12 H, sejaman dengan runtuhnya Kerajaan Hindu Majapahit dan Mataram Kuno atau Mataram Hindu. Kembali ke cerita Syekh Mansyur. Makam ini diketemukan pada tahun 2003 dan mulai dibangun areal kompleks makam dengan petilasan dan tempat berteduh pengunjung. Oleh pemerintah desa setempat, jalan menuju kompleks makam dicor beton agar memudahkan penziarah menuju kompleks makam. Menurut Juru Kunci Makam dan sekaligus Perangkat Desa Sumampir , Galih Prabowo menuturkan, acara kegiatan yang rutin baru pada acara Haul Bulan Syawal. Haul baru pertama kali dilakukan pada tahun 2005 dan kegiatan ini akan berlanjut rutin tiap tahun. “Dengan kegiatan ini diharapkan tali silaturahmi di antara umat Islam akan terus terjalin.”Hal ini sangat penting, di saat Ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam yang sedang goyah, dengan kegiatan ini juga untuk menghindari hal-hal buruk yang kerap terjadi diantara umat beragama,” katanya. Terkait pengembangan potensi Pariwisata di Purbalingga agar diminati wisatawan, sebuah desa wisata harus layak jual. Di desa harus memiliki keunikan lokal yang tidak dimiliki wilayah lain. Selain itu, juga perlu ditunjang kemampuan pengelola yang professional. “Profesional disini berarti pengelolanya memiliki pengetahuan yang mumpuni, skill dan attitude yang baik,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga, Drs Subeno, SE, M.Si.(***) Aji Setiawan