Selasa, 20 Oktober 2015

Opini 14 Oktober 2015 (Tahun Baru Hijriah)

Opini 14 Oktober 2015 (Tahun Baru Hijriah)

Berhijrah Menuju Kebajikan
Oleh: Aji Setiawan

Hijrah adalah berasal dari kata Bahasa Arab darikata hajara, yang artinya memutuskan hubungan, pindah , meninggalkan sesuatu yang lalu pindah kepada tempat yang lain

Dalam arti umum, hijrah adalah meninggalkan tempat tinggal dan pindah ke tempat yang baru. Dalam Islam menjadi istilah yang populer , yakni berpindahnya kaum muslimin dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah ini paling tidak tiga kali dilakukan oleh kaum muslimin. Tetapi Islam memberikan arti yang lebih luas mengenai hijrah ini, yaitu meninggalkan yang jelek dan berpindah ke hal yang baik demikian HAMKA bertamsil dalam Tasawuf Modern, (Gunung Agung;1976).
Seseorang yang meninggalkan suatu paham atau kepercayaan (katakanlah misalnya kepercayaan kebatinan). Kemudian ditinggalkannya dan lalu mengikuti faham lain (misalnya : agama Islam) dapat juga disebut sebagai orang ber-hijrah, yaitu hijrah dari suatu kesesatan menuju ke kebenaran. Seseorang yang biasanya berperilaku jelek, buruk, jahat tidak terpuji kemudian meninggalkan semua perilaku yang serba negatif tersebut dan menggantinya dengan perilaku yang baik , terpuji bermanfaat maka orang tersebut dapat jug adisebut sebagai orang yang berhijrah dari perilaku jelek dan berpindah menjadi berperilaku baik. Rasulullah SAW menjelaskan dalam lewat salah seorang sahabat yang bertanya kepada beliau, ”Hai Nabi Allah, hijrah yang manakah yang baik?” Rasulullah SAW menjawab, ”Apabila kamu meninggalkan sesuatu yang jelek.”
Hadist di atas memang hanya begitu. Ini dapat diartikan , bahwa hijrah yang paling baik itu setidaknya meninggalkan segala sesuatu yang buruk. Tentunya langkah berikutnya adalah,”berpindah kepada hal yang baik.” Namun bila hanya meninggalkan yang buruk saja lalu diam, cukup lah artinya walau kemudian tidak berpindah ke hal yang baik, bersikap diam tidak melakukan yang jelek itu pun sudah dinilai “baik” dalam arti minimal. Seperti kata pepatah: Dari pada berbuat jelek lebih baik diam.
Kata hijrah mempunyai ciri: berpindah. Sifat yang mendominasi adalah adanya peningkatan dari sifat negatif ke sifat yang positif. Jadi hijrah dilakukan untuk mengadakan perbaikan atau penyempurnaan bukan sebaliknya. Secara langsung maupun tidak Allah SWT menyarankan agar manusia jangan terpaku di suatu tempat saja karena bumi Allah ini sangat luas. Ini berarti kita disarankan memilih tempat yang menguntungkan bagi kita, kalau memang tempat yang kita huni tidak menyenangkan.
Firman Allah SWT tersebut disebut dalam QS Anissa ayat 97 dan 100. Serta dalam QS Az-Zummar ayat 10 yang artinya,”Sesungguhnyua orang-orang diwafatkan oleh Malaiakat dalam keadaan menganiaya dirinya sendiri (tidak mau hijrah) , maka Malaikat bertanya kepada mereka,”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab ,”Kami adalah orang –orang yang tertindas di negeri ini.” Para malaikat berlata,’Bukankah bumi Allah itu luas, maka hijrahlah atau pindahlah ke mana pun di bumi ini.’  Orang –orang tersebut tempatnya adalah dalam jahanam dan jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS An Nisa : 97).
Dalam agama Islam hijrah mempunyai pengertian tersendiri, karena kaum muslimin memang beberapa kali melakukan hijrah yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat bermukim dalam rangka mencari kondisi yang lebih baik atau lebih menguntungkan dan menyenangkan. Khususnya pindah dari kota Mekkah ke tempat lain. Hijrah menurut ajaran Islam harus dilakukan karena mencari ridha Allah bukan untuk mencari sesuatu yang lain. Menurut Sabda Rasulullah SAW, barang siapa yang berhijrah dengan niat mencari wanita atau harta yang diinginkan tersebut.
Bunyi hadist ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khattab ra ia berkata,”Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,’Bahwasannya smua amal perbuatan itu tergantung pada niatnya , dan bahwasaannya apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya , dan barangsiapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya itu.”
Jadi jelas, bahwa perpindahannya dari suatu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain berhijrah, diijinkan dalam Islam, dan insya Allah apa yang akan kita peroleh adalah apa yang diniatkan. Niat yang paling baik adalah mencari Ridha Allah SWT.

