10 Nopember ini sudah tujuhpuluh tahun kita peringati
Hari Pahlawan tepatnya 10 Nopember 1945 yang lampau, meletus perang
mempertahankan kemerdekaan di kota Surabaya. Barisan rakyat yang melawan
gabungan NICA dan Inggris yang ingin menjajah kembali bumi Indonesia
Hari
Pahlawan Nasional yang kita peringati ke 70 hari ini tidak lepas dari Fatwa
Jihad yang pada 22 Oktober 1945 dikumandangkan oleh duet kepemimpinan NU pada
saat itu yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah. Bahkan gema takbir
berkali-kali yang disuarakan Bung Tomo lewat siaran langssung Radio Republik
Indonesia (RRI) yang mampu membangkitkan semangat berkobar kobar pemuda-pemuda
Surabaya melawan tentara NICA dan Inggris pada 10 Nopember 1945 juga adalah atas saran KH Hasyim Asy’ari.
Rentangan
sejarah panjang perjuangan KH Hasyim pra kemerdekaan Republik Indonesia,
membuat alHadratussyaikh di penjara baik oleh Belanda maupun Jepang. Empat
bulan lamanya ia pernah dipenjara oleh Jepang. Karena banyaknya protes dari
para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari
Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar
Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika
tentara NICA Nedherland (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk
oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris,
berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus
tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad
melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan
kekalahannya pada Perang Dunia II, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah
Indonesia lagi. Saat itu, Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU, sangat
besar pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan rakyat terhadap Belanda dan
Sekutu. Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945
di Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29
Maret 1946.
Resolusi
Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah
perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada
tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi).
Pembentukan
Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai
faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama
periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim
dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan
laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan
Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada alHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari al Basyaiban.
Para ulama
dianggap oleh para penjajah sebagai ‘Pendeta Islam’ itu ternyata merupakan
golongan yang paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya
berdarah campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar
berkeliling dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat
intrik dan hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang
atau membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.”
Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada
penjajah Belanda. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di
daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di
kota. Ketika Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan
haji dengan ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di
daerah jajahannya, KH Hasyim Asy’ari —pemimpin para ulama di Jawa—menentang.
Beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan
kapal Belanda hukumnya haram.
Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II,
mereka meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk
mempertahankan Indonesia melawan musuh Jepang. Waktu itu Kiai Hasyim
mengeluarkan fatwa yang terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara
Belanda atau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan
mendukung Belanda selalu gagal dilakukan. Bahkan tawaran Belanda yang akan
menganugerahkan bintang jasa terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolaknya.
Gerakan non kooperatif pada penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh
ulama-ulama lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan
penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat
perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni
perang suci atau perang sabil demi agama. Ajaran perang suci ini muncul di Aceh
paling awal abad ke-17, dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis,
yang terparah pada akhir abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan
perang, Syaikh Abbas Ibnu Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat ar-Rakidin—ajaran
utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang
diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb. Jihad merupakan kewajiban
moral (fardu ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang
untuk mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam.
Padahal pada waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928
di Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah konsep Negeri Darussalam
(sebuah negeri yang penuh aman, sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh
keselamatan).
Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar
lima tahun (1825-1830) juga karena alasan serupa. Dalam proklamasi dan
permintaan dukungannya pada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran
Diponegoro—pangeran yang juga ulama—menekankan bahwa ia adalah pemimpin ‘perang
sabil’, perang suci, untuk mengusir Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia
menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka “untuk
ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan tinggi
kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurken agami Islam)”.Dalam
menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh Kiai Mojo, Kiai Besari,
dan ulama-ulama lainnya.
Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan
penjajah adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak
lingkaran 94 km dari tempat masuk atau kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi
lelaki, perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang
di luar jarak 94 km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah.
Cukup dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10
Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang
Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat
Singaparna di Jawa Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa
jihad dari para ulama.
Keluarnya berperang melawan segala bentuk
penjajahan dunia sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan oleh AlHadlaratussyaikh
KH. Hasyim Asy’ari sejak pertama kali Asyaikh membuka pesantren. KH. Hasyim Asy’ari
merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam
yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan
Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari
merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH.
