AGAMA
Refleksi
Hari Santri Nasional
Oleh: Aji Setiawan
Gagasan Hari Santri
Nasional yang akan dilperingati setiap
22 Oktober menjadi sebuah rutinitas ceremonial (upacara) kenegaraan baru
namun perlu disambut dengan positif thinking.
Hari ini tanggal tepat 22 Oktober 2015 pada kalender Nasional
ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional oleh Presiden RI Joko Widodo dengan lewat
Keputusan Presiden (Keppres) No 22 Tahun 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta patut
disambut dengan positif thingking.
Kenapa hari ini dipilih sebagai hari santri? Keppres tersebut telah diteken
oleh Presiden Jokowi 15 Oktober. Penetapan Hari Santri sendiri telah dijanjikan
Jokowi saat berkampanye di Pilpres 2014. Alasannya adalah untuk menghargai jasa
santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada hari ini, bertepatan dengan 70 tahun yang lalu dikeluarkankan
fatwa Jihad oleh AlHadratus Syaikh Hasyim Asy’ari al Basyaiban. Dengan demikian
22 Oktober 1945 bagi santri Nahdlatul Ulama pada saat itu pada saat itu keluarnya
Fatwa berperang (jihad) melawan Kompeni Belanda.
Keluarnya berperang melawan segala bentuk penjajahan dunia
sebelumnya sebenarnya sudah dilakukan oleh AlHadlaratussyaikh KH. Hasyim
Asy’ari sejak pertama kali Asyaikh membuka pesantren. KH. Hasyim Asy’ari
merupakan pendiri Nahdlatul Ulama yaitu sebuah organisasi massa Islam
yang terbesar di Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan putra dari pasangan
Kyai Asy’ari dan Halimah, Ayahnya Kyai Asy’ari merupakan seorang pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH. Hasyim Asy’ari
merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH.
Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
dari Ayah dan Ibunya KH. Hasyim Asy’ari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar
Islam yang kokoh.
Sejak anak-anak, bakat
kepemimpinan dan kecerdasan KH. Hasyim Asy’ari memang sudah nampak. Di antara
teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia
sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang
dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi
santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan
berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim
pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai
Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang
diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim
dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren
Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang
cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga
istri.
Ia, yang baru berumur
21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak
lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna
menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air,
sesudah istri dan anaknya meninggal. Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah
Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh
Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al
Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh
Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan
Sayyid Husein Al Habsyi.
Tahun l899 pulang ke
Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama
kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai
ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya
puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak
mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya
berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya baik padi maupun palawija
serta rempah-rempah. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi
keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim
membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya
kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri
sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang
lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu
(Jawa: tratak) sebagai tempat
tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai
Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak
bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang,
dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun
membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya,
Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang
menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri
Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim
dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah,
(5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah,
(9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat
sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan,
pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai
Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3)
Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pernah terjadi dialog
yang mengesankan antara dua ulama besar, KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH.
Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari
Madura ini populer dipanggil. Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga
kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah
raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan
juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya.
“Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah
lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan
berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai
Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun
dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal,
bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang
gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai
Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan
saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para
murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada
jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan,
Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim
sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin
tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga
lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits.
Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan
Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia,
termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada
Kyai Hasyim.
Setelah lulus dari
Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai
tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH. Abdul Wahab Chasbullah, KH.
Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, KH. Wahid Hasyim (anaknya, salah
satu founding father Republik
Indonesia) dan KH. Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah
menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan
pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber
ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak
heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru
Besar) kepada Kyai Hasyim Asy’ari al Basyaiban.
Karena pengaruhnya yang
demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah.
Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah
dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim
sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang
melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan,
karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai
Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut
ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas.
Karuan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak
ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai
Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap
Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya,
saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan
bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan
dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat
Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang
dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput
dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim
seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan
dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini
dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan
hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu
domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk
memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir
seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta
dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa
revolusi fisik tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda
menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang.
Pendudukan Dai Nippon
menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang
represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represif dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin
Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus
Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim
menolak melakukan seikerei. Yaitu
kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00
pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada
Dewa Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan
Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah,
bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara
berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan
keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri
Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami
banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak
dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan
belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga
mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai
Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus
1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena
banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim
juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi
pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22
Oktober 1945, ketika tentara NICA Nedherland (Netherland Indian Civil
Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu
yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya)
dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama
menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Pada
tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi).
Pembentukan Masyumi
merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai
Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am
(Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir
penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal
dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan
gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta
petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Para ulama dianggap
oleh para penjajah sebagai ‘Pendeta Islam’ itu ternyata merupakan golongan yang
paling aktif dalam setiap peristiwa pemberontakan. Mereka umumnya berdarah
campuran antara orang Arab dan penduduk pribumi, dalam jumlah besar berkeliling
dari negara satu ke negara lain, di pulau-pulau Timur. Akibat intrik dan
hasutan mereka, pemimpin pribumi biasanya dikerahkan untuk menyerang atau
membunuh orang Eropa, yang mereka anggap sebagai kafir dan pengacau.”
Kedua, memimpin gerakan non kooperatif pada penjajah Belanda.
Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah
terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota. Ketika
Belanda, di masa revolusi, mempropagandakan pelayanan perjalanan haji dengan
ongkos dan fasilitas yang dapat dijangkau oleh kaum Muslim di daerah
jajahannya, KH Hasyim Asy’ari —pemimpin para ulama di Jawa—menentang. Beliau
mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan
kapal Belanda hukumnya haram.
Ketika posisi Belanda sulit dalam Perang Dunia II, mereka
meminta orang-orang Indonesia masuk militer Belanda dengan dalih untuk
mempertahankan Indonesia melawan musuh Jepang. Waktu itu Kiai Hasyim
mengeluarkan fatwa yang terkenal, yaitu mengharamkan masuk menjadi tentara
Belanda atau bekerjasama dengan Belanda dalam bentuk apapun.
Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung Belanda
selalu gagal dilakukan. Bahkan tawaran Belanda yang akan menganugerahkan
bintang jasa terbuat dari perak dan emas pada 1937 ditolaknya. Gerakan non
kooperatif pada penjajah itu juga dilakukan dan dipimpin oleh ulama-ulama
lainnya.
Ketiga, mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah.
Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat
perlawanan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabîlillah, yakni perang suci atau perang sabil demi
agama. Ajaran perang suci ini muncul di Aceh paling awal abad ke-17,
dibangkitkan oleh para guru agama pada masa krisis, yang terparah pada akhir
abad ke-19. Salah satu guru agama di tengah medan perang, Syaikh Abbas Ibnu
Muhammad, mengatakan dalam Tadhkirat
ar-Rakidin—ajaran utama tahun 1889—bahwa Aceh merupakan Dar-al-Islam, kecuali daerah yang
diperintah Belanda dan menjadi Dar-al-Harb.
Jihad merupakan kewajiban moral (fardu
ain) orang Islam, termasuk wanita dan anak-anak, berperang untuk
mengembalikan tanah yang dikuasai orang kafir kepada Dar-al-Islam. Padahal pada waktu Muktamar HBNO (Hoolfbestuur Nahdlatoel Oelama) 1928 di
Banjarmasin Kalimantan, HBNO telah menyebut sebuah konsep Negeri Darussalam
(sebuah negeri yang penuh aman, sehat, adil makmur, sejahtera dan penuh
keselamatan).
Perang Diponegoro atau Perang Jawa dapat berkobar lima tahun
(1825-1830) juga karena alasan serupa. Dalam proklamasi dan permintaan
dukungannya pada ulama, bangsawan, dan masyarakat Jawa, Pangeran
Diponegoro—pangeran yang juga ulama—menekankan bahwa ia adalah pemimpin ‘perang
sabil’, perang suci, untuk mengusir Belanda yang tidak beriman dari Jawa. Ia
menyurati ulama dan pemimpin di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menghimbau mereka
“untuk ikut melawan Belanda di seluruh daerah untuk mengembalikan kedudukan
tinggi kerajaan berdasar agama yang benar (ngluhurken
agami Islam)”.Dalam menyebarkan fatwa jihad itu, Diponegoro dibantu oleh
Kiai Mojo, Kiai Besari, dan ulama-ulama lainnya.
Setelah penjajahan Jepang berakhir dengan kekalahannya pada
Perang Dunia II, Belanda dan pasukan Sekutu berusaha menjajah Indonesia lagi.
Saat itu, Resolusi Jihad yang dikeluarkan para ulama NU, sangat besar
pengaruhnya dalam membangkitkan perlawanan rakyat terhadap Belanda dan Sekutu.
Resolusi ini bermula dari fatwa KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di
Surabaya, yang kemudian dikokohkan pada Muktamar NU XVI di Purwokerto 26-29
Maret 1946.
Resolusi Jihad menyebutkan bahwa berperang melawan penjajah
adalah kewajiban fardu ain bagi orang yang berada dalam jarak lingkaran 94 km
dari tempat masuk atau kedudukan musuh. Fardu ain itu baik bagi lelaki,
perempuan, maupun anak-anak, bersenjata atau tidak. Dan bagi orang yang di luar
jarak 94 km (jauh), kewajiban berperang itu menjadi fardu kifayah. Cukup
dikerjakan oleh sebagian saja. Keberhasilan pertempuran Hari Pahlawan 10
Nopember 1945 di Surabaya tak lepas dari Resolusi Jihad ini. Selain itu, Perang
Paderi, Perang Aceh, Pemberontakan Petani di Banten, Pemberontakan Rakyat
Singaparna di Jawa Barat, dan banyak peristiwa lainnya, juga dipicu oleh fatwa
jihad dari para ulama.
Mengenang hari santri
pada hari ini tepatnya tanggal 22 Oktober 2015 setidaknya mengenang jasa
perjuangan salah seorang pejuang dan founding
father bangsa ini KH Hasyim Asy’ari. Setidaknya dimana rekam jejak KH.
Hasyim dari kurun waktu 1899 sampai 1913 dalam membangun pesantren Tebuireng
tidak mudah. Pesantren Tebuireng sempat dibakar Belanda pada tahun 1913 karena
perlawanan halusnya kepada pemerintah. Namun saat itu KH. Hasyim menasehati
santrinya agar tidak melakukan perlawanan terbuka kepada Belanda. Soalnya
waktunya dianggap belum tiba.
Sebuah Kesabaran yang
luar biasa dari sosok seorang ulama dan pejuang, AlHadratus Syaikh sampai
menggadaikan pesantren Tebuireng Jombang untuk membiayai pesantren.
AlHadratusSyaikh seorang enterpreuner
(pengusaha) yang sukses, jatuh bangun namun berkat kesabaran, semua rintangan
beliau lalui dengan sukses selain bertani, berkebun, berdagang kuda dan
rempah-rempah di Surabaya.
KH. alHadratussyaikh
Hasyim Asy’ari alBasyaiban juga seorang pendidik modernis. Akan tetapi model
pendidikan pesantren yang saat itu juga bersamaan dengan cikal bakal sistem
pendidikan Islam modern di Sumatra Barat yaitu Dinniyah School dan Sumatra Tawalib
School serta Madrasah Jamiat Kheir
Tanah Abang Lembaga Rabithah Alawiyah. KH. Hasyim Asy’ari juga menjalankan sistem
yang modern. Ia menerapkan sistem madrasah klasikal dipesantrennya pada 1916. Pelajaran
umum seperti membaca dan menulis huruf latin , ilmu bumi, sejarah dan bahasa
Melayu diajarkan di Tebuireng. Pesantren pun dilengkapi dengan dengan bangku
dan meja. Pembaruan dan pembaharuan ini sempat menimbulkan reaksi cukup hebat,
sehingga sejumlah orang tua memindahkan anak-anaknya ke pesantren lain karena
Tebuireng dianggap terlalu modern.
Kesadaran bahwa selain
fatwa berperang, Tebuireng juga melahirkan salah satu santrinya yang tidak lain
adalah putra KH. Hasyim Asy’ari yang juga tidak lain adalah anak beliau. KH.
Abdul Wahid Hasyim. Sebenarnya jauh sebelum Hasyim meninggal, Wahid memang
sudah dipersiapkan memimpin Tebuireng pada tahun 1941, dia sempat mengundurkan
diri dari ketua Dewan Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) dalam rapat HBNO. KH.
Wahid Hasyim pernah diminta pulang ke Jombang untuk mengurus Ponpes Tebuireng.
Pada saat itu Ponpes Tebuireng jumlah santrinya berjumlah 1500 orang.
Semasa kepemimpinan KH.
Wahid Hasyim membawa warna tersendiri dalam dunia pendidikan pesantren. Dimana
pesantren tidak melulu diajarkan pendidikan agama dan teks-teks kitab fiqh
namun juga pelajaran non agama seperti Bahasa Asing ; bahasa Jerman, Belanda
dan Inggris. Dalam proses belajar KH.
Wahid juga menekankan pentingnya proses dialogis (discusy) antara Kyai dan santri. Guru bukan merupakan satu-satunya
sumber belajar. Karena itu, pendapat guru juga bisa didiskusikan. Bagi santri
senior, KH. Wahid Hasyim mengajar wawasan kebangsaan. Tidak semua santri bisa
mengikuti kelasnya. “Hanya santri top saja yang boleh mengikuti kelasnnya,”
kata KH. Muchit Muzadi (alm) sebagaimana
dikutip majalah Risalah NU No 25 Tahun IV/2011 hal 45.
Selain perombahan dan
pembaharuan kurikulum pesantren, KH A. Wahid Hasyim juga membangun sejumlah
gedung dan melengkapi koleksi perpustakaan. Ragam bacaan mulai teks pelajaran,
sastra hingga aneka Koran dan majalah. Pada waktu itu perpustakaan Tebuireng
koleksinya tidak kalah dengan Perpustakaan Nasional Salemba, Jakarta Pusat (tepatnya
sebelah selatan Kementrian Sosial sekarang-red).
Perkembangan pesat
Tebuireng juga diganggu Perang. Pada pertengahan 1948-setahun setelah Wahid
menggantikan Bapaknya, pasukan Belanda masuk Jombang bahkan merangsek
masuk pesantren. Santri Tebuireng berpencar kemana-mana, sementara KH.
Wahid Hasyim beserta keluarga memutuskan
pindah ke Jakarta. KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu tokoh Masyumi apalagi
setahun kemudian KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai Menteri Agama dan Tebuireng
saat itu dipercayakan pada KH. Abdul Karim Hasyim dan KH. Ahmad Baidlowi.
Ditengah kesibukan menjadi pejabat Negara KH. Wahid Hasyim tetap memantau
perkembangan Tebuireng, semua santri yang terpencar di mana-mana dipanggil
kembali untuk meneruskan pelajaran.
Kata Jihad (berperang) dikeluarkan pada saat
penjajah benar-benar sudah membahayakan keadaan dan keberadaan NKRI.
Memperingati hari berperang tiap 22 Oktober 1945 kemudian ditetapkan sebagai
hari Santri Nasional, bagi bangsa Indonesia patut disambut positif, karena
mewarisi nilai semangat berjihad. Di Era sekarang di saat Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam keadaan damai bukan berperang, kita diajak untuk belajar
pada sejarah. Bahwa nilai-nilai kebangsaan (bela negara) juga diajarkan di
pesantren bahkan di sekolah sampai universitas perguruan tinggi mulai dari
Pendidikan Moral Pancasila, PSBB, Mata Kuliah Pancasila, Penataran P4 bagi
mahasiswa baru, Mata Kuliah Kewiraan (yang mengajar sarjana militer berpangkat
minimal Kolonel) dll. Jihad juga tidak harus
memanggul senjata dan berperang.
Dan perlu dipahami
jalur dakwah tidak harus selalu berada di atas panggung podium dengan pidato (bil
lisan), tetapi dengan jihad harta (bil
mal), jihad tenaga dan ibadah ( ibda
bi nafsi dengan riyadhah dan mujahadah) dan pikiran (ghazwul fiqry, sampai ijtihad, orang yang sampai berijtihad
baik sendiri maupun kolektif lewat bahsul
massail itu dapat dikatakan sampai tingkat mujtahid,- namun sangat sulit)
namun para ulama juga berjihad dengan berdakwah (bil kalam) dengan
tulisan sebagaimana tradisi intelektual ulama Nusantara yang begitu kaya dengan
menghasilkan karya tulisan dan kitab berbobot yang menjadi rujukan kalangan
ilmuan lokal bahkan menjadi kajian kaum cendekiawan., namun jihad yang besar
sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu (jihadun nafsy).
Ada tujuh pakar
keislaman dari Indonesia di tanah suci pada abad 19-an yang menjadi maha guru
bagi pelajar dari Indonesia termasuk AlHadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bahkan
ulama dari berbagai penjuru nusantara dan dunia pada saat itu. Ketujuh tokoh tersebut adalah Syaikh Soleh
Darat, Syaikh Nawawi Al Bantani, Syaikh Ahmad Khatib Al Sambasi, Kiai Mahfuzh At-Tarmasi (Tremas Pacitan),
Syaikh Junaid Al Betawi, Syaikh Nahrowi al Banyumasi dan Syaikh Kholil Al
Bangkalan. Mata rantai keilmuan keislaman pada akhir abad 18 dan awal abad 19
tidak lepas dari ketujuh tokoh dari ketujuh tokoh dari Indunisie.
Ketujuh ulama ini
sangat memperhatikan orang-orang Islam awam dalam bidang agama. Mereka amat
berjasa dalam membentuk dunia santri di tanah Jawa mulai dari menulis ilmu fiqih, aqidah, tasawuf dan akhak
dengan bahasa yang mudah dipahami orang awam, yakni dengan bahasa Jawa, atau
Arab Pegon. Menurut sebagian cerita kenapa harus huruf Arab Pegon, Syaikh Saleh
Darat, Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Cholil Bangkalan yang ingin
melakukan komunikasi antar sesama suku bangsa asal pulau Jawa yang sedang
belajar di Arab Saudi. Sementara Syaikh Juned al Betawi menulisnya kitab
kuningnya dengan Arab Melayu.
Arab pegon atau arab jenggotan atau arab gandulan (karena ada pemaknaan yang menggantung di bawahnya) dirancang
sebagai bahasa sandi antar guru dan murid yang sedang belajar di Saudi dalam
bahasa Jawa. Karena pada waktu itu, Kolonial Belanda sedang menancapkan
penjajahan di bumi Hindia Belanda.
Sementara para ulama di atas mendapat lindungan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan mufti
Mekkah saat itu. Sementara untuk editor percetakannya adalah Syaikh Habib an
Nahrowi al Muhtaram al Banyumasi.
Kembali kesoal dunia
santri, santri bila dilihat secara harfiyah
terdiri dari lima huruf; Sin, Nun, Ta’,
Ro dan Ya’. Kelima huruf itu
mempunyai arti tersendiri. Pertama huruf Sin,
berasal dari kata salikul fil’ibadah (melaksanakan
ibadah). Nun, berasal dari kata naibun ‘anissyuukhi (bersedia datang kepada gurunya baik ketika masih
hidup maupun sudah meninggal). Huruf ketiga Ta’
berasal dari kata taibun artinya santri
senantiasa bertaubat dari melakukan dosa
dan menjauhi maksiat. Huruf keempat Ro’
berasal dari kata roghibu artinya
senang mendatangi tiap-tiap kebajikan atau bila diajak melaksanakan perkara
yang bajik (baik, bagus), santri selalu senang. Sedangkan huruf terakhir huruf
kelima Ya, berasal dari kata yaqin. Satri harus yakin dengan pembagian
nikmat dari Allah Subhannallah Wata’ala
Jalajalluhu Warohmatuhu (Abi Ahmad Syihabuddin M, Pondok Pesantren “Al
Kautsar” Babadan Kediri; 2002).
Ada juga istilah
pesantren sendiri berasal dari kata India shastri,
yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata
Jawa pesantren (tempat/pondok santri mencari ilmu) yang diturunkan dari kata
santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat
pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model
sekolah agama di Jawa.
Sejak zaman pra-Islam,
menurut Gus Dur, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama
yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa
perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan
mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah
lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh,
daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau
rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam
pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka
mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak
pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7).
Secara historis,
pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul
pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren
pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan
pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim
menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang
pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden
Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning,
Surabaya pada tahun 1619 M.
Selanjutnya ia
mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semakin lama semakin terkenal
dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan
pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban,
Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom
El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat
berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku.
Menurut catatan Martin
Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan
Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat
informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran
dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu menguasainya. Kalau ada seorang
haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari
di sana dan mengajarkan kitab agama Islam.
Ulama setempat di
beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid.
Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal
di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa,
atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan
Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25)
Apabila masih ada
Pondok Pesantren atau santri-santri masih dalam masa belajar tidak berfikir
yang penting sebaqgai santri mencari kepintaran dan masih perlu banyak mengaji
kitab kuning kepada para Kyai dan Ulama di Pesantren, yakinilah bahwa Allah SWT
akan selalu memberi jalan rizqi. Demikianlah uraian seputar dunia santri, Manghayubagya Hari Santri Nasional yang
pertama semoga sinar agama Islam tetap berkibar ke seluruh penjuru Nusantara,
sehingga cita-cita Negara dan Bangsa
Kesatuan Republik Indonesia akan tetap aman, adil, makmur penuh ampunan
ridho Allah SWT. Amin Amin Ya Mujibas
Sailin. Wallohul muwwafiq illa Aqwamith Thorieq. (*****) Alumni Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta dan penulis tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah
Bank Mandiri :
1390010915175
ISBN : 0507-11878 U
www.ajisetiawanst.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar