Opini 14 Oktober
2015 (Tahun Baru Hijriah)
Berhijrah Menuju Kebajikan
Oleh:
Aji Setiawan
Hijrah adalah berasal dari kata Bahasa
Arab darikata hajara, yang artinya memutuskan hubungan, pindah , meninggalkan
sesuatu yang lalu pindah kepada tempat yang lain
Dalam arti umum,
hijrah adalah meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke tempat yang baru. Dalam
Islam menjadi istilah yang populer , yakni berpindahnya kaum muslimin dari kota
Mekkah ke tempat lain. Hijrah ini paling tidak tiga kali dilakukan oleh kaum
muslimin. Tetapi Islam memberikan arti yang lebih luas mengenai hijrah ini,
yaitu meninggalkan yang jelek dan berpindah ke hal yang baik demikian HAMKA
bertamsil dalam Tasawuf Modern, (Gunung Agung;1976).
Seseorang yang
meninggalkan suatu paham atau kepercayaan (katakanlah misalnya kepercayaan
kebatinan). Kemudian ditinggalkannya dan lalu mengikuti faham lain (misalnya :
agama Islam) dapat juga disebut sebagai orang ber-hijrah, yaitu hijrah dari
suatu kesesatan menuju ke kebenaran. Seseorang yang biasanya berperilaku jelek,
buruk, jahat tidak terpuji kemudian meninggalkan semua perilaku yang serba
negatif tersebut dan menggantinya dengan perilaku yang baik , terpuji
bermanfaat maka orang tersebut dapat jug adisebut sebagai orang yang berhijrah
dari perilaku jelek dan berpindah menjadi berperilaku baik. Rasulullah SAW
menjelaskan dalam lewat salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, ”Hai
Nabi Allah, hijrah yang manakah yang baik?” Rasulullah SAW menjawab, ”Apabila
kamu meninggalkan sesuatu yang jelek.”
Hadist di atas
memang hanya begitu. Ini dapat diartikan , bahwa hijrah yang paling baik itu
setidaknya meninggalkan segala sesuatu yang buruk. Tentunya langkah berikutnya
adalah,”berpindah kepada hal yang baik.” Namun bila hanya meninggalkan yang
buruk saja lalu diam, cukup lah artinya walau kemudian tidak berpindah ke hal
yang baik, bersikap diam tidak melakukan yang jelek itu pun sudah dinilai
“baik” dalam arti minimal. Seperti kata pepatah: Dari pada berbuat jelek lebih
baik diam.
Kata hijrah
mempunyai ciri: berpindah. Sifat yang mendominasi adalah adanya peningkatan
dari sifat negatif ke sifat yang positif. Jadi hijrah dilakukan untuk
mengadakan perbaikan atau penyempurnaan bukan sebaliknya. Secara langsung
maupun tidak Allah SWT menyarankan agar manusia jangan terpaku di suatu tempat
saja karena bumi Allah ini sangat luas. Ini berarti kita disarankan memilih
tempat yang menguntungkan bagi kita, kalau memang tempat yang kita huni tidak
menyenangkan.
Firman Allah SWT
tersebut disebut dalam QS Anissa ayat 97 dan 100. Serta dalam QS Az-Zummar ayat
10 yang artinya,”Sesungguhnyua orang-orang diwafatkan oleh Malaiakat dalam
keadaan menganiaya dirinya sendiri (tidak mau hijrah) , maka Malaikat bertanya
kepada mereka,”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab ,”Kami adalah
orang –orang yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berlata,’Bukankah
bumi Allah itu luas, maka hijrahlah atau pindahlah ke mana pun di bumi ini.’ Orang –orang tersebut tempatnya adalah dalam
jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa : 97).
Dalam agama
Islam hijrah mempunyai pengertian tersendiri, karena kaum muslimin memang
beberapa kali melakukan hijrah yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat
bermukim dalam rangka mencari kondisi yang lebih baik atau lebih menguntungkan
dan menyenangkan. Khususnya pindah dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah
menurut ajaran Islam harus dilakukan karena mencari ridha Allah bukan untuk
mencari sesuatu yang lain. Menurut Sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang
berhijrah dengan niat mencari wanita atau harta yang diinginkan tersebut.
Bunyi hadist ini
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, dari Amirul
Mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab ra ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda,’Bahwasannya smua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya , dan
bahwasaannya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang
diniatkannya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya , dan
barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan
dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya itu.”
Jadi jelas,
bahwa perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain
berhijrah, diijinkan dalam Islam, dan insya Allah apa yang akan kita peroleh
adalah apa yang diniatkan. Niat yang paling baik adalah mencari Ridha Allah
SWT.
Hijrah muslimin
Sejak masa
permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan
dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belas orang saja yang mau menerima
Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan
tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran
Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek
moyang mereka.