Hijrah muslimin
Sejak masa permulaan Rasulullah SAW mengajarkan agama Islam, banyak mendapat tantangan dari kaum Quraisy penduduk Mekkah. Hanya belas orang saja yang mau menerima Islam. Karena itu penduduk Mekkah yang menolak ajaran dalam Islam mengadakan tekanan, ancaman, dan siksaan kepada orang-orang yang mengikuti ajaran Rasulullah SAW. Sebab mereka dianggap telah melanggar atau merusak agama nenek moyang mereka.
Ancaman , tekanan dan siksaan penduduk Mekkah yang tidak menyukai agana Islam tersebut (kemudian kita sebut sebagai kaum kafir Quraisy) dirasakan sangat berat bagi belasan orang yang telah masuk Islam ke tempat lain. Karena itu mereka memohon ijin kepada Rasulullah SAW untuk hijrah ke tempat lain. Rasulullah SAW mengijinkan dan atas saran Abu Thalib lalu Rasulullah SAW menyuruh mereka pergi ke Habsyi (Abessinia, Ethiopia) di Afrika di mana rajanya adalah seorang Nasharani yang saleh bernama Negus (Najasyi).
Peristiwa ini terjadi pada masa permulaan Islam diajarkan Rasulullah SAW pada bulan Rajab tahun 12 sebelum Hijriah (615 M) atau pada tahun kelima setelah kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan yang berhijrah terdiri dari 12 orang pria dan 4 orang wanita. Mereka ini termasuk orang-orang yang mula-mula menerima ajaran Islam dan disebut sebagai muslim awal / pemula (assabiqunal awwalin)
Kebetulan saat itu di pelabuhan Syu’aibah di Teluk Syu’aibah sebelah selatan Jeddah berlabuh dua buah perahu dagang yang segera akan berangkat menuju ke pantai Afrika. Maka rombongan ikut menumpang perahu tersebut sampai ke Massawa, sebuah pelabuhan di pantai Afrika wilayah Habsyi (Ethiopia). Setelah mendarat di Massawa rombongan menuju ke kota Adulis (sekarang Zule) di negeri Habsyi (Abesinia atau Ethiopia), kira kira 50 km sebelah tenggara kota Massawa.
Negeri ini diperintah oleh seorang Raja Nashrani, Negus (Najasyi), tetapi karena mengetahui bahwa ajaran Muhammad (Islam) tidak jauh berbeda dengan ajaran Isa Al Masih , maka beliau memberikan perlindungan kepada kaum muslimin yang hijrah dari Mekkah tersebut. Kaum kafirt Quraisy mendengar keberangkatan rombongan 16 orang tersebut mengejar ke pelabuhan Syu’aibah , namun rombongan kaum muslimin telah berangkat, sehingga tidak bertemu.
Beberapa orang di antara mereka yang mengungsi ini , ada yang pulang kembali ke Mekkah setelah bermukim beberapa bulan tetapi ada yang setahun lebih. Sebagian dari mereka ini kelak juga ada yang kembali ikut mengungsi dalam peristiwa hijrah kedua. Tiga tahun kemudian, setelah rombongan kaum muhajirin tiba di Adulis (zule) di Habsyi dan ternyata mereka kerasan karena memperoleh perlindungan yang adil, menyusulah rombongan kedua pada tahun 617 M atau 9 tahun sebelum Hijriah atau tahun ke 8 sejak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Rombongan hijrah kedua ini jumlahnya terdiri 83 orang pria dan 18 orang wanita. Rombongan ini mencerminkan telah menyebarnya ajaran Islam di berbagai kalangan marga di lingkungan suku Quraisy.
Perpindahan hijrah kedua ini rupa-rupanya terdengar oleh kaum Quraisy, sehingga mereka khawatir kalau-kalau umat Islam di tempat barunya nanti akan menjadi lebih kuat dan ajaran islam akan semakin menyebar. Maka untuk mencegah jangan terjadi peningkatan kekuatan kaum muslimin dan penyebaran Islam, kaum kafir Qurais mengutus dua orang pejabatnya yaitu Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabi’ah dan dikawal Ammarah bin Walid untuk menghadap Raja Najasyi dengan berbagai macam hadiah yang sangat berharga.
Hijrah yang ketiga kaum muslimin adalah yang paling besar dan paling penting karena dikuti oleh seluruh kaum muslimin Mekkah beserta Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Hijrah ketiga ini membawa perubahan besar bagi kehidupan kaum muslimin dan Islam sendiri. Sebab setelah hijrah dari Mekkah ke Yatasrib, kaum muslimin dapat hidup bebas daari tekanan dan ancaman kaum kafir Quraisy dan dapat mempraktikan kehidupan yang Islami, damai dan tentram secara leluasa di Madinah. Di samping itu Rasulullah SAW bersama para sahabat mempunyai kesempatan untuk menyusun strategi dakwah yang lebih canggih rapi dan lengkap dan dakwah Islam memang memancar dari Madinah dan gencar ke seluruh penjuru dunia dari tepi Timur sampai Barat.
Hijrah ketiga ini kemudian dijadikan permulaan perhitungan tahun dalam kalender Islam karenya tahun itu dalam Islam disebut Tahun Hijriah. Sebab tidak serta merta penggunaan hijrah itu sebagai awal perhitungan kalender Islam, karena setelah 17 tahun hijrah terjadi kaum muslimin baru menggunakannya sebagai permulaan kalender Islam. Itu pun setelah melalui perdebatan yang panjang , sebab sebagian kaum muslimin menghendaki agar perhitungan tahun kalender Islam dimulai dari lahirnya Rasulullah SAW atau saat kenabian Nabi Muhammad SAW bahkan ada yang menginginkan agar dihitung sejak kewafatan Rasulullah SAW.
Periode Madinah ini mengedepankan “ukhuwwah wathaniyyah”, persaudaraan lintas agama, periode ini berlangsung sekitar 10 tahun lamanya dimulai sejak hijrah (perpindahan) Muhammad SAW beserta seluruh umat Islam dari Mekkah ke kota Yatsrib (Madinah). Periode Madinah ini memberikan kesempatan kepada Nabi Muhammad SAW untuk membangun tatanan masyarakat sipil di bawah naungan Piagam Madinah. Dalam piagam yang memuat 47 pasal itu, sungguh pun dibuat oleh mayoritas umat Islam, sama sekali tidak menyebut asas Islam atau pun dasar al-Qur’an serta al-Hadist.
Substansi piagam Madinah merupakan refleksi atas rekonsiliasi antar etnis dan agama guna membangun pranata sosial-masyarakat yang damai, aman dan sentausa, bebas dari intimidasi, anti penindasan, anti sekterianisme, anti diskriminasi dan anti proteksianisme. Karena itu, wajah Islam semakin fungsional tidak sekedar normatif dan formalitas.
Sosok Islam yang fungsional inilah yang dirindukan oleh masyarakat Yatsrib (golongan Ansor) yang dilanda konflik internal antar warga dan etnis. Kedatangan Muhammad SAW yang berkepribadian luhur dan humanis dan pengikutnya (Muhajirin) sudah barang tentu disambut baik oleh masyarakat Yatsrib (Madinah) yang saat itu masyarakatnya terbilang majemuk (golongan Islam, Yahudi, Nasrani, Paganis serta golongan kafir atau kaum musyrikin). Penghargaan masyarakat Yatsrib kepada Nabi Muhammad SAW tidak hanya sambutan hangat semata, namun juga kepercayaan masyarakat Yatsrib kepada Muhammad SAW untuk memimpin masyarakat yang pluralistik tersebut.
Peristiwa hijrah Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah tersebar dengan cepat. Para sahabat yang telah terlebih dahulu  di Madinah tak kuasa menahan rindu kepada pemimpin mereka yang tercinta, Nabi Muhammad SAW.Setiap hari mereka menanti kedatangan Nabi SAW di tapal batas kota Madinah. Akhirnya saat yang dinanti-nanti telah tiba. Rasulullah bersama Abu Bakar As-Shiddiq memasuki kota Madinah dengan selamat.
            Seketika wajah kota Madinah berubah total, menjadi bermandikan cahaya lantaran hadirnya sosok yang mulia dan agung, sang pembawa budi pekerti yang luhur yakni Rasulullah SAW.
            Kegembiraan warga Madinah tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . Mereka menangis bahagia menyaksikan sang Kekasih yang selama ini dirindukan, telah nampak di depan mata. Gejolak rindu yang telah lama terpendam dalam dada tak kuasa lagi terbendung.Mata menangis bahagia, haru penuh rasa cinta menembus sukma.
            Anak-anak dan para perempuan yang sudah menjadi penduduk Madinah (kaum Anshor) tampil menabuh rebana sembari melantunkan syair Shalawat Badar sebagai sambutan atas kehadiran sang pembawa risalah Islam pari purna yakni Nabi  SAW:

“Thala’al badru ‘alaina
Min tsaniyatil wada’
Wajabsy syukru ‘alaina   
Mada’a lillahi da’….

(Telah terbit purnama bersinar dari Bukit Wada’ . Wajiblah kita bersyukur tibanya penyeru ke jalan Allah….)
            Banyak gubahan syair saat menyambut kedatangan Rasulullah SAW di hadapan para sahabat banyak dikarang oleh para ulama. Upacara ceremonial maulid Nabi SAW ini banyak dinyanyikan saat Mahalul Qiyam (Shalawat Berdiri) mulai dari Maulid Simthud Durar, Burdah, Barjanji, Ad Dibai, Azhabi, sampai Ad Dhiaul Lami’ semua mengugah dan mengundang kita untuk menghadirkan sosok sang manusia teragung dan mulia Habibuna murrobuna al Musthofa wal wafa Nabiyuna alhady Muhammad SAW.”Marhaban Ahlan wa sahlan….
Yaa Nabiy salaam ‘alaika
Yaa rosuul salaam ‘alaika
Wahai Nabi, salam sejahtera bagimu, wahai Rasul salam sejahtera bagimu
Yaa habiib salaam ‘alaika
Sholawaatullaah ‘alaika
Wahai kekasih salam sejahtera bagimu, Sholawat Allah bagi~mu.
Abrozallaahul musyaffa’
Shoohibul qodril muroffa’
Telah tiba dengan kehendak Allah Sang Pemberi Syafa’at, Pemilik derajat yang dimuliakan
Famalaan~nuurun~nawaahii
‘Amma kullal kauni ajma’
Maka limpahan cahaya memenuhi segala penjuru, meliputi seluruh alam semesta
Nukkisat ashnaamu syirkin
Wa binaas-syirki tashodda’
Maka berjatuhanlah patung patung berhala di ka’bah, dan bangunan kemusyrikan pun roboh
Wa danaa waqtul hidaayah
Wa himaal kufri taza’za’
Dan telah dekatlah waktu hidayah maka benteng kekufuran berguncang, saat saat petunjuk,
Marhaban ahlan wa sahlan
Bika yĆ¢ dzal qodril arfa’
Salam sjahteralah dan selamat datang padamu, wahai
Sang pemilik derajat yg mulia.
Ya imaamahlir risaalah
Man bihil aafaatu tudfa’
Wahai imam para rosul, yang dengannya (saw) bencana bencana tertolakkan,
MARHABAN YA MARHABAN YA NUURO ‘AINIY
MARHABAN JADDAL HUSAINI
MARHABAN MARHABAN
Anta fiil hasyri malaadzun
Laka kullul kholqi tafza’
Engkaulah satu satunya tmpat brlindung dihari Qiyamat,
padamulah sluruh ciptaan ketakutan (sangat merisaukan tak mencepatkan Syafa’at dari beliau saw)
Wa yunaaduuna taroo maa
Qod dahaa min hawlin afdho’
Kemudian mereka datang memanggil manggilmu, ketika menyaksikan dahsyatnya kesulitan dan rintangan,
THOLA’AL BADRU ‘ALAINAA
MIN TSANIYYATIL WADAA’
WAJABASY SYUKRU ‘ALAINAA
MAA DA’AA LILLAAHI DAA’
Falahaa anta Fatasjud
Wa tunaadasyfa’ tusyaffa’
Maka mereka itulah engkau (saw) bersujud,(kehadirat Tuhanmu), maka diserukan padamu (oleh tuhanmu) ”berilah Syafa’at, engkau telah diizinkan memberi Syafa’at”
Fa’alaikalloohu shollaa
Maa badaannuuru wa sya’sya’
Maka pada~mu limpahan sholawat dari Alloh, selama keabadian Yang Maha Bercahaya dan masih bersinar terang benderang…
Wa bika~rrohmaanu nas-al
Wa ilaahul ‘arsyi yasma’
Dan denganmu (menjadikanmu sebagai perantara) kami memohon pada Alloh Arrohman, maka pencipta Arsy mendengar do’a kami,
Ya ‘adhiimal manni yaa Robb
Syamlanaa bil musthofaa~jma’
Wahai Maha Pemberi Anugerah wahai Robb,
kumpulkanlah kepribadian kami dgn AlMusthofa (saw)
SHOLLALLAAHU ‘ALAA MUHAMMAD (MARHABAN)
SHOLLALLAAHU ‘ALAIHI WASALLAM (MARHABAN)
Wa bihi Fandhur ilainaa
Wa’thinaa bih kulla mathma’
Dan dengan nya (saw) maka pandangilah kami dgn kasih sayang Mu, dan berilah kami dengannya (kami menjadikan perantara saw) segala yg kami inginkan,
wakfinaa kullal balaayaa
Wadfa’il aafaati warfa’
Dan hindarkanlah kami dari segala bencana, dan musnahkanlah segala kesulitan, dan angkatlah sejauh jauhnya…
Wasqinaa yaa Robb aghitsnaa (ya Alloh)
Bihayaan hatthooli yahma’ (ya Alloh)
dan siramilah kami (dengan Rahmat~Mu) wahai ROBB
tolonglah kami dgn kehidupan yg dicurahi Lebatnya Hujan Rahmat Mu…
ROBBI FAGHFIRLIY DZUNUUBIY (Ya Alloh)
BI BARKATIL HAADIY MUSYAFFA’ (Ya Alloh)
Wakhtimil ‘umro bihusnaa (Ya Alloh)
Wahsinil’uqbaa wa marja’ (Ya Alloh)
dan akhirilah usia kami dgn Husnul Khotimah, dan. perbaikilah keadaan yang akan datang dan saat kami kembali kepada Mu..
SHOLLALLAH ‘ALA MUHAMMAD
SHOLLALLAH ‘ALAIHI WASALLAM
Wa shollatullohi Taghsyaa
Man lahul husnu tajamma’
dan terlimpah sholawat Alloh bagi yg terkumpul Padanya (saw) segala kebaikan,
Ahmadat thohro wa Aalih
Wash shohaabah massanaasya’
Ahmad (saw) yg suci dan keluarganya, serta Para shohabatnya dengan Sholawat yang selalu bercahaya terang benderang.
Kehadiran Rasulullah SAW serasa ada di depan mata. Rasulullah SAW pun menyambutnya dengan penuh haru dan gembira sebagaimana wujud kegembiraan warga Anshor. Sepanjang hidupnya beliau tidak pernah melarang tetabuhan dan senandung syair yang dipersembahkan warga Madinah dalam menyambut beliau tersebut.
Bahkan beberapa waktu kemudian, ketika beliau tiba dari perang Tabuk, warga Madinah (kaum Anshor) kembali menyambut beliau dengan tetabuhan rebana dan syair shalawat Badr tersebut di atas.
Rasa senang dan gembira warga Madinah akhirnya menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh Madinah dalam menyambut kehadiran Rasulullah SAW, mereka wujudkan dengan senandung syair dan iringan tetabuhan rebana. Dan itu menjadi sunnah—lantaran Rasulullah SAW tidak melarangnya dengan cara mendiamkannya, artinya Rasulullah SAW  menyetujui perbuatan yang dilakukan para sahabat dalam menyambutnya.
Dalam sebuah hadist riwayat Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad diceritakan , ketika Rasulullah SAW tiba dari sebuah peperangan, seorang budak wanita berkulit hitam legam datang menemui beliau membawa rebana sambil berkata,”Duhai Rasulullah SAW, aku telah bernazar, jika Allah mengembalikan dirimu dalam keadaan selamat, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi di hadapanmu.”
Rasulullah SAW kemudian menjawab,”Jika engkau telah bernazar, tunaikanlah nazarmu. Jika tidak, jangan.”
Wanita itupun kemudian menunaikan nazarnya. Ia kemudian menabuh rebana sambil bernyanyi gembira penuh kerinduan di hadapan Rasulullah SAW cukup lama.
Satu demi satu , sahabat utama Rasuullah SAW seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Afan dan Ali bin Abu Thalib datang menemui Nabi Muhammad SAW. Tapi, perempuan Anshor itu tetap menabuh rebana dan bernyanyi, sementara sang Nabi SAW tetap mendengarkan dan menikmati lantunan senandung syair dan iringan rebana.
Ketika Umar bin Khattab tiba, perempuan tersebut berhenti dan menyembunyikan rebana dengan mendudukinya. Rupa-rupanya perempuan itu takut dengan sahabat Umar bin Khattab yang dikenal keras dan tegas.
Setelah keempat Khulafaur Rasyidin itu berkumpul di hadapan Rasulullah SAW lu, beliau pun berkata , ”Hai Umar, sesungguhnya setan saja takut kepadamu. Ketika aku duduk, perempuan itu menabuh rebana. Ketika Abu Bakar masuk, ia tetap menabuh rebana. Ketika Ali masuk, ia tetap bernyanyi dan menabuh rebana demikian pun ketika Ustman masuk. Akan tetapi, ketika engkau masuk, hai Umar, wanita itu segera menghentikan dan menyembunyikan rebananya.” (HR Tirmidzi).
Dengan demikian, peristiwa di atas menandakan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang kesenian rebana tersebut.Melantunkan syair semasa Rasulullah SAW masih hidup juga pernah dilakukan oleh sayiddina Abbas bin Abdul Muthalib seusai perang Tabuk dan Rasulullah SAW mendiamkannya, artinya beliau tidak melarangnya.
Masyarakat baru tersebut (state) kemudian dideklarasikan dengan nama Madinah al Munawwarah (kota yang disinari/dicerahkan) dengan mengambil ibukota Madinah. Sungguhpun jumlah penduduk dan wilayah yang sedikit namun kokohnya bangunan masyrakat warga Madinah, akhirnya mampu mewarnai konstalasi politik global bangsa-bangsa dunia. Kekokohan masyarakat tersebut dikuatkan dengan kesadaran persaudaraan dan persatuan antar warga yang sangat tinggi sehingga terajut “ukhuwwah imaniyah” atau persaudaraan antar- iman yang meliputi lintas agama dan kepercayaan; di samping juga ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan antar etnis.
Kedamaian dan kemakmran masyarakat Madinah akhirnya menjadi daya tarik tersendiri bagai kawasan lain di Arab. Tidak berapa lama, masyarakat kota Mekkah yang dulu anti-Muhamad SAW dan pengikutnya takluk kepada Madinah tanpa pertumpahan darah. Setelah itu itu satu persatu semenanjung Arabia tertarik dan bergabung di bawah payung pemerintah Madinah. Sampai akhirnya , tatkala Nabi Muhammad SAW wafat, seluruh Semenanjung Arabia sudah menyatu dalam satu pemerintahan. Bahkan di akhir masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW, beberapa kawasan di Syam (Syiria), Persia dan Mesir tertarik untuk bergabung bersama pemerintahan Madinah, karena ketiga negara tersebut sudah jenuh ditindas oleh Kaisar Romawi dan Kisro Persia.
Masyarakat mutamaddin sebagai konotasi masyarakat sipil (warga) term bentuk ta’rib (pengaraban) dari masyarakat warga (civil society) merupakan proses tansformasi sosial budaya, sosial politik dan sosial ekonomi pada masyarakat Madinah. Ini merupakan proses transformasi masyarakat sebagai mana yang terjadi di bangsa –bangsa Eropa modern (Civil Society).
Misi Islam, kemudian ditutup pada peistiwa Haji Wada’ satu-satunya ibadah haji yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tepatnya pada tahun 10 Hijriah, Rasulullah SAW niatnya untuk melaksanakan haji  pada tahun itu. Begitu terdengar, berbondong-bondong ummat Islam datang ke Madinah  hendak mengikuti beliau. Empat hari menjelang habisnya bulan Dzulqo’dah selepas shalat Dzuhur, beliau mulai berangkat dan mulai menunaikan ibadah haji sampai memasuki bulan Dzulhijjah (Haji Qiran).
Tanggal 8 Dzulhijjah, tepatnya hari tarwiyah Rasulullah SAW dalam perjalanan Haji Wada’ pergi ke Mina. Beliau shalat Dzuhur, Ashar , Magrib dan Isya di sana. Setelah beberapa saat hingga matahari terbit, beliau melaksanakan perjalanan hingga Arofah, dimana tenda-tenda sudah di sana. Setelah matahari tergelincir, beliau menunggang unta Al Qashwa hingga tiba di tengah Padang Arafah.  Di sana telah berkumpul sekitar 140.000 jamaah haji , dan beliau menyampaikan pidato yang berisi wasiat penting kepada ummat.
“Wahai sekalian manusia, dengarlah perkataanku! Aku tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan ketemu kalian lagi setelah tahun ini dalam keadaan seperti ini. Sesungguhnya darah dan harta kalian suci atas kalian, seperti kesucian hari ini, bulan ini dan di negeri kalian ini. Bertaqwalah  kepada Allah dan hati-hati terhadap masalah wanita, karena kalian memperistri mereka yang menjadikan mereka halal bagi kalian juga karena amanat dan dengan kalimah Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya istri kalian mempunyai hak atas kalian ,  sebagaimana kalian memiliki hak atas mereka. Hak kalian adalah istri kalian tidak boleh mengizinkan orang yang tidak disenangi masuk ke rumah kalian kecuali seizin kalian. Terlarang bagi mereka melakukan kekejian. Jika mereka berbuat keji, bolehlah kalian menahan mereka dan menjauhi tempat tidur mereka serta memukul mereka dengan pukulan yang tidak melukai mereka. Jika mereka taat, maka kewajiban kalian adalah menjamin makanan dan pakaian mereka sebaik-baiknya.
Aku telah meninggalkan di tengah mereka sesuatu yang sesuatu yang sekali-kali kalian tidak akan tersesat sesudahnya selagi kalian tetap berpegang teguh kepadanya, yaitu kitab Allah.
Wahai manusia, sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Sembahlah Allah, dirikanlah shalat lima waktu, laksanakan puasa Ramadhan, bayarlah zakat dengan sukarela, tunaikanlah haji dan taatilah ulil amri kalian, niscaya kalian masuk sorga.
Tentu kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian pertanyakan?
Mereka menjawab,”Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh melaksanakan kewajiban dan nasehat.”
Lalu  bersabda sambil mengacungkan telunjuknya ke langit dan mengarahkannya kepada hadirin,”Ya Allah, persaksikanlah!” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 2/265).Orang yang menirukan sabda beliau  Rabi’ah bin Umayyah bin Khalaaf.
Setelah Rasulullah SAW menyampaikan pidato, turunlah QS Al Maidah ayat 3, yang menyatakan bahwa pada hari itu telah sempurnalah nubuwwah (misi kenabian) Muhammad SAW yang merupakan satu rahmat kenikmatan yang tiada tara bagi kaum muslimin berupa agama Islam, yang nyata-nyata telah mendapat Ridha dari Allah SWT Yang Maha Pengasih.
Pidato khutbah selesai. Bilal kemudian mengumandangkan adzan, disusul dengan iqomah dan shalat Dzuhur qashar dan jama’ secara berjama’ah diimami Rasulullah SAW dan diikuti oleh para jama’ah. Begitu selesai shalat Dzuhur, Bilal iqamah lagi untuk melaksanakan jama’ah shalat Ashar. Selesai shalat, dengan menunggang Al Qashwa, beliau menuju tempat wukuf. Di situ beliau menghabiskan wukuf sampai matahari terbenam.
Keremangan senja lambat laun menghilang. Dengan mengendong Usamah, beliau melanjutkan perjalanan menuju Mina. Di sana shalat Maghrib dan Isya dengan satu adzan dan dua iqamah tanpa ada shalat apa pun di antara keduanya, kemudian beliau berbaring sampai fajar menyingsing.
Setelah adzan dan iqamah , beliau lalu menunaikan shralat Subuh dan kemudian beliau naik Al Qashwa menuju Masy’aril Haram. Dengan menghadap qiblat beliau berdoa, bertahlil dan bertakbir meng-Esa kan Allah SWT.
Dari Muzdalifah beliau pergi menuju Mina sebelum matahari terbit dengan membonceng Al Fadhl bin Abbas hingga tiba di Mahsyar. Kemudian jumrah Aqabah, dan beliau melempar jumlah jumrah tersebut dengan 7 butir kerikil, sambil bertakbir pada setiap kali melempar.
Selanjutnya, beliau menuju ke tempat penyembelihan Kurban dan menyembelih 63 ekor unta, selanjutnya memerintahkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk melanjutkan penyembelihan sebanyak 37 ekor unta sehingga genap 100 ekor.
Di situ beliau memerintahkan untuk mengambil sebagian daging masing-masing unta, kemudian dimasak dan beliau ikut menikmati masakan itu berikut kuahnya.
Pada waktu Dhuha, di atas punggung bighal, beliau menyampaikan pidato yang ditirukan Sayidinna Ali bin Abi Thalib dengan suara  nyaring, yang isinya banyak mengulang isi pidato yang disampaikan sebelumnya. Namun demikian, banyak hal penting yang beliau tambahkan, antara lain:
“Kalian pada waktunya akan menghadap Allah SWT. Dia  akan menanyakan amal kalian.Ingatlah jangan kalian kembali sesaat sepeninggalku hingga sebagian kalian memenggal leher sebagian lainnya. Ketahuilah, janganlah seseorang menganiaya diri sendiri (dengan berbuat dosa) , menganiaya anak dan anak menganiaya orang tuanya.Ketahuilah, sesungguhnya syetan sudah putus asa untuk dapat disembah di negeri kalian selamanya. Akan tetapi dia akan ditaati dengan amal-amal yang kaitannya dengan amal-amal kalian remehkan  dan dia pun ridha kepadanya.”
Pada hari Tasyriq, beliau di Mina untuk  melaksanakan ibadah haji lainnya sembari mengajarkan syariat perihal dzikir kepada Allah, menegakan sunnah-sunnah, mengenyahkan tanda-tanda syirik, amalan syirik dan pengaruhnya.  Pada hari tasyriq, beliau menyampaikan pidato yang isinya sama dengan hari-hari sebelumnya.
Anas bin Malik meriwayatkan, pada Hari Senin, ketika kaum muslimin sedang melaksanakan shalat Subuh –sementara sahabat Abu Bakar RA sedang mengimami mereka—Nabi SAW tidak menemui mereka, tetapi hanya menyingkap tabir kamar Aisyah dan memperhatikan mereka yang berada di shaf-shaf shalat. Kemudian beliau tersenyum.
Abu Bakar mundur hendak berdiri di shaf, karena dia mengira Rasululah SAW hendak keluar untuk shalat. Selanjutnya Anas menuturkan bahwa kaum muslimin hampir terganggu di dalam shalat mereka, karena bergembira dengan keadaan Rasulullah SAW.
Namun, beliau memberikan isyarat dengan tangan beliau agar mereka menyelesaikan shalat. Kemudian, beliau masuk kamar dan menurunkan tabir. Setelah itu, Rasulullah SAW tidak mendapatkan waktu shalat lagi.Ketika waktu Dhuha hampir habis, Nabi SAW memanggil Fatimah, lalu membisikan sesuatu kepadanya, dan Fatimah pun menangis. Kemudian memanggilnya lagi dan membisikan sesuatu, lalu Fatimah tersenyum.
Aisyah berkata, setelah itu, kami bertanya kepada Fatimah tentang hal tersebut.
Fatmah Ra menjawab, ”Nabi SAW membisikiku bahwa beliau akan wafat, lalu aku menangis. Kemudian, beliau membisiku lagi dan mengabarkan aku adalah orang pertama di antara keluarga beliau yang akan menyusul beliau.” (Shahihul Bukhari, II: 638).
Nabi SAW juga mengabarkan kepada Fatimah bahwa dia adalah kaum wanita semesta alam.Fatimah melihat penderitaan berat yang dirasakan oleh Rasulullah SAW sehingga dia berkata,”Alangkah berat penderitaan ayah!” tetapi beliau menjawab,”Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”
Beliau memanggil Hasan dan Husain, lalu mencium keduanya, dan berpesan agar bersikap baik kepada keduanya. Beliau juga memanggil istri-istri beliau, lalu beliau memberi nasehat dan peringatan kepada mereka.
Sakit beliau semakin parah, dan pengaruh racun yang pernah beliau makan (dari daging yang disuguhkan oleh wanita Yahudi) ketika di Khaibar muncul, sampai-sampai beliau berkata,”Wahai Aisyah, aku masih merasakan sakit karena makanan yang kumakan ketika di Khaibar. Sekarang saatnya aku merasakan terputusnya urat nadiku karena racun tersebut.”
Beliau juga memberi nasehat kepada orang-orang ,”(perhatikanlah) shalat; dan budak-budak yang kalian miliki!” Beliau menyampaikan wasiat ini hingga beberapa kali.
Tanda-tanda datangnya ajal mulai tampak. Aisyah menyandarkan tubuh Rasulullah ke pangkuannya.Aisyah lalu berkata,” Sesunguhnya di antara nikmat Allah yang dikaruniakan kepadaku adalah bahwa Rasulullah SAW wafat di rumahku, pada hari giliranku, dan di pangkuanku, serta Allah menyatukan antara ludahku dan ludah beliau saat beliau wafat. Ketika aku sedang memangku Rasulullah SAW, Abdurahman dan Abu Bakar masuk dan di tangannya ada siwak. Aku melihat Rasulullah SAW memandanginya, sehingga aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Aku bertanya ,’Kuambilkan siwak itu untukmu?’
Beliau memberi isyarat “ya” dengan kepala, lalu kuambilkan siwak itu untuk beliau. Rupanya siwak itu terasa keras bagi beliau, lalu kukatakan,’kulunakkan siwak itu untukmu?’ Beliau memberi isyarat”ya” lalu kulunakan siwak itu. Setelah itu aku menyikat gigi beliau dengan sebaik-baiknya siwak itu. Sementara itu, di hadapan beliau ada bejana berisi air. Beliau memasukan kedua tangannya ke dalam air itu, lalu mengusapkannya ke wajah seraya berkata,’La ilaha illallah, sesungguhnya kematian itu ada sekarat nya.” (Shahih Bukhari II, 640).
Seusai bersiwak, beliau mengangkat kedua tangan beliau yang mulia, atau jari-jarinya mengarahkan pandangannya ke langit-langit, dan kedua bibirnya bergerak-gerak. Aisyah mendengarkan apa yang beliau katakan itu, beliau berkata,”Ya Allah ampunilah aku; Rahmatillah aku; dan pertemukan aku dengan Kekasih yang Maha Tinggi. Ya Allah, Kekasih Yang Maha Tinggi.” (Ad Darimi, Misykatul Mashabih, II: 547)
Beliau mengulang kalimat terakhir tersebut sampai tiga kali, lalu tangan beliau lunglai dan beliau kembali kepada Kekasih Yang Maha Tinggi. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Peristiwa ini terjadi ketika waktu Dhuha sedang memanas, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun 11 H. Ketika itu beliau berusia 63 lebih empat hari.
Apa makna yang paling mendalam dari peristiwa Haji Wada’ tersebut? Dalam peristiwa akbar tersebut, Nabi menyampaikan Khutbah Wada’ (perpisahan) pada puncak ibadah haji, saat wukuf di padang Arafah tanggal 9 Dzulhijjah 10 H (16 Februari 631 M). Sementara beliau wafat dan dimakamkan di Madinah 3 hari setelah khutbah haji Wada’. Diantara isi khutbah itu adalah “Ayyuhan-naas, inna dimaakum wa amwalakum wa a’radlakum haramun alaikum, ka-hurmati yaumikum hadza, fi syahrikum hadza, fi badikum hadza,” wahai manusia, sungguh darah, harta dan kehormatan kalian sangat dimuliakan, sebagaimana mulianya hari ini (Arafah), bulan ini (Dzulhijjah) dan negeri ini (Mekkah).
Dari teks khutbah haji wada’ di atas, mengindikasikan bahwa kesempurnaan keislaman seseorang haruslah disertai upaya penghormatan atas jiwa dan menghindarkan segala bentuk kekerasan dan intimidasi, penghormatan atas hak milik (property) serta profesi seseorang. Ringkasnya dalam konteks saat ini adalah penghormatan atas nilai-nilai hak-hak asasi manusia (HAM) merupakan bagian integral dalam ajaran Islam, dimana nilai-nilai pluralisme dan HAM tersebut menjadi pilar sangat penting bagi masyarakat sipil dalam konteks mengisi kehidupan bangsa dan negara.
Dengan demikian, pekerjaan menuju dan sekaligus membangun masyarakat mutamaddin bukanlah sesuatu yang mudah, sebab sekitar 14 abad yang lampau Nabi Muhammad SAW juga mengalami masa tantangan dan hambatan. Bahkan prosesi abad pencerahan di benua Eropa sebagai proses pemberdayaan masyarakat sipil (warga) atau civil society juga mengalami jalan panjang yang berliku. Dalam konteks di Indonesia sejak sekitar 70 tahun kemerdekaan RI, proses transformasi sosial budaya mengalami tiga masa kemandekan sistem pendidikan politik, sosial dan budaya yang berlarut-larut.
Bangunan kosmotalisme masyarakat mutamaddin akan terwujud bila pertama, proses transformasi budaya, masyarakatnya harus sudah memiliki komitmen yang tinggi atas pembersatuan yang hakiki. Langkah kedua, untuk menuju transformasi sosial politik haruslah semakin diberdayakan pendidikan politik dan demokrasi kepada masyarakat.Ketiga harus disadarinya bahwa kemajemukan adalah keharusan sejarah, 4 pilar demokrasi Indonesia mulai dari Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika adalah sesuatu yang final meningkat seluruh komponen Bangsa Indonesia
Ini sesuai dengan firman Tuhan, ”fa-bima rahmatin minallahi linta la-hum, walau kunta fadh-dhan ghalidlal qalbi lan fadl-dluu min-haulik, fa’fu ‘an-hum wastaghfir la-hum wa syaawir-hum fil amri, fa-idza ‘azamta fa-tawakal ‘alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin” (QS Ali Imran 159), artinya “maka disebabkan rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya, kamu bersikap arogan lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, bertawakalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (*****)Aji Setiawan, penulis tinggal di Purbalingga