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai
dasar Islam yang kokoh.
Tahun
1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama
7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At
Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani,
Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin
Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun
l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai
Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan
saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.
Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim
istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga
pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya baik padi
maupun palawija serta rempah-rempah. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai
Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun
1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh
Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik
yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur
Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak
kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat
berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan
tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian
meningkat menjadi 28 orang.
Setelah
dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil
yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh,
putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai
Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4)
Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8)
Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai
Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri
Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan
ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2)
Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Karena
pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian
serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di
antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.
Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan
bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian
sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana.
Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda.
Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama
secara luas. Karuan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung.
Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan
niatnya.
Namun
sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan
Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di
Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda
terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh
penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng
pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda
mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan
hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu
domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan
pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan
pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan
represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik tahun
1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang
di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure,
kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan
Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan
Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif
dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin
Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus
Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim
menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan
badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada
Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah,
bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah,
mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara
Bubutan, Surabaya.
Karena
kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar,
sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim
mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi
patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga
mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai
Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Setidaknya
dimana rekam jejak KH. Hasyim dari kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun
pesantren Tebuireng tidak mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda
pada tahun 1913 karena perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu
KH. Hasyim menasehati santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada
Belanda. Soalnya waktunya dianggap belum tiba.
Sebuah
kesabaran yang luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang, AlHadratus
Syaikh sampai menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk membiayai
pesantren. AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner (pengusaha) yang
sukses, jatuh bangun dalam bidang agama namun juga bidang perekonomian. Hanya
karena berkat kesabaran, semua rintangan beliau lalui dengan sukses selain
bertani, berkebun, berdagang kuda dan rempah-rempah di Surabaya, benar-benar
berusaha dari titik nol.
KH.
alHadratussyaikh Hasyim Asy’ari alBasyaiban juga seorang pendidik modernis.
Akan tetapi model pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan dengan
cikal bakal sistem pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu Dinniyah
School dan Sumatra Tawalib School serta Madrasah Jamiat Kheir
Tanah Abang Lembaga Rabithah Alawiyah.
KH. Hasyim Asy’ari juga menjalankan sistem yang modern. Ia menerapkan
sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada 1916. Pelajaran umum seperti membaca
dan menulis huruf latin , ilmu bumi, sejarah dan bahasa Melayu diajarkan di
Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi dengan dengan bangku dan meja. Pembaruan
dan pembaharuan ini sempat menimbulkan reaksi cukup hebat, sehingga sejumlah
orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain karena Tebuireng dianggap
terlalu modern.
Kesadaran
bahwa selain fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya
yang tidak lain adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah
anak beliau. KH. Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal,
Wahid memang sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat
mengundurkan diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam
rapat HBNO. KH. Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus
Ponpes Tebuireng. Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah
1500 orang.
Semasa
kepemimpinan KH. Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan
pesantren. Dimana pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan
teks-teks kitab fiqh namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ;
bahasa Jerman, Belanda dan Inggris.
Dalam proses belajar KH. Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy)
antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar.
Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri senior, KH. Wahid
Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa mengikuti kelasnya.
“Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,” kata KH. Muchit
Muzadi (alm) sebagaimana dikutip majalah
Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain
perombahan dan pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga
membangun sejumlah gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan
mulai teks pelajaran, sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu
perpustakaan Tebuireng koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional
Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya sebelah selatan Kementrian Sosial
sekarang-red).
Perkembangan
pesat Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan 1948-setahun
setelah Wahid menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk
Jombang bahkan merangsek masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar
kemana-mana, sementara KH. Wahid Hasyim
beserta keluarga memutuskan pindah ke Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah
satu tokoh Masyumi apalagi setahun kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai
Menteri Agama dan Tebuireng saat itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim
dan KH. Ahmad Baidlowi. Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid
Hasyim tetap memantau perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di
mana-mana dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran.