Ancaman ,
tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut
(kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi
belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon
ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW
mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi
ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang
Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini
terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab
tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi
Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang
wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam
dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan saat
itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh
dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka
rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di
pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan
menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau
Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini
diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena
mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa
Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah
dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16
orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin
telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang
di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah
bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini
kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga
tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di
Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil,
menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau
tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini
jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan
telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku
Quraisy.
Perpindahan
hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka
khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat
dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi
peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais
mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah
dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai
macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang
ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti
oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan
Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin
dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat
mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di
Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai
kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap
dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru
dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga
ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya
tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan
hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun
hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender
Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum
muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari
lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang
menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah
ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”,
persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya
dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari
Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah
naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun
dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau
pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam
Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna
membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari
intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti
proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar
normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang
fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang
dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang
berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu
disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya
terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan
kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad
SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat
Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik
tersebut.
Peristiwa hijrah
Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan cepat. Para sahabat yang
telah terlebih dahulu di Madinah tak
kuasa menahan rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad
SAW.Setiap hari mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar
As-Shiddiq memasuki kota Madinah dengan selamat.
Seketika wajah kota Madinah berubah
total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung,
sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW.
Kegembiraan warga Madinah tak dapat
dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih
yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang
telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis
bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma.
Anak-anak dan para perempuan yang
sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari
melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa
risalah Islam pari purna yakni Nabi SAW:
“Thala’al
badru ‘alaina
Min
tsaniyatil wada’
Wajabsy
syukru ‘alaina
Mada’a
lillahi da’….
(Telah terbit
purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya penyeru ke
jalan Allah….)
Banyak gubahan syair saat menyambut
kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para
ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai
dari Maulid Simthud Durar, Burdah,
Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad
Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok
sang manusia teragung dan mulia Habibuna
murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan….
Yaa
Nabiy salaam ‘alaika
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa
habiib salaam ‘alaika
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul
musyaffa’
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat
ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa
danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Marhaban
ahlan wa sahlan
Bika yĆ¢ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Bika yĆ¢ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya
imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN
YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta
fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Wa
yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
THOLA’AL
BADRU ‘ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
Falahaa
anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Fa’alaikalloohu
shollaa
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Wa
bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Ya
‘adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU
‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa
bihi Fandhur ilainaa
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa
kullal balaayaa
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wasqinaa
yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
ROBBI
FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
Wakhtimil
‘umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH
‘ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
Wa
shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat
thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Kehadiran Rasulullah
SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru
dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya
beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan
warga Madinah dalam menyambut beliau tersebut.
Bahkan beberapa
waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk, warga Madinah (kaum
Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan rebana dan syair shalawat
Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan
gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah
dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka wujudkan dengan senandung
syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi sunnah—lantaran Rasulullah
SAW tidak melarangnya dengan cara mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW menyetujui perbuatan yang dilakukan para
sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah
hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad diceritakan , ketika Rasulullah
SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam legam
datang menemui beliau membawa rebana sambil berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku
telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, aku akan
menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu.”
Rasulullah SAW
kemudian menjawab,”Jika engkau telah bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak,
jangan.”
Wanita itupun
kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh rebana sambil bernyanyi
gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW cukup lama.
Satu demi satu ,
sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan
Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu
tetap menabuh rebana dan bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan
dan menikmati lantunan senandung syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin
Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan menyembunyikan rebana dengan
mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut dengan sahabat Umar bin Khattab
yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat
Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah SAW lu, beliau pun
berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu. Ketika aku duduk,
perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana.
Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana demikian pun ketika
Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar, wanita itu segera
menghentikan dan menyembunyikan rebananya.” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian,
peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang kesenian
rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup juga pernah
dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang Tabuk dan
Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya.
Masyarakat baru
tersebut (state) kemudian
dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan)
dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang
sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu
mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat
tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang
sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah
imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan
kepercayaan; di samping juga ukhuwwah
wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan
kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai
kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu
anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah.
Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah
payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat,
seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di
akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria),
Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena
ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro
Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat
sipil (warga) term bentuk ta’rib
(pengaraban) dari masyarakat warga (civil
society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan
sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi
masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam,
kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW
niatnya untuk melaksanakan haji pada
tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke
Madinah hendak mengikuti beliau. Empat
hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai
berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah
(Haji Qiran).
Tanggal 8
Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam perjalanan Haji Wada’
pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan Isya di sana. Setelah
beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan perjalanan hingga
Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari tergelincir, beliau
menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang Arafah. Di sana telah berkumpul sekitar 140.000
jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada
ummat.
“Wahai sekalian
manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan
ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya
darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini
dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah
kepada Allah dan hati-hati terhadap masalah wanita, karena kalian
memperistri mereka yang menjadikan mereka halal bagi kalian juga karena amanat
dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia,
sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian , sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka.
Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang tidak
disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi mereka
melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka
dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak
melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin makanan
dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah
meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekali-kali kalian
tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh kepadanya,
yaitu kitab Allah.
Wahai manusia,
sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah Allah, dirikanlah shalat
lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat dengan sukarela,
tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk sorga.
Tentu kalian
bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian pertanyakan?
Mereka
menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh melaksanakan kewajiban
dan nasehat.”
Lalu bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke
langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah, persaksikanlah!” (Sirah
Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaaf.
Setelah
Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat 3, yang
menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat
kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang
nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Pidato
khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah
dan shalat Dzuhur qashar dan jama’ secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan
diikuti oleh para jama’ah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi
untuk melaksanakan jama’ah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al
Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam.
Keremangan senja
lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah, beliau melanjutkan perjalanan
menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah
tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya, kemudian beliau berbaring sampai
fajar menyingsing.
Setelah adzan
dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan kemudian beliau naik Al
Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil
dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah
beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan membonceng Al Fadhl bin
Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah Aqabah, dan beliau melempar
jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil, sambil bertakbir pada setiap
kali melempar.
Selanjutnya,
beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta,
selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan
penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100 ekor.
Di
situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masing-masing unta,
kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut kuahnya.
Pada
waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan
Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara
nyaring, yang isinya banyak mengulang isi pidato yang disampaikan
sebelumnya. Namun demikian, banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara
lain:
“Kalian
pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia
akan menanyakan amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat
sepeninggalku hingga sebagian kalian memenggal leher sebagian lainnya.
Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) ,
menganiaya anak dan anak menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya
syetan sudah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan
tetapi dia akan ditaati dengan amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian
remehkan dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada
hari Tasyriq, beliau di Mina untuk
melaksanakan ibadah haji lainnya sembari mengajarkan syariat perihal
dzikir kepada Allah, menegakan sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik,
amalan syirik dan pengaruhnya. Pada hari
tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya.
Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin,
ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh –sementara sahabat Abu
Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya
menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf
shalat. Kemudian beliau tersenyum.
Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena
dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas
menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena
bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.
Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan
beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan
menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat
lagi.Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu
membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya
lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.
Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya
kepada Fatimah tentang hal tersebut.
Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa
beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan
mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan
menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).
Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa
dia adalah kaum wanita semesta alam.Fatimah melihat penderitaan berat yang
dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan
ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita
lagi.”
Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium
keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga
memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada
mereka.
Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun
yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi)
ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih
merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya
aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”
Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang
,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau
menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.
Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah
menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya
di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW
wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah
menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang
memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada
siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa
beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’
Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu
kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau,
lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu
kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya
siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau
memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya
berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih
Bukhari II, 640).
Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan
beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit,
dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan
itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan
aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad
Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut
sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih
Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Peristiwa ini
terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul
Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada’ tersebut? Dalam peristiwa
akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah
haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631
M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah
haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa
amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum
hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan
kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah),
bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks
khutbah haji wada’ di atas,
mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya
penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan
intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi
seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas
nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran
Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat
penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan
negara.
Dengan demikian,
pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu
yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami
masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa
sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga
mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar
70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa
kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan
kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses
transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi
atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial
politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada
masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah,
4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka
Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa
Indonesia
Ini sesuai
dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta
fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir
la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha
yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat
Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap
arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad,
bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.” (*****)Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga
Biodata Penulis
Aji Setiawan,ST lahir pada Hari
Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja,
Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia.
Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Baginya, pendidikan yang manusiawi justru ada di luar kampus, bukan di dalam kelas yang beku dan kaku. Justru melalui pergulatan wacana dan pergesekan dunia intelektual, ia mengasah diri untuk menyambut tugas-tugas sejarah, kelak di kemudian hari.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014.
Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Baginya, pendidikan yang manusiawi justru ada di luar kampus, bukan di dalam kelas yang beku dan kaku. Justru melalui pergulatan wacana dan pergesekan dunia intelektual, ia mengasah diri untuk menyambut tugas-tugas sejarah, kelak di kemudian hari.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014.
Full Name: Aji
Setiawan, ST
Born: October 1,
1978
Home Address:
Cipawon, 6/1, Bukateja, Central Java Purbalingga 53 382
,
Tel NO:
081229667400
E-mail: ajisetiawanst@gmail.com
www.ajisetiawan.blogspot.com
Account: BANK
MANDIRI: 1390010915175
Tidak ada komentar:
Posting Komentar