Biodata Penulis

Aji Setiawan,ST  lahir pada Hari Minggu Wage, 1 Oktober 1978. Di lahirkan, tepatnya di Desa Cipawon, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah, Indonesia.
Menempuh pendidikan formal diawali dari Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah II Cipawon di desa Cipawon, kemudian sesudah itu dilanjutkan ke SMP I Bukateja. Pendidikannya berlanjut ke kota kripik, tepatnya sejak 1993-1996, di SMA 3 Purwokerto.
Selepas dari Purwokerto, tahun 1996, ia pergi ke Yogyakarta dan mengambil pendidikan di Jurusan Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.
Baginya, pendidikan yang manusiawi justru ada di luar kampus, bukan di dalam kelas yang beku dan kaku. Justru melalui pergulatan wacana dan pergesekan dunia intelektual, ia mengasah diri untuk menyambut tugas-tugas sejarah, kelak di kemudian hari.
Sejak tahun 1997 ia mulai malang melintang di berbagai lembaga kampus, mulai dari Himpunan Mahasiswa TMI-FTI UII, Lembaga Pers Mahasiswa “Profesi” FTI, LPM “Himmah” UII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Teknologi Industri _UII Jogjakarta, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat KH Wahid Hasyim UII Jogjakarta, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi Korda Jogjakarta (1999-2002).
Lulus kuliah tahun Oktober 2002, kemudian bekerja di Majalah alKisah, anekayess group! tahun 2004-2007. Staff Ahli Fraksi Persatuan Pembaharuan Bangsa Kab Purbalingga 2012-2014.

Full Name: Aji Setiawan, ST
Born: October 1, 1978
Home Address: Cipawon, 6/1, Bukateja, Central Java Purbalingga 53 382
                                                                                              ,
Tel NO: 081229667400


www.ajisetiawan.blogspot.com


Account: BANK MANDIRI: 1390010915175

Tidak ada komentar:

Posting Komentar