Dan
perlu dipahami berjihad tidak harus selalu memanggul senjata, namun jihad
juga bisa melalui panggung podium dengan pidato (bil lisan), bisa juga
dengan jihad harta (bil mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda bi nafsi
dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai
ijtihad, orang yang sampai berijtihad baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul
massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit)
namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan
tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan
menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan
ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan.
Paling
tidak ada tujuh pakar keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an
yang menjadi maha guru bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH
Hasyim Asy’ari bahkan ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat
itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah
Syaikh Soleh Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi,
Syaikh Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan), Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh
Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al Bangkalan. Mata rantai keilmuan
keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19 tidak lepas dari ketujuh tokoh
dari ketujuh tokoh dari Indunisie.
Ketujuh
ulama ini sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama.
Mereka amat berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak
dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau
Arab Pegon. Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh
Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin
melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang
belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab
kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab
pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada
pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang sebagai bahasa sandi antar
guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam bahasa Jawa. Karena pada
waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan penjajahan di bumi Hindia Belanda. Sementara para ulama di atas
mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti Mekkah saat itu. Sementara
untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an Nahrowi al Muhtaram al
Banyumasi, karena tidak ada satupun ulama Indonesia yang berani mencetak
kitabnya tanpa diijazahi dan ditashih dahulu
oleh Syaikh Habib an Nahrowi al Banyumasi.
Konteks
jihad pada jaman sekarang adalah berperang melawan kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan yang sebagian besar menimpa rakyat Indonesia. Kata Jihad (berperang)
dikeluarkan pada saat itu penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan
keberadaan NKRI. Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian
ditetapkan sebagai hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut
positif, karena mewarisi nilai semangat berjihad.
Di
era jaman sekarang di saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam keadaan
damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar pada sejarah, belajar pada
semangat kebangsaan dan cinta tanah air (hubbul wathon minal iman).
Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di pesantren bahkan
di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari Pendidikan Moral
Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi mahasiswa baru, Mata
Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus memanggul senjata
dan berperang. Melawan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan dengan menggerakan
ekonomi kerakyatan, menggratiskan dan menyelenggarakan pedidikan yang murah dan
menjangkau rakyat bawah juga bagian dari upaya untuk mencapai cita-cita bangsa.
Islam menyerukan komitmen warga muslim untuk
bersama-sama mengentaskan kemiskinan dengan menngajak untuk pertama menggiatkan
shadaqah. Harakah islamiyyah (gerakan keislaman) perlu
difokuskan untuk menghadirkan kesejahteraan. Kemiskinan akan mendorong umat
menjadi lemah, dekat dengan kekufuran. Indonesia sebenarnya kaya raya, dikenal
sebagai negeri zamrud khatulistiwa, yang di dalamnya terdapat pelbagai kekayaan
alam; ragam fauna, tumbuhan, mutiara-mutiara hingga material tambang di perut
bumi. Inilah yang harus dikelola sebagai kekayaan bangsa. “Rasulullah
bersabda, ada tiga sumber energi yang menjadi milik bersama, yakni air, api dan
hutan.”
Tentu saja, sabda Rasulullah ini harus menjadi
inspirasi bagi kita semua untuk menegakkan bangsa yang berdaulat. Kedaulatan
politik, ekonomi dan kebudayaan memerlukan komitmen kedaulatan energi. Sumber air
yang melimpah, mutlak untuk kesejahteraan rakyat. Kekayaan minyak dan bahan
tambang, harus menjadi sumber kedaulatan energi. Hutan-hutan yang luas, wajib
dikelola untuk kemaslahatan bangsa ini. Dari kekayaan melimpah di negeri ini,
ternyata masih banyak warga yang miskin. Tidak hanya miskin harta, namun juga
miskin mental. Untuk itu, perlu ada dorongan sekaligus kebijakan untuk membuka
lapangan kerja yang luas, yang memberi kesempatan bagi kader terbaik bangsa
ini. Pembenahan mental mutlak dilakukan, agar kita mampu berkarya dan
berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain.
Rumusan dasar negara, dalam Pasal 33 UUD 1945
mengingatkan kita tentang betapa pentingnya energi sebagai modal untuk
mensejahteraan rakyat. Intinya, bukan hanya pertumbuhan ekonomi yang dikejar,
akan tetapi yang lebih penting adalah pemerataan kesejahteraan. Pada titik ini,
kebijakan strategis pemerintah menjadi kuncinya.
Kalau prinsip kepemimpinan dan tujuan kesejahteraan
rakyat tidak sejalan-beriringan, maka ancamannya adalah kerusakan di segala
bidang, yang menimbulkan murka dari Sang Pencipta Jagad Raya, Allah Subhanahu
wata’ala.
Allah SWT telah mengingatkan :”Kalau sekiranya kebenaran tunduk kepada kehendak hawa
¬nafsu mereka, niscaya rusaklah semua langit dan bumi dan segala apa yang ada
di dalam¬nya. Bahkan Kami berikan ke¬pada mereka itu al-Quran untuk kehormatan
sebutan mereka, namun mereka tetap berpaling dari kehormatan itu (QS:
Al-Mu’minun: 71).
Kedua, amar ma’ruf bil ma’aruf
(mengajak kebajikan dengan cara yang baik). Kebaikan-kebaikan yang menghadirkan
harapan. Islam menegaskan tentang pentingnya pengetahuan untuk membangun
peradaban. Ajaran Islam telah menggariskan untuk terus mengabdi dalam
mencerdaskan bangsa dan menyehatkan warga. Komitmen untuk menghadirkan
kecerdasan, hanya dapat tercapai dengan jalan ketaqwaan. Revolusi mental bangsa
hanya dapat digapai dengan moral dan keteladanan. Gerakan mencerdaskan otak,
menyegarkan mental, dan menjernihkan hati, akan mendorong lahirnya individu
yang shalih, sekaligus juga masyarakat yang shalih. Bangsa yang paling mulia di
hadapan Allah, ialah bangsa yang bertaqwa.
Ini sesuai dengan Firman Allah SWT:“…. dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(Q.S. Al Hujurat: 13)
Ketaqwaan inilah yang menjadi inspirasi bagi kalbu
dan penjernih pikiran. Gerakan intelektual dan strategi kedaulatan, haruslah
diiringi dengan kejernihan hati, kecerdasan moral, dan keteguhan mental. Allah
menjanjikan derajat yang tinggi, maqaaman mahmuuda, bagi orang-orang
dan bangsa yang memiliki keunggulan pengetahuan.
Allah SWT juga
menjanjikan derajat tinggi bagi orang-orang berilmu pengetahuan: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS:
Al-Mujaadalah: 11)
Upaya mencerdaskan generasi bangsa, adalah tugas
strategis yang menjadi darma bakti warga nahdliyyin. Sejarah panjang hadirnya
pesantren di negeri ini, menjadi penanda betapa kiai terdahulu sudah berkiprah
dalam membangun pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat. Islam tidak hanya
memikirkan aspek teologi maupun ritual semata. Al-islamu dinul tsaqofah wal
hadharah wal insaniyyah. Islam adalah agama yang membangun pengetahuan,
peradaban dan kemanusiaan. Mencerdaskan bangsa, sekaligus menyehatkan fisik dan
mentalnya, tubuh dan jiwanya, merupakan komitmen bersama sebagaimana teladan
dari para kiai dan ulama.
Tentu saja, pemerintah tidak mungkin menangani
semua aspek dalam kehidupan warga negeri ini. Agama Islam sebagai mayoritas jama’ah
(komunitas) sekaligus yang tersebar
di berbagai (organisasi) berkomitmen untuk membantu mencerdaskan warga negeri
ini, agar mampu meraih kesejahteraan. Komitmen kami, terbukti dalam bidang
pendidikan serta ekonomi kerakyatan.
Ketiga,
أَal Islaha Bainannas (menjadi jembatan islah). Rekonsiliasi antar
masyarakat. Islam mengajarkan tentang pentingnya maslahah ‘ammah,
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. NU telah membuktikan, dalam
sejarah panjangnya, sebagai mediator dalam konflik-konflik kemanusiaan, maupun
sengketa kebangsaan. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’arie, Kiai Wahab Chasbullah,
Kiai Wahid Hasyim, dan beberapa kiai NU lainnya, selalu menjadi penengah dalam
situasi konflik.
Kiai Hasyim Asy’arie menjadi pejuang sekaligus
penengah di awal masa kemerdekaan bangsa ini. Beliau dengan ikhlas memberikan tongkat
kepemimpinan negara kepada Soekarno, yang ia beri restu untuk mengawal NKRI.
Kiai Wahab Chasbullah menjadi mediator dalam himpitan kolonial, untuk memperjuangkan
kepentingan warga negara Indonesia. Kiai Wahid Hasyim, menjadi jembatan
aspirasi antar kelompok, dalam masa awal kemerdekaan republik ini. Kiai-kiai
lain juga berperan untuk tujuan yang sama, dalam ruang dan peran yang
berbeda-beda.
Tentu, dalam konteks sekarang, Bagaimana
menghadirkan agama Islam melalui para Tokoh dan pemuka agama sebagai mediator
untuk menjaga kesatuan bangsa dan mengukuhkan NKRI, bahkan juga dalam sengketa
agama dan kemanusiaan di dunia internasional, sebagaimana diperankan oleh alm
Gus Dur sebagai bapak Pluralisme.
NU tanpa pretensi politik praktis, selalu berperan
menjadi perekat bangsa, mengawal utuhnya NKRI. Kiranya, jelas rumusan
kebangsaan yang dapat menjadi referensi, sebagaimana termaktub dalam PBNU:
Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Untuk itu, NU sekali lagi
menyerukan kepada pemerintah untuk berpegang kepada konstitusi, teguh pada
dasar negara.
Konsep kepemimpinan ini bermakna substansial,
sesuai dengan kaidah fiqh as-siyasah, yang tercermin dalam kitab al-Asybah
wa an-Nadhair. Pemimpin mestilah berpegang pada prinsip untuk
mensejahterakan rakyatnya, menyebar optimisme dan menghadirkan teladan
kebaikan. Nahdlatul Ulama selalu berkomitmen untuk mengawal negara, agar tidak
terpecah belah dalam kepentingan rasial, etnik maupun manuver-manuver politik
kelompok tertentu.
Resolusi Jihad yang kemudian menjadi meletus perang
rakyat semesta pada 10 Nopember 1945. Sehingga pada setiap tanggal 10 Nopember
diperingati Hari Pahlawan Nasional telah melebur sekat kelompok agamis,
nasionalis, sosialis, dan kelompok yang lain di kalangan bangsa Indonesia yang
beragam latar belakangnya. Resolusi Jihad telah menyeimbangkan spirit kualitas
individu yang bersifat vertikal dengan kepentingan bersama yang bersifat
horizontal atau hablum minannas melalui fatwa ulama yang mendudukkan
sikap nasionalisme sebagai bagian dari sikap religius.
Intisari
jihad, yakni melawan penindasan fisik dan non fisik. Yang menghalangi
terwujudnya negara yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dalam konteks
sekarang, jihad itu berarti membebaskan diri dari kebodohan, korupsi,
anarkisme, ketimpangan ekonomi dan sebagainya yang menghalangi kemajuan
Indonesia. Semangat itulah yang sesungguhnya mengajak kita untuk
meneladani nilai-nilai kepahlawanan dan kebangsaan para pendahulu kita.
Demikianlah
uraian singkat seputar Hari Pahlawan, Manghayubagya Hari Pahlawan ke 70 tahun
semoga sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara, sehingga
cita-cita Negara dan Bangsa Kesatuan
Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan ridho Allah SWT
menuju Indonesia Darussalam. Sebuah negeri yang baldatun thoyibatun warobun
ghofur. Amin Amin Ya Mujibas Sailin. Wallohul muwwafiq illa Aqwamith
Thorieq. (*****) Penulis adalah mantan Pengurus Cabang dan Komisariat
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) KH Abdul Wakhid Hasyim Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta dan sekarang tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah
Bank Mandiri KCP Purbalingga rek Aji Setiawan No: 1390010915175
HP Aji : 081229667400
ISBN
: 0507-11878 U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar